Surah Al Lail, yang berarti "Malam," merupakan salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad, di mana fokus utama risalah adalah penegasan akidah, hari pembalasan, dan perbandingan tajam antara karakter orang mukmin dan orang kafir. Surah pendek yang hanya terdiri dari 21 ayat ini memiliki kekuatan retorika yang luar biasa, membagi kehidupan manusia menjadi dua jalur yang jelas dan tidak terhindarkan: jalan kemudahan (kebaikan) dan jalan kesulitan (keburukan).
Kajian mendalam Surah Al Lail ini bukan hanya sekadar penerjemahan, tetapi eksplorasi terhadap janji dan ancaman Ilahi, analisis linguistik, serta relevansi spiritualnya dalam konteks kontemporer. Surah ini memberikan peta jalan moral, menekankan bahwa usaha manusia (sa’yu) di dunia ini pasti berbeda-beda hasilnya, dan hasil tersebut ditentukan oleh pilihan etis dan spiritual yang diambilnya.
Al Lail turun di tengah masyarakat Mekkah yang didominasi oleh sistem nilai materialistik dan kebanggaan akan harta. Konteks historis menunjukkan adanya perseteruan moral antara tokoh-tokoh yang dermawan dan tokoh-tokoh yang kikir. Meskipun riwayat asbabun nuzul sering merujuk pada kasus spesifik, esensi surah ini bersifat universal, menetapkan prinsip-prinsip etika sosial yang abadi.
Mayoritas ulama tafsir, termasuk Ibnu Katsir, menyebutkan bahwa sebagian ayat-ayat awal surah ini diturunkan untuk memuji keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq, khususnya dalam konteks pembebasan budak-budak Muslim yang lemah (seperti Bilal bin Rabah), di mana ia membebaskan mereka semata-mata karena mencari keridhaan Allah, bukan balasan duniawi. Kontrasnya, surah ini juga menyindir tokoh-tokoh kaya Quraisy yang kikir dan hanya memberi untuk pamer atau mencari pujian.
Inti dari surah ini dapat diringkas dalam tiga poros utama:
وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ (1) وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ (2) وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰٓ (3) إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰٓ (4)
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), 2. dan siang apabila terang benderang, 3. dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan, 4. sesungguhnya usaha kamu memang beraneka macam.
Allah Swt. memulai surah ini dengan tiga sumpah agung, yang masing-masing melambangkan dualitas, kontras, dan pasangan yang menjadi dasar eksistensi alam semesta. Penggunaan sumpah (qasam) dalam Al-Qur'an bertujuan untuk menarik perhatian pendengar pada sesuatu yang sangat penting dan tak terbantahkan kebenarannya.
Sumpah pertama adalah dengan malam (Al Lail) ketika ia menutupi (yaghsha) dan siang (An Nahar) ketika ia menampakkan diri (tajalla). Malam adalah simbol ketenangan, misteri, dan penutupan, sering kali disamakan dengan kesulitan, ujian, atau bahkan kejahilan. Siang adalah simbol kejelasan, aktivitas, dan petunjuk. Kontras antara keduanya bukan sekadar fenomena alam, tetapi cerminan dari kondisi spiritual manusia: gelapnya dosa versus terangnya ketakwaan.
Analisis Linguistik Yaghsha: Kata ini berasal dari akar kata yang berarti menutupi, menyelimuti, atau menindih. Dalam konteks malam, ia menutupi bumi dengan kegelapan. Namun, secara filosofis, kegelapan malam bisa melambangkan penutupan yang terjadi di hati manusia akibat dosa dan kemaksiatan. Sumpah ini menegaskan bahwa sebagaimana kegelapan dan cahaya tidak bisa bersatu, demikian pula kebenaran dan kebatilan.
Sumpah ketiga, “dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan” (Wa mā khalaqa al-żakara wa al-unṡā), menegaskan kembali prinsip dualitas dalam kehidupan sosial dan biologis. Penciptaan berpasang-pasangan adalah hukum alam semesta, menandakan keseimbangan dan ketergantungan. Dalam konteks moral surah ini, penciptaan berpasangan ini menjadi dasar bagi perbedaan peran, tanggung jawab, dan akhirnya, perbedaan hasil dari upaya mereka (ayat 4).
