Kajian Mendalam tentang Perintah untuk Berharap Hanya kepada Sang Pencipta
(Alt Text: Ilustrasi jalur perjuangan (garis putus-putus) yang berpuncak pada anak panah mengarah ke atas menuju cahaya keemasan, melambangkan harapan yang ditujukan hanya kepada Tuhan.)
Surah Al-Insyirah (Pembukaan/Kelapangan) adalah salah satu permata Al-Quran yang diturunkan di Makkah, menawarkan penghiburan mendalam kepada Nabi Muhammad ﷺ di tengah-tengah masa-masa kesulitan dan penganiayaan yang hebat. Surah ini secara keseluruhan merupakan pesan psikologis dan spiritual bahwa setiap kesulitan niscaya akan diikuti oleh kemudahan. Namun, puncak dari pesan spiritual surah ini terpatri dengan jelas pada ayat penutupnya, yaitu ayat ke-8, yang berfungsi sebagai kompas abadi bagi setiap jiwa yang berjuang: "Wa ilā rabbika farghab."
Terjemahan literal dari ayat ini adalah: "Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap/berpaling." Ayat ini bukan sekadar saran, melainkan perintah tegas yang mengikat dua konsep fundamental: penyelesaian tugas duniawi (yang diisyaratkan ayat sebelumnya) dan pengarahan tujuan spiritual mutlak.
Untuk memahami kekuatan Ayat 8, kita harus meninjau enam ayat sebelumnya. Surah ini dimulai dengan janji bahwa Allah telah melapangkan dada Nabi, menghilangkan beban, dan meninggikan sebutannya. Kemudian, surah ini menetapkan kaidah ilahiah yang pasti: "Fa inna ma’al ‘usri yusrā. Inna ma’al ‘usri yusrā." (Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan). Pengulangan ini memberikan jaminan ganda, menekankan kepastian janji Ilahi.
Setelah jaminan ini, Allah memberikan instruksi praktis dalam Ayat 7 dan 8. Ayat 7 berbunyi: "Fa izā faraghta fānsab" (Maka apabila engkau telah selesai [dari sesuatu urusan], kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan yang lain]). Ayat ini mengajarkan pentingnya etos kerja, kontinuitas dalam beramal, dan menghindari kemalasan setelah menyelesaikan satu tugas. Ini adalah fase perjuangan duniawi, fase usaha yang jujur dan konsisten.
Kemudian datanglah Ayat 8. Ayat ini adalah transisi yang mulia dari medan perjuangan duniawi menuju tujuan akhir spiritual. Jika Ayat 7 berbicara tentang *keterlibatan* dengan tugas, Ayat 8 berbicara tentang *pelepasan* dan *penghadapan* kepada Sang Sumber. Ayat 8 ini memastikan bahwa meskipun kita bekerja keras, meskipun kita menyelesaikan tugas demi tugas, fokus hati kita tidak boleh terpaku pada hasil duniawi atau pujian manusia, tetapi harus diarahkan secara eksklusif kepada Allah.
Keterkaitan Ayat 7 dan 8 membentuk prinsip hidup seorang Muslim yang sempurna. Ayat 7 adalah perintah untuk beraksi (*action*), dan Ayat 8 adalah perintah untuk berorientasi (*orientation*). Seseorang yang bekerja keras tanpa tujuan spiritual akan mudah lelah dan kecewa. Seseorang yang hanya "berharap" tanpa berbuat apa-apa akan melanggar perintah Ayat 7. Keseimbangan antara ‘amal (usaha) dan raghbah (harapan) adalah kunci.
Kajian mendalam tentang struktur Surah Al-Insyirah menunjukkan bahwa Al-Quran tidak pernah memisahkan usaha fisik dari kebutuhan spiritual. Usaha (*nasab*) adalah wajib, tetapi meletakkan hasil dan harapan pada usaha itu adalah kemusyrikan kecil. Oleh karena itu, setelah semua usaha dilakukan, perintah berikutnya adalah "hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap." Inilah yang membedakan seorang hamba Allah dengan pekerja duniawi biasa. Semangat untuk terus berjuang dalam kehidupan, baik dalam ibadah maupun pekerjaan sehari-hari, harus selalu dihubungkan dengan harapan ilahi. Jika harapan itu diletakkan pada manusia, pekerjaan, atau harta, ia akan mudah runtuh, sejalan dengan kefanaan semua entitas selain Allah.
