Surah Al-Kahfi, sebuah surah yang sarat dengan kisah-kisah penuh hikmah—mulai dari Ashabul Kahfi, dua pemilik kebun, Nabi Musa dan Khidir, hingga Dzulqarnain—memiliki penutup yang jauh lebih mendalam daripada sekadar kesimpulan naratif. Ayat-ayat terakhir, khususnya dari ayat 100 hingga 110, berfungsi sebagai klimaks teologis, mengalihkan perhatian dari kisah duniawi menuju realitas abadi: Hari Perhitungan. Bagian penutup ini memberikan peringatan keras kepada orang-orang yang merugi dan menjanjikan balasan tak terhingga bagi orang-orang yang beriman, sekaligus menggarisbawahi keagungan ilmu Allah dan hakikat kenabian Muhammad ﷺ.
Pesan sentral yang diusung oleh ayat-ayat ini adalah bahwa amal perbuatan di dunia ini, seberapa pun besarnya, tidak akan berarti apa-apa kecuali didasari oleh dua pilar utama: Tauhid (Keesaan Allah) dan Ittiba' (Mengikuti Sunnah Nabi). Tanpa fondasi ini, seluruh upaya manusia akan menjadi debu yang beterbangan, lenyap tanpa bekas di hadapan neraca keadilan Ilahi.
Allah SWT memulai bagian ini dengan gambaran yang menakutkan tentang presentasi Neraka bagi orang-orang kafir.
Terjemah: “Dan Kami perlihatkan (Neraka) Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.” (Al-Kahfi: 100)
Kata 'Ardhā (memperlihatkan/menyajikan) menunjukkan bahwa Neraka bukan hanya sekadar tempat yang akan didatangi, melainkan akan disajikan di hadapan mereka sebagai tontonan yang mengerikan, sebuah realitas yang tak terhindarkan. Hal ini berbeda dengan nasib orang mukmin yang kelak akan dipisahkan dari pandangan yang menakutkan tersebut. Neraka yang disajikan ini adalah balasan yang tepat bagi mereka yang selama hidupnya:
Terjemah: “Yaitu orang-orang yang mata mereka (tertutup) dari peringatan-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar.” (Al-Kahfi: 101)
Ayat 101 menjelaskan akar penyebab kebutaan spiritual. Bukan mata fisik yang buta, melainkan mata hati. Mereka memiliki alat pendengaran dan penglihatan, namun alat-alat tersebut seolah tertutup rapat dari Dzikrullah (peringatan Allah), yaitu Al-Qur'an dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Ketidakmampuan mereka untuk "mendengar" berarti mereka menolak untuk menerima dan memahami kebenaran yang disampaikan melalui wahyu. Kebutaan ini bersifat aktif; mereka memilih untuk menutup diri dari petunjuk, tenggelam dalam kesibukan dan hawa nafsu dunia.
Kebutaan spiritual yang digambarkan dalam ayat ini adalah manifestasi dari penyakit hati yang akut. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘tertutup’ adalah bahwa hati mereka diselimuti oleh keragu-raguan, kebodohan, dan kesenangan duniawi yang menghalangi cahaya petunjuk masuk. Akibatnya, mereka gagal melihat tanda-tanda Allah, baik dalam diri mereka (anfus) maupun di alam semesta (afaq), yang seharusnya membawa mereka kepada keimanan sejati.
Penyakit ini bersifat ganda: Pertama, mereka menolak untuk melihat kebenaran (kebutaan mata); Kedua, mereka menolak untuk tunduk kepada kebenaran (ketidakmampuan mendengar). Kedua hal ini menghasilkan sikap pembangkangan yang diabadikan dalam ayat selanjutnya.
Terjemah: “Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan Neraka Jahannam sebagai tempat tinggal (nuzul) bagi orang-orang kafir.” (Al-Kahfi: 102)
Ayat ini adalah pukulan telak terhadap konsep Syirik (penyekutuan Allah). Ini merujuk pada praktik mengambil wali-wali (pelindung, penolong, atau sembahan) dari kalangan hamba Allah—seperti malaikat, nabi, atau orang-orang saleh—selain Allah sendiri. Pertanyaan retoris ini mengecam kesombongan dan kebodohan orang kafir. Bagaimana mungkin mereka berharap perlindungan dari makhluk yang sama-sama berstatus hamba, sementara mereka berpaling dari Sang Pencipta?