Beberapa mufasir menafsirkan "Wa mā khalaqa" sebagai sumpah kepada Dzat yang menciptakan (yaitu Allah sendiri), merujuk pada kekuatan Pencipta yang mampu membuat perbedaan mendasar antara kedua jenis kelamin, dan yang lebih penting, mampu menciptakan perbedaan hasil akhir bagi manusia.
Jawaban (jawab al-qasam) dari ketiga sumpah kosmik dan penciptaan tersebut terdapat pada ayat 4: “Inna sa‘yakum lashattā” (Sesungguhnya usaha kamu memang beraneka macam). Ini adalah titik klimaks dari bagian awal surah.
Analisis Linguistik Sa‘yakum dan Lashattā:
Ayat ini adalah deklarasi fundamental: meskipun semua manusia diciptakan berpasangan dan menjalani siklus waktu yang sama, tujuan dan hasil akhir dari perjuangan hidup mereka akan terpisah jauh. Seseorang berjuang menuju Surga, sementara yang lain berjuang menuju Neraka. Ini adalah penegasan akan konsep keadilan Ilahi dan kebebasan memilih (free will).
Perluasan Tafsir: Mengapa Allah bersumpah dengan dualitas untuk menegaskan perbedaan upaya? Karena dualitas (malam/siang, pria/wanita) adalah bukti nyata di hadapan mata. Sebagaimana ada dua sisi kehidupan yang kontras, demikian pula ada dua jenis tindakan moral yang kontras, yang berujung pada dua takdir yang kontras.
Setelah menetapkan bahwa upaya manusia terbagi, surah ini kemudian menjelaskan bagaimana pembagian itu terjadi, yaitu melalui tiga kriteria utama: memberi, bertakwa, dan membenarkan kebaikan.
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ (5) وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (6) فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ (7)
5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik (Al-Husnā), 7. maka Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (Al-Yusra).
Ayat 5, 6, dan 7 menjelaskan profil orang yang sukses dan jalan yang akan mereka tempuh. Mereka dicirikan oleh kombinasi tindakan (memberi), kondisi hati (bertakwa), dan keyakinan (membenarkan balasan terbaik).
Memberi (a’ṭā) di sini tidak terbatas pada sedekah uang. Ia mencakup semua bentuk pengorbanan dan kedermawanan, baik materi (harta), non-materi (waktu, tenaga, ilmu), maupun emosional (kebaikan, pengampunan). Pemberian ini dilakukan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balasan manusia, melainkan mencari keridhaan Allah.
Kedermawanan sebagai Ibadah: Kedermawanan adalah barometer utama keimanan. Orang yang beriman sejati menyadari bahwa harta hanya titipan dan rela melepaskannya demi tujuan yang lebih tinggi, yaitu ketakwaan. Kontras dengan masyarakat Mekkah saat itu yang mencintai harta secara buta, ayat ini menjadikan pengorbanan harta sebagai syarat utama kemudahan.
Ketakwaan (ittaqā) adalah pondasi spiritual. Ia berarti menjaga diri dari siksa Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Takwa memastikan bahwa pemberian yang dilakukan tidak tercemari oleh riya' (pamer) atau kesombongan.
Hubungan Memberi dan Takwa: Pemberian yang didasari takwa adalah pemberian yang berkualitas. Ini adalah pemberian yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, diberikan kepada yang berhak, dan diiringi dengan niat murni. Keduanya saling menguatkan; ketakwaan mendorong kedermawanan, dan kedermawanan membuktikan ketakwaan.
Al-Husnā (balasan terbaik) ditafsirkan oleh para ulama sebagai: 1) Surga, 2) Kalimat tauhid (La ilaha illallah), atau 3) Janji Allah tentang pahala yang besar. Membenarkan Al-Husnā berarti memiliki keyakinan kokoh terhadap Hari Akhir dan sistem pahala-siksa Ilahi. Tanpa keyakinan ini, kedermawanan hanyalah tindakan sosial tanpa bobot spiritual.
