Keesaan yang Mutlak (Ahad)
Surah Al-Ikhlas, yang dimulai dengan seruan agung: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (Qul Huwallahu Ahad), bukanlah sekadar surah pendek yang mudah dihafal. Ia adalah intisari dari seluruh ajaran Islam, sebuah manifesto akidah yang tegas, dan fondasi yang menopang seluruh konsep ketuhanan. Ia dikenal sebagai Surah At-Tauhid, karena ia secara eksplisit dan tanpa kompromi mendeklarasikan Keesaan Allah (Tauhid) dalam bentuk yang paling murni dan sempurna. Nilainya, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis sahih, setara dengan sepertiga Al-Qur'an.
Mengapa surah ini memiliki kedudukan yang begitu monumental? Karena dalam empat ayatnya yang ringkas, Al-Qur'an menjawab semua pertanyaan fundamental mengenai sifat dan eksistensi Pencipta. Surah ini membersihkan (meng-ikhlaskan) akidah seorang Muslim dari segala bentuk kemusyrikan, keraguan, dan penyerupaan (tasybih).
Pemahaman mengenai latar belakang turunnya Surah Al-Ikhlas memberikan cahaya pada tujuan utama surah ini. Para ulama tafsir menyebutkan bahwa surah ini diwahyukan sebagai jawaban langsung terhadap tantangan dan pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Quraisy, atau riwayat lain menyebutkan, oleh Yahudi dan Nasrani. Mereka bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai silsilah Tuhannya, menuntut deskripsi fisik atau keturunan yang sesuai dengan konsep ketuhanan mereka yang materialistis dan terbatas.
Pertanyaan yang paling sering diajukan adalah, "Jelaskan kepada kami tentang Tuhanmu. Apakah Dia terbuat dari emas? Apakah Dia berasal dari klan mana?" Dalam menghadapi pertanyaan yang merendahkan keagungan Allah ini, Rasulullah ﷺ menunggu wahyu. Kemudian turunlah Al-Ikhlas, sebuah jawaban yang tidak hanya memuaskan tetapi juga meruntuhkan seluruh kerangka berpikir politeistik yang ada.
Jawaban Al-Ikhlas adalah penolakan total terhadap semua upaya untuk membatasi atau menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya. Ini adalah deklarasi kedaulatan mutlak yang dibutuhkan umat manusia untuk keluar dari kegelapan paganisme menuju cahaya Tauhid yang jernih.
Ayat pertama adalah pernyataan yang paling kuat mengenai hakikat Keesaan. Masing-masing kata di dalamnya membawa bobot makna teologis yang mendalam.
Kata ini adalah bentuk perintah (fi’il amr). Ini menunjukkan bahwa Tauhid bukanlah sebuah pilihan atau teori filsafat semata, melainkan sebuah deklarasi yang wajib diucapkan, diyakini, dan diamalkan. Perintah ini ditujukan pertama-tama kepada Rasulullah ﷺ, dan melalui beliau, kepada seluruh umat manusia. Hal ini menegaskan bahwa ajaran tentang Allah ini harus disampaikan secara terbuka dan lantang, tanpa ragu atau takut.
Tafsir atas ‘Qul’ menggarisbawahi peran kenabian sebagai penyampai kebenaran mutlak. Ketika menghadapi keraguan atau tantangan, seorang mukmin harus mampu mendeklarasikan kebenaran ini dengan otoritas, sebagaimana yang diperintahkan oleh Sang Pencipta sendiri.
Kata ganti ini (dhamir) merujuk pada Dzat yang sedang dibicarakan, yang transcendens (di luar batas pemahaman indra manusia). Penggunaan 'Huwa' memberikan jarak yang diperlukan antara Dzat Allah yang Maha Agung dan keterbatasan pemahaman manusia. Dia adalah Dzat yang keberadaannya sudah pasti dan tidak perlu diperdebatkan, namun sifat-sifat-Nya melampaui segala deskripsi yang terikat pada materi.
