Esensi Tauhid dan Ikhlas: Analisis Mendalam Surah Al-Kahfi Ayat Terakhir
Gambar: Cahaya Ikhlas yang Menerangi Amal Saleh.
Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Ia dikenal sebagai penangkal fitnah Dajjal, pelindung di hari Jumat, dan sarat akan kisah-kisah penuh hikmah yang membahas hakikat ujian keimanan, kesabaran, serta ilmu pengetahuan. Namun, puncak dari pesan-pesan yang terkandung dalam keseluruhan surah ini terangkum dengan sangat padat dan mendalam pada ayat penutupnya, yaitu Surah Al-Kahfi ayat 110.
Ayat terakhir Surah Al-Kahfi bukan hanya sekadar penutup bab, melainkan sebuah epilog teologis yang merangkum seluruh prinsip tauhid, kenabian, dan syarat diterimanya amal perbuatan oleh Allah SWT. Ayat ini menjadi fondasi bagi setiap Muslim yang mendambakan pertemuan dengan Rabb-nya di akhirat kelak, menekankan dua syarat utama yang tidak bisa ditawar: keimanan yang murni dan perbuatan yang tulus semata-mata karena Allah.
Teks dan Terjemahan Surah Al-Kahfi Ayat Terakhir (Ayat 110)
Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus merenungkan setiap kata yang termaktub dalam ayat 110. Ayat ini merupakan perintah langsung kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan pesan inti kepada umat manusia:
Terjemahan Resmi Kementerian Agama (Ringkas):
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.' Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Analisis Tafsir Ayat Per Kata (Tafsir Ijmali)
Ayat ini terbagi menjadi tiga komponen utama yang saling terkait, yang mencerminkan pilar utama agama Islam: Kenabian, Tauhid, dan Tuntutan Ibadah.
1. Pengakuan Kenabian dan Kemanusiaan: "قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ"
Perintah 'Katakanlah' (قُلْ) menuntut Nabi Muhammad SAW untuk mendeklarasikan dirinya. Beliau diperintahkan untuk menegaskan statusnya sebagai "hanya seorang manusia seperti kamu" (إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ). Ini adalah bantahan tegas terhadap konsep ketuhanan nabi yang seringkali muncul dalam tradisi lain, dan sekaligus menunjukkan bahwa kenabian tidak menghapus sifat kemanusiaan.
Deklarasi ini penting untuk menetapkan bahwa risalah yang dibawanya berasal dari Dzat yang Maha Kuasa, bukan dari kehebatan atau sifat ilahi yang dimilikinya secara pribadi. Ia makan, minum, sakit, dan memiliki emosi layaknya manusia biasa. Perbedaan mendasar antara Nabi dan manusia biasa adalah wahyu yang diterimanya.
2. Pilar Tauhid Murni: "يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ"
Ini adalah inti dari wahyu yang diturunkan kepada beliau: "Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa." Ini adalah penegasan fundamental Tauhid Rububiyah (keesaan penciptaan dan penguasaan) dan Tauhid Uluhiyah (keesaan dalam penyembahan).
Pesan ini mengikat semua umat manusia pada satu poros keyakinan, menolak segala bentuk kemusyrikan dan politeisme. Di tengah Surah Al-Kahfi yang berisi kisah-kisah tentang ujian harta (Ashabul Kahfi), ujian ilmu (Musa dan Khidir), dan ujian kekuasaan (Dzulqarnain), ayat ini mengingatkan bahwa sumber kekuatan dan pertolongan sejati hanya berasal dari Allah Yang Maha Esa.
3. Syarat Diterimanya Amal: "فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا"
Bagian inilah yang menjadi klimaks dan aplikasi praktis dari Tauhid. Ayat ini memberikan rumus abadi bagi keselamatan di akhirat, yang melibatkan dua syarat mutlak yang harus dipenuhi secara bersamaan:
Dua Kunci Utama Surah Al-Kahfi Ayat Terakhir: Amal Saleh dan Keikhlasan
Syarat Pertama: Amal Saleh (فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا)
Siapa pun yang berharap untuk bertemu Tuhannya—artinya, berharap akan rahmat, pahala, dan keridaan-Nya di akhirat—maka ia wajib "mengerjakan amal yang saleh." Amal saleh didefinisikan secara luas oleh para ulama sebagai perbuatan yang memenuhi dua kriteria dasar:
- Sesuai Syariat (Shahih): Perbuatan tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Jika ibadah, ia harus sesuai dengan tata cara yang dicontohkan (ittiba'). Jika muamalah, ia harus sesuai dengan hukum Islam.