Bagi mereka yang memenuhi tiga kriteria di atas, Allah menjanjikan, “Fasanuyassiruhu lil-yusrā” (Maka Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan). Kemudahan (Al-Yusrā) ini mencakup:
Ini adalah prinsip kausalitas spiritual: amal saleh yang tulus (memberi dan takwa) adalah penyebab langsung dari kemudahan yang diberikan oleh Allah. Orang tersebut dimotivasi oleh harapan, sehingga jalannya di dunia terasa ringan, walaupun mungkin ia harus berjuang secara fisik.
وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ (8) وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ (9) فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ (10)
8. Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak membutuhkan petunjuk), 9. serta mendustakan balasan yang terbaik (Al-Husnā), 10. maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesulitan (Al-'Usrā).
Ayat 8, 9, dan 10 menggambarkan kebalikan total dari golongan pertama, dan nasib mereka adalah jalan kesulitan.
Kekikiran (bakhila) adalah keengganan untuk mengeluarkan harta atau tenaga di jalan Allah. Kikir adalah penyakit hati yang paling akut, menutup diri dari kasih sayang terhadap sesama. Kekikiran bertentangan dengan fitrah kedermawanan yang seharusnya dimiliki oleh manusia yang beriman.
Istagnā berarti merasa kaya dan tidak membutuhkan apa-apa, termasuk petunjuk, nasihat, atau pertolongan Allah. Ini adalah puncak kesombongan spiritual. Orang yang istagnā merasa bahwa kekayaan dan kesuksesannya adalah hasil murni dari usahanya sendiri, sehingga ia tidak melihat adanya kebutuhan untuk bersyukur atau bertakwa. Ia merasa ‘cukup’ tanpa iman dan tanpa kebaikan.
Mendustakan Al-Husnā (balasan terbaik) berarti menolak kebenaran Hari Pembalasan. Bagi mereka, tidak ada kehidupan setelah mati, sehingga tidak ada alasan logis untuk berkorban atau bersedekah. Kenikmatan duniawi adalah satu-satunya tujuan, yang menjadikan kekikiran sebagai pilihan yang rasional bagi mereka.
Bagi mereka yang memenuhi tiga kriteria ini, Allah menjanjikan, “Fasanuyassiruhu lil-‘usrā” (Maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesulitan). Ini adalah paradoks yang mengerikan.
Makna ‘Memudahkan Jalan Kesulitan’: Ini bukan berarti Allah secara aktif menciptakan kesulitan bagi mereka yang ingin berbuat baik, melainkan Allah membiarkan mereka dalam kesesatan pilihan mereka sendiri. Kesulitan yang dimaksud adalah:
Kesulitan ini adalah hasil dari keangkuhan dan penolakan terhadap petunjuk. Manusia bebas memilih, tetapi hasil akhirnya telah ditetapkan oleh Sang Pencipta sesuai dengan pilihan tersebut.
Setelah membagi manusia menjadi dua kelompok, surah ini beralih ke penegasan akidah: kekayaan duniawi tidak dapat menyelamatkan seseorang, dan petunjuk sejati berasal dari Allah.
وَمَا يُغۡنِي عَنۡهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ (11) إِنَّ عَلَيۡنَا لَلۡهُدَىٰ (12)
11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh (ke dalam Neraka). 12. Sesungguhnya kewajiban Kami hanyalah memberi petunjuk.
Ayat 11 secara spesifik menyindir orang-orang kikir dan sombong (seperti yang digambarkan di Ayat 8-10). Pada hari ia ‘telah jatuh’ (taraddā) – yakni mati atau dilemparkan ke dalam api Neraka – harta yang ia kumpulkan dengan susah payah dan kekikiran tidak akan dapat memberinya perlindungan sedikit pun.
Ayat 12 adalah pernyataan teologis yang krusial: “Inna ‘alainā lal-hudā”. Allah menegaskan bahwa Dia telah menurunkan petunjuk yang jelas (Al-Qur'an dan Sunnah). Kewajiban Allah adalah menunjukkan jalan yang benar, sedangkan kewajiban manusia adalah memilih dan mengikuti jalan itu. Ini menolak anggapan fatalisme buta dan menegaskan kembali pertanggungjawaban individu.
وَإِنَّ لَنَا لَلۡأٓخِرَةَ وَٱلۡأُولَىٰ (13) فَأَنذَرۡتُكُمۡ نَارٗا تَلَظَّىٰ (14) لَا يَصۡلَىٰهَآ إِلَّا ٱلۡأَشۡقَى (15) ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (16)
13. Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. 14. Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Laẓā). 15. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (Al-Ashqā), 16. yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).
