Pertanyaan mendasar mengenai kedudukan Surah Al Ikhlas dalam tata letak mushaf Al-Qur’an seringkali menjadi titik awal bagi mereka yang ingin memahami struktur kitab suci umat Islam. Kedudukan ini bukan sekadar urutan nomor belaka, melainkan penempatan strategis yang menegaskan kepentingannya sebagai surah penutup yang berpasangan dengan dua surah pelindung (Al-Falaq dan An-Nas).
Surah Al Ikhlas Adalah Surah Ke-112
Secara definitif, berdasarkan kesepakatan ulama dan penomoran standar mushaf Utsmani, **Surah Al Ikhlas adalah surah ke-112** (seratus dua belas) dari total 114 surah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Surah ini diletakkan menjelang akhir Al-Qur’an, tepatnya setelah Surah Al-Masad (Surah ke-111) dan sebelum Surah Al-Falaq (Surah ke-113).
Meskipun posisinya secara urutan nomor berada di bagian akhir, kedudukannya secara teologis adalah yang paling fundamental, menjadikannya pilar utama dalam akidah Islam. Surah ini, meskipun sangat pendek, terdiri dari empat ayat, merangkum esensi dari keseluruhan pesan kenabian yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW, yaitu konsep Tauhid (Keesaan Allah) yang murni dan tanpa kompromi.
Nama-nama Surah dan Maknanya yang Mendalam
Nama populer surah ini adalah *Al-Ikhlas* (الْإِخْلَاص), yang secara harfiah berarti "Pemurnian" atau "Ketulusan". Penamaan ini sangat relevan karena surah ini berfungsi memurnikan akidah seseorang dari segala bentuk kemusyrikan dan keraguan. Seseorang yang memahami dan meyakini isi surah ini secara sempurna berarti telah memurnikan imannya hanya kepada Allah SWT.
Para ulama tafsir juga menyebut surah ini dengan nama-nama lain yang menunjukkan kedudukannya yang luhur:
- **Surah At-Tauhid:** Karena ia secara eksklusif dan ringkas menjelaskan konsep Tauhid Ilahi.
- **Surah Al-Asas:** Karena ia menjadi dasar atau fondasi dari seluruh ajaran Islam. Tanpa pemahaman surah ini, akidah seseorang tidak akan tegak.
- **Surah Al-Ma'rifah:** Surah yang mendatangkan pengetahuan sejati tentang Tuhan, menjawab pertanyaan eksistensial mengenai Siapa Allah.
- **Surah Al-Mumahhişah:** Surah yang membersihkan atau mensucikan, karena ia membersihkan pembacanya dari dosa-dosa syirik dan kekotoran keyakinan.
Fakta bahwa surah ke-112 ini memiliki begitu banyak nama pujian menunjukkan betapa pentingnya ia dalam kerangka teologi Islam, jauh melebihi implikasi dari urutan nomornya.
Konteks Pewahyuan (Asbabun Nuzul) Surah Al Ikhlas
Surah Al Ikhlas tergolong surah Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW di Makkah. Periode ini ditandai dengan intensitas perdebatan antara Rasulullah SAW dengan kaum musyrikin Quraisy, dan juga perjumpaan dengan kelompok Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mempertanyakan hakikat ketuhanan yang diserukan oleh Islam.
Riwayat yang paling masyhur mengenai asbabun nuzul (sebab turunnya) surah ini disebutkan oleh Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, dari Ubay bin Ka’ab. Dikatakan bahwa kaum musyrikin atau sekelompok Yahudi datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Jelaskanlah kepada kami nasab (garis keturunan) Tuhanmu!”
Permintaan ini mencerminkan mentalitas masyarakat saat itu, yang terbiasa mendefinisikan tuhan-tuhan mereka melalui hubungan darah, keturunan, dan bentuk fisik. Mereka ingin memahami Dzat yang disembah Muhammad melalui kerangka berpikir mereka yang antroposentris. Sebagai respons terhadap permintaan yang mustahil dijawab secara fisik ini, Allah menurunkan empat ayat Surah Al Ikhlas, yang memberikan deskripsi Dzat Ilahi yang melampaui segala konsepsi materialistik dan mitologis.
