Surah Al-Ikhlas: Kronologi dan Kedalaman Konsep Tauhid

Menyingkap misteri waktu turunnya surah pemurnian keesaan Allah yang Agung

Pendahuluan: Kedudukan Surah Al-Ikhlas dalam Arus Wahyu

Surah Al-Ikhlas, meskipun terdiri dari hanya empat ayat yang ringkas, menempati posisi yang sangat monumental dalam lanskap teologi Islam. Surah ini bukan sekadar rangkaian kata; ia adalah manifesto keesaan (Tauhid) yang mutlak dan tak tercampur, berfungsi sebagai pilar utama akidah yang membedakan Islam dari segala bentuk kepercayaan lain.

Pertanyaan mengenai kronologi turunnya, yaitu, "Surah Al-Ikhlas diturunkan sesudah surah apa?", adalah sebuah upaya untuk memahami konteks sejarah dan narasi wahyu yang melatarinya. Menentukan urutan pasti wahyu adalah tugas yang kompleks, sebab Al-Qur'an diturunkan secara bertahap (munajjaman) selama lebih dari dua puluh tahun, merespons kebutuhan, tantangan, dan pertanyaan yang muncul dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ dan komunitas Muslim awal.

Klasifikasi surah-surah dalam mushaf yang kita kenal hari ini disusun berdasarkan petunjuk ilahi (Tawqifi) dan bukan berdasarkan urutan kronologis penurunan. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan kronologi ini, kita harus menyelam ke dalam ilmu ‘Ulumul Qur’an, khususnya Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) dan daftar kronologis yang disusun oleh para ulama terdahulu, seperti yang dicatat dalam studi-studi kenabian periode Makkah.

Al-Ikhlas, sering kali diklasifikasikan sebagai surah Makkiyah, diturunkan pada fase awal dakwah, ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang berjuang mendefinisikan identitas monoteisme murni di tengah masyarakat yang didominasi oleh paganisme politeistik, serta berinteraksi dengan komunitas Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memiliki konsep ketuhanan yang berbeda dari Tauhid murni yang dibawa Islam. Pemahaman terhadap urutan penurunannya akan membantu kita memahami tantangan akidah spesifik yang dihadapi Rasulullah saat surah ini diwahyukan.

Analisis Kronologi: Mencari Surah Pendahulu Al-Ikhlas

Para ulama klasik telah menyusun beberapa daftar kronologis wahyu, namun tidak ada konsensus tunggal yang absolut, karena perbedaan sumber dan riwayat yang digunakan. Meskipun demikian, ada kesamaan pandangan mengenai konteks waktu turunnya Al-Ikhlas, yang paling sering ditempatkan pada periode Makkah awal hingga pertengahan.

Kesulitan Menentukan Urutan Tunggal yang Mutlak

Ilmuwan Al-Qur'an seperti Imam As-Suyuti dalam Al-Itqan fi 'Ulumil Qur'an dan para pengikut Mazhab Kufah dan Basrah sering memiliki daftar urutan yang berbeda-beda. Ini disebabkan oleh tiga faktor utama:

  1. Riwayat yang Beragam: Beberapa sahabat mungkin mendengar wahyu yang sama di waktu yang berbeda, atau riwayat yang diterima melalui jalur yang berbeda menghasilkan penempatan yang sedikit bergeser.
  2. Penafsiran Konteks: Kadang kala satu surah diturunkan secara bertahap, namun surah lain yang lebih pendek selesai diturunkan di tengah-tengah proses tersebut.
  3. Pengulangan Wahyu: Beberapa ayat yang sangat penting, termasuk yang berkaitan dengan Tauhid, mungkin diturunkan atau diulang wahyu konteksnya di berbagai waktu untuk penegasan.

Penempatan Al-Ikhlas dalam Daftar Kronologis

Dalam daftar kronologis yang paling diakui dan digunakan secara luas, seperti daftar yang disusun berdasarkan riwayat Abdullah bin Abbas (meskipun terdapat perbedaan minor antar-ulama), Surah Al-Ikhlas sering kali ditempatkan di antara surah-surah Makkiyah awal hingga pertengahan yang memiliki penekanan kuat pada penolakan Syirik dan penegasan keesaan Allah.