- Dilakukan dengan Benar: Memastikan kualitas dan kuantitas perbuatan tersebut dilakukan sebaik mungkin (Ihsan).
Amal saleh mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari salat, puasa, zakat, hingga interaksi sosial, kejujuran dalam berdagang, dan menjaga lingkungan. Seluruh aktivitas duniawi bisa diubah menjadi amal saleh jika niatnya benar dan caranya sesuai syariat.
Syarat Kedua: Keikhlasan Mutlak (وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا)
Syarat ini adalah pengunci diterimanya amal saleh. Ia harus dilakukan dengan niat yang murni dan tulus, tanpa sedikitpun mencampurkan tujuan duniawi atau niat pamer (riya') di dalamnya. "Janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
Ini adalah peringatan keras terhadap "Syirik Kecil" (Syirik Asghar), yaitu riya'. Riya' adalah bahaya tersembunyi yang menggerogoti pahala amal. Seseorang mungkin melakukan salat atau sedekah yang sempurna secara fisik, tetapi jika ia melakukannya agar dipuji manusia, maka amalannya gugur dan ia telah terjatuh dalam syirik dalam niat ibadahnya.
Para mufassir menekankan bahwa syirik yang dimaksud di sini mencakup setiap bentuk pengarahan ibadah—baik niat maupun perbuatan—kepada selain Allah. Ini adalah inti ajaran Islam: Amal harus memenuhi kriteria mutaba'ah (mengikuti Nabi) dan ikhlas (hanya karena Allah).
Kedalaman Konsep Ikhlas dalam Surah Al-Kahfi Ayat Terakhir
Penyebutan larangan syirik setelah perintah amal saleh adalah penekanan bahwa amal tidak akan sempurna tanpa keikhlasan. Ikhlas adalah ruh dari amal. Tanpa ruh, jasad amal hanyalah gerakan fisik tanpa nilai di sisi Allah.
Ikhlas sebagai Pembeda
Imam Fudhail bin Iyadh pernah menjelaskan tafsir ayat ini dengan mengatakan: "Amal yang paling ikhlas dan paling benar." Beliau menjelaskan, amal yang ikhlas adalah yang dilakukan hanya karena Allah, sedangkan amal yang benar adalah yang sesuai sunnah. Jika amal itu ikhlas namun tidak sesuai sunnah, ia tidak diterima. Jika ia sesuai sunnah namun tidak ikhlas, ia juga tidak diterima. Amal yang diterima adalah yang ikhlas dan benar.
Konsep keikhlasan di sini sangat luas, mencakup pengawasan diri (muhasabah) yang konstan agar motivasi beramal tidak bergeser sedikit pun dari mencari wajah Allah. Perjuangan untuk menjaga keikhlasan ini seringkali lebih sulit daripada melakukan amalnya itu sendiri, karena ia adalah medan pertempuran batin melawan hawa nafsu dan bisikan setan yang senang memuji diri sendiri.
Bahaya Riya’ dan Sum’ah
Riya’ (melakukan amal agar dilihat manusia) dan Sum’ah (melakukan amal agar didengar manusia) adalah manifestasi syirik kecil yang paling sering menyerang. Dalam konteks Surah Al-Kahfi ayat terakhir, larangan mempersekutukan Tuhan dalam ibadah berarti menjauhi riya’ dengan sekuat tenaga. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa hal yang paling beliau khawatirkan menimpa umatnya adalah syirik kecil, dan beliau menjelaskan bahwa itu adalah riya’. Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman riya’ terhadap keselamatan amal kita.
Seorang mukmin yang menghayati ayat ini akan senantiasa berusaha menyembunyikan amalnya, sejauh memungkinkan, agar tidak ada celah bagi pujian manusia untuk merusak niatnya. Ia mengerti bahwa pujian manusia adalah ujian, dan pahala sejati hanya datang dari Allah, Dzat yang Maha Melihat.
Konteks Ayat dalam Keseluruhan Surah Al-Kahfi
Ayat 110 datang sebagai kesimpulan agung setelah serangkaian kisah luar biasa yang sarat akan pelajaran mengenai godaan dunia dan fitnah di akhir zaman. Setiap kisah dalam surah ini berujung pada kebutuhan mutlak akan tauhid dan keikhlasan:
1. Kisah Ashabul Kahfi (Ujian Iman)
Pemuda-pemuda gua meninggalkan harta dan kekuasaan demi menjaga akidah mereka. Mereka memilih ikhlas di hadapan Allah daripada keselamatan duniawi. Pesan mereka selaras dengan ayat 110: utamakan Tauhid, bahkan jika harus mengorbankan segalanya.