Allah menegaskan otoritas-Nya atas seluruh dimensi waktu dan ruang: dunia (al-ūlā) dan akhirat (al-ākhirah). Kepemilikan mutlak ini memvalidasi hak Allah untuk memberi pahala dan siksa. Karena Dia yang menguasai keduanya, maka janji dan ancaman-Nya pasti terjadi.
Laẓā adalah salah satu nama Neraka, yang secara harfiah berarti api yang sangat panas dan menyala-nyala. Peringatan ini ditujukan kepada semua manusia, terutama mereka yang memilih jalan kesulitan.
Neraka Laẓā tidak dimasuki oleh sembarang orang, melainkan hanya oleh Al-Ashqā (orang yang paling celaka atau paling sengsara). Kata al-ashqā adalah bentuk superlatif, menunjukkan tingkat keburukan moral yang paling parah. Ayat 16 mendefinisikan Al-Ashqā dengan dua tindakan:
Kontrasnya sangat tajam: Al-Ashqā (paling celaka) adalah kebalikan dari Al-Atqā (paling bertakwa) yang akan dibahas di bagian berikutnya. Seseorang menjadi Al-Ashqā bukan karena takdir buta, tetapi karena pilihan aktifnya untuk mendustakan dan berpaling, yang merupakan ciri khas golongan kikir dan sombong (Ayat 8-10).
Bagian penutup surah ini kembali ke golongan pertama, menekankan pada karakter dan pahala bagi mereka yang paling bertakwa (Al-Atqā).
وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى (17) ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ (18)
17. Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa (Al-Atqā), 18. yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya (tazakkā).
Ayat 17 menggunakan bentuk superlatif lainnya: Al-Atqā (orang yang paling bertakwa). Ini adalah lawan sempurna dari Al-Ashqā. Orang yang paling bertakwa ini akan dijauhkan (sayujanabu-hā) dari api Neraka Laẓā.
Ayat 18 menjelaskan siapa Al-Atqā tersebut: yaitu orang yang mengeluarkan hartanya (yū’tī mālahū) dengan tujuan yatazakkā (mensucikan dirinya). Kata tazakkā berarti mencari kesucian atau pertumbuhan spiritual. Ini menunjukkan bahwa nafkah yang diberikan oleh Al-Atqā bukan sekadar transfer materi, tetapi sebuah proses penyucian batin dari sifat kikir dan riya'.
Para ulama tafsir hampir sepakat bahwa Al-Atqā yang dimaksud, dalam konteks asbabun nuzul, adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang terkenal membebaskan budak-budak dengan hartanya tanpa pamrih. Namun, maknanya tetap berlaku umum bagi setiap individu yang mencapai derajat takwa tertinggi.
وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٍ تُجۡزَىٰٓ (19) إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ (20) وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ (21)
19. Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, 20. tetapi (ia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. 21. Dan kelak dia benar-benar akan puas.
Ayat 19 adalah penegasan luar biasa tentang keikhlasan. Kedermawanan Al-Atqā tidak didorong oleh utang budi (ni’matun tujzā) kepada orang yang diberi. Artinya, ia tidak memberi kepada seseorang karena ia pernah menerima sesuatu dari orang itu di masa lalu, yang mengharuskannya untuk membalas budi. Ini adalah kedermawanan murni tanpa ikatan sosial atau pamrih.
Tujuan tunggal dari semua pengorbanan Al-Atqā adalah Ibtighā’a wajhi Rabbihil A‘lā (mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi). "Wajah Allah" adalah metafora untuk Dzat, ridha, dan kerunia-Nya. Ini adalah definisi puncak dari keikhlasan (ikhlas), di mana hati sepenuhnya terlepas dari pujian manusia dan fokus pada Pencipta.
Ayat penutup adalah janji yang menenangkan: Wa lasawfa yarḍā (Dan kelak dia benar-benar akan puas). Kepuasan ini bersifat mutlak, mencakup kepuasan di dunia (ketenangan batin) dan di akhirat (kenikmatan Surga dan melihat Wajah Allah). Kepuasan yang dijanjikan ini jauh melampaui segala harta atau pujian yang ditolak oleh Al-Atqā di dunia.