‘Allah’ adalah nama Dzat Yang Maha Agung, yang mencakup seluruh sifat kesempurnaan (Asmaul Husna). Ini adalah *Ism Azam* (Nama Terbesar) yang hanya dimiliki oleh Sang Pencipta. Berbeda dengan ‘Ilah’ (tuhan, yang bisa merujuk pada dewa atau sesembahan lain), nama ‘Allah’ bersifat eksklusif. Tidak ada bentuk jamak untuk Allah, dan tidak ada derivasi yang dapat merujuk pada entitas lain.
Para ahli bahasa Arab membahas bahwa nama ‘Allah’ mungkin berasal dari akar kata *al-Ilah* (Yang Disembah), tetapi telah menjadi nama diri yang unik dan tak tertandingi. Nama ini adalah fokus dari seluruh ibadah dan ketaatan.
Inilah puncak dari deklarasi Tauhid. Kata *Ahad* (أَحَدٌ) memiliki makna yang jauh lebih dalam dan filosofis daripada sekadar *Wahid* (وَاحِدٌ), yang berarti 'satu' secara numerik (sebagai lawan dari dua, tiga, dan seterusnya). Jika Allah disebut *Wahid*, ini mungkin menyiratkan bahwa Dia adalah yang pertama dalam urutan, atau bahwa Dia memiliki bagian-bagian yang membentuk 'satu' kesatuan.
Namun, *Ahad* merujuk pada:
Penggunaan kata *Ahad* berfungsi untuk menolak Trinitas (konsep tiga dalam satu), menolak dualisme (seperti konsep dua tuhan yang saling bersaing), dan menolak konsep ketuhanan yang memiliki anak atau pasangan. *Ahad* adalah Keunikan yang total. Ia memutus semua rantai asosiasi (syirik) yang mungkin muncul dalam pikiran manusia.
Setelah mendeklarasikan Keesaan Dzat-Nya (Ahad), ayat kedua menjelaskan sifat ketergantungan mutlak makhluk kepada-Nya, dan sifat kemandirian mutlak Dzat-Nya.
Kata *As-Samad* (الصَّمَدُ) adalah salah satu nama Allah yang paling kompleks dan padat makna. Para ulama tafsir memberikan beragam definisi yang semuanya saling melengkapi, menunjukkan keagungan sifat ini:
Ini adalah makna yang paling umum. *As-Samad* adalah Dzat yang menjadi tujuan dari semua permintaan, permohonan, dan kebutuhan. Semua makhluk, dari yang terbesar hingga yang terkecil, bergantung sepenuhnya kepada-Nya. Manusia, jin, malaikat, dan seluruh alam semesta tidak dapat bertahan sesaat pun tanpa dukungan dan kehendak-Nya.
Ketika seorang Muslim menyatakan bahwa Allah adalah *As-Samad*, ia mengakui bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan, menyelesaikan masalah, dan mencapai ketenangan adalah dengan kembali dan bersandar hanya kepada Allah.
Jika semua makhluk bergantung kepada-Nya, maka secara logis, *As-Samad* adalah Dzat yang tidak membutuhkan apapun dari selain-Nya. Dia tidak memerlukan makanan, minuman, pasangan, anak, atau bantuan dari makhluk. Kemandirian ini adalah bukti kesempurnaan-Nya yang mutlak. Kebutuhan adalah tanda kekurangan; ketiadaan kebutuhan adalah tanda kesempurnaan. Sifat ini sangat penting karena ia menolak gambaran tuhan dalam mitologi yang lapar, haus, atau memerlukan pengorbanan manusia untuk bertahan.
Dalam bahasa Arab klasik, *As-Samad* juga merujuk kepada pemimpin atau bangsawan yang sempurna dalam karakternya, yang kepadanya orang-orang mencari perlindungan dan nasihat. Dalam konteks Ilahiyah, ini berarti Allah adalah yang mencapai puncak kesempurnaan dalam setiap Asma dan Sifat-Nya.
Beberapa sahabat, seperti Ibn Abbas dan Ikrimah, menafsirkan *As-Samad* sebagai Dzat yang padat, yang tidak memiliki rongga (perut) dan tidak makan atau minum. Tafsir ini, meskipun tampak fisik, sebenarnya bertujuan untuk menolak pemikiran bahwa Allah adalah entitas biologis yang tunduk pada siklus kehidupan makhluk. Ia menegaskan bahwa Allah terlepas dari segala kebutuhan jasmaniah.