2. Kisah Pemilik Dua Kebun (Ujian Harta dan Kesombongan)
Seorang pemilik kebun menjadi sombong dan lupa bahwa semua kenikmatan adalah pinjaman dari Allah. Ia gagal mengamalkan amal saleh (bersyukur) dan jatuh dalam kesyirikan tersembunyi (bergantung pada harta). Ayat 110 menjadi penawar bagi penyakit kesombongan ini: segala perbuatan (termasuk memanfaatkan harta) harus diarahkan hanya kepada Allah.
3. Kisah Musa dan Khidir (Ujian Ilmu dan Kesabaran)
Kisah ini mengajarkan bahwa ilmu Allah jauh melampaui akal manusia. Ketika manusia berhadapan dengan takdir yang tak terduga, mereka harus tetap bersabar dan berpegang pada Tauhid. Ayat 110 mengajarkan bahwa amal saleh harus dilakukan dengan keyakinan penuh pada ilmu dan takdir Allah, bukan berdasarkan pemahaman akal semata.
4. Kisah Dzulqarnain (Ujian Kekuasaan dan Kelemahan)
Raja Dzulqarnain dianugerahi kekuasaan melintasi bumi, namun ia selalu mengakui bahwa kekuatannya adalah karunia dari Rabb-nya. Ia melakukan amal saleh besar (membangun tembok penangkal Ya'juj dan Ma'juj) dengan niat ikhlas, selalu mengembalikan keberhasilan kepada Allah. Ini adalah cerminan sempurna dari amal saleh yang tidak dinodai syirik dalam ibadah.
Dengan demikian, Surah Al-Kahfi ayat terakhir berfungsi sebagai penutup yang menegaskan bahwa lepas dari ujian apa pun—harta, kekuasaan, ilmu, atau keimanan—solusinya selalu kembali pada dua poin inti: keimanan pada Tuhan Yang Esa dan melaksanakan perbuatan dengan tulus dan benar.
Harapan Bertemu Rabb (يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ)
Frasa "Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya" (فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ) mengandung makna yang sangat mendalam dan memotivasi. Harapan ini bukanlah sekadar harapan kosong, melainkan sebuah cita-cita tertinggi yang harus diwujudkan melalui usaha sungguh-sungguh.
Makna Liqa' Rabb (Pertemuan dengan Tuhan)
Menurut mayoritas ulama tafsir, "pertemuan" di sini merujuk pada beberapa hal:
- Menerima Pahala dan Rahmat Allah: Mencapai surga dan selamat dari azab neraka.
- Hari Kiamat: Hari perhitungan di mana setiap hamba akan berdiri di hadapan Allah.
- Melihat Wajah Allah (Ru’yatullah): Ini adalah kenikmatan tertinggi bagi penghuni surga.
Keinginan untuk bertemu Allah (Liqa' Rabb) harus menjadi motor penggerak setiap amal saleh. Jika seseorang benar-benar mengharapkan momen tersebut, ia akan berhati-hati dalam setiap tindakan, memastikan bahwa amalnya murni dari segala noda syirik atau riya'. Harapan ini menciptakan rasa takut (khauf) dan harapan (raja') yang seimbang, mendorong hamba untuk senantiasa taat.
Syirik dan Amalan yang Gugur
Konsekuensi dari melanggar larangan "وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا" adalah gugurnya seluruh amal yang dilakukan. Dalam Islam, syirik, baik besar maupun kecil, adalah dosa yang paling fatal karena ia menyentuh inti Tauhid.
Syirik Akbar (Besar)
Jika seseorang menyekutukan Allah dalam ibadah pokok (misalnya menyembah berhala, meminta kepada selain Allah), maka seluruh amalnya batal dan ia keluar dari Islam (jika belum bertaubat sebelum mati). Ayat 110 secara mutlak menolak segala bentuk syirik akbar.
Syirik Asghar (Kecil) – Riya’
Syirik kecil tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, namun ia merusak amal yang terkontaminasi. Riya’ adalah seperti api yang membakar kayu, ia menghabiskan pahala amal tanpa meninggalkan sisa. Jika riya’ bercampur dalam suatu ibadah, misalnya salat, maka salat tersebut menjadi batal dan tidak bernilai di sisi Allah.
Pentingnya ayat 110 terletak pada penekanan bahwa kualitas internal (keikhlasan) sama pentingnya dengan kualitas eksternal (kesesuaian syariat). Seorang mukmin harus senantiasa berada dalam kondisi introspeksi, menanyakan pada dirinya: "Apakah aku melakukan ini karena Allah, ataukah ada kepentingan lain yang terselip?"
