Surah Ad-Duha dan Surah Al-Insyirah (Asy-Syarh) sering kali dipelajari secara berpasangan karena memiliki tema yang saling melengkapi: janji Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat manusia mengenai kelapangan dan kemudahan. Surah Al-Insyirah, yang berarti "Kelapangan," turun di Mekkah pada masa-masa sulit dakwah awal. Surah ini hadir sebagai penenang jiwa, menegaskan bahwa setiap beban pasti akan diikuti oleh kemudahan. Allah SWT membuka surah ini dengan pertanyaan retoris penuh penegasan, "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu, dadamu?" (QS 94:1).
Penegasan ilahiah ini membangun fondasi mental dan spiritual yang kuat, mempersiapkan Rasulullah SAW dan pengikutnya untuk menghadapi tantangan. Setelah menekankan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan—bahkan diulang dua kali untuk memberi penekanan absolut—surah ini mencapai puncaknya pada ayat ketujuh, sebuah instruksi aksi yang monumental dan bersifat universal:
Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup dalam surah. Ia adalah jembatan penghubung antara janji ketenangan (ayat 1-6) dan perintah tindakan (ayat 7-8). Ia adalah intisari dari etos kerja dan spiritualitas seorang Muslim yang sukses, menekankan pentingnya transisi tanpa henti dari satu bentuk kebaikan ke bentuk kebaikan lainnya. Ayat ini mengajarkan bahwa kelapangan yang diberikan Allah harus dibalas bukan dengan istirahat pasif, melainkan dengan peningkatan intensitas perjuangan dan ibadah.
Untuk memahami kedalaman ayat 7, kita harus mengkaji dua kata kerja kunci dalam bahasa Arab Klasik yang membentuk perintah ini: *Faraġta* dan *Fanṣab*. Kedua kata ini memiliki nuansa makna yang jauh lebih kaya daripada sekadar "selesai" dan "kerjakanlah".
Kata *Faraġta* berasal dari akar kata *F-R-Gh* (فرغ), yang secara harfiah berarti 'kosong', 'bebas', atau 'selesai dari suatu hal'. Dalam konteks ayat ini, *Faraġta* dapat diinterpretasikan dalam beberapa dimensi:
Intinya, *Faraġta* adalah sinyal transisi. Ia menolak adanya vakum dalam kehidupan seorang mukmin. Begitu satu tugas selesai, ruang yang kosong itu harus segera diisi oleh tugas berikutnya, menghindarkan diri dari kemalasan atau kelalaian.
Ini adalah kata kunci yang paling mendalam. *Fanṣab* adalah bentuk perintah dari akar kata *N-Sh-B* (نصب). Kata ini mengandung makna 'mendirikan', 'menegakkan', 'bekerja keras', bahkan 'menderita kelelahan' atau 'terpasang tegak'.
Perintah *Fanṣab* sangat kuat karena menyiratkan tidak hanya bekerja, tetapi bekerja keras hingga mencapai batas kelelahan yang mulia (*nashb*). Tafsir utama mengenai *Fanṣab* mencakup:
Penyatuan makna *Faraġta* dan *Fanṣab* mengajarkan kita bahwa kehidupan adalah serangkaian upaya yang berkelanjutan. Hidup bukan tentang mencapai garis akhir dan bersantai, tetapi tentang menciptakan garis permulaan yang baru segera setelah mencapai yang sebelumnya. Ini adalah filosofi usaha tiada henti.
Ayat ini berfungsi sebagai piagam kerja dalam Islam. Ia menolak konsep hedonisme setelah pencapaian dan menggantinya dengan konsep 'istirahatkan diri dengan bekerja yang lain'. Dalam terminologi modern, ini adalah prinsip 'continuous improvement' (perbaikan berkelanjutan) dan manajemen waktu yang proaktif.