Kombinasi *Ahad* dan *As-Samad* menciptakan pasangan konsep yang sempurna: Keesaan dalam Dzat dan Kemandirian dalam Eksistensi. Tidak ada Tuhan yang Esa (Ahad) kecuali Dia adalah Yang Maha Mandiri dan Tumpuan (Samad).
Ayat ini berfungsi sebagai penolakan tegas terhadap dua kesalahan teologis utama yang dilakukan oleh berbagai agama dan kelompok filsafat sepanjang sejarah: konsep ketuhanan yang melahirkan dan ketuhanan yang dilahirkan.
Pernyataan ini menolak klaim bahwa Allah memiliki anak (putra atau putri). Ini adalah bantahan langsung terhadap kepercayaan Paganisme (yang meyakini dewa-dewa memiliki keturunan) dan kepercayaan Trinitarian (yang meyakini Yesus adalah Anak Allah secara harfiah).
Mengapa Allah tidak beranak?
Pernyataan ini memurnikan konsep Tauhid dari noda syirik yang paling mendasar, yaitu meletakkan unsur kemanusiaan dan biologis pada Dzat Ilahi.
Jika *Lam Yalid* menolak keturunan, maka *Wa Lam Yulad* menolak asal usul. Allah tidak dilahirkan oleh siapapun. Ini adalah deklarasi Keazalian-Nya (Al-Awwal) dan Keabadian-Nya (Al-Akhir).
Implikasi dari *Lam Yulad* sangat besar:
Dua penolakan ini—tidak beranak dan tidak diperanakkan—menetapkan Allah sebagai Dzat yang sempurna dalam kemandirian waktu dan ruang. Dia adalah Awal tanpa permulaan dan Akhir tanpa akhir.
Ayat penutup ini merangkum dan memperkuat tiga pernyataan sebelumnya, memberikan penolakan total terhadap semua bentuk kesetaraan, perbandingan, atau kemiripan dengan Dzat Allah.
Kata *Kufuwan* (كُفُوًا) berarti kesetaraan, kemiripan, atau tandingan. Dalam konteks pernikahan, ini merujuk pada kesepadanan status. Dalam konteks ketuhanan, ini berarti tidak ada satu pun makhluk—baik dari segi Dzat, Sifat, perbuatan, atau hak penyembahan—yang dapat menyamai atau setara dengan Allah.
Pernyataan ini memiliki beberapa dimensi teologis penting:
Tidak ada yang setara dengan Allah, sehingga segala upaya untuk menyerupakan-Nya dengan ciptaan (antropomorfisme) adalah mustahil. Allah tidak memiliki tangan 'seperti' tangan manusia, atau mata 'seperti' mata makhluk. Sifat-sifat-Nya adalah unik dan hanya sesuai dengan Keagungan-Nya, sebagaimana ditegaskan di surah lain: "Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Dia." (Asy-Syura: 11).
Tidak ada yang setara dalam kekuasaan-Nya (Rububiyyah). Tidak ada yang bisa menciptakan, memberi rezeki, menghidupkan, atau mematikan kecuali Dia. Klaim bahwa ada kekuatan lain di alam semesta yang sebanding dengan Kekuasaan Ilahi adalah kekufuran.
Ayat ini berfungsi sebagai tembok terakhir yang menghalangi semua jenis syirik. Baik syirik yang terang-terangan (menyembah berhala) maupun syirik yang tersembunyi (bergantung pada selain Allah, riya', atau meyakini bahwa hukum buatan manusia setara dengan hukum Allah). Jika tidak ada yang setara dengan Dia, maka tidak ada yang berhak menerima ibadah dan ketaatan yang setara dengan-Nya.
Kesimpulan dari ayat keempat adalah: Keesaan Allah (Ahad) yang dijelaskan dalam ayat pertama adalah keesaan yang tidak memiliki tandingan dalam bentuk apapun (Kufuwan Ahad).
Surah Al-Ikhlas tidak hanya membahas Keesaan Dzat, tetapi mencakup secara ringkas dan padat ketiga kategori Tauhid yang diakui oleh para ulama:
Ini adalah pengakuan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, Pemberi Rezeki, dan Pengendali alam semesta. Hal ini disiratkan kuat dalam sifat *As-Samad*, di mana semua makhluk membutuhkan-Nya untuk bertahan hidup.