Oleh karena itu, surah ke-112 ini merupakan deklarasi independen teologis, yang secara tegas membedakan konsep Tuhan dalam Islam dari segala bentuk politeisme, trinitas, atau kepercayaan lain yang menyamakan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Surah ini adalah jawaban final dan absolut.
Analisis Ayat per Ayat: Empat Pilar Tauhid
Untuk memahami mengapa surah ke-112 ini memiliki bobot yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an (sebagaimana akan dibahas kemudian), kita harus meneliti setiap kata dan konsep yang terkandung dalam empat ayatnya. Surah ini tidak hanya mendeskripsikan sifat-sifat positif Allah, tetapi juga secara tegas meniadakan sifat-sifat negatif yang biasa disematkan kepada tuhan-tuhan palsu.
Ayat 1: Deklarasi Keesaan Mutlak
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ (1)
Terjemah: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
Kata kunci di sini adalah **Ahad** (أَحَدٌ). Meskipun kata *Wahid* juga berarti satu, penggunaan *Ahad* memiliki makna teologis yang jauh lebih dalam. *Wahid* (وَاحِد) bisa digunakan untuk menghitung (satu, dua, tiga), yang menyiratkan adanya kemungkinan bilangan lain setelahnya, atau adanya bagian-bagian yang membentuk kesatuan tersebut. Namun, *Ahad* merujuk pada keesaan yang mutlak, tak terbagi, unik, dan tidak ada duanya dalam jenis apa pun.
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa *Ahad* menafikan tiga jenis perserikatan:
- **Perserikatan Dzat:** Allah tidak tersusun dari bagian-bagian (tidak seperti manusia yang tersusun dari sel, organ, dll.).
- **Perserikatan Sifat:** Tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang serupa dan setara dengan sifat-sifat Allah (misalnya, Kekuatan-Nya, Pengetahuan-Nya).
- **Perserikatan Perbuatan:** Tidak ada yang dapat berbuat dan menciptakan selain Dia.
Surah ke-112 ini memulai dengan deklarasi bahwa Allah adalah Dzat yang tidak memiliki kesamaan, tidak memiliki sekutu, dan tidak dapat dibagi. Ini adalah landasan Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, dan Asma wa Sifat secara ringkas.
Ayat 2: Konsep As-Samad
اَللّٰهُ الصَّمَدُ (2)
Terjemah: “Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu.”
Kata **As-Samad** (الصَّمَدُ) adalah salah satu nama dan sifat Allah yang paling penting, dan hanya disebutkan satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surah ke-112 ini. Para mufasir memiliki banyak pandangan mengenai makna yang kaya dari kata ini, tetapi semuanya bermuara pada kesempurnaan dan ketergantungan mutlak makhluk kepada-Nya:
- **Ibnu Abbas:** As-Samad adalah Yang Mahasempurna dalam kekuasaan, pengetahuan, kelembutan, dan semua sifat-Nya.
- **Ikrimah:** As-Samad adalah Dzat yang tidak makan dan tidak minum. (Menegaskan bahwa Dia tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya).
- **Mayoritas Ulama:** As-Samad adalah tujuan segala hajat. Dialah yang dituju oleh semua makhluk, dan kepada-Nya semua kebutuhan dipanjatkan. Segala sesuatu bergantung kepada-Nya, sementara Dia tidak bergantung kepada siapa pun atau apa pun.
Ayat kedua ini melengkapi ayat pertama. Jika Ayat 1 menetapkan keesaan Dzat (Ahad), Ayat 2 menetapkan keesaan dalam ketergantungan dan kebutuhan. Dengan demikian, surah ke-112 ini menegaskan bahwa Allah bukan hanya satu, tetapi Dia adalah satu-satunya Dzat yang layak disembah karena kesempurnaan dan kemandirian-Nya.