Hubungan Ayat Ini dengan Hadits Nabi
Pesan yang disampaikan dalam Surah Al-Kahfi ayat terakhir diperkuat oleh banyak hadits Nabi Muhammad SAW, menunjukkan bahwa Ikhlas adalah fondasi yang tak tergoyahkan.
Hadits Niat
Hadits terkenal dari Umar bin Khattab RA: "Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan." Hadits ini adalah implementasi langsung dari "فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا." Niat yang benar (ikhlas) adalah syarat pertama diterimanya amal.
Hadits Riya'
Terdapat hadits qudsi yang sangat menakutkan tentang riya', di mana Allah SWT berfirman: "Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa melakukan suatu amalan yang di dalamnya ia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia dan sekutunya itu." (HR. Muslim).
Hadits ini secara eksplisit menegaskan substansi dari ayat 110: Allah tidak menerima amal yang dicampuri niat kepada selain-Nya. Keikhlasan harus 100%, tanpa toleransi terhadap sekutu. Ini menegaskan posisi keikhlasan sebagai penentu mutlak antara amal yang diterima dan yang ditolak.
Penerapan Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana seorang Muslim mengaplikasikan pesan monumental Surah Al-Kahfi ayat terakhir dalam realitas hidupnya yang penuh tantangan dan godaan?
1. Mengelola Motivasi dalam Bekerja
Dalam mencari nafkah, seorang Muslim harus memastikan bahwa ia bekerja secara profesional (amal saleh) dan bertujuan utama untuk mendapatkan keridaan Allah (ikhlas). Hal ini diwujudkan dengan bekerja jujur, meninggalkan praktik curang, dan menganggap pekerjaan sebagai ibadah. Jika tujuannya hanya kekayaan atau pujian bos, maka ia telah mempersekutukan niatnya.
2. Ibadah Rahasia (Sirr)
Mengamalkan ibadah yang tersembunyi, seperti salat sunnah di malam hari, sedekah rahasia, atau membaca Al-Qur'an tanpa dilihat orang lain, adalah cara efektif untuk melatih dan memperkuat keikhlasan. Ibadah rahasia adalah perisai terkuat melawan riya’, karena hanya Allah yang mengetahuinya.
3. Menghadapi Ujian Sosial Media
Di era digital, fitnah riya’ semakin kuat. Surah Al-Kahfi ayat terakhir menjadi pedoman ketika seseorang tergoda untuk memublikasikan setiap amal baiknya. Mukmin sejati menyadari bahwa dokumentasi amal adalah jebakan yang bisa merusak niat ikhlas.
4. Dalam Dakwah dan Mengajar
Para dai dan pendidik harus memastikan bahwa motivasi mereka dalam menyampaikan ilmu adalah semata-mata karena Allah. Jika pujian, pengikut, atau ketenaran menjadi tujuan, maka keikhlasan telah tercemar. Ayat 110 menggarisbawahi pentingnya menyampaikan pesan Tauhid dengan ketulusan hati yang maksimal.
Tauhid dan Keimanan yang Menyeluruh
Ayat penutup Surah Al-Kahfi menegaskan bahwa keimanan sejati (Tauhid) harus dimanifestasikan melalui tindakan (Amal Saleh) yang dimurnikan oleh niat (Ikhlas). Ketiganya merupakan satu kesatuan tak terpisahkan: iman, ucapan, dan perbuatan.
Tauhid Uluhiyah sebagai Basis Amal
Tauhid Uluhiyah, pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak disembah, menjadi landasan mengapa kita melakukan amal saleh dan mengapa kita harus ikhlas. Jika hanya Dia yang menciptakan kita, memberi rezeki, dan memegang kuasa atas hari kiamat, maka hanya kepada-Nya lah kita harus mengarahkan seluruh ibadah kita, baik yang zahir maupun yang batin.
Konsep Tauhid yang dijelaskan di ayat ini meluas melampaui sekadar menolak berhala fisik; ia menolak menjadikan hawa nafsu, jabatan, harta, atau pandangan manusia sebagai ‘sekutu’ dalam beribadah kepada Allah. Inilah jihad terbesar: Jihad melawan ego dan keinginan untuk diakui oleh makhluk.
Peranan Kesadaran akan Hari Akhir
Frasa "Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya" sangat efektif sebagai perangkat spiritual yang mendorong ketaatan. Kesadaran akan hari akhir bukan hanya soal takut pada neraka, tetapi juga harapan besar akan ganjaran. Rasa harap ini (Raja’) menuntut hamba untuk mempersiapkan bekal terbaik, dan bekal terbaik adalah amal saleh yang ikhlas.