Prinsip utama dari *Fa iżā faraġta fanṣab* adalah meniadakan 'waktu kosong' yang diisi oleh kelalaian atau kemalasan. Bagi seorang Muslim, waktu adalah aset berharga yang harus diinvestasikan. Ketika sebuah proyek pekerjaan (duniawi) selesai, kita tidak boleh berlarut-larut dalam perayaan, melainkan segera mengalihkan energi dan fokus pada tugas berikutnya, yang idealnya bersifat spiritual atau bermanfaat bagi umat.
Jika kita menganalogikannya dengan kehidupan Rasulullah SAW, setelah beliau sukses dalam Fathu Makkah (penaklukan Mekkah), beliau tidak beristirahat. Sebaliknya, intensitas ibadah dan dakwah beliau semakin meningkat. Kemenangan duniawi hanya menjadi pembuka bagi tugas-tugas spiritual yang lebih besar. Ini adalah praktik nyata dari ayat ketujuh.
Penerapan ayat ini dalam kehidupan profesional modern sangat relevan. Setelah menyelesaikan presentasi besar, seorang mukmin akan segera memulai persiapan untuk proyek berikutnya. Setelah mencapai target penjualan, ia akan merencanakan strategi untuk target yang lebih ambisius. Transisi ini mencegah stagnasi dan menjaga momentum produktivitas selalu berada pada level tertinggi.
Kata *Fanṣab* secara eksplisit menyiratkan kelelahan. Namun, kelelahan yang dimaksud di sini bukanlah kelelahan yang menghasilkan keputusasaan, melainkan kelelahan yang terjadi akibat dedikasi total pada jalan Allah. Kelelahan yang diberkahi ini memiliki nilai ibadah yang sangat tinggi. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang berkelanjutan, meskipun sedikit." Ayat 7 memastikan bahwa amalan itu terus berkelanjutan, bahkan ketika satu bentuk amalan sudah selesai.
Kelelahan dalam beribadah atau bekerja keras untuk menafkahi keluarga, selama diniatkan karena Allah, mengubah perjuangan fisik menjadi pahala spiritual yang berlimpah. Ayat ini menantang umat Islam untuk merangkul ketidaknyamanan dari usaha keras, karena di balik kesulitan itu—sebagaimana dijanjikan di ayat sebelumnya—pasti ada kemudahan.
Salah satu pelajaran terbesar dari ayat ini adalah tentang manajemen transisi. Dalam hidup, kita sering terperangkap dalam momen "selesai" yang terlalu lama, yang berujung pada prokrastinasi atau kehilangan arah. Ayat 7 adalah panduan manajemen waktu yang ilahiah: jangan biarkan ada jeda yang merugikan. Pengalihan energi harus bersifat instan dan terencana.
Ketika seseorang telah menyelesaikan tugasnya di kantor (urusan dunia), ia harus segera mengalihkan fokus pada tugas spiritualnya di rumah, seperti mengajar anak-anak mengaji, membaca Al-Qur'an, atau mendirikan shalat malam. Perpindahan yang cepat ini adalah mekanisme pertahanan diri dari godaan setan dan bisikan hawa nafsu yang selalu memanfaatkan waktu luang yang tidak terisi.
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib, memberikan penekanan bahwa perintah *Fanṣab* adalah perintah untuk terus menerus berjuang (jihad). Jika seseorang selesai dari tugas dakwah di satu tempat, ia harus segera memulai dakwah di tempat lain. Jika ia selesai dari urusan masyarakat, ia harus segera berurusan dengan urusan pribadinya dengan Allah. Ini menunjukkan fleksibilitas interpretasi: *Faraġta* dapat berarti segala jenis penyelesaian tugas, dan *Fanṣab* dapat berarti segala jenis upaya sungguh-sungguh.