Ayat ini terdiri dari empat bagian linguistik penting yang menciptakan penekanan teologis yang luar biasa:
Kata penghubung ini menghubungkan perintah Ayat 7 (bekerja keras) dengan perintah Ayat 8 (berharap), menunjukkan bahwa perintah kedua ini adalah konsekuensi langsung dari yang pertama. Tindakan dan harapan harus berjalan seiring, tidak terpisahkan. Ia menegaskan kesinambungan peran seorang hamba.
Ini adalah bagian yang paling krusial. Dalam tata bahasa Arab, ketika preposisi (*ilā* - kepada) mendahului objek (rabbika - Tuhanmu), ia menciptakan makna pembatasan atau eksklusivitas (hasr). Jika susunan normalnya adalah *farghab ilā rabbika* (berharaplah kepada Tuhanmu), susunan yang digunakan Allah, *wa ilā rabbika farghab*, secara tegas berarti: "Dan hanya kepada Tuhanmulah, dan bukan kepada yang lain, hendaknya kamu berharap."
Penempatan ini adalah penegasan kembali prinsip *Tauhid* (Keesaan Allah). Semua harapan, aspirasi, keinginan, dan kecenderungan hati harus difokuskan pada satu titik, yaitu Allah SWT. Ini membersihkan hati dari ketergantungan pada kekuasaan manusia, kekayaan, atau nasib yang dikira terpisah dari kehendak-Nya.
Partikel ini, yang sering disebut *Fa at-Ta’qib* (fa sebagai konsekuensi), menunjukkan bahwa perintah untuk berharap adalah hasil logis dan segera dari semua usaha yang telah dilakukan (Ayat 7) dan janji kemudahan (Ayat 5-6). Karena Allah yang memberikan kemudahan, maka Allah-lah satu-satunya yang layak menjadi tujuan harapan.
Kata kerja *irghab* (bentuk perintah dari akar kata *raghiba*) sangat kaya makna. Dalam konteks bahasa Arab, *Raghbah* memiliki beberapa dimensi:
Imam Al-Qurtubi dan Al-Baghawi menjelaskan bahwa *raghbah* di sini adalah lawan dari *zuhd* (penolakan). Jika seseorang melakukan *zuhd* terhadap dunia, ia harus melakukan *raghbah* terhadap akhirat dan segala sesuatu yang ada di sisi Allah. Ia adalah tindakan mencurahkan seluruh perhatian dan ambisi spiritual kepada Allah, menjadikan-Nya satu-satunya sumber kepuasan dan keselamatan.
Tafsir oleh para ulama klasik menekankan bahwa *raghbah* ini harus mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak hanya dalam ritual ibadah formal. Seorang pedagang harus berharap keberkahan dari Allah, seorang pelajar harus berharap pemahaman dari Allah, dan seorang pemimpin harus berharap pertolongan dari Allah. Harapan ini membersihkan niat (niyyah) dari unsur-unsur duniawi dan menjadikannya murni (ikhlas).
Ayat 8 adalah manifestasi praktis dari pilar tauhid yang paling mendasar, yaitu Tauhid Uluhiyyah (pengesaan Allah dalam peribadatan dan penyembahan). Ketika kita berharap hanya kepada Allah, kita secara otomatis menjauhkan diri dari segala bentuk ketergantungan atau harapan tersembunyi kepada makhluk. Ini bukan sekadar keyakinan di lisan, melainkan kondisi spiritual yang harus dicapai oleh hati.
Meskipun sering tumpang tindih, ketiga konsep ini memiliki peran berbeda:
Ayat 8 menuntut *raghbah* sebagai fondasi yang memicu tawakkul dan sabr. Tanpa harapan yang kuat kepada Allah (*raghbah*), seseorang tidak akan mampu bersabar dalam jangka panjang, dan tawakkulnya akan goyah di hadapan cobaan berat.