Allah menutup ayat ini dengan pengumuman bahwa Jahannam telah disediakan sebagai Nuzulan. Kata Nuzul secara harfiah berarti hidangan atau tempat tinggal pertama yang disiapkan untuk tamu. Sungguh ironis, bagi orang-orang kafir, "hidangan selamat datang" mereka di akhirat adalah api neraka yang menyala-nyala. Ini menekankan bahwa balasan ini adalah keadilan yang telah disiapkan secara saksama.
Jika ayat sebelumnya menggambarkan tempat kembali orang kafir, maka ayat 103 hingga 105 memberikan definisi yang sangat spesifik dan mengejutkan tentang siapa sebenarnya yang akan menanggung kerugian paling besar di Hari Perhitungan. Ayat-ayat ini tidak hanya merujuk pada orang-orang yang secara terang-terangan menolak Islam, tetapi juga pada orang-orang yang melakukan kebajikan di dunia tanpa dasar keimanan yang benar.
Terjemah: “Katakanlah (Muhammad), ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?’” (Al-Kahfi: 103)
Pertanyaan ini menggugah dan menarik perhatian, karena ia mengisyaratkan adanya kerugian yang lebih parah daripada sekadar kegagalan. Ini adalah kerugian mutlak, di mana usaha yang telah dicurahkan dalam hidup menjadi sia-sia belaka.
Terjemah: “Yaitu orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al-Kahfi: 104)
Ayat ini adalah inti dari peringatan Surah Al-Kahfi. Orang-orang yang paling merugi bukanlah hanya pelaku kejahatan murni, tetapi justru orang-orang yang berusaha keras (sa'yu) melakukan apa yang mereka anggap sebagai kebaikan, namun usaha itu sesat jalannya (dhalla sa’yuhum). Mereka memiliki motivasi yang tinggi dan dedikasi yang kuat, tetapi fondasi amal mereka salah. Mereka adalah para pekerja keras yang berjalan di jalur yang keliru.
Tafsir klasik, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir dan Ath-Thabari, menunjukkan bahwa kelompok ini mencakup beberapa kategori:
Kerugian terbesar terletak pada kontradiksi batin: mereka merasa benar (yahsabūna annahum yuḥsinūna ṣun'ā), padahal mereka berada di jalan kesesatan. Mereka menghabiskan modal hidup (waktu, tenaga, harta) untuk sesuatu yang, di hadapan Allah, tidak bernilai apa-apa karena tidak memenuhi syarat keabsahan amal.
Sangkaan bahwa mereka berbuat baik ini didasarkan pada dua hal: kebodohan dan hawa nafsu. Mereka tidak menggunakan akal sehat dan petunjuk wahyu untuk menguji keabsahan perbuatan mereka. Ini menunjukkan bahayanya mengikuti dugaan atau tradisi tanpa merujuk pada sumber utama syariat. Mereka gagal menyadari bahwa kebaikan sejati harus memiliki dua sayap:
Tanpa ikhlas, amal tersebut adalah pameran (Riya'). Tanpa Mutaba'ah, amal tersebut adalah bid'ah. Kedua-duanya menjamin kerugian total.
Visualisasi Timbangan Keadilan. Amal yang tidak didasari keimanan akan terhapus.
Kerugian amal ini membawa kepada pengadilan yang cepat, di mana tidak ada tawar-menawar.
Terjemah: “Mereka itu adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (ingkar terhadap) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sia (habithat) lah amal-amal mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu timbangan pun bagi (amal) mereka pada hari Kiamat.” (Al-Kahfi: 105)
Ayat 105 mengidentifikasi inti kekeliruan mereka: Kekafiran (Kufur). Kekafiran ini bersifat ganda:
Penolakan terhadap Hari Akhir adalah alasan mengapa mereka merasa aman dalam kesesatan mereka. Karena tidak percaya pada pertanggungjawaban abadi, mereka tidak peduli dengan standar kebenaran Ilahi. Mereka menetapkan standar mereka sendiri, yang dalam pandangan Allah, adalah kesia-siaan.
Kata Ḥabiṭat (sia-sia) adalah istilah yang sangat kuat. Dalam bahasa Arab, kata ini awalnya digunakan untuk ternak yang memakan rumput beracun, sehingga perutnya bengkak dan mati, meskipun terlihat kenyang. Amal mereka terlihat banyak dan besar di dunia, tetapi di akhirat, amal itu menjadi racun yang mematikan, tidak memberikan manfaat sedikit pun.