Sementara itu, sebagian mufassir menekankan bahwa ini adalah perintah khusus kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah selesai menyampaikan risalah, beliau diperintahkan untuk berdiri (fanṣab) dalam doa, khususnya Qiyamul Lail. Namun, kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa perintah yang ditujukan kepada Nabi SAW, jika tidak ada dalil yang mengkhususkannya, berlaku juga untuk seluruh umatnya. Oleh karena itu, perintah untuk berjuang tiada henti ini bersifat universal bagi setiap mukmin.
QS Al-Insyirah ayat 7 memberikan perspektif unik tentang ibadah. Ia mengajarkan bahwa selesainya satu ibadah bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju ibadah berikutnya. Siklus ini menciptakan kehidupan spiritual yang dinamis dan intens.
Bagi banyak ulama, interpretasi yang paling dekat adalah transisi ibadah. Contoh paling nyata adalah setelah salam dari shalat wajib. Begitu seorang Muslim mengucapkan salam, ia tidak dianjurkan segera bangkit. Sebaliknya, ia diperintahkan untuk segera *fanṣab* (bersungguh-sungguh) dalam zikir, doa, dan shalat sunnah rawatib atau dhuha, jika waktunya memungkinkan. Ini adalah penerapan harian dari ayat 7. Kelelahan (nashb) dalam zikir dan doa setelah shalat fardhu adalah bentuk ibadah yang sangat dicintai.
Pada konteks yang lebih luas, setelah selesai puasa Ramadhan, seorang Muslim diperintahkan untuk segera memulai puasa sunnah Syawal atau Senin-Kamis. Setelah selesai menunaikan haji, ia harus kembali ke kehidupan normalnya dengan semangat ketaatan yang lebih tinggi dan melanjutkan upaya ketaatan lainnya. Ayat ini secara tegas menolak konsep "liburan spiritual" setelah menyelesaikan rukun Islam.
Kualitas *Fanṣab* sangat bergantung pada keikhlasan. Mengapa Allah memerintahkan kita untuk segera beralih? Karena ini menguji keikhlasan niat. Jika seseorang hanya bersemangat dalam satu jenis ibadah (misalnya shalat di masjid) dan malas pada ibadah lainnya (misalnya membantu orang tua), maka kualitas spiritualnya diragukan. Ayat 7 memastikan bahwa energi spiritual kita selalu terdistribusi secara merata dalam berbagai amal saleh.
Perpindahan yang cepat juga melindungi hati dari rasa 'ujub (bangga diri) atau merasa telah cukup beramal. Begitu kita selesai melakukan amal baik dan mungkin merasakan kepuasan, perintah *Fanṣab* segera mengingatkan kita bahwa perjuangan belum selesai, menjaga kerendahan hati dan kesadaran akan kekurangan amal kita.
Salah satu makna terpenting dari *Fanṣab* adalah 'menegakkan diri' dalam doa dan munajat kepada Allah SWT. Jika Rasulullah SAW telah selesai dari urusan dakwah atau peperangan, beliau segera mendirikan shalat malam yang sangat panjang, hingga kaki beliau bengkak. Itulah puncak dari *nashb*. Meskipun tubuh lelah, hati dan jiwa justru mendapatkan energi melalui komunikasi intensif dengan Sang Pencipta. Doa yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan kelelahan (usaha keras mencari kekhusyuan) adalah inti dari penghambaan sejati.
Ayat ini menawarkan kerangka kerja yang solid untuk meraih kesuksesan di dunia tanpa mengorbankan akhirat. Ia adalah panduan bagi setiap Muslim yang ingin menjalani hidup dengan penuh makna dan produktivitas tinggi.
Bagi pelajar atau peneliti, *Faraġta* berarti selesai menyelesaikan satu bab, satu ujian, atau satu fase penelitian. *Fanṣab* berarti segera beralih untuk membaca sumber baru, menulis draf berikutnya, atau memulai proyek baru. Etos ini menolak konsep penundaan dan memastikan bahwa proses pembelajaran adalah siklus yang tak pernah putus. Bahkan ketika telah meraih gelar tertinggi (faraġta), upaya mencari ilmu (fanṣab) harus terus berlanjut hingga akhir hayat.