Ayat 3: Penolakan Keturunan
لَمْ يَلِدْۙ وَلَمْ يُوْلَدْۙ (3)
Terjemah: “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”
Ayat ini adalah penolakan tegas terhadap dua bentuk kepercayaan yang tersebar luas pada masa Nabi, baik di kalangan pagan yang percaya tuhan-tuhan memiliki keturunan (seperti dewa-dewi Yunani atau Romawi), maupun di kalangan Ahli Kitab yang memiliki konsep anak Tuhan.
Frasa **لَمْ يَلِدْ (Lam Yalidu)**, "Dia tidak beranak," meniadakan keberadaan keturunan, yang secara teologis berarti meniadakan adanya sekutu dalam ketuhanan yang berasal dari esensi-Nya. Sementara frasa **وَلَمْ يُوْلَدْ (Wa Lam Yuulad)**, "dan tidak pula diperanakkan," meniadakan adanya permulaan. Artinya, Allah tidak dilahirkan dari sesuatu yang mendahului-Nya. Dia adalah Al-Awwal (Yang Awal) tanpa permulaan dan Al-Akhir (Yang Akhir) tanpa akhir.
Kebutuhan untuk beranak atau diperanakkan adalah ciri makhluk, yang memerlukan kelangsungan spesies atau memiliki asal-usul yang diciptakan. Karena Allah adalah *As-Samad* (Yang Mandiri dan Mutlak), sifat-sifat ini mustahil disematkan kepada-Nya. Ayat ini adalah kunci pembeda antara Tauhid dan Trinitas, atau Tauhid dan paganisme kuno.
Ayat 4: Negasi Kesetaraan
وَلَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا اَحَدٌ (4)
Terjemah: “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.”
Ayat penutup surah ke-112 ini berfungsi sebagai penutup yang menyapu bersih segala keraguan. Kata **Kufuwan** (كُفُوًا) berarti setara, sebanding, atau sama derajatnya. Ini menafikan adanya kesamaan dalam Dzat, Sifat, maupun Perbuatan Allah. Bahkan secara hipotesis, tidak ada satu pun yang memiliki potensi untuk menyamai atau menyaingi-Nya.
Jika Ayat 1 menetapkan keesaan-Nya (Ahad), dan Ayat 2 menetapkan kesempurnaan-Nya (Samad), maka Ayat 4 memastikan bahwa kesempurnaan ini eksklusif milik Allah. Ini adalah penolakan terhadap antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan makhluk) dan penolakan terhadap dualisme (kepercayaan adanya dua kekuatan yang setara). Kedudukan Surah Al Ikhlas sebagai surah ke-112 dalam mushaf menguatkan posisinya sebagai penutup definitif bagi segala bentuk kekeliruan akidah.
Kedudukan Teologis: Mengapa Surah Ke-112 Ini Sepertiga Al-Qur’an?
Salah satu keutamaan paling masyhur dari Surah Al Ikhlas adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa surah ini setara dengan sepertiga Al-Qur’an. Hadis ini diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, di antaranya dari Abu Said Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia (Surah Al Ikhlas) menyamai sepertiga Al-Qur’an."
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan mendalam di kalangan ulama: Bagaimana mungkin empat ayat pendek, yang merupakan surah ke-112, bisa setara dengan sepertiga dari seluruh kitab suci?
Tiga Pembagian Utama Al-Qur’an
Para ulama tafsir dan hadis mencapai konsensus bahwa Al-Qur’an secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga tema pokok:
- **Tauhid dan Akidah:** Berisi keyakinan tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan Keesaan-Nya.
- **Hukum dan Syariat:** Berisi perintah, larangan, etika, dan tata cara ibadah (muamalat dan ibadat).