Ini adalah poin yang paling mengerikan. Bagi seorang mukmin, timbangan (Mizan) akan ditegakkan, di mana amal baik dan buruk dihitung. Bagi orang-orang yang paling merugi, timbangan tidak akan didirikan sama sekali untuk amal baik mereka. Mengapa? Karena amal baik mereka (sedekah, puasa, hubungan baik) telah batal karena kekafiran dan syirik yang mendasar. Amal mereka tidak memiliki bobot spiritual. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis, amal mereka akan seperti debu yang beterbangan (manthur). Tidak ada harapan, tidak ada keringanan, hanya penyesalan abadi.
Setelah menjelaskan hilangnya amal, Allah SWT menegaskan balasan akhir bagi mereka yang menolak Tauhid dan Hari Perhitungan.
Terjemah: “Demikianlah balasan mereka itu Neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka, dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (Al-Kahfi: 106)
Jahannam adalah balasan yang adil (jazā’uhum) atas dua dosa besar:
Sikap merendahkan dan menghina utusan Allah atau ayat-ayat-Nya menunjukkan arogansi spiritual tertinggi. Ini bukan hanya masalah ketidaktahuan, tetapi penolakan aktif yang disertai cemoohan. Dalam konteks Surah Al-Kahfi, ini mengingatkan kita pada sikap kaum kafir Makkah yang menertawakan dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
Setelah gambaran yang kontras tentang neraka dan kerugian, Al-Qur'an beralih ke gambaran kebahagiaan abadi bagi mereka yang memegang teguh dua syarat utama diterimanya amal: Iman dan Amal Saleh.
Terjemah: “Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka disediakan Surga Firdaus sebagai tempat tinggal (nuzul).” (Al-Kahfi: 107)
Pesan ini membawa keseimbangan dan harapan. Berbeda dengan nasib orang kafir yang ‘nuzul’-nya adalah Jahannam (ayat 102), para mukmin akan menerima Jannatul Firdaus sebagai hidangan selamat datang mereka. Firdaus, menurut sebagian besar ulama dan Hadis Nabi, adalah tingkatan surga yang tertinggi dan terbaik.
Penyebutan Firdaus secara spesifik di sini menunjukkan kemuliaan balasan bagi orang-orang yang beriman dengan keimanan sejati yang diikuti oleh amal saleh yang sesuai dengan sunnah. Amal saleh di sini berarti setiap perbuatan baik yang sesuai dengan syariat dan dilakukan atas dasar keikhlasan (Tauhid). Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila kamu meminta kepada Allah, maka mintalah Firdaus, karena ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi, di atasnya adalah 'Arsy (singgasana) Ar-Rahman."
Balasan ini tidak hanya bersifat material tetapi juga spiritual:
Terjemah: “Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari padanya.” (Al-Kahfi: 108)
Dua janji utama ditekankan di sini:
Penjelasan tentang Firdaus ini adalah penawar bagi kerugian total yang digambarkan sebelumnya. Ini menggarisbawahi pentingnya investasi spiritual yang benar, yang menghasilkan keuntungan abadi, berbanding terbalik dengan investasi duniawi yang sesat dan berakhir sia-sia.
Setelah menetapkan nasib kedua golongan (mukmin dan kafir), Al-Qur'an beralih ke tema yang sangat filosofis dan universal: luasnya Ilmu Allah. Ayat 109 berfungsi sebagai transisi menuju kesimpulan Tauhid.
Terjemah: “Katakanlah (Muhammad), ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (tertulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (lagi).’” (Al-Kahfi: 109)
Ayat ini menggunakan metafora yang sangat kuat dan mudah dibayangkan: seluruh samudra di dunia dijadikan tinta (midād), dan semua pohon di bumi dijadikan pena. Jika semua tinta dan pena ini digunakan untuk menuliskan "Kalimat-kalimat Tuhanku" (Kalimāt Rabbī), lautan itu akan kering dan habis, sementara Kalimat Allah tidak akan pernah selesai ditulis.
Apa yang dimaksud dengan Kalimāt Rabbī?
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa tujuan ayat ini adalah untuk membuktikan keagungan Allah dan keterbatasan pengetahuan manusia. Ayat ini diturunkan untuk membantah klaim orang Yahudi dan Musyrikin yang merasa telah mengetahui banyak atau meremehkan luasnya wahyu. Bahkan jika lautan digandakan berkali-kali (walaw ji’nā bimitslihī madadan), penambahan itu tetap tidak cukup.