Ini adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan ditaati. Ketika Surah ini menolak segala bentuk kemiripan (*Kufuwan Ahad*) dan menolak keturunan (*Lam Yalid*), ia secara otomatis menghapus legitimasi ibadah kepada entitas selain Allah. Jika Dia unik dan mandiri, hanya Dia yang layak menerima ibadah murni (Ikhlas).
Ini adalah pengakuan bahwa Allah memiliki Nama-nama yang indah (Asmaul Husna) dan Sifat-sifat yang sempurna, yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Keseluruhan Surah Al-Ikhlas adalah deklarasi Tauhid Asma wa Sifat, terutama melalui penegasan *Ahad*, *As-Samad*, dan penolakan terhadap adanya tandingan (*Kufuwan*). Sifat-sifat-Nya bersifat *kamal* (sempurna) dan *jalal* (maha agung).
Terdapat hadis sahih yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia (Surah Al-Ikhlas) setara dengan sepertiga Al-Qur'an."
Para ulama memberikan beberapa interpretasi mengenai makna kesetaraan ini, yang semuanya menekankan kedudukan teologis surah ini, bukan sekadar jumlah pahala membaca:
Beberapa ulama membagi inti Al-Qur'an menjadi tiga tema utama:
Kesetaraan ini menunjukkan bahwa bagi seorang Muslim yang memahami dan mengamalkan Tauhid murni yang terkandung dalam surah ini, ia telah menguasai fondasi iman yang esensial. Keimanan yang benar dan murni inilah yang menentukan keabsahan semua amal perbuatan lainnya.
Ini adalah bentuk pengagungan dari Allah dan Rasul-Nya terhadap surah yang menjelaskan tentang Dzat-Nya sendiri. Pahala yang besar ini memotivasi umat untuk tidak hanya membacanya, tetapi juga merenungkan kedalaman maknanya.
Surah ini disebut Al-Ikhlas (Penyucian) karena ia membersihkan jiwa dan akal dari semua kotoran syirik dan ilusi tentang ketuhanan yang salah. Ketika seseorang meresapi makna *Qul Huwallahu Ahad*, ia mencapai tingkat keikhlasan (kemurnian niat) tertinggi.
Deklarasi *Ahad* dan *Samad* memaksa manusia untuk mengakui keterbatasan dirinya. Kita adalah makhluk yang *faqir* (miskin dan membutuhkan), sementara Allah adalah *Ghaniy* (Kaya dan Mandiri). Pengakuan ini memicu kerendahan hati dan kepasrahan total, yang merupakan esensi dari ibadah.
Seorang yang meyakini Tauhid yang absolut tidak akan takut pada makhluk, tidak akan berharap pada kekayaan duniawi, dan tidak akan merasa putus asa. Mengapa? Karena ia tahu bahwa *As-Samad* adalah satu-satunya tempat bergantung. Jika semua masalah dan kebutuhan diarahkan kepada-Nya, maka jiwa akan menemukan ketenangan sejati yang tak tergoyahkan oleh ujian dunia.
Perbedaan antara *Ahad* dan *Wahid* bukan sekadar permainan kata; ini adalah jurang pemisah teologis. *Wahid* adalah angka, bisa berpasangan, bisa diikuti angka lain. *Ahad* adalah unik. Tidak ada dua Ahad. Memahami keesaan dalam konteks *Ahad* memiliki implikasi praktis yang luas:
Beberapa kepercayaan kuno meyakini adanya dua kekuatan yang setara: kekuatan baik dan kekuatan jahat. Konsep *Ahad* menghancurkan dualisme ini. Hanya ada satu kekuatan absolut yang mengatur segalanya. Kejahatan dan kebaikan, ujian dan nikmat, semuanya berada di bawah Kekuasaan satu Tuhan. Ini mendorong Muslim untuk melihat semua yang terjadi sebagai bagian dari rencana Ilahi yang tunggal.
Jika Allah itu *Ahad* dan *As-Samad*, maka standar moral dan etika juga harus tunggal dan konsisten. Tidak ada tempat untuk standar ganda dalam ajaran Islam, karena sumber hukumnya adalah Dzat yang Maha Esa dan tidak berubah. Kehidupan seorang mukmin harus mencerminkan kesatuan akidah ini.