- **Kisah dan Peringatan:** Berisi cerita tentang nabi-nabi terdahulu, umat-umat yang binasa, dan janji serta ancaman (surga dan neraka).
Surah Al Ikhlas, surah ke-112, secara sempurna dan eksklusif membahas kategori pertama: **Tauhid dan Akidah**. Karena kategori ini dianggap sebagai fondasi utama dan paling penting, maka surah yang merangkum esensinya dianggap setara dengan bobot sepertiga Al-Qur’an secara maknawi, meskipun bukan secara kuantitas huruf.
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam kitab Fathul Bari, menegaskan bahwa keutamaan ini bersifat khusus terkait makna. Jika seseorang membaca surah ke-112 ini, pahala yang ia dapatkan setara dengan pahala membaca sepertiga Al-Qur’an dari segi pemahaman akidah. Ini menekankan pentingnya kualitas keyakinan di atas kuantitas bacaan.
Al-Ikhlas: Manifestasi Kesempurnaan Akidah
Tidak ada satu pun surah lain dalam Al-Qur’an yang mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk mengupas esensi Ilahi seperti yang dilakukan oleh surah ke-112 ini. Surah ini memberikan batasan yang jelas antara Sang Pencipta dan ciptaan. Dengan memeluk makna dari Surah Al Ikhlas, seorang Muslim telah menyempurnakan pemahaman dasarnya tentang Allah.
Penolakan Terhadap Kekosongan dan Keterbatasan
Konsep yang disampaikan oleh Surah Al Ikhlas secara simultan menolak dua kesalahan teologis utama yang dilakukan oleh berbagai peradaban:
1. Penolakan Materialisme (Antropomorfisme)
Ayat 3 dan 4 (Lam Yalidu wa Lam Yuulad, wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad) menolak penyerupaan Allah dengan makhluk. Tuhan tidak memiliki tubuh, tidak membutuhkan pasangan, dan tidak memiliki kesetaraan. Surah ke-112 ini memastikan bahwa Dzat Allah berada di luar batas imajinasi dan pengalaman manusia. Jika kita dapat membayangkan Tuhan, maka apa yang kita bayangkan itu bukanlah Dia, karena Dia tidak ada yang serupa.
2. Penolakan Relativisme (Kebutuhan dan Kelemahan)
Ayat 2 (Allahus Samad) menolak konsep bahwa Tuhan adalah entitas yang bisa lemah, tidur, lelah, atau membutuhkan makanan dan bantuan. Sifat *Samadiyyah* menyiratkan kekuatan absolut, kemandirian total, dan kekekalan yang tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan zaman atau kebutuhan material. Surah ke-112 ini menempatkan Allah sebagai pusat eksistensi yang stabil dan tak tergoyahkan.
Surah Al Ikhlas, meskipun hanya empat ayat, bertindak sebagai filter akidah. Setiap kali seorang Muslim membacanya, ia memperbarui ikrar tauhidnya, memurnikan niatnya, dan menjauhkan dirinya dari segala bentuk keyakinan yang merusak kemurnian hubungan antara hamba dan Khaliq (Pencipta).
Surah Al Ikhlas dan Surah-Surah Pelindung (Mu’awwidzatain)
Dalam susunan Al-Qur’an, surah ke-112, Surah Al Ikhlas, diletakkan tepat sebelum dua surah terakhir, yaitu Al-Falaq (Surah ke-113) dan An-Nas (Surah ke-114). Ketiga surah ini seringkali disebut sebagai *Al-Mu’awwidzat* (surah-surah perlindungan) dan memiliki keutamaan khusus untuk dibaca saat berlindung kepada Allah dari segala macam keburukan, termasuk sihir, hasad, dan godaan setan.
Penempatan Surah Al Ikhlas yang merupakan surah ke-112, sebagai pembuka trio perlindungan ini sangat logis. Mengapa? Karena perlindungan sejati dan efektif dari segala keburukan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh setelah seseorang memurnikan tauhidnya dan mengetahui siapa Dzat yang ia jadikan sandaran.