Pelajaran dari ayat 109 adalah tentang kerendahan hati intelektual. Manusia, dengan segala kecerdasannya, hanya memiliki setetes ilmu dibandingkan dengan lautan tak bertepi milik Allah. Ayat ini mendorong manusia untuk:
Ayat 109 secara tidak langsung menghubungkan kembali ke kisah Nabi Musa dan Khidir, di mana Nabi Musa, meskipun seorang Rasul Agung, diperlihatkan keterbatasan ilmunya di hadapan ilmu yang dianugerahkan kepada Khidir, yang merupakan bagian kecil dari ilmu Allah yang tak terhingga.
Surah Al-Kahfi ditutup dengan pernyataan yang lugas dan tegas mengenai hakikat kenabian Muhammad ﷺ dan tuntutan dasar dari seluruh risalah: Tauhid dan Amal Saleh.
Terjemah: “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa.” Barangsiapa berharap berjumpa dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan (Allah) dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.’” (Al-Kahfi: 110)
Pernyataan pertama Nabi Muhammad ﷺ, “Aku ini hanyalah manusia biasa seperti kamu,” adalah penegasan penting terhadap konsep kenabian dalam Islam. Ini menolak segala bentuk pengkultusan berlebihan yang dapat mengangkat Nabi ke derajat ketuhanan (seperti yang dilakukan pada Isa AS). Nabi adalah manusia; beliau makan, tidur, menikah, dan merasakan sakit. Perbedaan utamanya adalah bahwa beliau menerima Wahyu (yūḥā ilayya).
Fungsi pernyataan ini adalah untuk menjaga kemurnian Tauhid dan mengingatkan umat bahwa Nabi adalah teladan yang dapat diikuti, tetapi bukan sesembahan. Beliau adalah penerjemah syariat, bukan sumber ilahiah.
Tujuan utama dari wahyu yang diterima beliau dirangkum dalam kalimat: “Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa (Ilāhun Wāḥidun).” Ini adalah inti dari semua ajaran Islam, menegaskan Keesaan Allah (Tauhid Uluhiyyah) sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan diibadahi.
Ayat penutup ini merangkum seluruh syarat keselamatan di akhirat, khususnya bagi mereka yang berharap berjumpa dengan Tuhannya (faman kāna yarjū liqā’a rabbihī). Harapan ini adalah motivasi tertinggi bagi seorang mukmin, yang harus diwujudkan melalui dua syarat mutlak:
Syarat pertama adalah konsistensi dalam melaksanakan amal kebajikan. Namun, sebagaimana telah dibahas dalam konteks ayat 104 (Orang yang Paling Merugi), amal saleh haruslah amal yang sesuai dengan tuntunan syariat—yaitu Sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Jika amal dilakukan tanpa mengikuti tuntunan beliau, maka amal tersebut jatuh dalam kategori bid'ah, dan bisa jadi menjadi sia-sia.
Ini adalah syarat terpenting: Ikhlas. Segala amal harus murni ditujukan hanya kepada Allah semata. Larangan syirik ini sangat mutlak. Syirik adalah dosa yang tidak diampuni jika dibawa mati tanpa taubat, dan ia adalah satu-satunya perusak total terhadap semua amal kebaikan (ḥabiṭat a'māluhum). Ayat ini menegaskan bahwa keimanan yang sejati harus bebas dari Syirik Akbar (menjadikan sesembahan lain) maupun Syirik Ashgar (Riya'/pamer dalam beribadah).
Kesimpulan Surah Al-Kahfi adalah cerminan dari seluruh pesan Al-Qur'an: Tauhid adalah kunci, dan Amal Saleh adalah implementasinya. Tanpa Tauhid, amal sebanyak apa pun akan menjadi kerugian (ayat 103-105). Dengan Tauhid dan amal saleh yang benar, balasannya adalah Firdaus (ayat 107-108).
Ayat-ayat penutup Surah Al-Kahfi memberikan pelajaran moral, teologis, dan praktis yang mendalam bagi kehidupan seorang Muslim di tengah fitnah dunia.
Surah Al-Kahfi dikenal sebagai surah pelindung dari empat fitnah besar:
Ayat 100-110 menyatukan keempat fitnah ini dengan menekankan bahwa kegagalan dalam menghadapi fitnah tersebut akan berujung pada Fitnah Kualitas Amal (Al-Akhsarina A'mala). Seseorang mungkin memiliki ilmu (tetapi tidak ikhlas), atau harta (tetapi tidak beriman), atau kekuasaan (tetapi syirik). Semua ini akan membuat amal mereka sia-sia. Oleh karena itu, penutup ini berfungsi sebagai jaring pengaman, mengingatkan bahwa Tauhid adalah tali yang harus dipegang teguh melintasi semua fitnah dunia.