Pencarian Jawaban Spesifik

Merujuk kepada beberapa daftar kronologis terkemuka, Al-Ikhlas sering diindikasikan diturunkan setelah surah-surah yang memiliki fokus awal yang sama dalam menegakkan fondasi akidah. Salah satu urutan yang sering disebutkan, terutama yang menempatkannya pada masa yang kritis dalam diskusi dengan kaum pagan Quraisy tentang definisi Tuhan, menempatkannya di sekitar penempatan berikut:

Menurut beberapa studi kronologi, Al-Ikhlas (Q.S. 112) sering kali ditempatkan setelah Surah Al-Fajr (Q.S. 89) atau Surah Adh-Dhuha (Q.S. 93), atau terkadang Surah An-Naas (Q.S. 114) dalam beberapa urutan awal. Namun, riwayat yang dominan dan dianggap lebih tepat oleh mayoritas ulama menempatkannya di tengah periode Makkah.

Dalam banyak daftar yang mencakup Surah Al-Ikhlas (yang sangat singkat dan padat), ia ditempatkan dekat dengan surah-surah yang berfokus pada sifat-sifat Allah, seperti Surah An-Nasr (110) atau Surah Al-Kafirun (109). Akan tetapi, melihat pada konteks teologis dan Asbabun Nuzul (sebab turunnya) yang sangat spesifik, banyak ulama cenderung mengarahkan bahwa ia diturunkan sesudah Surah Al-Muddaththir (Q.S. 74) atau bahkan setelah Surah Al-Kafirun (Q.S. 109).

Jawaban yang Paling Sesuai Berdasarkan Konteks Teologis:

Mengingat intensitas kandungan Tauhidnya, Surah Al-Ikhlas sangat erat kaitannya dengan Surah Al-Kafirun. Surah Al-Kafirun mendefinisikan pemisahan mutlak dalam ibadah (La'budu ma ta'budun), sementara Al-Ikhlas mendefinisikan pemisahan mutlak dalam esensi (Siapa Allah itu). Kedua surah ini sering disandingkan dalam ibadah (dianjurkan dibaca saat Salat Maghrib dan Isya, serta sebelum tidur), menunjukkan hubungan tematik yang kuat. Jika kita mengikuti daftar urutan wahyu berdasarkan riwayat-riwayat yang memprioritaskan momen konfrontasi akidah:

Surah Al-Ikhlas (112) seringkali disebutkan dalam konteks penurunannya yang sangat dekat dengan Surah Al-Kafirun (109), baik sedikit sebelum atau sesudahnya, dengan banyak riwayat yang menyimpulkan bahwa ia diturunkan segera sesudah Surah Al-Kafirun. Surah Al-Kafirun secara historis turun untuk merespons tawaran kompromi dari kaum Quraisy. Ketika kompromi ibadah ditolak, pertanyaan beralih ke esensi Tuhan itu sendiri, yang dijawab tuntas oleh Al-Ikhlas.

Penting untuk dicatat bahwa dalam studi Al-Qur'an, penentuan surah pendahulu lebih penting daripada nomor urut, karena penentuan tersebut membantu kita memahami evolusi tantangan dakwah yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ.

Asbabun Nuzul: Konteks Historis Penegasan Keesaan

Untuk memahami mengapa Al-Ikhlas diturunkan pada momen spesifik dalam sejarah, kita harus meninjau Asbabun Nuzul yang paling masyhur. Surah ini adalah jawaban langsung terhadap pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah ﷺ mengenai esensi dan silsilah (keturunan) Tuhannya.

Tiga Kelompok Penanya Utama

Surah Al-Ikhlas menjawab kekeliruan teologis dari tiga kelompok utama yang saat itu berinteraksi dengan dakwah Islam di Makkah:

1. Kaum Musyrikin Quraisy

Riwayat yang paling umum (dicatat oleh Imam At-Tirmidzi dan lainnya) menyebutkan bahwa kaum Musyrikin Quraisy datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dan berkata: "Wahai Muhammad, gambarkan kepada kami sifat Tuhanmu. Apakah Dia terbuat dari emas? Atau perak? Atau tembaga? Siapakah silsilah keturunan-Nya?" Mereka terbiasa dengan konsep dewa-dewa yang memiliki asal-usul, silsilah, dan pasangan (istri), sehingga mereka membayangkan Allah juga harus memiliki atribut fisik atau garis keturunan. Surah Al-Ikhlas turun sebagai penolakan total terhadap antropomorfisme (penyifatan Tuhan seperti manusia) dan materialisme.

