Surah ke-92 | Juz Amma (Juz 30) | Diturunkan di Mekah
Surah Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah salah satu surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah Rasulullah ﷺ di Mekah. Surah ini merupakan bagian dari kelompok surah pendek yang memiliki gaya bahasa yang kuat, sumpah yang dramatis, dan fokus pada tema esensial tauhid serta moralitas. Inti pesan dari Surah Al-Lail adalah penekanan terhadap dualitas—sebuah prinsip fundamental yang mengatur alam semesta dan kehidupan spiritual manusia.
Dualitas ini tidak hanya digambarkan melalui kontras antara malam dan siang, atau laki-laki dan perempuan, tetapi juga pada kontras abadi dalam tindakan manusia: memberi versus menahan, ketakwaan versus kekikiran, serta jalan menuju kemudahan versus jalan menuju kesulitan. Surah ini secara tegas menyatakan bahwa nasib akhir manusia ditentukan oleh pilihan etis dan spiritual yang ia ambil di dunia.
Secara struktur, surah ini dibagi menjadi tiga bagian utama: (1) Sumpah Kosmis (ayat 1-4) yang menetapkan panggung dualitas, (2) Pengelompokan Manusia (ayat 5-11) yang menjelaskan dua jenis tindakan yang kontradiktif, dan (3) Konsekuensi Akhir (ayat 12-21) yang menjelaskan balasan bagi masing-masing kelompok.
Surah Al-Lail sangat relevan karena menyingkapkan bahwa kebahagiaan sejati (*al-husna*) dan kemudahan hidup bukan diukur dari kekayaan materi atau kekuatan duniawi, melainkan dari kesediaan hati untuk memberi dan membenarkan kebenaran Ilahi. Ini adalah cetak biru moral bagi setiap individu yang mencari keselamatan.
Surah ini terdiri dari 21 ayat. Berikut adalah pembacaan teks Arab dan terjemahannya, yang akan menjadi landasan bagi analisis tafsir yang mendalam:
Surah Al-Lail dibuka dengan tiga sumpah kosmik yang sangat kuat, sebuah ciri khas surah-surah Makkiyah. Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya untuk menegaskan kebenaran yang akan disampaikan setelahnya.
Malam (*Al-Lail*) disumpahkan, khususnya ketika ia menutupi atau menyelubungi cahaya siang. Malam adalah waktu istirahat, ketenangan, dan misteri. Dalam tafsir, malam melambangkan kondisi tersembunyi, seperti amal yang dilakukan secara rahasia, jauh dari pandangan manusia—amal yang paling murni. Sumpah ini juga menunjukkan kekuasaan Allah yang mengatur siklus gelap dan terang, sebuah hukum alam yang tak terhindarkan.
Siang (*An-Nahar*) disumpahkan ketika ia menampakkan atau menerangi segalanya. Siang adalah waktu aktivitas, usaha, dan keterbukaan. Siang melambangkan keterbukaan dan hasil dari amal perbuatan yang akan tampak jelas pada Hari Perhitungan, di mana semua rahasia akan tersingkap. Kontras antara malam yang menutup dan siang yang menyingkap menjadi metafora bagi dualitas amal baik dan buruk.
Sumpah ketiga beralih dari fenomena alam kepada ciptaan biologis manusia—laki-laki (*dzakar*) dan perempuan (*untsa*). Ini adalah perwujudan dualitas yang paling dasar dalam kehidupan, yang merupakan sumber dari keberlangsungan hidup dan variasi. Sebagian mufasir menafsirkan *Ma Khalaqa* sebagai sumpah kepada Dzat Yang Menciptakan dualitas ini, yaitu Allah SWT sendiri. Penekanan pada dualitas ini bertujuan untuk mempersiapkan pendengar bahwa pilihan hidup (amal) juga bersifat dualistik dan kontras.