Jika seseorang benar-benar yakin bahwa setiap amal sekecil apapun akan dihitung, dan pada akhirnya ia akan berdiri sendiri di hadapan Rabb alam semesta, ia akan sangat termotivasi untuk menjaga kualitas dan integritas niatnya. Ayat ini menghubungkan secara langsung antara keyakinan akan hari akhir dengan tuntutan etika beramal di dunia.
Memperkuat Amal Saleh Melalui Sunnah
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, amal saleh adalah amal yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Ayat 110, yang diawali dengan deklarasi kenabian ("Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku..."), secara implisit menegaskan pentingnya Sunnah.
Seorang Muslim tidak bisa berdalih bahwa niatnya ikhlas jika caranya beramal bertentangan dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah. Sebaliknya, ia juga tidak bisa menganggap amalnya sempurna jika ia mengikuti syariat namun niatnya buruk. Ayat ini menyatukan dua sisi koin ibadah yang benar: Ikhlas (motivasi) dan Mutaba'ah (metode).
Tanpa Sunnah, kita tidak tahu bagaimana Allah ingin disembah. Tanpa keikhlasan, ibadah kita menjadi sia-sia. Surah Al-Kahfi ayat terakhir menawarkan keseimbangan sempurna ini. Amal saleh yang diterima adalah jembatan yang dibangun dengan bahan ketaatan (Sunnah) dan diikat dengan semen keikhlasan (Tauhid).
Kesimpulan Agung Surah Al-Kahfi
Surah Al-Kahfi ayat 110 bukan hanya sebuah penutup, melainkan sebuah ringkasan filosofis tentang seluruh makna keberadaan manusia di bumi. Ini adalah kompas moral dan spiritual yang memandu umat Islam melalui labirin kehidupan fana.
Pesan intinya sederhana, namun implementasinya membutuhkan perjuangan seumur hidup: Jadikanlah Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam setiap tarikan napas dan gerakanmu. Sadari statusmu sebagai hamba dan ikuti petunjuk Nabi yang juga manusia. Persiapkan bekal terbaik (amal saleh) untuk pertemuan abadi dengan Rabbmu, dan yang terpenting, jaga kemurnian niatmu dari segala bentuk kesyirikan, sekecil apapun.
Ayat ini adalah janji dan peringatan. Janji bagi mereka yang ikhlas dan beramal saleh, bahwa mereka akan mendapatkan pahala yang besar; dan peringatan keras bagi mereka yang lalai dan membiarkan riya' merusak ibadah mereka. Keutamaan Surah Al-Kahfi, yang sering dibaca untuk menjaga diri dari fitnah Dajjal, pada akhirnya berpusat pada inti ajaran ini: Hanya Tauhid dan Ikhlas yang akan menyelamatkan kita dari fitnah terbesar dunia dan akhirat.
Maka, hendaklah setiap Muslim merenungi ayat terakhir ini, menjadikannya standar baku bagi seluruh aktivitas hidupnya. Inilah kunci menuju keselamatan, inilah jalan menuju keridaan Ilahi, dan inilah hakikat dari ibadah yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, perjuangan untuk senantiasa mengoreksi niat (mentadaburi ayat 'walā yusyrik bi'ibādati rabbihī aḥadā') harus menjadi prioritas harian. Setiap pagi, ketika memulai aktivitas, seorang mukmin harus memperbaharui janji ini kepada Allah: bahwa segala yang akan dikerjakannya hari ini, besar maupun kecil, akan dikhususkan hanya untuk mencari wajah-Nya, meneladani Rasul-Nya, dan menjauhi segala bentuk sekutu dalam peribadatan kepada-Nya.
Memahami kedudukan Surah Al-Kahfi ayat terakhir sebagai puncak ajaran keikhlasan mengajarkan kita bahwa Islam tidak hanya menuntut ritual formal, tetapi juga kualitas hati yang jujur. Ritual tanpa kejujuran hati akan menjadi cangkang kosong, sementara niat yang jujur tanpa dasar syariat yang benar adalah sia-sia. Keseimbangan antara 'Amalan Salihan' (perbuatan yang benar) dan 'Walā Yusyrik' (niat yang tulus) adalah syarat mutlak, yang menjadi penentu status kita di hadapan Allah SWT di hari perhitungan kelak.
Ini adalah pedoman final, penutup yang sempurna bagi surah yang membahas berbagai jenis godaan duniawi. Kesimpulan ini memberikan kejelasan mutlak: jalan keluar dari segala fitnah (kekayaan, pengetahuan, kekuasaan, atau keimanan) adalah kembali kepada fondasi yang murni, yaitu Tauhid yang dimanifestasikan melalui amal yang suci dari Riya’.