Seorang Muslim yang mengamalkan Ayat 8 dengan tulus tidak akan pernah merasa putus asa secara total, karena sumber harapannya (Allah) adalah kekal dan tidak terbatas. Ketika pintu rezeki tertutup, ia berharap kepada *Ar-Razzaq* (Maha Pemberi Rezeki). Ketika semua orang meninggalkannya, ia berharap kepada *Al-Wali* (Pelindung). Inilah inti dari kekayaan spiritual: merasa cukup dengan yang Maha Mencukupi.
Pemusatan Eksklusif: Penggunaan *ilā rabbika* yang didahulukan menolak gagasan bahwa harapan dapat dibagi. Harapan tidak dapat 50% kepada Allah dan 50% kepada perusahaan, atau 70% kepada Allah dan 30% kepada koneksi politik. Harus 100% dialamatkan kepada Allah, meskipun kita wajib menggunakan sarana (Ayat 7).
Di era modern yang dipenuhi kecemasan, Surah Al-Insyirah 8 menawarkan obat mujarab untuk penyakit jiwa. Kecemasan sering kali berasal dari ketergantungan yang tidak pada tempatnya—berharap pada hal-hal yang tidak mampu memberikan jaminan (uang, jabatan, kesehatan yang pasti).
Ketika seseorang menaruh harapan pada makhluk, ia sedang membangun rumah di atas pasir. Makhluk, pada hakikatnya, lemah, fana, dan seringkali mengecewakan. Ayat 8 mengajarkan bahwa jika harapan diletakkan pada Allah, kecewa itu menjadi mustahil, karena Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Kegagalan di dunia bukan berarti kegagalan total, melainkan pengalihan hasil yang diharapkan dari makhluk kepada Sang Pencipta. Ini menghasilkan ketenangan jiwa (*sakinah*).
Ayat ini adalah fondasi bagi *ikhlas* (ketulusan). Jika usaha dilakukan untuk mendapatkan pujian, maka ketika tugas selesai (Ayat 7), harapan akan diarahkan pada pujian manusia. Namun, Ayat 8 mengintervensi, mengarahkan harapan dari pujian manusia ke ridha Allah. Dengan demikian, kualitas ibadah dan pekerjaan meningkat, karena motivasi utamanya menjadi transenden, melampaui batas-batas duniawi yang sempit.
Seorang ulama kontemporer pernah menjelaskan bahwa *ikhlas* adalah manifestasi dari Ayat 8. Apabila hati seseorang telah sepenuhnya berorientasi hanya kepada Allah, semua amal perbuatannya, dari yang terbesar hingga yang terkecil, akan menjadi *ikhlas* secara otomatis. Ini adalah pembersihan niat yang paling mendasar dan berkelanjutan. Proses pembersihan niat ini adalah perjuangan seumur hidup, dan Ayat 8 menjadi panduan konstan dalam perjuangan tersebut.
*Raghbah* adalah inti dari doa (*dua*). Doa sejati bukan hanya sekadar permintaan, melainkan pengekspresian harapan mutlak kepada Allah. Ketika seorang hamba mengangkat tangan, ia harus melakukannya dengan keyakinan yang total, meyakini bahwa hanya Allah yang mampu memberikan apa yang diminta dan menolak apa yang ditakuti. Kekuatan doa terletak pada seberapa murninya *raghbah* yang menyertainya.
Imam Ahmad bin Hanbal menekankan bahwa *raghbah* (harapan) harus selalu diseimbangkan dengan *khawf* (rasa takut akan azab-Nya). Berharap tanpa rasa takut akan melahirkan kesombongan atau rasa aman yang palsu, sementara takut tanpa harapan akan melahirkan keputusasaan. Ayat 8 memastikan bahwa harapan ini diarahkan secara vertikal (kepada Allah), sehingga ia menjadi harapan yang suci dan realistis, tidak bergantung pada anggapan diri sendiri.
Terdapat beberapa interpretasi mengenai apa yang dimaksud dengan "apabila engkau telah selesai" (Ayat 7) yang kemudian menuntut adanya harapan hanya kepada Allah (Ayat 8). Keragaman interpretasi ini menunjukkan cakupan universal ayat ini.