Ayat keempat adalah jawaban atas sumpah-sumpah di atas. *Sa’yakum* berarti usaha atau upaya keras. *Syatta* berarti berbeda, berlainan, atau bercerai-berai. Setelah menunjukkan dualitas di alam dan ciptaan, Allah menyimpulkan bahwa usaha manusia di dunia ini terbagi menjadi jalur-jalur yang berbeda, menuju tujuan yang berbeda pula. Tidak semua usaha sama nilainya di mata Allah, dan tidak semua usaha menuju kepada kebaikan yang sama. Ini adalah deklarasi awal tentang adanya dua kelompok manusia.
Bagian ini adalah inti dari surah, di mana Allah membagi manusia menjadi dua kategori berdasarkan tiga kriteria utama: (1) Tindakan Memberi/Menahan, (2) Takwa/Merasa Cukup, dan (3) Membenarkan/Mendustakan Kebenaran.
Ayat 5, 6, dan 7 menjelaskan ciri-ciri orang yang akan disiapkan jalannya menuju kemudahan, yaitu Surga.
Karakteristik pertama adalah *A'tha* (memberi) dan *Ittaqa* (bertakwa). Memberi di sini tidak hanya terbatas pada harta, tetapi mencakup pemberian waktu, tenaga, ilmu, dan nasihat. Yang terpenting, pemberian ini dilakukan dalam konteks ketakwaan—yaitu, dilakukan karena takut dan cinta kepada Allah, serta menjaga diri dari perbuatan buruk.
Kombinasi antara memberi (tindakan lahiriah) dan takwa (kondisi batiniah) menunjukkan kesempurnaan amal. Seseorang yang memberi tanpa takwa mungkin riya (pamer), sementara orang yang hanya bertakwa tanpa memberi mungkin menyimpan kekayaan yang seharusnya dibagikan.
*Al-Husna* (yang terbaik) memiliki beberapa penafsiran mendalam. Tafsir klasik sering menyebutnya sebagai: (a) Kalimat Tauhid (La Ilaha Illallah), (b) Janji Surga, (c) Balasan terbaik dari Allah. Membenarkan *Al-Husna* berarti percaya penuh bahwa segala amal baik yang dilakukan, sekecil apapun, akan mendapatkan balasan yang jauh lebih baik dan kekal dari Allah. Kepercayaan inilah yang memotivasi tindakan memberi tanpa mengharapkan imbalan duniawi.
Ini adalah janji ilahi. Allah akan mempermudah jalannya menuju *Al-Yusra* (kemudahan). Kemudahan ini mencakup kemudahan dalam menjalankan ibadah, kemudahan dalam memperoleh rezeki yang halal, kemudahan saat sakaratul maut, dan puncaknya, kemudahan memasuki Surga. Jalan menjadi mudah bukan berarti tanpa ujian, tetapi Allah membimbing langkahnya dan memberikan taufik dalam setiap kesulitan.
Ayat 8, 9, 10, dan 11 menjelaskan ciri-ciri orang yang celaka, yang akan disiapkan jalannya menuju kesulitan, yaitu Neraka.
Karakteristik pertama adalah *Bakhila* (kikir, menahan, tidak mau memberi) dan *Istaghna* (merasa cukup atau tidak membutuhkan Allah). Kekikiran di sini adalah cerminan dari hati yang tertutup; ia menahan harta yang menjadi hak orang lain atau yang seharusnya dinafkahkan di jalan Allah.
Sikap *Istighna* adalah akar dari semua kekufuran. Orang yang kikir merasa bahwa kekayaan dan keberhasilannya murni berasal dari usahanya sendiri, sehingga ia merasa tidak perlu bersyukur kepada Allah, dan akibatnya, tidak perlu berbagi. Ia merasa independen dari Tuhannya.
Kebalikan dari kelompok pertama, kelompok ini mendustakan *Al-Husna*. Mereka tidak percaya bahwa ada balasan yang lebih baik dari kehidupan dunia ini. Karena mendustakan Surga, mereka mengejar kenikmatan duniawi secara rakus dan egois. Mereka melihat memberi sebagai kerugian, bukan investasi spiritual.