Banyak ulama tafsir menekankan bahayanya menjadi bagian dari Al-Akhsarina A'mala. Ini bukan hanya masalah gagal masuk surga, tetapi masalah penyesalan yang tak terperikan. Orang-orang yang berbuat baik tanpa tauhid atau dengan bid’ah akan datang pada Hari Kiamat dengan harapan besar, hanya untuk mendapati bahwa amalan mereka telah ditiup angin, ditolak, dan dihancurkan. Penyesalan ini jauh lebih pedih daripada penyesalan orang yang tidak pernah beramal sama pun. Mereka telah bekerja keras, tetapi di alamat yang salah.
Penolakan amal ini adalah penegasan terhadap prinsip bahwa standar kebaikan hanya dimiliki oleh Allah dan diwahyukan melalui Rasul-Nya. Kebaikan subjektif, yang ditentukan oleh logika atau perasaan manusia semata, tidak diterima di akhirat.
Ayat 105 dan 107 mengajarkan bahwa dalam Islam, Kualitas Iman dan Kualitas Ikhlas mengalahkan kuantitas amal. Orang-orang yang merugi (Ayat 104) mungkin telah melakukan ribuan perbuatan baik secara kuantitas, tetapi karena tidak ada pondasi tauhid, mereka tidak memiliki bobot (lā nuqīmu lahum wazanā). Sebaliknya, orang yang beriman sejati, meskipun amalnya sedikit, akan diberi balasan tertinggi di Firdaus karena kualitas dan keikhlasan amalnya.
Hal ini memotivasi seorang Muslim untuk senantiasa mengecek niatnya (Ikhlas) sebelum, selama, dan setelah beramal, dan memastikan bahwa amalnya sesuai dengan Sunnah (Ittiba'). Ibadah yang benar, meskipun kecil, jauh lebih berharga daripada amal yang besar tetapi bercampur syirik atau riya'.
Ayat 110, sebagai penutup, adalah instruksi abadi tentang Tauhid. Dalam konteks modern, syirik tidak selalu berupa penyembahan berhala batu, tetapi sering kali berbentuk Syirik dalam Niat (Riya') atau Syirik dalam Ketaatan (meletakkan aturan manusia di atas aturan Allah). Seseorang yang beribadah atau beramal hanya demi pujian publik, demi jabatan, atau demi pengakuan media sosial, jatuh ke dalam kerugian besar yang dijelaskan dalam ayat 103-105.
Oleh karena itu, setiap Muslim yang berharap bertemu dengan Allah harus menjadikan Tauhid sebagai filter utama bagi setiap perbuatan. Apakah perbuatan ini murni karena Allah? Apakah ia sesuai dengan ajaran Nabi? Jawaban atas dua pertanyaan inilah yang menentukan nasib abadi seseorang.
Metafora lautan sebagai tinta untuk menulis Kalimat Allah, menunjukkan keagungan Ilmu Ilahi.
Ayat 100 hingga 110 dari Surah Al-Kahfi adalah kesimpulan yang menggetarkan. Mereka merangkum dengan sempurna inti dari akidah Islam: kewajiban untuk Tauhid dan ketaatan kepada Rasulullah ﷺ. Surah ini dimulai dengan kisah-kisah yang memperingatkan tentang bahaya fitnah dunia, dan diakhiri dengan peringatan tentang bahaya terbesar di akhirat: hilangnya amal.
Bagi mereka yang telah melalui berbagai ujian hidup, baik berupa kekayaan, kefakiran, ilmu, maupun kekuasaan, ayat-ayat ini berfungsi sebagai pengingat terakhir bahwa satu-satunya mata uang yang bernilai di hadapan Allah adalah hati yang ikhlas dan amal yang sesuai dengan petunjuk-Nya.
Dengan memegang teguh Tauhid, melaksanakan amal saleh tanpa menyekutukan-Nya sedikit pun, dan mengakui bahwa Rasulullah hanyalah seorang utusan manusia yang membawa risalah Ilahi, seorang Muslim dapat berharap bahwa ia tidak akan termasuk dalam golongan ‘yang paling merugi amalnya’, melainkan akan menjadi penghuni Surga Firdaus yang abadi.
Keselamatan di Hari Kiamat bukan ditentukan oleh besarnya usaha, melainkan oleh kebenaran pondasi yang dibangun di atas usaha tersebut.