Dalam konteks intelektual, setelah selesai berdiskusi atau berdebat mengenai suatu isu (faraġta), seorang Muslim dianjurkan untuk segera mencari ilmu yang lain, atau beralih dari ilmu dunia (fisika, ekonomi) untuk mendalami ilmu agama (fiqh, hadis), memastikan keseimbangan spiritual dan intelektual selalu terjaga.
Seorang pemimpin yang menerapkan ayat 7, ketika selesai menyelesaikan satu krisis atau berhasil meluncurkan satu program, ia tidak akan berpuas diri. Ia segera beralih kepada krisis atau program berikutnya dengan semangat yang sama. Ayat ini menjadi peringatan agar para pemimpin tidak terbuai oleh pencapaian masa lalu, melainkan terus berjuang demi kepentingan umat yang lebih luas.
Kelelahan yang timbul dari pelayanan kepada masyarakat adalah *nashb* yang mulia. Ia mengajarkan bahwa tanggung jawab sosial (fardhu kifayah) adalah tugas berkelanjutan yang tidak mengenal akhir selama kita masih memiliki kemampuan untuk membantu orang lain.
Dalam pengembangan diri, ayat 7 adalah kunci pertumbuhan mental. Setelah seseorang berhasil mengalahkan satu kebiasaan buruk (faraġta), ia harus segera berjuang (fanṣab) untuk menanamkan kebiasaan baik yang baru. Misalnya, setelah berhasil berhenti merokok, ia harus segera mengisi waktu luang tersebut dengan olahraga atau membaca Al-Qur'an. Ruang kosong yang diciptakan oleh penyelesaian masalah harus diisi oleh solusi aktif dan konstruktif.
Ini adalah resep psikologis untuk mencegah kambuhnya kebiasaan buruk. Psikologi modern juga mengakui bahwa cara terbaik untuk menghilangkan kebiasaan lama adalah dengan segera menggantinya dengan kebiasaan baru, yang sejalan sempurna dengan perintah ilahiah *Fa iżā faraġta fanṣab*.
Prinsip yang terkandung dalam ayat 7 sangat erat kaitannya dengan konsep mendasar dalam Islam, yaitu istiqamah (keteguhan atau konsistensi). Istiqamah bukanlah sekadar melakukan kebaikan, tetapi melakukan kebaikan itu secara terus menerus, tanpa terputus, dan tanpa memandang kecil atau besar amal tersebut. Ayat ini memberikan metodologi untuk mencapai istiqamah.
Salah satu musuh terbesar istiqamah adalah kejenuhan atau kebosanan yang muncul setelah satu tugas selesai. Ayat 7 berfungsi sebagai pemutus siklus kebosanan tersebut. Dengan segera beralih ke tugas lain, kita menjaga momentum psikologis dan spiritual. Energi yang tadinya terfokus pada Tugas A, segera dialihkan dan difokuskan pada Tugas B, memastikan api semangat ibadah dan kerja tidak pernah padam.
Ayat ini adalah salah satu perintah terkuat untuk menghargai waktu. Waktu dalam pandangan Islam adalah pedang; jika tidak digunakan untuk memotong, ia akan memotongmu. Tidak ada waktu yang boleh disia-siakan. Konsep waktu yang berkesinambungan ini diperkuat oleh ayat-ayat lain, seperti Surah Al-'Asr (Demi masa/waktu), yang menegaskan kerugian bagi mereka yang tidak mengisi waktu dengan iman dan amal saleh.
Jika kita meninjau seluruh Surah Al-Insyirah, Allah menjanjikan kelapangan (*yusra*), tetapi kelapangan itu harus dibayar dengan tindakan (ayat 7) dan diarahkan kepada Allah (ayat 8). Kelapangan yang diberikan bukan untuk bersenang-senang, tetapi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengabdian. Ini adalah pemahaman yang sangat mendalam tentang janji ilahiah.