2. Delegasi Yahudi

Beberapa riwayat, khususnya yang fokus pada Madinah (yang memicu perdebatan Makkiyah/Madaniyah), menyebutkan bahwa sekelompok Yahudi datang bertanya tentang sifat-sifat Allah, yang kemudian ditegaskan dengan jawaban "Qul Huwallahu Ahad." Namun, riwayat Makkiyah lebih kuat untuk konteks ini karena surah ini berfungsi sebagai fondasi Tauhid awal.

3. Delegasi Nasrani Najran

Meskipun pertemuan besar dengan delegasi Najran terjadi di Madinah, konsep Trinitas yang mereka pegang sangat berbeda dari Tauhid. Surah ini secara implisit menjawab konsep Tuhan yang memiliki anak (seperti yang diyakini Nasrani) dan konsep Tuhan yang dikaitkan dengan keturunan (seperti yang diyakini pagan). Ayat “Lam Yalid wa Lam Yulad” (Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan) adalah sanggahan langsung dan definitif terhadap keyakinan bahwa Tuhan memiliki hubungan kekerabatan.

Penolakan tegas dan ringkas ini menunjukkan bahwa Surah Al-Ikhlas bukan hanya deklarasi, tetapi juga senjata teologis yang sangat kuat yang digunakan Rasulullah ﷺ di garis depan dakwahnya untuk membersihkan konsep ketuhanan dari segala kotoran syirik dan kekeliruan.

Simbol Tauhid: Keesaan Allah Representasi geometris minimalis dari konsep Tauhid (Keesaan Allah). 1

(Visualisasi sederhana dari konsep Keesaan Allah (Al-Ahad) yang absolut.)

Perdebatan Klasifikasi: Makkiyah atau Madaniyah?

Meskipun mayoritas ulama, termasuk As-Suyuti dan Az-Zarkasyi, mengklasifikasikan Al-Ikhlas sebagai Makkiyah, perdebatan ini penting karena jika ia terbukti Madaniyah, kronologinya akan bergeser sangat jauh, menempatkannya jauh setelah surah-surah yang turun di Makkah.

Argumen Klasifikasi Makkiyah (Pandangan Mayoritas)

Kandungan surah ini adalah argumen terkuatnya. Surah Makkiyah fokus pada penetapan fondasi akidah, tauhid, dan hari kebangkitan. Al-Ikhlas secara eksklusif membahas fondasi tauhid. Selain itu, riwayat Asbabun Nuzul yang melibatkan kaum Musyrikin Quraisy terjadi pada masa awal di Makkah. Mustahil Nabi Muhammad ﷺ meninggalkan Makkah dan mendirikan negara di Madinah tanpa Surah Al-Ikhlas, yang merupakan definisi diri Allah yang paling dasar.

Argumen Klasifikasi Madaniyah

Argumen Madaniyah didasarkan pada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa pertanyaan mengenai silsilah Allah diajukan oleh kelompok Ahlul Kitab (Yahudi atau Nasrani) di Madinah. Para ulama yang memegang pandangan ini berpendapat bahwa surah ini diturunkan di Madinah sebagai penegasan akhir melawan kekeliruan Trinitas dan keyakinan bahwa Allah memiliki anak atau pasangan.

Kesimpulan Klasifikasi

Meskipun Surah Al-Ikhlas mungkin diulang penurunannya (atau wahyu konteksnya diulang) di Madinah untuk menegaskan kembali kepada Ahlul Kitab, kandungan dan konteks aslinya yang menjawab pertanyaan pagan Makkah menjadikannya secara fundamental Surah Makkiyah. Penempatan kronologisnya tetap berada pada fase awal dakwah, menegaskan bahwa ia diturunkan sesudah surah-surah yang berfungsi sebagai penyiap fondasi akidah, seperti yang disebutkan, kemungkinan besar setelah Al-Kafirun atau surah-surah Makkiyah awal lainnya.