Menurut beberapa mufasir, "selesai" berarti menyelesaikan urusan dunia (pekerjaan, perdagangan, peperangan). Setelah urusan dunia selesai, janganlah berleha-leha, tetapi berpalinglah segera kepada ibadah, dan dalam ibadah tersebut, tujuannya harus murni harapan kepada Allah. Artinya, seluruh kehidupan adalah siklus tanpa henti antara kerja keras dan ibadah, dengan harapan selalu terfokus pada Allah.
Dalam konteks kenabian, setelah Nabi Muhammad ﷺ selesai menyampaikan dakwah dan menghadapi penolakan yang keras, ia diperintahkan untuk segera mengarahkan seluruh harapan dan kepenatan hatinya kepada Allah melalui doa dan munajat. Ini adalah pelajaran bagi semua dai: hasil dakwah bukan ditentukan oleh usaha keras semata, tetapi oleh kehendak Allah, sehingga harapan harus diletakkan pada-Nya, bukan pada jumlah pengikut.
Setelah selesai shalat, puasa, atau haji, seorang hamba harus segera berpaling kepada Allah dengan harapan bahwa ibadahnya diterima dan dosa-dosanya diampuni. Ini mencegah munculnya sifat ujub (bangga diri) setelah melakukan ketaatan. Orang yang *ikhlas* justru takut ibadahnya tidak diterima, dan oleh karena itu ia meningkatkan *raghbah*-nya kepada kemurahan Allah.
Inti dari semua interpretasi ini adalah bahwa *Faraghta* (selesai) tidak berarti istirahat total, melainkan transisi energi. Energi yang dilepaskan dari penyelesaian tugas harus segera disalurkan ke dalam energi spiritual melalui *Raghbah* kepada Allah. Hal ini menegaskan bahwa tidak ada ruang hampa dalam kehidupan seorang Muslim; selalu ada tujuan dan orientasi yang jelas.
Bagaimana Ayat 8 termanifestasi dalam kehidupan praktis kita di luar ritual shalat?
Kegagalan adalah ujian terberat bagi harapan. Orang yang berharap kepada manusia atau sistem akan hancur ketika sistem itu gagal. Orang yang menginternalisasi *Wa ilā rabbika farghab* melihat kegagalan sebagai pengingat bahwa ia terlalu bergantung pada sarana (Ayat 7) dan kurang mengarahkan harapannya kepada Sumber Sarana (Ayat 8). Kegagalan lantas menjadi koreksi, bukan hukuman, mengarahkan hati kembali kepada Allah untuk mencari solusi dan penggantian yang lebih baik.
Ketika rezeki seret atau kebutuhan melilit, hati cenderung cemas dan berharap pertolongan dari siapa saja, bahkan melakukan cara-cara yang haram. Ayat 8 memerintahkan untuk menghentikan kecenderungan ini dan memfokuskan kembali permintaan kepada Allah. Keyakinan bahwa Allah adalah *Ar-Razzaq* (Pemberi Rezeki) yang tidak pernah kehabisan harta-Nya adalah manifestasi sempurna dari *Raghbah*.
Dalam kerja sosial atau dakwah, sering kali harapan diletakkan pada dana, tim yang solid, atau penerimaan masyarakat. Ketika proyek gagal atau orang menolak, aktivis bisa merasa patah semangat. Mengamalkan Ayat 8 berarti bekerja dengan maksimal (Ayat 7), tetapi harapan satu-satunya adalah ridha Allah. Jika hasilnya baik, itu adalah karunia-Nya. Jika hasilnya tidak sesuai harapan, itu adalah ujian yang mengarahkan hati kembali untuk memohon kekuatan dan penerimaan dari-Nya.
Pilihan kata *Rabbika* (Tuhanmu, Sang Pemelihara) dalam ayat ini sangatlah signifikan. Allah tidak menggunakan nama-Nya yang lain seperti *Allah* atau *Ar-Rahman* (Maha Pengasih) secara tunggal dalam konteks ini, meskipun nama-nama itu juga benar.
Kata *Rabb* mengandung makna pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, dan kepemilikan. Dengan menggunakan *Rabbika*, Al-Quran mengingatkan bahwa harapan diarahkan kepada Zat yang paling dekat hubungannya dengan hamba tersebut, Zat yang telah memelihara hamba sejak lahir, yang mengatur segala urusannya, dan yang memiliki kuasa penuh atas nasibnya. Harapan kepada *Rabb* adalah harapan yang didasarkan pada hubungan intim antara Pencipta dan ciptaan.