Surah Al Lail adalah mahakarya retorika yang menggunakan kontras binari (pasangan berlawanan) untuk menanamkan nilai-nilai moral. Kontras ini adalah kunci untuk memahami pesan surah secara keseluruhan.
| Golongan Al-Atqā (Paling Bertakwa) | Golongan Al-Ashqā (Paling Celaka) |
|---|---|
| Memberi (A’ṭā) dan Bertakwa (Ittaqā) | Kikir (Bakhila) dan Merasa Cukup (Istagnā) |
| Membenarkan Al-Husnā (Hari Kiamat/Surga) | Mendustakan Al-Husnā |
| Tujuan: Mencari Wajah Allah (Ikhlas) | Tujuan: Mencari Kekayaan Duniawi |
| Hasil: Dimudahkan ke Al-Yusrā (Kemudahan) | Hasil: Dimudahkan ke Al-‘Usrā (Kesulitan) |
| Akhir: Kepuasan Abadi (Yarḍā) | Akhir: Terjatuh ke Neraka Laẓā |
QS Al Lail mengajarkan bahwa kedermawanan adalah alat utama untuk At-Taẓkiyah (penyucian jiwa). Ketika seseorang memberi, ia sebenarnya melepaskan kecintaan berlebihan pada dunia. Harta, yang sering menjadi sumber kesombongan dan kekikiran, diubah menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang memberi untuk tazakkā (membersihkan diri) mengerti bahwa kotoran batin (kikir, iri, riya') lebih berbahaya daripada kemiskinan materi.
Konsep ini sangat bertentangan dengan filosofi kapitalis murni yang menganggap kekayaan adalah tujuan akhir. Dalam pandangan Al Lail, kekayaan adalah sarana yang harus diinvestasikan dalam kebahagiaan abadi. Jika harta tidak digunakan untuk penyucian jiwa, ia akan menjadi beban yang menyeret pemiliknya ke dalam kesulitan (Al-‘Usrā).
Ayat 19 dan 20 adalah inti dari teologi ikhlas. Pemberian yang bernilai adalah yang dilakukan tanpa mengharapkan balasan apa pun dari penerima (mā li’aḥadin ‘indahū min ni‘matin tujzā). Ini membedakan sedekah Islam dari praktik barter sosial atau politik. Keikhlasan adalah energi pendorong yang mengubah tindakan materi menjadi ibadah transenden. Tanpa niat mencari Wajhi Rabbihil A‘lā, pemberian hanya menjadi formalitas duniawi.
Konsep Al-Yusrā (Kemudahan) dan Al-‘Usrā (Kesulitan) di Ayat 7 dan 10 layak dikaji lebih dalam. Keduanya bukan sekadar hasil di Hari Akhir, melainkan kondisi yang dialami sejak di dunia.
Bagi orang yang bertakwa dan dermawan, Allah memudahkan urusan agama. Ini diwujudkan dalam beberapa cara:
Kemudahan ini adalah hadiah Allah kepada jiwa yang tunduk. Allah menjanjikan bahwa Dia akan meringankan beban mereka yang meringankan beban orang lain.
Jalan kesulitan adalah hukuman batin bagi orang yang kikir, sombong, dan mendustakan kebenaran. Kesulitan ini termanifestasi sebagai:
Ayat 10 menunjukkan bahwa Allah 'memudahkan' mereka menuju kesulitan. Artinya, Allah membiarkan mereka tersesat dalam pilihan mereka sendiri. Kesesatan mereka menjadi jalan yang "mudah" karena sejalan dengan hawa nafsu, tetapi kesudahan dari jalan itu adalah kehancuran.
Meskipun Al Lail adalah surah Makkiyah yang fokus pada akidah, implikasinya sangat mendalam terhadap tatanan sosial ekonomi. Surah ini menyerang akar masalah ketidakadilan: kekikiran dan kesombongan yang didasarkan pada penolakan Hari Pembalasan.