Tauhid murni yang diajarkan oleh Al-Ikhlas mengajarkan bahwa identitas dan keutamaan sejati hanya terletak pada hubungan seseorang dengan Allah, bukan pada kesukuan, kekayaan, atau jabatan. Semua bentuk penyembahan terhadap status sosial, harta, atau ideologi manusia menjadi batal di hadapan *Ahad*.
Deklarasi bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan adalah benteng pertahanan terhadap segala upaya sinkretisme (penggabungan berbagai unsur kepercayaan).
Ketika penanya dari Quraisy menuntut silsilah (garis keturunan) Allah, mereka ingin menempatkan Allah dalam kerangka berpikir genetik yang mereka kenal. Jika Tuhan memiliki silsilah, maka Dia tunduk pada sejarah dan waktu, sama seperti raja atau dewa mitologi. *Lam Yalid wa Lam Yulad* membebaskan Allah dari jebakan waktu. Allah berada di luar kategori 'sebelum' dan 'sesudah'. Dialah yang menciptakan waktu, sehingga Dia tidak terikat olehnya.
Jika Allah melahirkan, maka anak tersebut akan memiliki sebagian dari sifat-sifat keilahian. Ini berarti Dzat Ilahi tidak lagi utuh (*Ahad*), melainkan terbagi. Jika Allah dilahirkan, maka Dia memiliki awal, yang berarti Dia hanyalah makhluk yang lebih tua, bukan Pencipta sejati.
Surah ini mengajarkan bahwa kesempurnaan Allah tidak memerlukan reproduksi untuk berlanjut; eksistensi-Nya adalah abadi dan mandiri secara inheren.
Ayat terakhir, Wa Lam Yakul Lahu Kufuwan Ahad, adalah penolakan ganda: menolak tandingan numerik dan menolak tandingan kualitatif.
Tidak ada entitas lain, seberapa pun besar atau kuatnya, yang dapat ditambahkan ke dalam Dzat Allah untuk membentuk entitas yang lebih besar atau yang setara dalam kekuatan. Konsep ini membatalkan praktik mengasosiasikan tuhan-tuhan kecil, dewa-dewa penolong, atau perantara yang memiliki kekuasaan mandiri. Kekuasaan hanya dimiliki oleh Yang Maha Tunggal.
Tidak ada ciptaan, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat (seperti malaikat, jin, atau jiwa manusia yang paling suci), yang kualitas atau esensinya dapat dibandingkan dengan Dzat Allah. Kualitas Allah, seperti Ilmu (Pengetahuan), Qudrah (Kekuasaan), dan Hayah (Kehidupan), adalah sempurna dan tak terbatas (*mutlak*). Sementara kualitas makhluk, seperti pengetahuan manusia, kekuasaan makhluk, dan kehidupan makhluk, adalah terbatas (*nisbi*).
Sebagai contoh, Allah adalah Al-Alim (Maha Mengetahui). Pengetahuan manusia adalah hasil dari belajar dan pengalaman. Pengetahuan Allah adalah esensial bagi Dzat-Nya dan meliputi segalanya tanpa batasan. Perbedaan kualitatif ini memastikan bahwa upaya apapun untuk mencari tandingan bagi Allah akan sia-sia dan mengarahkan pada kesesatan.
Kedudukan Surah Al-Ikhlas dalam praktik spiritual menunjukkan pentingnya Tauhid dalam setiap aspek kehidupan Muslim.
Disunnahkan membaca surah ini secara rutin dalam shalat wajib dan sunnah. Mengulanginya dalam shalat (misalnya, setelah Al-Fatihah) adalah pengingat harian bahwa kita berdiri di hadapan Dzat yang Maha Esa, yang menjadi tumpuan kita.
Rasulullah ﷺ menganjurkan membaca Al-Ikhlas bersama Al-Falaq dan An-Nas sebelum tidur. Ini berfungsi sebagai benteng perlindungan, karena saat tidur, jiwa rentan terhadap bisikan dan mimpi buruk. Dengan mendeklarasikan Tauhid, seorang Muslim memastikan bahwa jiwanya berada dalam perlindungan Dzat Yang Maha Esa dan Mandiri, yang tidak dikalahkan oleh kantuk maupun tidur.