Ini adalah peringatan yang mengerikan. Allah akan mempermudah jalannya menuju *Al-Usra* (kesulitan). Jalan sulit ini adalah konsekuensi logis dari pilihan mereka sendiri. Kesulitan ini mungkin berupa: (a) Kegagalan dalam mencari rezeki yang halal, (b) Kesulitan dan kesempitan hati di dunia, (c) Kesulitan saat sakaratul maut dan saat dihisab, dan (d) Puncaknya, masuk ke dalam Neraka.
Ironisnya, saat mereka merasa cukup dan mencari jalan kemudahan melalui kekikiran, Allah justru mempermudah jalan mereka menuju kesukaran abadi. Mereka dimudahkan untuk terus berbuat dosa, yang pada akhirnya membawa mereka pada kehancuran.
Ayat ini menutup bagian tentang orang celaka dengan penegasan bahwa harta yang mereka kumpulkan dengan kikir, yang membuat mereka sombong di dunia, tidak akan sedikit pun membantu mereka ketika mereka *taradda* (binasa atau terjerumus ke jurang Neraka). Pada saat ajal tiba, semua perhitungan materi menjadi nol. Yang tersisa hanyalah amal perbuatan.
Setelah membagi manusia, surah beralih untuk menegaskan kekuasaan dan keadilan Allah.
Ayat ini menunjukkan bahwa tugas Allah adalah menyediakan jalan yang jelas dan petunjuk yang terang. Melalui Rasul-Nya dan kitab suci, Allah telah menjelaskan kedua jalur—kebaikan dan keburukan. Pilihan untuk mengambil jalur mana sepenuhnya diserahkan kepada manusia, tetapi petunjuk sudah tersedia secara universal.
Ayat ini menegaskan otoritas mutlak Allah atas dimensi waktu dan ruang. Baik dunia (*Al-Ula*) maupun akhirat (*Al-Akhirah*) berada di bawah kekuasaan-Nya. Oleh karena itu, hanya Allah yang berhak menentukan ganjaran dan hukuman, serta menentukan sistem nilai mana yang benar.
Ini adalah peringatan langsung kepada manusia tentang api Neraka, yang dinamakan *Ladha* (menyala-nyala atau berkobar hebat). Peringatan ini ditujukan kepada semua manusia, tetapi secara khusus kepada mereka yang memilih jalur *Al-Usra*.
Neraka *Ladha* hanya akan ditempati oleh *Al-Ashqa* (orang yang paling celaka atau paling sengsara). Penggunaan bentuk superlatif (*Al-Ashqa*) menunjukkan bahwa ini adalah hukuman bagi mereka yang benar-benar kukuh dalam kekufuran dan menolak kebenaran setelah petunjuk jelas datang kepada mereka. Ini bukan sekadar kesalahan, melainkan penolakan sistematis terhadap kebaikan dan ketakwaan.
Ayat ini mendefinisikan siapa *Al-Ashqa* itu: (a) Yang mendustakan (ajaran, nabi, hari akhir), dan (b) Yang berpaling (dari ketaatan dan amal saleh). Kombinasi antara mendustakan keyakinan (batin) dan berpaling dari amal (lahiriah) menyempurnakan kegagalan spiritual mereka.
Bagian terakhir surah ini menampilkan gambaran kontras yang penuh harapan bagi kelompok pertama.
Sebaliknya, *Al-Atqa* (orang yang paling bertakwa, superlatif dari takwa) akan dijauhkan dari api neraka. Jika *Al-Ashqa* adalah yang paling buruk, maka *Al-Atqa* adalah yang paling mulia di hadapan Allah. Kriteria ini membawa kita kembali pada ayat 5, namun diperjelas lagi kualitas takwa yang sempurna.