Ini sekaligus menjadi jaminan. Jika kita diperintahkan berharap kepada *Rabb* kita, itu berarti *Rabb* itu pasti akan menanggapi. Perintah ini adalah izin untuk mendekat, panggilan untuk menuntut janji pemeliharaan-Nya, dan penegasan bahwa tidak ada satu pun kebutuhan hamba yang luput dari pengetahuan dan kuasa-Nya.
Ketika seseorang merasa hilang atau tidak punya tujuan, ia kehilangan rasa *Rabb*-nya. Ayat 8 mengembalikan orientasi jiwa. Ketenangan sejati datang ketika kita menyadari bahwa kita bukan pengatur takdir kita sendiri; kita adalah hamba dari *Rabb* yang Mahakuasa dan Maha Penyayang. Dengan menyerahkan harapan kepada-Nya, kita membebaskan diri dari ilusi kontrol yang seringkali menjadi sumber stres dan penderitaan mental.
Untuk memahami sepenuhnya urgensi *Wa ilā rabbika farghab*, perlu disadari bahwa konsep ini diulang dan ditegaskan dalam banyak ayat Al-Quran, meskipun dengan diksi yang berbeda. Ayat ini adalah kesimpulan dari ajaran Islam tentang fokus hidup.
Ayat 8 Surah Al-Insyirah adalah tafsir praktis dari bagian inti Surah Al-Fatihah: "Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn" (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan). *Na'budu* (menyembah) adalah manifestasi Ayat 7 (usaha dan amal), sementara *nasta'īn* (memohon pertolongan) adalah manifestasi Ayat 8 (*raghbah* dan harapan). Harapan hanya kepada Allah adalah puncak dari permohonan pertolongan yang tulus.
Al-Quran berulang kali memperingatkan bahaya meletakkan harapan pada entitas selain Allah. Ketika harapan diletakkan pada benda atau orang, itu adalah bentuk ketergantungan (ittikāl) yang bertentangan dengan tauhid. Allah berfirman bahwa berhala-berhala (simbol dari segala sesuatu yang diharapkan selain Allah) tidak dapat mendatangkan manfaat maupun menolak bahaya. Maka, mengapa harus berharap kepada yang tidak berkuasa?
Para sufi menekankan bahwa *raghbah* yang sejati harus mematikan *raghbah* kepada dunia (kecenderungan pada hal-hal fana). Bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi berarti bahwa usaha di dunia tidak lagi menjadi tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu keridhaan dan janji Ilahi.
Ayat 8 juga memiliki peran penting dalam memotivasi hamba untuk terus berjuang dalam ketaatan meskipun hasilnya belum terlihat. Seseorang mungkin telah bertahun-tahun beribadah, tetapi belum melihat perubahan positif yang signifikan dalam hidupnya atau belum mencapai derajat spiritual yang diinginkan.
Ayat 8 berfungsi sebagai pengingat: teruslah berjuang (Ayat 7), dan letakkan harapanmu, bukan pada segera datangnya hasil yang kasat mata, melainkan pada janji Allah untuk memberikan balasan yang terbaik di akhirat. Janji Allah lebih pasti daripada hasil duniawi yang seringkali tertunda atau tidak sesuai ekspektasi.
Tanpa *raghbah* yang murni kepada Allah, *istiqamah* sulit dipertahankan. Ketika kesulitan datang (dan kesulitan pasti datang, sejalan dengan janji Al-Insyirah), orang akan mudah berpaling mencari jalan pintas atau solusi dari sumber yang salah jika harapan utamanya bukan pada Allah. *Raghbah* yang kokoh adalah jangkar yang menahan hati dari goncangan keraguan dan kelelahan spiritual.
Perintah *farghab* adalah perintah untuk menanamkan energi harapan ke dalam hati. Ini adalah upaya untuk membuat hati tetap hidup, penuh gairah, dan termotivasi, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah lelah. Harapan ini bukanlah sekadar optimisme psikologis, melainkan keyakinan teologis yang mengakar kuat pada sifat-sifat Allah yang Maha Memberi dan Maha Menepati Janji.