Inti Tauhid: Tafsir Mendalam Setiap Ayat

Pencapaian panjang kata-kata dalam Surah Al-Ikhlas adalah berbanding terbalik dengan kedalaman maknanya. Surah ini memberikan empat properti definitif mengenai siapa Allah itu, secara efektif membersihkan akidah dari segala pemahaman yang cacat atau terbatas.

Ayat 1: Qul Huwallahu Ahad (Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa)

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ

Kata kunci di sini adalah Ahad (أَحَدٌ). Ini bukan sekadar angka 'satu' (Wahid). Ahad merujuk pada keesaan yang mutlak, yang tidak bisa dibagi, tidak memiliki tandingan, dan tidak memiliki bagian. Jika seseorang menggunakan kata Wahid, secara bahasa masih memungkinkan adanya Wahid kedua atau ketiga. Namun, Ahad menolak kemungkinan adanya yang kedua atau tandingan sama sekali.

Ini adalah penolakan terhadap Syirk Dzati (kesyirikan dalam Dzat Allah). Para mufassir menekankan bahwa Ahad meniadakan konsep pluralitas dalam Dzat Ilahi, menolak Trinitas (tiga dalam satu) dan menolak konsep pagan bahwa ada dewa-dewa lain yang setara.

Ayat 2: Allahush Shamad (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu)

اللَّهُ الصَّمَدُ

Kata Ash-Shamad (الصَّمَدُ) adalah salah satu Asmaul Husna yang paling mendalam dan unik, yang tidak memiliki padanan sempurna dalam bahasa lain. Secara ringkas, Ash-Shamad memiliki beberapa makna esensial:

Ayat ini adalah penolakan terhadap Syirk Sifati (kesyirikan dalam sifat-sifat Allah). Dia adalah yang Maha Mandiri (Qayyum), sedangkan semua yang lain sepenuhnya bergantung pada-Nya untuk keberadaan mereka. Semua makhluk berhajat kepada-Nya, tetapi Dia tidak berhajat kepada siapa pun atau apa pun.

Ayat 3: Lam Yalid wa Lam Yulad (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan)

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

Ayat ini berfungsi sebagai penolakan terhadap semua bentuk kekerabatan Ilahi. Secara historis, ia secara khusus membantah dua pandangan besar:

Ayat ini adalah pembersihan mutlak dari segala bentuk kelemahan eksistensial dan keterbatasan waktu. Allah adalah Abadi, Azali, dan tidak terikat oleh hukum keturunan biologis.

Ayat 4: Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad (Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Kata Kufuwan (كُفُوًا) berarti setara, sebanding, atau sederajat. Ayat penutup ini adalah kesimpulan yang menyatukan tiga properti sebelumnya, menegaskan bahwa tidak ada makhluk, entitas, dewa, atau konsep pun yang dapat dibandingkan atau menyamai keagungan-Nya, baik dalam Dzat, Sifat, maupun Af'al (perbuatan)-Nya.

Ini adalah penolakan terhadap Syirk Fi Af'al (kesyirikan dalam perbuatan), di mana orang mungkin percaya bahwa ada kekuatan lain yang bisa memberikan rezeki, memberikan manfaat, atau menciptakan selain Allah. Ayat ini menutup semua celah kesyirikan, menegaskan Tauhid dalam wujudnya yang paling murni dan holistik.

Keutamaan Agung: Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Qur'an

Salah satu fakta yang paling menakjubkan mengenai Surah Al-Ikhlas adalah kedudukannya yang mulia, sebagaimana ditegaskan dalam banyak hadis shahih yang menyatakan bahwa surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an.

Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata: "Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya: 'Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu membaca sepertiga Al-Qur'an dalam semalam?' Hal itu terasa berat bagi mereka. Mereka berkata: 'Siapa di antara kami yang mampu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Qul Huwallahu Ahad, Allahu Shamad, itu sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an.'" (HR. Bukhari dan Muslim).

Mengapa Surah Al-Ikhlas Bernilai Sepertiga?