Inilah definisi praktis dari *Al-Atqa*. Mereka menafkahkan hartanya (*Yu’ti Malahu*) dengan tujuan utama *Yatazakka* (untuk membersihkan diri, menyucikan jiwa, dan mengembangkan kebaikan spiritual). Tujuan memberi bukanlah pujian atau keuntungan duniawi, melainkan pembersihan batin dari dosa, kekikiran, dan keterikatan pada materi.
Ayat ini menyingkapkan level tertinggi dari keikhlasan. Pemberian yang dilakukan oleh *Al-Atqa* bukanlah dalam rangka membalas budi kepada seseorang (*tujza*). Dia tidak memiliki hutang budi kepada orang yang dia beri. Ini adalah puncak altruisme dan keikhlasan, di mana motifnya murni, tanpa ada pertimbangan sosial atau timbal balik.
Jika bukan untuk membalas budi, lalu untuk apa mereka memberi? Jawabannya: semata-mata untuk mencari wajah, keridhaan, atau perkenan Allah (*Wajhi Rabbihil A’la*). Motivasi inilah yang membedakan sedekah seorang Muslim sejati dari filantropi sekuler. Fokusnya hanya pada Dzat Yang Maha Tinggi, bukan pada penilaian manusia.
Surah ditutup dengan janji kepuasan mutlak. *Yardha* (puas atau ridha) mencakup kepuasan di dunia, kepuasan pada saat kematian, dan puncaknya, kepuasan abadi di Surga. Kepuasan ini adalah manifestasi dari janji *Lil-Yusra* (jalan mudah) yang disebutkan di ayat 7. Mereka mencari ridha Allah, dan sebagai balasannya, Allah memberikan mereka kepuasan yang tiada tara. Ini adalah akhir yang indah bagi mereka yang memilih jalan ketakwaan dan kedermawanan.
Meskipun Surah Al-Lail bersifat umum dan universal, banyak riwayat tafsir menyebutkan bahwa bagian akhir surah (ayat 17-21) diturunkan sebagai pujian khusus bagi kedermawanan Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahu 'anhu.
Menurut beberapa riwayat tafsir (seperti yang dicatat oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Kathir), surah ini diturunkan saat terjadi konflik antara orang-orang yang dermawan dan yang kikir di Mekah. Secara khusus, Abu Bakar dikenal memerdekakan budak-budak yang lemah yang baru memeluk Islam, seperti Bilal bin Rabah, tanpa mengharapkan imbalan apapun dari tuannya atau dari budak tersebut. Tujuan Abu Bakar hanyalah mencari keridhaan Allah.
Ketika Abu Bakar dikritik karena memerdekakan budak tanpa imbalan—padahal ia bisa saja memerdekakan budak yang kuat dan sehat untuk membantunya berbisnis—maka turunlah ayat-ayat ini yang memuji tindakan tersebut sebagai tindakan *Yatazakka* (membersihkan diri) dan *Ibtighaa Wajhi Rabbihil A’la* (mencari Wajah Allah Yang Maha Tinggi).
Konteks historis ini memperkuat poin sentral surah: kualitas amal diukur bukan dari nilai materialnya atau dampaknya di dunia, tetapi dari tingkat keikhlasan dan niat di baliknya. Surah ini menjadi tantangan langsung terhadap mentalitas materialistik masyarakat Mekah saat itu, yang menilai segala sesuatu berdasarkan keuntungan dagang dan status sosial.
Dualitas yang disajikan Surah Al-Lail, yaitu *A'tha* (memberi) dan *Bakhila* (kikir), lebih dari sekadar urusan uang. Keduanya mewakili filosofi hidup yang saling bertentangan.
Kedermawanan dalam Islam adalah bentuk investasi tertinggi. Ketika seseorang memberi, ia tidak hanya mengurangi hartanya, melainkan sedang membersihkan jiwanya dari penyakit hati. Beberapa aspek kedermawanan:
Kekikiran adalah dosa ganda karena ia melibatkan tindakan menahan dan keyakinan yang salah (*Istighna*—merasa cukup).
Kata kunci dalam surah ini adalah *Al-Husna* (yang terbaik), yang harus dibenarkan oleh kelompok pertama dan didustakan oleh kelompok kedua.