Proses internalisasi Ayat 8 adalah proses panjang yang melibatkan muhasabah (introspeksi) harian. Kita harus senantiasa bertanya pada diri sendiri: "Kepada siapakah harapan terbesar saya hari ini tertuju?" Jawaban yang benar, yang disyaratkan oleh ayat ini, haruslah selalu tunggal: *Rabbika*.
Surah Al-Insyirah Ayat 8, "Wa ilā rabbika farghab," adalah penutup yang sempurna bagi surah yang menjanjikan kelapangan setelah kesempitan. Setelah Allah memberikan jaminan akan kemudahan, dan setelah Dia memerintahkan untuk terus bekerja keras tanpa henti, Dia menutupnya dengan kompas moral tertinggi.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa: Perjuangan adalah wajib, tetapi fokus spiritual adalah yang terpenting. Usaha kita harus diarahkan pada tindakan yang benar, tetapi harapan kita harus diarahkan pada Tuhan yang Benar. Kehidupan seorang Muslim adalah pergerakan konstan: dari satu pekerjaan (Ayat 7) ke aspirasi (Ayat 8), dari satu kesulitan menuju kemudahan (Ayat 5-6), dan kembali lagi dalam lingkaran ketaatan dan harapan.
Mengamalkan Ayat 8 adalah kunci kebahagiaan sejati dan ketenangan abadi. Ini adalah pembebasan dari perbudakan hasil duniawi, dan penyerahan total kepada kehendak Yang Maha Agung. Inilah puncak dari perjalanan seorang hamba yang berjuang di dunia fana: memastikan bahwa hati, pada akhirnya, hanya memiliki satu arah tujuan, yaitu kembali kepada Sang Pemelihara, penuh dengan harapan akan rahmat dan ridha-Nya yang tak terbatas.
Maka, setelah setiap selesai, setelah setiap usaha, setelah setiap doa yang dipanjatkan, dan setelah setiap musibah yang dihadapi, seorang Muslim mengakhiri dengan memproklamasikan kepada jiwanya: "Ya, saya telah berusaha, dan kini, hanya kepada Tuhanmulah harapanku tertuju."
Dalam diskursus keislaman kontemporer, seringkali dibahas mengenai manajemen stres dan tekanan hidup. Dari sudut pandang Surah Al-Insyirah, stres adalah hasil sampingan dari penempatan harapan yang salah. Ketika ekspektasi duniawi tidak terpenuhi, jiwa merana. Ayat 8 menawarkan kerangka kerja untuk manajemen stres yang didasarkan pada ketuhanan. Stres berkurang seiring dengan meningkatnya *raghbah* kepada Allah.
Tahap pertama dalam menginternalisasi Ayat 8 adalah *takhalli*, yaitu pengosongan diri dari keterikatan yang merugikan. Ini berarti melepaskan harapan pada kekuatan finansial semata, kecerdasan pribadi, atau jaringan sosial. Ketika seorang hamba melakukan Ayat 7 (usaha keras), ia wajib meyakini bahwa usahanya hanyalah sarana. Hasil datang dari Allah. Jika hasil itu datang, syukur dipersembahkan kepada-Nya. Jika hasil tidak sesuai, ia juga bersyukur karena Allah telah menyelamatkannya dari ketergantungan yang fana.
Peletakan harapan pada Allah membatalkan kekecewaan, karena kekecewaan hanyalah kegagalan harapan makhluk terhadap makhluk. Allah, sebagai sumber harapan, tidak pernah mengecewakan. Ini adalah sebuah revolusi psikologis yang mendalam, mengubah paradigma dari "apa yang bisa saya kontrol" menjadi "apa yang Allah berikan."
Setelah pengosongan, harus ada pengisian (*tahalli*). Kekosongan yang ditinggalkan oleh harapan duniawi diisi oleh *raghbah* (aspirasi) kepada Allah. Aspirasi ini tidaklah pasif. Ia adalah energi yang sangat aktif, memicu hamba untuk terus berbuat baik. Ia berharap ampunan Allah, berharap surga-Nya, berharap bimbingan-Nya dalam setiap langkah. Harapan ini membuat ibadah terasa ringan dan pengorbanan menjadi manis, karena ada tujuan yang jauh lebih besar dari sekadar keuntungan material.