Dalam masyarakat yang nilai-nilai materialnya berkuasa, Al Lail mengajarkan bahwa investasi spiritual (kedermawanan yang ikhlas) jauh lebih berharga daripada akumulasi harta. Surah ini secara efektif mengkritik ideologi bahwa kekayaan adalah tanda kemuliaan, dan menegaskan bahwa kemuliaan sejati terletak pada kemampuan untuk melepaskan kekayaan demi tujuan yang lebih tinggi.
Jika setiap orang yang memiliki kemampuan finansial mengamalkan Ayat 5-7, niscaya jurang kemiskinan akan teratasi. Kedermawanan dalam surah ini diposisikan sebagai jembatan yang mengatasi ketimpangan dan menghasilkan ketenangan kolektif. Orang yang memberi adalah agen penyucian sosial, tidak hanya menyucikan hartanya sendiri, tetapi juga membantu mensucikan jiwa penerima dari rasa iri dan putus asa.
Sebaliknya, kekikiran yang digambarkan dalam Ayat 8-10 adalah racun sosial. Ketika orang kaya menahan hak fakir miskin (kewajiban zakat dan sedekah), mereka menciptakan ketegangan, kebencian, dan pada akhirnya, kekacauan dalam masyarakat. Surah Al Lail menegaskan bahwa kerusakan sosial berawal dari kegagalan spiritual individu untuk memprioritaskan akhirat di atas dunia.
Untuk memahami sepenuhnya QS Al Lail, kita perlu merenungkan dua konsep spiritual utama yang menjadi penentu jalan hidup:
Takwa, sebagaimana muncul dua kali dalam surah ini, bukan hanya rasa takut, tetapi tindakan pencegahan. Ini adalah kesadaran terus-menerus akan kehadiran Allah. Dalam konteks Al Lail, takwa adalah alasan mengapa seseorang memberi dan membenarkan kebaikan. Takwa menjadi motivasi yang mentransformasi tindakan memberi dari kewajiban sosial menjadi ekspresi cinta Ilahi.
Orang yang bertakwa (Al-Atqā) telah mencapai tingkat integritas di mana tindakan eksternalnya (memberi) sepenuhnya selaras dengan keyakinan internalnya (membenarkan balasan terbaik). Ini adalah keharmonisan antara iman (keyakinan), Islam (tindakan), dan Ihsan (keikhlasan).
Penyucian diri (tazakkā) melalui nafkah adalah tujuan tertinggi dari kedermawanan. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan bahwa tazkiyah adalah proses ganda: membersihkan jiwa dari keburukan (seperti kikir, dengki, dan riya') dan memupuknya dengan kebaikan (seperti ikhlas, syukur, dan kasih sayang). Orang yang berinfak untuk tazakkā tidak melihat pada besaran harta yang keluar, melainkan pada kemurnian jiwa yang dihasilkan dari proses tersebut.
Orang yang kikir (bakhila) justru gagal melakukan tazkiyah; ia membiarkan jiwanya terkontaminasi oleh kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Oleh karena itu, ia "merasa cukup" (istagnā) karena ia percaya kebahagiaan terletak pada kepemilikan, bukan pada penyucian.
QS Al Lail, dengan ritme dan kontrasnya yang kuat, menawarkan panduan moral yang tak lekang oleh waktu. Surah ini mengajarkan bahwa hidup manusia di dunia adalah arena perjuangan (sa’yu) yang hasilnya pasti berbeda (lashattā). Perbedaan takdir di akhirat ditentukan oleh tiga pilar utama yang diambil di dunia:
Bagi mereka yang memilih jalan kedermawanan, takwa, dan keimanan, Allah menjanjikan kemudahan, yang merupakan anugerah batin dan jalan yang mulus menuju kepuasan abadi. Sebaliknya, bagi mereka yang memilih kekikiran, kesombongan, dan pendustaan, Allah membiarkan mereka menuju kesulitan, di mana harta mereka tidak akan menyelamatkan mereka dari kehinaan Neraka Laẓā.
Surah ini mengukuhkan hakikat keadilan Ilahi: Allah memberikan petunjuk yang jelas (Ayat 12), tetapi manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalannya. Pilihan tersebut, yang tampak sederhana dalam tindakan memberi atau menahan, sesungguhnya adalah penentu utama bagi nasib abadi di sisi Tuhan Yang Maha Tinggi.