Kekosongan atau waktu luang yang tidak terisi (*furogh* atau *faragh*) adalah pintu masuk bagi maksiat dan kelalaian. Ketika seseorang telah selesai dari urusan penting, dan tidak segera *fanṣab* (bersungguh-sungguh) dalam urusan lain, jiwanya akan menjadi sasaran empuk bagi nafsu dan setan. Ayat 7 adalah mekanisme pencegahan spiritual. Ia memastikan bahwa energi yang tersisa dialokasikan untuk hal-hal yang meninggikan derajat di sisi Allah, menutup rapat celah-celah kekosongan tersebut.
Bahkan dalam konteks modern, psikolog klinis menekankan pentingnya memiliki tujuan berkelanjutan untuk menjaga kesehatan mental. Individu yang berhenti berjuang setelah mencapai satu target sering kali mengalami depresi atau kehilangan arah. Ayat 7 telah mengajarkan prinsip ini selama berabad-abad: tujuan harus selalu diperbarui, dan perjuangan harus terus berlangsung.
Mari kita gali lebih dalam konsep *nashb* (kelelahan atau upaya keras) yang diperintahkan. Kelelahan yang dicari dalam ayat ini adalah kelelahan yang berbeda dari kelelahan biasa yang berujung pada keengganan. Ini adalah kelelahan yang lahir dari kepuasan spiritual karena telah memberikan yang terbaik untuk Allah SWT.
Contoh klasik dari *nashb* fisik dalam ketaatan adalah Qiyamul Lail (Shalat Malam). Shalat malam yang panjang, terutama setelah seharian penuh berjuang mencari nafkah atau berdakwah, menghasilkan kelelahan fisik. Namun, kelelahan ini menghasilkan ketenangan batin yang tiada tara. Kaki yang bengkak karena berdiri lama di hadapan Allah adalah tanda cinta dan dedikasi, bukan penderitaan yang sia-sia.
Dalam konteks mencari ilmu, *nashb* fisik dapat berupa perjalanan jauh untuk bertemu seorang guru atau menghabiskan malam-malam untuk menelaah kitab. Kelelahan fisik ini adalah investasi yang kembali dalam bentuk hikmah dan keberkahan.
Upaya keras (fanṣab) juga mencakup dimensi mental. Setelah selesai membaca satu juz Al-Qur'an (faraġta), kita diperintahkan untuk *fanṣab* dalam mentadabburi dan merenungkan maknanya. Upaya mental untuk memahami Kalamullah, untuk menghubungkannya dengan realitas kehidupan, dan untuk mencari aplikasi praktisnya, adalah bentuk *nashb* yang sangat tinggi nilainya. Pikiran yang lelah karena memikirkan kebesaran Allah dan cara terbaik mengamalkan ajaran-Nya adalah pikiran yang diberkahi.
Dalam dunia kerja, ini berarti tidak hanya menyelesaikan tugas secara mekanis, tetapi juga secara aktif mencari inovasi, solusi etis, dan cara untuk memberikan nilai tambah (ihsan) pada pekerjaan, meskipun itu memerlukan upaya mental yang jauh lebih melelahkan.
*Fanṣab* juga dapat merujuk pada perjuangan melawan hawa nafsu dan kesabaran menghadapi ujian. Setelah selesai dari satu ujian berat (faraġta), misalnya, menahan amarah dalam suatu konflik, seorang Muslim harus segera *fanṣab* dalam mempertahankan kesabaran dan keikhlasan dalam menghadapi ujian berikutnya. Perjuangan emosional untuk menjaga hati tetap bersih, lisan tetap jujur, dan perilaku tetap Islami di tengah badai kehidupan adalah bentuk *nashb* yang paling melelahkan, namun paling bernilai di sisi Allah.