Membaca Al-Ikhlas (meruqyah diri sendiri) saat sakit adalah pengakuan bahwa kesembuhan dan takdir hanya berasal dari *As-Samad*. Ini adalah penolakan terhadap keyakinan batil bahwa penyakit atau nasib buruk disebabkan oleh kekuatan lain atau dewa-dewa kecil. Hanya Allah yang memiliki kekuasaan absolut atas kesehatan dan penyakit.
Nama surah itu sendiri, Al-Ikhlas, mengingatkan kita bahwa tujuan utama agama adalah mencapai *ikhlas* dalam beramal. Keikhlasan adalah melakukan sesuatu hanya karena Allah semata, tanpa mencari pujian manusia, materi, atau pengakuan. Ikhlas ini hanya mungkin tercapai jika seseorang benar-benar meyakini bahwa hanya Allah yang *Ahad* dan *As-Samad*, dan bahwa tiada yang setara dengan-Nya yang patut dijadikan tujuan ibadah.
Deklarasi *Qul Huwallahu Ahad* tidak hanya membatasi, tetapi justru membebaskan. Ia membebaskan manusia dari perbudakan kepada makhluk dan ilusi.
Sepanjang sejarah, manusia menciptakan tuhan-tuhan palsu dari kekayaan, kekuasaan, atau hawa nafsu. Ketika seseorang mengakui Allah adalah *Ahad* dan *As-Samad*, semua tuhan-tuhan palsu itu runtuh. Kekuatan penguasa menjadi nisbi, kekayaan dunia menjadi fana, dan ketakutan pada nasib buruk menjadi tidak relevan, karena semua dikendalikan oleh Dzat Yang Maha Tunggal.
Manusia modern seringkali menderita karena kekosongan eksistensial, merasa tidak memiliki tujuan atau sandaran abadi. Al-Ikhlas memberikan sandaran tersebut. *Allahus Samad* adalah jawaban terhadap kebutuhan manusia akan tumpuan yang sempurna dan tidak terbatas. Keyakinan pada *As-Samad* memberikan tujuan hidup yang tunggal: mencari keridhaan Dzat yang tidak pernah mati, tidak pernah berubah, dan tidak pernah mengecewakan.
Pada akhirnya, Surah Al-Ikhlas mengajak akal dan hati untuk merenungkan keunikan tak terlukiskan dari Sang Pencipta. Keunikan-Nya adalah sumber dari segala keindahan dan kesempurnaan. Keesaan ini mengharuskan kita untuk senantiasa mencari pengetahuan yang lebih mendalam tentang Nama dan Sifat-Nya, sambil menjaga kerendahan hati bahwa Dzat-Nya berada di luar batas imajinasi dan penyerupaan.
Sebagai penutup dari perenungan mendalam ini, Surah Al-Ikhlas tetap menjadi benteng terkuat bagi setiap Muslim. Ia adalah kunci masuk menuju pemahaman yang benar tentang Islam, sebuah panggilan tegas untuk memurnikan niat, dan deklarasi abadi bahwa dalam Keagungan dan Keesaan Dzat-Nya, Allah SWT berdiri sendirian, tidak tertandingi, menjadi Tumpuan abadi bagi seluruh semesta.
Oleh karena itu, setiap kali seorang Muslim membaca atau mendengar seruan *Qul Huwallahu Ahad*, ia sedang memperbaharui janji primordialnya untuk bersaksi dan berpegang teguh pada Tauhid yang murni, lepas dari segala bentuk syirik dan keraguan, demi mencapai keikhlasan sejati dalam setiap helaan napas dan amal perbuatannya.
Hubungan antara *Ahad* (Keesaan) dan *As-Samad* (Kemandirian/Tumpuan) membentuk lingkaran logika teologis yang sempurna. Jika Allah tidak *Ahad*, artinya ada dua atau lebih tuhan, maka akan terjadi kekacauan universal (sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Anbiya: 22). Namun, karena Dia *Ahad*, maka Dia adalah satu-satunya sumber otoritas dan kekuasaan. Kekuatan tunggal inilah yang memungkinkan Dia menjadi *As-Samad*, satu-satunya tempat makhluk bersandar.