Sebelum kita meminta perlindungan dari bahaya fisik (seperti dalam Al-Falaq) atau bahaya psikologis/spiritual (seperti dalam An-Nas), kita harus terlebih dahulu menetapkan keyakinan bahwa Dzat yang kita mintai perlindungan adalah **Ahad** (Esa) dan **As-Samad** (Tempat Bergantung Mutlak). Dengan demikian, Surah Al Ikhlas memastikan bahwa niat perlindungan kita murni dan diarahkan kepada Dzat yang satu-satunya berhak memberikan perlindungan total.
Surah ke-112 ini menggarisbawahi bahwa tidak ada makhluk, jin, atau sihir yang dapat menandingi kekuasaan Allah yang Mahamulia. Keberhasilan dalam mencari perlindungan dimulai dari pengakuan mutlak akan Keesaan Dzat yang Mahakuasa.
Pendalaman Linguistik dan Teologis: Mempertegas Makna Ahad
Untuk benar-benar menghargai kedudukan surah ke-112, kita harus kembali pada kata kuncinya: *Ahad*. Penggunaan kata ini dalam konteks teologis adalah pilihan yang sangat cermat dalam bahasa Arab, dan ia memiliki implikasi yang terus digali oleh para teolog sepanjang sejarah Islam.
Ahad dalam Konteks Nafyi (Penolakan)
Kata *Ahad* ketika digunakan dalam kalimat negasi (penolakan) memiliki arti yang mencakup totalitas, tidak meninggalkan celah sedikit pun. Misalnya, ketika kita mengatakan, "Tidak ada *ahad* di rumah," artinya sama sekali tidak ada satu pun orang, besar atau kecil, yang berada di sana. Dalam konteks Surah Al Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad" (Katakanlah Dialah Allah, Yang Ahad), ini adalah penegasan, tetapi penegasan ini secara implisit menolak adanya kemungkinan kemusyrikan atau pembagian Dzat Ilahi.
Kontrasnya dengan *Wahid* (Satu) sangatlah penting. *Wahid* bisa merujuk pada keesaan numerik (misalnya, satu dari sepuluh). Jika Allah digambarkan sebagai *Wahid*, mungkin ada interpretasi yang salah bahwa Dia adalah yang pertama dari rangkaian ilahiyah (seperti konsep primus inter pares atau yang pertama di antara yang setara), atau bahwa Dia memiliki bagian-bagian yang membentuk keesaan-Nya.
Namun, Surah Al Ikhlas, surah ke-112, menggunakan *Ahad* untuk meniadakan segala bentuk pluralitas atau komposisi dalam Dzat Allah. Dia Esa dalam segala aspek, tanpa perbandingan, tanpa permulaan, dan tanpa akhir. Pemahaman yang mendalam ini adalah kunci untuk menjaga kemurnian tauhid. Kesalahan dalam memahami keesaan Allah adalah akar dari semua penyimpangan akidah.
Implikasi Surah Al Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari
Karena Surah Al Ikhlas adalah surah ke-112 dan merupakan sepertiga Al-Qur’an secara maknawi, membacanya bukan hanya ritual, tetapi sebuah praktik yang memengaruhi perilaku dan pandangan hidup seorang Muslim.
1. Pengekalan Keikhlasan (Ikhlas dalam Amal)
Nama surah itu sendiri, Al-Ikhlas, mengajarkan bahwa amal perbuatan harus murni (ikhlas) hanya untuk Allah. Jika keyakinan kita murni (tauhid yang Ahad), maka niat kita pun harus murni. Segala bentuk riya (pamer) atau keinginan mendapat pujian manusia akan gugur karena kita hanya bergantung dan berharap kepada *As-Samad*.