Ayat 7 mengajarkan bahwa istirahat sejati bukanlah ketika kita berhenti bekerja, melainkan ketika kita menemukan ketenangan dalam kelelahan yang ditujukan untuk keridhaan Allah. Istirahat sejati adalah ketika kita meninggalkan urusan duniawi yang melelahkan menuju ibadah yang menyegarkan jiwa. Kelelahan adalah konsekuensi alami dari hidup yang bermakna dan bertujuan.
Tidaklah lengkap membahas QS Al-Insyirah ayat 7 tanpa melihat ayat penutupnya, ayat 8: "Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (QS Al-Insyirah: 8)
Dua ayat terakhir Surah Al-Insyirah (ayat 7 dan 8) membentuk pasangan sempurna yang mendefinisikan kehidupan seorang mukmin:
Jika kita bekerja keras (fanṣab) tetapi tidak mengarahkan harapan kita kepada Allah (farġab), usaha kita akan menjadi sia-sia dan berakhir pada kelelahan duniawi yang hampa. Sebaliknya, jika kita hanya berharap (farġab) tanpa berusaha keras (fanṣab), kita melanggar sunnatullah tentang sebab akibat.
QS Al-Insyirah ayat 7 dan 8 memberikan keseimbangan yang sempurna antara usaha dan penyerahan. Kelapangan batin yang dijanjikan Allah di awal surah adalah hasil dari ketaatan terhadap perintah berjuang terus-menerus (fanṣab) yang didasari oleh harapan tulus hanya kepada-Nya (farġab).
Oleh karena itu, setiap kali seorang Muslim merasa lelah, merasa telah mencapai batasnya, atau merasa telah menyelesaikan semua tugasnya, ia diingatkan oleh ayat ini: *Fa iżā faraġta fanṣab*. Selesai dari satu hal, tegakkan dirimu untuk yang lain. Jangan biarkan hidupmu berhenti. Jadikan setiap penyelesaian sebagai energi baru untuk perjuangan selanjutnya. Karena kehidupan adalah medan jihad yang tak berkesudahan, dan kemenangan sejati terletak pada konsistensi upaya kita menuju keridhaan Ilahi.
Makna mendalam dari ayat ini harus menjadi motto hidup setiap Muslim: seorang mukmin adalah pribadi yang selalu dalam keadaan transisi aktif, bergerak dari satu ketaatan ke ketaatan yang lain, dari satu perjuangan ke perjuangan yang lain, hingga ia bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan sedang beramal saleh.
Prinsip ini, yang terangkum dalam delapan kata Arab yang ringkas, telah menjadi sumber motivasi abadi, mendorong umat Islam di sepanjang sejarah untuk menjadi pelopor dalam ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan peradaban. Ia adalah resep universal untuk menaklukkan rasa malas dan meraih puncak keberhasilan sejati, baik di dunia fana ini maupun di kehidupan abadi kelak.
Selanjutnya, pengkajian terhadap ayat ini tidak hanya berhenti pada pemahaman tekstual, melainkan harus diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan, menjadikannya sebuah manifesto yang hidup dan bernyawa. Perintah Allah ini adalah anugerah terbesar, sebuah instruksi yang mengubah potensi kelapangan menjadi aksi nyata. Selesai sudah pembahasan ini, maka tugas kita kini adalah mengamalkannya dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap detail dari kehidupan harus terstruktur di sekitar siklus *faraġta* dan *fanṣab*. Ketika kita selesai membersihkan rumah (faraġta), kita beralih untuk membersihkan hati melalui dzikir (fanṣab). Ketika kita selesai makan (faraġta), kita beralih untuk mengucap syukur dan memulai urusan mencari nafkah lagi (fanṣab). Inilah ritme ilahiah yang memastikan tidak ada waktu yang terbuang percuma, menegakkan prinsip tauhid dalam setiap gerakan hidup. Ini adalah janji untuk hidup yang berkelanjutan, produktif, dan selalu terarah kepada tujuan tertinggi.