Oleh karena itu, renungan atas QS Al Lail adalah ajakan untuk introspeksi mendalam: di jalur manakah usaha (sa’yu) kita saat ini berada? Apakah kita sedang dimudahkan menuju Al-Yusrā atau justru terjerumus ke dalam Al-‘Usrā?
Penting untuk mengurai lebih jauh sifat-sifat yang mengarah pada gelar *Al-Ashqā* (paling celaka) menurut QS Al Lail. Dua sifat utama yang dikritik keras adalah *al-bukhl* (kekikiran) dan *al-istighna’* (merasa cukup atau sombong).
Kekikiran bukanlah sekadar sifat pelit; dalam pandangan Islam, ia adalah penyakit yang menghalangi koneksi spiritual. Ketika seseorang mencintai hartanya melebihi cintanya kepada Allah, harta tersebut menjadi berhala. Kekikiran adalah manifestasi ketidakpercayaan terhadap janji rezeki Allah. Orang yang kikir gagal menyadari bahwa setiap pemberian adalah investasi. Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa kedermawanan adalah dekat dengan Allah, Surga, dan manusia, sementara kekikiran adalah jauh dari semuanya.
Kekikiran yang disebutkan dalam ayat 8 (*waman bakhila*) menunjukkan kegagalan dalam tiga dimensi: dimensi kepada Allah (gagal bersyukur), dimensi kepada sesama (gagal berbagi), dan dimensi kepada diri sendiri (gagal menyucikan jiwa). Kekikiran menahan orang tersebut dari jalan kemudahan karena ia secara sukarela memilih untuk memikul beban kecintaan duniawi yang tidak akan pernah terpuaskan.
*Istighna’* (merasa cukup, atau sombong) adalah kondisi mental di mana seseorang yakin bahwa ia tidak membutuhkan campur tangan Ilahi. Ini sering kali terjadi pada orang yang sukses secara materi. Mereka mengira kesuksesan finansial mereka adalah bukti superioritas dan bahwa mereka tidak memerlukan petunjuk agama atau bantuan orang lain. Sifat inilah yang membedakan kekikiran biasa dari kekikiran yang mematikan secara spiritual.
Orang yang *istagnā* tidak hanya menolak memberi, tetapi juga menolak menerima: menolak kebenaran dan menolak petunjuk. Mereka tidak merasa memerlukan Allah karena mereka telah memiliki 'tuhan' lain berupa harta dan kekuasaan. Ini adalah akar dari kesesatan para tokoh Quraisy yang menentang dakwah Nabi, yang merasa bahwa status sosial dan kekayaan mereka membebaskan mereka dari kewajiban beriman dan berkorban.
Di era modern, di mana materialisme dan individualisme merajalela, QS Al Lail menjadi obat spiritual yang sangat relevan. Surah ini menawarkan solusi terhadap krisis makna yang dialami banyak orang sukses secara duniawi, namun hampa secara batin.
Ayat-ayat mengenai *Al-Ashqā* (yang kikir dan merasa cukup) menggambarkan dengan tepat mentalitas hedonis yang menolak tanggung jawab moral dan spiritual. Masyarakat yang hanya berorientasi pada keuntungan pribadi dan penumpukan aset (kekikiran) serta menolak nilai-nilai transenden (mendustakan Al-Husnā), sedang dimudahkan menuju *Al-‘Usrā* (jalan kesulitan), terlepas dari kemakmuran eksternal mereka. Kesulitan ini termanifestasi dalam bentuk kecemasan, depresi, dan keruntuhan sosial.
Kedermawanan (*a’ṭā*) di era ini tidak terbatas pada zakat tradisional. Ia mencakup tanggung jawab sosial perusahaan, filantropi berbasis ilmu pengetahuan, dan penggunaan teknologi untuk membantu orang lain. Intinya tetap sama: apakah tindakan memberi tersebut didorong oleh niat tulus untuk *tazakkā* (membersihkan diri) atau hanya sekadar citra publik (riya')? Al Lail menuntut standar keikhlasan tertinggi.
Setiap kali seseorang berkorban waktu untuk mengajar, menggunakan keahliannya untuk amal, atau menginvestasikan hartanya pada proyek keberlanjutan demi kemaslahatan umat, selama itu diniatkan karena mencari *Wajhi Rabbihil A’lā*, maka ia sedang menapaki jalan *Al-Yusrā*.