2. Ketahanan Psikologis (Tawakkal)
Konsep *As-Samad* memberikan ketenangan luar biasa. Jika Allah adalah Dzat yang dituju oleh segala hajat, maka seorang Muslim tidak perlu cemas atau takut berlebihan terhadap makhluk. Ketergantungan total kepada *As-Samad* yang tidak pernah membutuhkan apa-apa, memastikan bahwa Dia mampu memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya. Surah ke-112 ini adalah penawar bagi keputusasaan.
3. Penolakan Fatalisme dan Mitologi
Karena Allah "Lam Yalidu wa Lam Yuulad" (tidak beranak dan tidak diperanakkan), ini meniadakan adanya mitologi atau garis keturunan ilahi yang mengikat manusia pada nasib buruk warisan leluhur. Kekuasaan Allah adalah mutlak dan independen, tidak dipengaruhi oleh hierarki semesta raya, yang memberi kebebasan spiritual bagi manusia untuk berinteraksi langsung dengan Penciptanya tanpa perantara.
Surah ke-112 ini adalah pengingat harian bagi setiap Muslim bahwa pondasi agamanya sangat kokoh, sederhana, namun paling mutlak: Hanya ada satu Tuhan, dan Dia adalah segalanya.
Kesimpulan: Urutan dan Inti Pesan Surah Al Ikhlas
Sebagai rangkuman, perlu ditegaskan kembali bahwa **Surah Al Ikhlas adalah surah ke-112** dalam susunan Al-Qur’an. Penempatannya di bagian akhir, sebelum dua surah pelindung, adalah sebuah penataan yang sengaja dilakukan untuk menjadikannya deklarasi final tentang hakikat Ilahiyah sebelum penutup Al-Qur’an.
Surah yang terdiri dari empat ayat ini memberikan kontribusi yang tidak terhingga bagi kemurnian teologi Islam. Tidak peduli seberapa panjang atau rumitnya kitab-kitab akidah yang ditulis para ulama, inti dari semuanya selalu kembali pada empat poin yang terdapat dalam Surah Al Ikhlas, surah ke-112:
- **Keesaan Dzat (Ahad):** Menolak pembagian dan pluralitas.
- **Kemandirian Absolut (As-Samad):** Menolak kebutuhan dan ketergantungan.
- **Penolakan Asal Usul dan Keturunan:** Menolak permulaan dan akhir yang diwariskan (Lam Yalidu wa Lam Yuulad).
- **Penolakan Kesetaraan (Kufuwan Ahad):** Menolak segala bentuk perbandingan atau tandingan.
Setiap Muslim didorong untuk sering membaca surah ke-112 ini, bukan hanya karena pahalanya yang besar setara sepertiga Al-Qur’an, tetapi juga sebagai cara menjaga akidah tetap murni dan kokoh. Surah Al Ikhlas adalah inti ajaran Islam, sebuah manifesto kebenaran yang akan terus relevan hingga akhir zaman, menjadi benteng terakhir bagi iman seorang mukmin di hadapan segala bentuk kesesatan dan syirik.
Dengan demikian, Surah Al Ikhlas, surah ke-112, merupakan puncak dari segala pelajaran tauhid dalam Al-Qur’an, memberikan definisi yang singkat namun tuntas tentang Siapa Allah SWT itu sesungguhnya.
Keagungan surah ke-112 ini terletak pada kemampuannya untuk menanggapi segala pertanyaan teologis yang mungkin timbul di benak manusia, baik dari masa klasik hingga masa modern. Ia adalah jawaban abadi atas pertanyaan mengenai hakikat Sang Pencipta, memastikan bahwa kemurnian iman (ikhlas) adalah satu-satunya jalan menuju ketenangan abadi dan rida Ilahi.
Pemahaman yang mendalam tentang surah ke-112 ini bukan hanya sekadar mengetahui urutannya dalam mushaf, tetapi merupakan gerbang menuju kedalaman spiritual yang sebenarnya, membebaskan hati dari ketergantungan kepada makhluk dan mengikatnya erat-erat kepada Allah, Yang Maha Esa dan tempat bergantung segala sesuatu.