Bayangkan alam semesta di mana tumpuan kebutuhan manusia dibagi-bagi kepada beberapa entitas. Akan terjadi kontradiksi, konflik kekuasaan, dan kebingungan. Kehidupan menjadi tidak stabil karena tidak ada otoritas akhir yang tunggal. *As-Samad* hanya bisa eksis jika didahului oleh *Ahad*. Oleh karena itu, Surah Al-Ikhlas meletakkan fondasi yang tak tergoyahkan: Dzat yang Esa secara mutlak adalah Dzat yang menjadi sandaran segala sesuatu secara mutlak pula.
Pemahaman ini memberikan landasan bagi konsep tawakkal (berserah diri). Tawakkal menjadi sah dan logis karena kita berserah kepada Dzat yang secara intrinsik Maha Kuasa dan tidak membutuhkan bantuan dari luar diri-Nya. Jika kita berserah kepada sesuatu yang tidak *Samad*, maka tawakkal kita akan rentan, karena sandaran tersebut mungkin akan musnah atau gagal.
Jika seseorang gagal memahami dan mengamalkan konsep *Qul Huwallahu Ahad*, konsekuensinya bukan hanya hukuman akhirat, tetapi juga kekacauan psikologis dan sosial di dunia.
Ketika seseorang menyembah banyak tuhan (dalam bentuk idola, uang, kekuasaan, atau hawa nafsu), jiwanya akan terpecah-pecah. Setiap ‘tuhan’ menuntut loyalitas yang berbeda, menyebabkan konflik batin, stres, dan kegelisahan. Tauhid, sebaliknya, menyatukan tujuan dan loyalitas, membawa fokus dan kedamaian (Islam secara harfiah berarti kepasrahan kepada satu Tuhan).
Ketika konsep *Ahad* ditinggalkan, manusia mulai menyamakan dirinya dengan Tuhan atau mengangkat manusia lain ke tingkat ketuhanan. Ini melahirkan sistem tirani, eksploitasi, dan ketidakadilan, di mana sekelompok kecil merasa berhak menindas yang lain karena mengklaim kekuasaan atau status ilahi. Tauhid adalah fondasi kesetaraan manusia di hadapan Allah.
Mengabaikan *As-Samad* berarti mencari sandaran pada hal-hal yang fana. Seseorang mungkin percaya bahwa kekayaan akan membuatnya aman, atau jabatan akan memberinya kehormatan abadi. Surah Al-Ikhlas mengingatkan bahwa semua sandaran selain Allah akan sirna, dan ketergantungan pada hal yang fana hanya akan membawa kekecewaan.
Para mufasir besar sepanjang sejarah telah memberikan bobot yang luar biasa pada Surah Al-Ikhlas.
Ibn Kathir menekankan bahwa surah ini turun sebagai jawaban yang membungkam semua pihak yang mencoba menggambarkan Allah dengan sifat-sifat makhluk. Ia berfokus pada sifat penolakan (nafy) yang terkandung dalam ayat 3 dan 4. Penolakan bahwa Dia memiliki anak, dilahirkan, atau memiliki tandingan, adalah inti dari pemurnian akidah.
Al-Qurtubi mendalami aspek linguistik *As-Samad*. Beliau mengutip banyak pendapat ulama salaf, termasuk yang mendefinisikannya sebagai Dzat yang sempurna dan tidak memiliki cela, Yang tidak pernah tidur atau lupa. Ia menghubungkan *As-Samad* dengan keabadian (Al-Baqaa'), menunjukkan bahwa Tumpuan sejati haruslah Dzat yang Kekal.
Ahli kalam (teologi rasional) menggunakan Surah Al-Ikhlas sebagai landasan untuk membuktikan keberadaan dan keunikan Allah secara rasional. Jika sesuatu dilahirkan, ia pasti memiliki pencipta, sehingga ia tidak bisa menjadi Tuhan. Jika sesuatu beranak, ia memiliki kebutuhan, sehingga ia tidak bisa menjadi Tuhan yang Mandiri (*Samad*). Logika surah ini bersifat absolut dan tak terbantahkan.