Dalam konteks teologis, *Al-Husna* sering dikaitkan dengan Surga dan keridhaan Allah, karena itu adalah balasan terbaik yang abadi. Namun, secara moral, pembenaran terhadap *Al-Husna* berarti:
Orang yang mendustakan *Al-Husna* pada dasarnya mendustakan nilai-nilai spiritualitas. Mereka hanya menghargai realitas yang terlihat dan terukur secara fisik, sehingga mereka tidak akan pernah mengorbankan sebagian kecil dari kekayaan duniawi demi janji yang 'tidak terlihat'.
Meskipun diturunkan pada abad ke-7, pesan Surah Al-Lail sangat relevan dalam masyarakat modern yang didominasi oleh materialisme dan konsumerisme.
Surah ini menawarkan kritik tajam terhadap model ekonomi yang didasarkan pada akumulasi kekayaan tanpa batas dan penolakan tanggung jawab sosial. Mentalitas *Istighna* (merasa cukup, tidak butuh Tuhan) adalah ciri khas individu yang menjadikan kekayaan sebagai tuhan dan tujuan akhir.
Dalam konteks modern, *Al-Ashqa* adalah mereka yang menimbun harta, menghindari pajak, mengeksploitasi pekerja, dan menolak memberi sedekah, semua karena mereka merasa kekuatan finansial mereka membuat mereka independen dari norma moral dan ketaatan spiritual.
Ayat 4 menyatakan, *“Inna Sa’yakum La Syatta”* (usaha kamu berlainan). Dalam era persaingan global, manusia didorong untuk bekerja keras tanpa henti. Surah ini mengingatkan bahwa kerja keras saja tidak cukup. Kualitas usaha dinilai dari niatnya. Usaha yang disertai ketakwaan akan membawa pada kemudahan, sementara usaha yang didorong oleh keserakahan dan kekikiran akan membawa pada kesulitan batin dan kehancuran abadi.
Ayat 18 mengajarkan bahwa memberi adalah proses pensucian diri. Dalam kehidupan serba cepat, orang mencari pembersihan diri melalui meditasi atau terapi. Namun, Surah Al-Lail menunjukkan bahwa salah satu terapi spiritual terbaik adalah melalui tindakan nyata yang menentang sifat egois kita, yaitu dengan melepaskan apa yang paling kita cintai (harta) demi Allah.
Di dunia yang penuh dengan ketidakpuasan, di mana konsumsi terus-menerus gagal mengisi kekosongan batin, janji Allah, *“Wa Lasawfa Yardha”* (Dia benar-benar akan puas), menawarkan solusi. Kepuasan sejati tidak datang dari pencapaian materi, tetapi dari koneksi spiritual dan pengorbanan yang dilakukan semata-mata karena Allah. Orang yang kikir tidak akan pernah puas karena selalu takut kehilangan; orang yang dermawan mencapai kepuasan karena jiwanya terhubung dengan Sumber Kekayaan yang tak terbatas.
Surah Al-Lail merangkum inti ajaran Islam mengenai etika, motivasi, dan konsekuensi abadi:
Surah Al-Lail, meskipun singkat, menyajikan ringkasan sempurna tentang etika kosmik dan pilihan moral manusia. Ia adalah panggilan untuk merenungkan, di antara gelapnya malam dan terangnya siang, jalan mana yang sedang kita tempuh, dan apakah kita sedang berinvestasi pada *Al-Husna* demi keridhaan Allah Yang Maha Tinggi.
***
(Artikel ini disusun dengan kerangka tafsir komprehensif dari berbagai sumber klasik dan kontemporer, memastikan pembahasan mendalam pada setiap aspek linguistik dan teologis Surah Al-Lail, khususnya mengenai konsep dualitas, kedermawanan, kekikiran, dan konsekuensi abadi dari pilihan-pilihan tersebut, untuk memenuhi kebutuhan kedalaman konten.)