Ilustrasi: Simbol pengetahuan dan pembelajaran.
Sejarah pendidikan Islam adalah sebuah narasi panjang yang merefleksikan perkembangan peradaban Islam itu sendiri. Sejak wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW, pendidikan telah menjadi pilar fundamental dalam ajaran Islam. Inti dari ajaran Islam adalah pentingnya mencari ilmu pengetahuan, yang didorong oleh ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis yang menekankan keutamaan orang yang berilmu. Frasa seperti "bacalah" (iqra') yang menjadi permulaan wahyu ilahi, secara inheren menempatkan pentingnya membaca dan memahami sebagai langkah awal menuju pengetahuan.
Pada masa awal Islam, pendidikan banyak berpusat di masjid. Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pembelajaran di mana para sahabat berkumpul untuk mendengarkan ajaran Nabi, mendiskusikan ayat-ayat Al-Qur'an, dan mempelajari hadis. Pengajaran dilakukan secara lisan, dan para sahabat menjadi garda terdepan dalam penyebaran ilmu, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Metode pengajaran pada masa ini bersifat dialogis, di mana para santri dapat bertanya langsung kepada guru, yang seringkali adalah Nabi sendiri atau para sahabat senior.
Seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan bertambahnya jumlah umat Muslim, kebutuhan akan institusi pendidikan yang lebih formal pun muncul. Pada era kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, terjadi pertumbuhan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Mulai muncul lembaga-lembaga pendidikan formal seperti kuttab (sekolah dasar), madrasah (sekolah menengah dan tinggi), dan baitul hikmah (pusat penerjemahan dan penelitian).
Kuttab mengajarkan baca tulis, Al-Qur'an, dan dasar-dasar syariat Islam. Madrasah kemudian berkembang menjadi pusat pembelajaran yang lebih kompleks, mencakup berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, tafsir, hadis, kedokteran, astronomi, matematika, filsafat, dan sastra. Salah satu madrasah paling terkenal adalah Al-Azhar di Kairo, yang didirikan di bawah Dinasti Fatimiyah dan hingga kini masih menjadi salah satu universitas Islam tertua dan paling berpengaruh di dunia. Dinasti Abbasiyah, khususnya melalui Baitul Hikmah di Baghdad, memainkan peran krusial dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah dari berbagai peradaban, termasuk Yunani, Persia, dan India, ke dalam bahasa Arab. Hal ini membuka pintu bagi penemuan dan inovasi baru yang signifikan dalam berbagai bidang ilmu.
Metode pengajaran dalam pendidikan Islam mencakup beberapa pendekatan. Selain metode ceramah dan diskusi, terdapat pula metode hafalan, perdebatan (munadzarah), serta penulisan karya ilmiah. Ilmuwan Muslim pada masa kejayaan Islam tidak hanya belajar dari satu sumber, tetapi juga melakukan perjalanan untuk mencari ilmu dari para ulama terkemuka di berbagai penjuru dunia.
Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya sangat komprehensif. Bidang ilmu naqli (ilmu yang bersumber dari wahyu) seperti Al-Qur'an, hadis, fiqih, dan ushul fiqih selalu menjadi prioritas. Namun, ilmu aqli (ilmu yang bersumber dari akal dan pengalaman) seperti filsafat, logika, kedokteran, astronomi, kimia, dan matematika juga sangat dihargai dan dikembangkan. Tujuannya adalah untuk menciptakan insan yang berilmu, beriman, dan berakhlak mulia, yang mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan alam semesta.
Sejarah pendidikan Islam telah memberikan warisan yang tak ternilai bagi dunia. Para ilmuwan Muslim telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai bidang, yang banyak di antaranya menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat pada masa Renaisans. Keberlanjutan tradisi pendidikan ini terlihat dari banyaknya lembaga pendidikan Islam yang terus eksis hingga kini, baik yang berorientasi pada pengajaran tradisional maupun yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan modern. Pendidikan Islam bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter dan kepribadian sesuai dengan nilai-nilai luhur Islam.