Perintah 'Qul' di awal surah ini bukan hanya untuk Rasulullah, tetapi merupakan perintah untuk seluruh umat. Ini menuntut keberanian (syaja’ah) teologis. Tauhid sejati harus dideklarasikan:
Seorang Muslim harus mengucapkan *Qul Huwallahu Ahad* dalam hatinya setiap saat, menolak bisikan syirik atau keraguan yang mungkin datang. Ini adalah benteng pertahanan spiritual.
Umat Islam memiliki tugas untuk menyampaikan kebenaran *Ahad* dan *As-Samad* kepada dunia. Ini adalah inti dari pesan Islam yang harus disampaikan dengan jelas dan tanpa kompromi. Tidak ada pesan yang lebih penting daripada Keesaan Dzat Ilahi.
Ketika Rasulullah ﷺ diperintah untuk mengatakan ini, beliau berada di tengah-tengah masyarakat yang meyakini banyak tuhan. Perintah ini adalah tindakan konfrontasi damai terhadap kebatilan. Hal ini mengajarkan bahwa akidah yang benar harus dipertahankan di tengah segala tantangan zaman.
Dalam teologi Islam, sifat-sifat Allah dibagi menjadi *Tsubutiyyah* (penegasan, seperti Al-Hayy, Al-Alim) dan *Salbiyyah* (penolakan/negasi, yaitu sifat yang menolak segala bentuk kekurangan). Surah Al-Ikhlas adalah contoh sempurna dari sifat *Salbiyyah*:
Sifat *Salbiyyah* ini memastikan bahwa Allah terbebas dari segala hal yang melekat pada makhluk: keterbatasan, perubahan, waktu, tempat, dan komposisi fisik. Ini adalah pemurnian total konsep Ilahi.
Dengan demikian, Al-Ikhlas bukan hanya deklarasi keesaan, tetapi juga penjelasan rinci tentang apa yang Allah *bukan*. Mengetahui apa yang Allah *bukan* sama pentingnya dengan mengetahui apa yang Allah *adalah*.
Mengapa kita harus membaca dan mengkaji Surah Al-Ikhlas berulang kali? Karena di setiap zaman, godaan syirik dan penyerupaan (tasybih) selalu hadir dalam bentuk yang baru. Di era modern, syirik mungkin tidak selalu berupa patung, tetapi bisa berupa pemujaan terhadap ideologi sekuler, uang, ilmu pengetahuan yang diagungkan melebihi Penciptanya, atau bahkan egosentrisme yang menempatkan diri sendiri sebagai pusat alam semesta.
Setiap ayat dalam Surah Al-Ikhlas adalah penawar bagi racun-racun modern tersebut:
Oleh karena itu, Surah Al-Ikhlas adalah kurikulum akidah yang utuh. Ia adalah jantung dari pesan kenabian. Keindahan dan keagungan surah ini terletak pada kemampuannya untuk mencakup kebenaran terbesar dalam Al-Qur'an hanya dalam empat ayat yang ringkas, menjadi bukti keajaiban bahasa wahyu yang tak tertandingi.
Semoga setiap pembacaan surah ini membawa kita pada tingkat keikhlasan yang lebih tinggi, membebaskan hati kita dari segala ikatan selain Allah, Sang *Ahad*, *As-Samad*.
Surah Al-Ikhlas adalah tonggak utama dalam arsitektur iman. Ia menempatkan Keesaan Allah, yang ditandai dengan sifat *Ahad*, sebagai realitas tertinggi. Dari keesaan Dzat ini mengalir sifat-sifat lainnya: kemandirian mutlak (*As-Samad*), ketidakberpasangan (*Lam Yalid wa Lam Yulad*), dan ketiadaan tandingan (*Kufuwan Ahad*). Surah ini merangkum seluruh esensi teologis yang diperlukan seorang Muslim untuk menjalani hidup yang berpusat pada Penciptanya, memberikan kejelasan akidah yang tak tertandingi, dan menjamin kemurnian iman dari segala bentuk pencampuran dan kekeliruan. Dengan meresapi makna *Qul Huwallahu Ahad*, seorang hamba memastikan bahwa akidahnya adalah akidah yang teguh, murni, dan sejalan dengan hakikat penciptaan.