Gaya bahasa Al-Qur'an dalam surah ini sangat memukau, menggunakan teknik *muqabalah* (kontras atau perbandingan) yang ekstrem, menciptakan efek kejut pada pendengar.
Penggunaan bentuk superlatif (*Al-Ashqā* dan *Al-Atqā*) pada Ayat 15 dan 17 adalah titik balik retoris surah. Ini bukan sekadar perbandingan antara orang baik dan orang jahat; ini adalah perbandingan antara yang *terbaik* dan yang *terburuk* dalam dimensi moral. Ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan standar tertinggi dalam pertanggungjawaban moral.
*Al-Atqā* (yang paling bertakwa) adalah manusia yang telah mencapai puncak ketulusan dan pengorbanan, seperti yang digambarkan oleh tindakan memberikan tanpa pamrih (Ayat 19-20). Sebaliknya, *Al-Ashqā* (yang paling celaka) adalah representasi dari keburukan yang kronis, ditandai dengan pendustaan mendasar terhadap realitas Ilahi.
Ayat 12, *Inna ‘alainā lal-hudā*, menggunakan partikel penegasan (*inna* dan *la*) yang ganda. Ini bukan sekadar pernyataan; ini adalah penegasan yang sangat kuat bahwa petunjuk (hidayah) adalah jaminan dari Allah. Ini meniadakan alasan bagi siapapun untuk tersesat. Jika seseorang tersesat, itu karena ia telah mendustakan petunjuk yang sudah jelas-jelas tersedia, bukan karena Allah menyembunyikannya.
Petunjuk yang dijamin ini mencakup klarifikasi tentang dua jalan yang berbeda (*sa‘yakum lashattā*). Allah telah menjelaskan secara detail konsekuensi dari kekikiran dan kedermawanan, sehingga tidak ada ruang untuk alasan di Hari Akhir. Keputusan untuk mengikuti jalan kesulitan adalah hasil dari pilihan sadar, bukan ketidaktahuan.
Istilah *yatazakkā* (membersihkan diri) di Ayat 18 adalah jantung dari etika Al Lail. Penyucian ini mencakup aspek materi dan spiritual yang tak terpisahkan.
Secara lahiriah, mengeluarkan sebagian harta membersihkan sisa harta dari hak orang lain, menjauhkannya dari kecurigaan, dan menjadikannya berkah. Harta yang telah disucikan akan membawa ketenangan batin.
Secara batiniah, kedermawanan yang tulus membersihkan jiwa dari kotoran. Kotoran utama yang ditargetkan adalah *hubbud dunya* (cinta dunia) yang berlebihan, yang merupakan sumber dari semua dosa. Ketika seseorang mampu melepaskan sebagian hartanya hanya demi Allah, ia telah membuktikan bahwa cintanya kepada Sang Pencipta lebih besar daripada cintanya kepada ciptaan.
Proses *tazkiyah* ini adalah perjuangan berkelanjutan. Ayat 18 mengajarkan bahwa *Al-Atqā* adalah mereka yang secara konsisten dan sengaja menggunakan harta mereka sebagai alat untuk penyucian, bukan sebagai sarana untuk pamer atau akumulasi kekuasaan.
Surah ini diakhiri dengan janji yang luar biasa kepada *Al-Atqā*: *Wa lasawfa yarḍā* (Dan kelak dia benar-benar akan puas) (Ayat 21). Penggunaan kata *lasawfa* (penegasan dan harapan di masa depan) menunjukkan bahwa kepuasan ini adalah kepastian yang akan datang, meskipun mungkin belum sepenuhnya dirasakan di dunia.
Kepuasan ini meliputi:
Dengan janji kepuasan ini, QS Al Lail menutup argumentasinya dengan sempurna. Surah ini memulai dengan sumpah tentang perbedaan upaya manusia dan mengakhirinya dengan kepastian balasan yang sempurna: Neraka bagi yang paling celaka, dan Kepuasan Abadi bagi yang paling bertakwa. Pesan ini mendorong setiap mukmin untuk mengevaluasi kembali tujuan hidup dan prioritas pengorbanannya di bawah naungan malam dan siang.