Para ulama tafsir dan hadis telah merenungkan mengapa sebuah surah singkat memiliki bobot yang sedemikian rupa. Interpretasi yang paling kuat adalah bahwa Al-Qur'an secara keseluruhan dapat dibagi menjadi tiga pilar utama berdasarkan isinya:

1. Pilar Tauhid (Keesaan Allah)

Ini adalah inti dari Surah Al-Ikhlas. Surah ini menjelaskan sifat-sifat Allah yang Maha Agung, meniadakan segala keterbatasan, dan menegaskan keesaan-Nya. Tauhid adalah tujuan utama kenabian dan pondasi iman.

2. Pilar Hukum dan Syariat (Perintah dan Larangan)

Bagian Al-Qur'an yang menjelaskan tata cara ibadah (salat, puasa, zakat, haji) dan muamalat (hukum sosial, ekonomi, pidana).

3. Pilar Kisah dan Janji (Kisah Para Nabi, Surga dan Neraka)

Bagian yang berisi narasi sejarah untuk diambil pelajaran, dan janji serta ancaman mengenai Hari Akhir.

Karena Surah Al-Ikhlas merangkum esensi mutlak dari pilar pertama—Tauhid—maka ia dianggap setara dengan bobot keseluruhan bagian Al-Qur'an yang didedikasikan untuk pokok bahasan tersebut. Membaca Al-Ikhlas dengan pemahaman dan keimanan yang mendalam sama dengan menguatkan dan menegaskan pemahaman seseorang terhadap sepertiga inti ajaran Al-Qur'an.

Implikasi Fadilah dalam Kehidupan Muslim

Keutamaan ini mendorong umat Islam untuk mengintegrasikan Surah Al-Ikhlas dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Ia dianjurkan dibaca:

Melalui pengulangan ini, Tauhid terus ditegakkan dalam hati seorang mukmin, membersihkan (ikhlas) niatnya dari segala bentuk kemusyrikan kecil maupun besar.

Kontra-Ideologi dan Kekuatan Negasi dalam Surah

Surah Al-Ikhlas merupakan respons teologis yang paling canggih terhadap kekeliruan teologis yang beredar pada masa wahyu, bukan hanya di Makkah tetapi juga secara universal.

Negasi dalam Bahasa Arab

Kekuatan surah ini terletak pada bagaimana ia menggunakan struktur negasi (peniadaan) secara berulang dan bertahap untuk membangun pemahaman yang sempurna tentang Allah. Tiga ayat terakhir menggunakan negasi untuk menghancurkan konsep-konsep sesat:

  1. Negasi Asal Usul (Lam Yulad): Menolak adanya sebab eksternal bagi keberadaan Allah. Dia tidak berasal dari apa pun; Dia adalah Al-Qayyum (Yang Berdiri Sendiri).
  2. Negasi Keturunan (Lam Yalid): Menolak adanya produk internal dari Dzat-Nya. Dia tidak memiliki anak, sehingga menolak segala bentuk pemisahan Dzat-Nya.
  3. Negasi Kesetaraan (Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad): Menolak adanya pesaing, tandingan, atau kesamaan. Tidak ada yang setara dengan-Nya.

Pendekatan negasi ini penting karena seringkali lebih mudah bagi akal manusia untuk memahami apa yang Tuhan *bukan* daripada memahami esensi mutlak Tuhan. Dengan menolak segala kelemahan, kebutuhan, dan keterbatasan, Al-Ikhlas membawa hati kepada pengakuan akan keesaan dan kesempurnaan-Nya yang tiada tara.

Surah Al-Ikhlas dan Silsilah Ketuhanan Fiktif

Di Makkah, keberadaan patung-patung seperti Al-Latta, Al-Uzza, dan Manat seringkali disematkan sebagai "anak perempuan" Allah. Surah Al-Ikhlas, dengan penolakan "Lam Yalid," menghapus seluruh fondasi silsilah dewa-dewa politeistik ini, menunjukkan bahwa dewa-dewa tersebut tidak hanya tidak layak disembah, tetapi juga secara konseptual mustahil memiliki hubungan dengan Dzat Allah Yang Maha Esa.

Ini adalah pemurnian (Takhliyah) sebelum pengisian (Tahliyah). Surah ini pertama-tama membersihkan hati dari segala bentuk kesyirikan dan kemudian mengisi hati dengan keyakinan tunggal pada Allah Ash-Shamad.