Ekspansi Teologi: Konsep As-Samad dalam Perspektif Klasik
Meskipun kita telah menetapkan bahwa Surah Al Ikhlas adalah surah ke-112, kedalaman maknanya, terutama pada ayat kedua, memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Konsep *As-Samad* adalah inti dari kemandirian Ilahi, sebuah istilah yang begitu kaya sehingga para mufasir kuno menginvestasikan banyak waktu untuk memecahkannya.
Samad dan Ketiadaan Kekurangan
Jumhur (mayoritas) ulama tafsir awal menekankan bahwa As-Samad berarti Dzat yang tidak memiliki rongga, tidak makan, dan tidak minum. Pandangan ini, yang mungkin terdengar simplistik, sebenarnya memiliki makna teologis yang revolusioner. Kebutuhan untuk makan, minum, atau memiliki rongga adalah ciri khas jasad yang fana dan memerlukan nutrisi untuk bertahan. Dengan menafikan sifat-sifat ini, Surah Al Ikhlas (surah ke-112) secara tegas menolak pemahaman materialistik tentang Tuhan yang umum pada zaman jahiliah.
Seorang ahli bahasa Arab, Al-Jauhari, mendefinisikan *As-Samad* sebagai 'pemimpin yang telah mencapai puncak kekuasaan dan yang kepadanya segala urusan merujuk.' Hal ini menggabungkan aspek kemuliaan, kekuasaan, dan ketergantungan total makhluk. Ketika manusia menghadapi krisis, secara naluriah ia mencari perlindungan dan penyelesaian. Dalam Islam, Dzat yang kepadanya semua hajat dipusatkan adalah Allah, *As-Samad*.
Surah ke-112 ini mengajarkan bahwa ketergantungan kepada *As-Samad* adalah satu-satunya ketergantungan yang tidak akan pernah sia-sia. Semua yang lain adalah ketergantungan yang sementara, sebab makhluk juga bergantung kepada yang lain. Hanya Allah yang mandiri sepenuhnya, menciptakan tetapi tidak diciptakan, memberi tetapi tidak membutuhkan pemberian.
Implikasi Filosofis dari Samadiyyah
Dalam filsafat Islam (terutama yang membahas *Ilahiyyat*), konsep *As-Samad* dalam Surah Al Ikhlas (surah ke-112) menjadi dasar untuk menolak konsep kausalitas yang tak terbatas (infinite regress). Jika segala sesuatu memiliki sebab yang mendahuluinya, maka harus ada Sebab Pertama yang tidak disebabkan. *As-Samad* adalah Sebab Pertama, yang tidak memerlukan eksistensi atau sebab dari luar diri-Nya sendiri. Ini adalah kemutlakan ontologis.
Dengan demikian, Surah Al Ikhlas, yang merupakan surah ke-112 dalam susunan Al-Qur’an, bukan hanya sebuah surah perlindungan atau pengajaran, tetapi juga sebuah pernyataan filosofis yang sangat padat mengenai hakikat eksistensi sejati (wajib al-wujud).
Analisis Mendalam Kufuwan Ahad: Nafi' Syirik dan Tasybih
Ayat terakhir Surah Al Ikhlas, surah ke-112, "Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad" (Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia), adalah penutup yang sempurna karena ia menangkis potensi kesyirikan yang tersisa setelah tiga ayat sebelumnya.
Perbedaan antara Kufuwan dan Syarik
Meskipun sering diterjemahkan sebagai 'setara,' *Kufu* (كُفُو) memiliki konotasi yang lebih spesifik daripada *Syarik* (sekutu). *Syarik* umumnya merujuk pada sekutu dalam kekuasaan atau ibadah. *Kufu*, di sisi lain, merujuk pada kesamaan dalam kualitas, kedudukan, atau substansi.