Seorang hamba yang melaksanakan *raghbah* sejati akan melihat setiap kesulitan sebagai peluang untuk meningkatkan permohonan. Semakin besar masalah, semakin besar pula peluang untuk mempraktikkan Ayat 8. Dalam keheningan malam, ketika segala pintu dunia tertutup, *raghbah* kepada Allah bersinar paling terang, menegaskan bahwa Dia adalah satu-satunya tujuan.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan sejati adalah kekayaan jiwa (hati)." Ayat 8 adalah resep untuk kekayaan jiwa ini. Jiwa yang kaya adalah jiwa yang harapannya terikat pada Pemilik kekayaan abadi (Allah), bukan pada harta fana yang bisa lenyap kapan saja.
Harapan kepada Allah memberikan kemerdekaan. Orang yang meletakkan harapan pada uang akan diperbudak oleh uang. Orang yang meletakkan harapan pada pujian akan diperbudak oleh opini publik. Tetapi orang yang meletakkan harapan (raghbah) hanya kepada Allah telah memerdekakan jiwanya dari semua perbudakan ini. Ia bebas untuk berbuat benar, bebas untuk berbicara jujur, dan bebas untuk beramal tanpa takut kehilangan apa pun yang fana.
Imam Ghazali, dalam kajiannya tentang hati, menjelaskan bahwa hati adalah raja yang jika ia berorientasi kepada Allah, maka seluruh kerajaan tubuh akan mengikuti. Jika hati menempatkan *raghbah* pada dunia, maka seluruh anggota tubuh akan bekerja untuk dunia. *Wa ilā rabbika farghab* adalah perintah untuk mengatur kembali singgasana hati, memastikan bahwa raja tersebut bersembah sujud kepada Raja segala raja.
Partikel *fa* (maka) dalam *farghab* memberikan nuansa kecepatan dan keharusan, mirip dengan Ayat 7 (*fānsab*). Ini menunjukkan bahwa setelah selesai berurusan dengan dunia (Ayat 7), tidak boleh ada jeda atau kelambatan dalam mengarahkan hati kepada Allah (Ayat 8). Transisi haruslah cepat, segera, dan tanpa ragu. Ini menegaskan bahwa waktu adalah aset spiritual yang sangat berharga.
Apabila seseorang menunda-nunda penyerahan harapannya kepada Allah, ia memberi ruang bagi syaitan untuk menanamkan keraguan dan ketergantungan kepada makhluk. Oleh karena itu, perintah untuk berharap ini bukan hanya substansi, tetapi juga tentang waktu pelaksanaan yang segera. Kecepatan ini mencerminkan kebutuhan fundamental jiwa untuk selalu terhubung dengan sumber kekuatan utamanya.
Penting untuk mengingat bahwa surah ini diturunkan pada saat Nabi Muhammad ﷺ berada di titik terendah secara dukungan sosial dan politik. Beban yang ditanggungnya terasa sangat berat. Para paman dan sahabat terdekatnya di Makkah mengalami kesulitan. Ayat-ayat ini datang sebagai injeksi kekuatan ilahi.
Meskipun Nabi telah melakukan semua yang mungkin (Ayat 7: dakwah siang dan malam, menghadapi ancaman), hasil duniawi tampak suram. Justru pada saat inilah perintah *Wa ilā rabbika farghab* diturunkan. Ini mengajarkan bahwa bahkan seorang Rasul pun, setelah mencapai batas usaha manusia, harus melepaskan hasil kepada Allah.
Kisah Nabi adalah bukti bahwa harapan yang diletakkan pada Allah tidak pernah sia-sia. Kesulitan Makkah diikuti oleh hijrah dan kemudian kemenangan di Madinah. Namun, bahkan di tengah kemenangan, orientasi *raghbah* tidak berubah. Kemenangan duniawi tidak boleh menggantikan harapan spiritual akan akhirat.
Ayat ini adalah pelajaran tentang kepemimpinan spiritual. Seorang pemimpin harus bekerja lebih keras dari pengikutnya, tetapi ia harus berharap lebih dalam kepada Allah dibandingkan siapa pun. Kualitas kepemimpinan sejati adalah kemampuan untuk menjaga hati tetap terfokus pada Allah meskipun dihadapkan pada tekanan dan kekecewaan publik.