Perbandingan dengan Surah Pembeda Akidah Lain

Memahami posisi Al-Ikhlas dalam kronologi juga diperkuat dengan membandingkannya dengan surah-surah Makkiyah akhir yang memiliki tema pembeda (distinction) akidah yang sama.

Perbedaan dengan Surah Al-Kafirun

Sebagaimana telah disinggung, Surah Al-Kafirun (Q.S. 109) sangat erat hubungannya dengan Al-Ikhlas dalam hal konteks penolakan. Jika Al-Ikhlas menjawab pertanyaan "Siapa Tuhanmu?", Al-Kafirun menjawab pertanyaan "Apa yang kamu sembah?".

Karena Al-Ikhlas adalah penegasan teologis yang lebih mendasar dan definitif mengenai Dzat Ilahi, secara logis ia harus datang bersamaan atau segera sesudah penolakan tawaran kompromi, menegaskan bahwa tidak hanya ibadah yang terpisah, tetapi Esensi Yang Disembah itu sendiri adalah unik.

Hubungan dengan Ayat Kursi

Beberapa Muslim awal mungkin bertanya, mengapa Al-Ikhlas disebut sepertiga Al-Qur'an, padahal Ayat Kursi (Q.S. Al-Baqarah: 255) yang juga merupakan ayat Tauhid agung, tidak memiliki klaim sebanding? Jawabannya terletak pada fungsi:

Maka, Al-Ikhlas adalah kapsul murni yang mendasar, yang menjadikannya sebagai standar ukur untuk Tauhid, dan inilah yang menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dalam timbangan wahyu, memperkuat argumen bahwa ia turun pada masa fondasi akidah sedang dibangun.

Kesimpulan Kronologis dan Warisan Al-Ikhlas

Setelah meninjau riwayat Asbabun Nuzul, analisis teologis, dan perbandingan dengan surah-surah sejenis, kita dapat menyimpulkan pendekatan yang paling kuat terhadap pertanyaan kapan Surah Al-Ikhlas diturunkan.

Surah Al-Ikhlas adalah surah yang berfungsi sebagai penutup definitif untuk fase perdebatan akidah di Makkah. Ia turun sebagai jawaban yang lengkap, padat, dan tak terbantahkan terhadap semua pertanyaan yang diajukan oleh musuh-musuh dakwah mengenai sifat Tuhan yang disembah oleh umat Islam.

Dalam konteks kronologis yang paling logis dan didukung oleh mayoritas riwayat yang menempatkannya di periode Makkah pertengahan, ia diturunkan pada momen penting di mana Rasulullah ﷺ harus memberikan pemisahan yang jelas antara Tauhid yang murni dan segala bentuk kekeliruan yang ada di sekitarnya.

Meskipun sulit untuk menyebutkan satu nama surah sebagai pendahulu absolut tanpa adanya keraguan dalam riwayat, banyak ulama yang berpegang pada daftar kronologi yang menyatakan bahwa Surah Al-Ikhlas diturunkan segera sesudah Surah Al-Kafirun atau bahkan An-Nasr. Namun, yang paling penting adalah memahami konteksnya:

Surah Al-Ikhlas diturunkan sesudah fase awal penolakan kompromi ibadah (yang diwakili oleh Al-Kafirun) untuk kemudian menegaskan sifat Dzat Ilahi secara mutlak, sehingga tidak ada ruang lagi bagi keraguan atau kesalahpahaman mengenai siapakah Allah (Ash-Shamad) itu.

Warisan Surah Al-Ikhlas melampaui kronologinya. Ia adalah kunci menuju keikhlasan, yang memurnikan Tauhid dalam hati seseorang, menjadikannya 'sepertiga' dari pondasi agung yang mendasari keseluruhan Al-Qur'an. Ini adalah surah yang harus dipahami dan dihayati oleh setiap Muslim, karena ia adalah definisi paling ringkas dan paling mendalam tentang Tuhan semesta alam.

Pemahaman terhadap waktu penurunannya mengingatkan kita bahwa penegasan Tauhid adalah langkah fundamental dan paling awal dalam membangun sebuah komunitas yang beriman, dan bahwa keesaan Allah adalah jawaban pamungkas bagi segala kekeliruan dan kebingungan teologis di sepanjang masa.

🏠 Homepage