Surah ke-112, melalui ayat ini, memastikan bahwa Allah tidak memiliki tandingan, bahkan secara hipotetis. Tidak ada makhluk yang dapat dibandingkan dengan-Nya, baik dalam hal Dzat (Dia tidak tersusun), Sifat (Sifat-Nya sempurna mutlak), maupun Perbuatan (Perbuatan-Nya tidak terbatas). Ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut *Tasybih* (penyerupaan) dan *Tamthil* (penyamarataan).
Implikasi Nubuwwah
Dalam konteks nubuat, ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk klaim kenabian palsu yang mencoba menandingi wahyu Ilahi adalah batil. Wahyu yang datang dari Dzat yang Ahad dan Samad adalah unik. Surah Al Ikhlas (surah ke-112) menjadi standar kebenaran; segala yang bertentangan dengan Tauhid mutlak yang dikandungnya adalah tidak setara dengan kebenaran yang datang dari Allah.
Keempat ayat pendek dari surah ke-112 ini bekerja sebagai satu kesatuan yang koheren. Mulai dari penetapan Keesaan Dzat, diikuti dengan penetapan Keesaan dalam Kewenangan dan Kebutuhan, kemudian peniadaan hubungan kekeluargaan, dan diakhiri dengan peniadaan kesetaraan. Surah ini adalah ensiklopedia mini tentang akidah Islam yang paling murni.
Kontinuitas Surah 112, 113, dan 114: Pilar Keselamatan
Penempatan Surah Al Ikhlas sebagai surah ke-112 adalah sangat penting ketika kita melihat konteks tiga surah penutup Al-Qur'an. Ini menunjukkan pergerakan logis dari pemurnian internal menuju perlindungan eksternal.
- **Surah 112 (Al Ikhlas):** Perlindungan Internal. Membentengi hati dan akidah dari penyakit syirik, yang merupakan keburukan terbesar. Jika tauhid sudah benar, fondasi perlindungan telah terbentuk.
- **Surah 113 (Al-Falaq):** Perlindungan Eksternal Fisik. Permintaan perlindungan dari keburukan makhluk, keburukan malam (kegelapan), sihir, dan hasad.
- **Surah 114 (An-Nas):** Perlindungan Eksternal Spiritual. Permintaan perlindungan dari keburukan yang membisikkan (syaitan), baik dari golongan jin maupun manusia.
Kehadiran surah ke-112, Surah Al Ikhlas, di posisi sentral ini berfungsi sebagai landasan teologis. Jika seseorang tidak yakin bahwa Dzat yang dimintai perlindungan (Allah) adalah *As-Samad*, maka permintaan perlindungannya akan rapuh. Oleh karena itu, Surah Al Ikhlas harus dibaca terlebih dahulu, secara spiritual maupun dalam praktik, untuk memvalidasi kemurnian niat dan kekuatan sandaran.
Ini menjelaskan mengapa Rasulullah SAW sangat menganjurkan pembacaan *Al-Mu’awwidzat* secara rutin, terutama sebelum tidur, setelah shalat, dan di pagi serta sore hari. Ini adalah tameng yang kokoh, dimulai dari penegasan Surah Al Ikhlas (surah ke-112) tentang keesaan Allah yang absolut, diikuti dengan penyerahan diri total kepada perlindungan-Nya.
Surah ke-112, Surah Al Ikhlas, mewakili pengakuan bahwa sumber segala kebaikan dan kekuatan adalah tunggal, tanpa sekutu, dan kekal. Inilah mengapa ia adalah surah ke-112, surah yang memiliki keutamaan sepertiga Al-Qur’an, dan merupakan inti dari seluruh pesan kenabian.
Keseluruhan Al-Qur’an bertujuan untuk membimbing manusia menuju Allah SWT. Surah Al Ikhlas, yang merupakan surah ke-112, adalah cara tercepat, termudah, dan termurni untuk mencapai pengenalan yang benar tentang Allah, Yang Maha Ahad, Yang Maha Samad.