Dalam ilmu tasawuf, *raghbah* (harapan) harus selalu diseimbangkan dengan *khawf* (rasa takut), sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Keseimbangan antara keduanya adalah jalan tengah (*wasathiyyah*) yang disukai Allah.
Jika seseorang hanya memiliki *raghbah* tanpa *khawf*, ia mungkin menjadi sombong dan menganggap pasti bahwa ia akan masuk surga, sehingga ia cenderung meremehkan dosa. Sebaliknya, jika ia hanya memiliki *khawf* tanpa *raghbah*, ia akan putus asa dari rahmat Allah, yang merupakan dosa besar. Ayat 8 mengajarkan *raghbah* kepada Allah, yang merupakan rahmat, tetapi *raghbah* ini harus dilandasi oleh kesadaran akan keagungan Allah yang juga Maha Adil.
Harapan kepada Allah yang sejati membuat seorang hamba takut melanggar perintah-Nya, karena ia takut kehilangan harapan terbesar yang ia miliki: ridha Allah. Dengan demikian, *raghbah* memacu ketaatan, dan *khawf* mencegah kemaksiatan, kedua-duanya bekerja sama dalam melanggengkan *istiqamah*.
Beberapa penafsir melihat *raghbah* sebagai kebalikan dari *zuhud* (meninggalkan dunia). Jika Anda meninggalkan dunia, Anda harus mengarahkannya kepada Akhirat. Namun, ini tidak berarti menolak dunia secara total. Justru, Ayat 7 menunjukkan bahwa dunia harus diurus. *Zuhud* yang benar adalah melepaskan *raghbah* dari dunia fana, sehingga *raghbah* sepenuhnya dapat dialihkan kepada Allah.
Dengan demikian, Ayat 8 mendefinisikan seorang Muslim yang sukses: Ia adalah orang yang aktif secara duniawi (Ayat 7), tetapi pasif secara mental terhadap hasil duniawi, karena seluruh harapan jiwanya tertuju pada janji Tuhannya (Ayat 8). Ia memiliki kaki di bumi (bekerja), tetapi hatinya di langit (berharap).
Bentuk ibadah sunnah yang paling jelas mewujudkan *raghbah* adalah shalat malam (*Qiyamul Lail*). Ketika seseorang bangun di tengah keheningan, meninggalkan kenyamanan tidur, dan berdialog dengan Tuhannya, ia sedang mempraktikkan Ayat 8 secara fisik dan spiritual.
Shalat malam adalah saat di mana segala bentuk harapan duniawi tenggelam, dan hanya harapan kepada Allah yang tersisa. Ini adalah waktu di mana *raghbah* mencapai puncaknya. Setiap sujud adalah penyerahan penuh, dan setiap doa yang dipanjatkan di waktu itu adalah ekspresi murni dari "hanya kepada Tuhanmulah aku berharap."
Demikian pula, dalam puasa sunnah, menahan diri dari kebutuhan dasar bukanlah akhir dari ibadah itu sendiri, melainkan sarana untuk meningkatkan *raghbah*. Dengan menolak makanan dan minuman yang halal, kita sedang melatih hati untuk menolak ketergantungan pada hal-hal fana, sehingga seluruh perhatian dan harapan kita tertuju pada pahala dan pengampunan yang ada di sisi Allah.
Pada akhirnya, *Wa ilā rabbika farghab* adalah janji dan perintah yang abadi. Ia adalah kunci untuk mengatasi kesulitan (yang dijanjikan Surah Al-Insyirah akan hilang), karena ia mengalihkan perhatian kita dari masalah itu sendiri ke Sang Pemberi Solusi. Selama harapan kita tertuju kepada-Nya, kesulitan apapun yang datang akan terasa ringan dan sementara, karena tujuan akhir kita jauh melampaui batas-batas kesulitan duniawi.
Kesempurnaan hidup spiritual adalah ketika seorang hamba tidak lagi mencari harapan atau kenyamanan dari manusia atau materi, melainkan menemukan seluruh kedamaian dan aspirasinya dalam hubungan eksklusifnya dengan Allah SWT. Inilah ajaran tertinggi dari Surah Al-Insyirah Ayat 8.