Surah Al Baqarah Ayat 59: Pesan Tauhid dan Perubahan

"Kemudian orang-orang zalim mengganti [perkataan] yang dikatakan kepada mereka dengan [perkataan] yang tidak dikatakan kepada mereka..." (Surah Al Baqarah: 59)

Surah Al Baqarah, surah terpanjang dalam Al-Qur'an, mengandung berbagai macam kisah, hukum, dan pelajaran berharga bagi umat manusia. Salah satu ayat yang sarat makna dan sering menjadi bahan renungan adalah ayat ke-59. Ayat ini mengisahkan tentang kaum yang diperintahkan untuk memasuki suatu negeri dan memakan apa saja yang mereka inginkan dari sana dengan leluasa, namun mereka justru diperintahkan untuk mengucapkan kata "Hiththah" (mohon ampunan). Namun, apa yang terjadi selanjutnya menunjukkan sebuah bentuk pembangkangan dan perubahan sikap yang membawa konsekuensi.

فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ ۖ فَأَرْسَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

"Kemudian orang-orang zalim mengganti perkataan yang dikatakan kepada mereka dengan perkataan lain yang tidak dikatakan kepada mereka. Maka, Kami menurunkan azab dari langit kepada orang-orang zalim itu karena kefasikan mereka."

Makna Mendalam di Balik Ayat 59 Surah Al Baqarah

Ayat ini membuka pintu pemahaman kita terhadap beberapa konsep penting dalam ajaran Islam:

1. Ujian dan Kepatuhan

Kisah dalam ayat ini bermula dari sebuah ujian. Allah SWT memerintahkan Bani Israil untuk memasuki sebuah negeri yang penuh keberkahan. Mereka diberi kebebasan untuk memakan segala buah-buahan di dalamnya. Namun, ada satu perintah spesifik yang harus mereka lakukan sebelum memasukinya, yaitu mengucapkan "Hiththah" (هطّة), yang berarti memohon ampunan atau permohonan agar dimasukkan dalam golongan yang berbuat baik. Perintah ini sebenarnya merupakan ujian keimanan dan kepatuhan mereka terhadap firman Allah. Mampukah mereka mengikuti instruksi sekecil apapun yang diberikan Tuhan?

2. Penggantian Perkataan: Bentuk Pembangkangan

Alih-alih menaati perintah tersebut, sekelompok dari mereka yang digambarkan sebagai "orang-orang zalim" justru mengganti perkataan yang diperintahkan. Mereka mengubah "Hiththah" menjadi sesuatu yang lain, yang tidak ada dalam perintah Allah. Dalam beberapa tafsir, disebutkan bahwa mereka mengubahnya menjadi "Hinthah" (حِنطة), yang berarti gandum. Perubahan ini bukan sekadar perubahan lafal, melainkan perubahan makna dan niat. Mereka tidak lagi memohon ampunan, melainkan menganggap enteng perintah Allah dan fokus pada keuntungan duniawi (makanan yang melimpah).

3. Konsekuensi Kefasikan

Akibat dari penggantian perkataan dan pembangkangan mereka, Allah menurunkan azab ("rijzan min al-sama'"). Azab ini datang dari langit sebagai bukti murka Allah atas kedurhakaan mereka. Penggunaan kata "kefasikan" (فسق) menunjukkan bahwa perbuatan mereka bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan sebuah bentuk keluar dari ketaatan dan aturan Allah secara sengaja dan berulang. Kefasikan adalah akar dari banyak dosa dan keburukan yang menjerumuskan manusia pada kehancuran.

4. Pentingnya Niat dan Ketulusan

Ayat ini juga menekankan pentingnya niat dan ketulusan dalam beribadah dan berinteraksi dengan perintah Allah. Perintah mengucapkan "Hiththah" bukan hanya sekadar gerakan lidah, tetapi representasi dari sikap merendah diri, mengakui dosa, dan memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Ketika niatnya sudah melenceng, tujuan ibadah pun menjadi hilang.

5. Peringatan untuk Umat Muhammad

Meskipun kisah ini ditujukan kepada Bani Israil, namun menjadi pelajaran berharga bagi seluruh umat manusia, termasuk umat Nabi Muhammad SAW. Kita senantiasa diingatkan untuk tidak pernah bermain-main dengan perintah Allah, tidak mengubah-ubah makna syariat sesuai hawa nafsu, dan tidak menganggap remeh teguran atau perintah dari-Nya. Kemudahan dan limpahan rezeki yang diberikan Allah adalah amanah yang harus disyukuri dan digunakan sesuai dengan tuntunan-Nya, bukan sebagai alasan untuk melupakan-Nya atau melanggar perintah-Nya.

Refleksi Spiritual

Setiap kali membaca Surah Al Baqarah ayat 59, kita diajak untuk merenungi diri. Sudahkah kita benar-benar patuh pada setiap perintah Allah? Apakah niat kita dalam beribadah sudah tulus? Ataukah kita seringkali mengganti makna perintah-Nya dengan pemahaman kita sendiri yang mungkin keliru atau didorong oleh kepentingan duniawi semata? Perubahan sikap yang membawa bencana bagi kaum terdahulu seharusnya menjadi lonceng peringatan bagi kita agar senantiasa menjaga ketakwaan, ketulusan, dan kepatuhan kita kepada Allah SWT. Dengan begitu, kita dapat meraih rahmat dan keberkahan-Nya.

🏠 Homepage