Pendahuluan dan Posisi Surah Al-Lail
Surah Al-Lail, yang berarti "Malam", adalah surah ke-92 dalam Al-Qur’an. Surah ini tergolong dalam kelompok Surah Makkiyah, yaitu surah-surah yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Letaknya dalam Juz ke-30 (Juz ‘Amma) dan terdiri dari 21 ayat yang pendek namun padat makna.
Al-Lail diturunkan pada periode awal kenabian, sebuah masa di mana tantangan dakwah sangat berat, dan penekanan utama ajaran adalah pada Tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan (akhirat), dan etika moralitas dasar. Surah ini secara spesifik berfokus pada prinsip dualitas dalam kehidupan dan balasan, mengajarkan bahwa jalan hidup manusia terbagi menjadi dua jalur yang sangat jelas: jalan memberi dan jalan menahan diri (kikir).
Gambar 1: Visualisasi dualitas usaha manusia dalam Surah Al-Lail.
Keindahan Surah Al-Lail terletak pada sumpah-sumpah pembukanya yang menggunakan fenomena kosmik yang senantiasa berulang—malam dan siang—untuk menggarisbawahi kebenaran universal bahwa usaha (sa'ya) manusia itu beraneka ragam dan setiap usaha pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. Fokus utama pada artikel ini adalah mengupas tuntas bacaan Latin Surah Al-Lail agar mempermudah pembaca yang sedang belajar atau menghafal, diikuti dengan pemahaman tafsir yang mendalam.
Teks Surah Al-Lail Lengkap dengan Transliterasi Latin
Membaca Al-Qur’an dengan tajwid yang benar adalah wajib. Transliterasi Latin hanyalah alat bantu. Sangat disarankan untuk selalu merujuk pada teks Arab aslinya. Berikut adalah keseluruhan Surah Al-Lail dalam bahasa Arab, Latin, dan terjemahan ringkas per ayat.
Ayat 1
Artinya: Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).
Ayat 2
Artinya: Dan demi siang apabila terang benderang.
Ayat 3
Artinya: Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.
Ayat 4
Artinya: Sesungguhnya usaha kamu memang beraneka ragam.
Ayat 5
Artinya: Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.
Ayat 6
Artinya: Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Al-Husna).
Ayat 7
Artinya: Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.
Ayat 8
Artinya: Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup.
Ayat 9
Artinya: Serta mendustakan pahala yang terbaik (Al-Husna).
Ayat 10
Artinya: Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.
Ayat 11
Artinya: Dan hartanya sekali-kali tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh (binasa).
Ayat 12
Artinya: Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk.
Ayat 13
Artinya: Dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia.
Ayat 14
Artinya: Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.
Ayat 15
Artinya: Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka.
Ayat 16
Artinya: Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan).
Ayat 17
Artinya: Dan kelak akan dijauhkan neraka itu dari orang yang paling takwa.
Ayat 18
Artinya: Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.
Ayat 19
Artinya: Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya.
Ayat 20
Artinya: Tetapi (ia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi.
Ayat 21
Artinya: Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan.
Analisis Tafsir Mendalam Per Ayat: Memahami Dualitas Balasan
Inti dari Surah Al-Lail adalah penegasan terhadap keadilan ilahi dalam membalas segala bentuk amal perbuatan manusia. Ayat-ayat awal membangun kerangka universal sebelum membagi manusia menjadi dua golongan yang kontras. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu mengurai setiap sumpah dan janji yang terkandung di dalamnya.
I. Sumpah dan Penegasan Universal (Ayat 1–4)
Ayat 1: "Waal laili idzā yaghsya."
Allah bersumpah demi malam, "apabila menutupi (cahaya siang)". Kata Yaghsya (menutupi) memberikan kesan menyeluruh, di mana kegelapan malam melingkupi segala sesuatu yang ada di bumi. Malam adalah simbol istirahat, ketenangan, dan misteri. Dalam tafsir, sumpah ini menunjukkan kekuasaan Allah yang mengatur rotasi waktu dan menciptakan kontras yang esensial bagi kehidupan. Sumpah ini sangat dalam karena manusia seringkali merasa kecil dan misterius dalam kegelapan, sebuah pengingat akan kebesaran Sang Pencipta yang mengatur siklus abadi ini.
Mengapa Allah bersumpah dengan malam? Malam adalah waktu di mana amal perbuatan dapat dilakukan secara tersembunyi, menguji keikhlasan hati seseorang. Ia juga merupakan ujian bagi hamba-hamba yang beriman untuk bangun beribadah (Qiyamul Lail), menunjukkan kontras antara mereka yang lalai dan mereka yang beramal tanpa dilihat manusia.
Ayat 2: "Wan nahāri idzā tajallā."
Dan demi siang, "apabila terang benderang." Kata Tajallā (terang benderang, menampakkan diri) adalah lawan total dari *Yaghsya*. Siang melambangkan kejelasan, aktivitas, dan keterbukaan. Jika malam menyembunyikan, siang menyingkap. Sumpah ini memperkuat prinsip dualitas kosmik yang mendasari segala ciptaan. Keterangan ini mengingatkan manusia bahwa setelah setiap kesulitan (malam) pasti ada kemudahan (siang), asalkan usaha terus dilakukan.
Dualitas Malam dan Siang ini adalah landasan sebelum masuk ke dualitas amal perbuatan. Sebagaimana rotasi bumi tidak pernah salah, demikian pula janji balasan Allah pasti terjadi sesuai jenis usaha yang dipilih manusia.
Ayat 3: "Wa mā khalaqadz dzakara wal untsā."
Sumpah ketiga adalah demi "penciptaan laki-laki dan perempuan." Ini adalah dualitas tertinggi dalam biologi dan sosial manusia. Laki-laki dan perempuan adalah dua kutub yang saling melengkapi dan membentuk peradaban. Dengan bersumpah atas pasangan ini, Allah menegaskan bahwa dualitas bukan hanya ada di alam semesta (malam/siang), tetapi juga di dalam spesies manusia itu sendiri. Keseimbangan dalam penciptaan ini menegaskan bahwa setiap individu, terlepas dari jenis kelaminnya, memiliki tanggung jawab moral dan akan dinilai berdasarkan usahanya.
Tiga sumpah (Malam, Siang, Laki-laki/Perempuan) adalah penutup argumentasi bahwa Allah adalah Pencipta yang Maha Kuasa, yang menciptakan segala sesuatu berpasangan, dan oleh karena itu, balasan (surga/neraka) juga diciptakan berpasangan.
Ayat 4: "Inna sa’yakum lashattā."
Inilah jawaban dari tiga sumpah di atas: "Sesungguhnya usaha kamu memang beraneka ragam." Kata Sa’yakum berarti usaha, kerja keras, atau perjalanan hidup. Lashattā berarti berbeda-beda, beragam, atau terpisah-pisah. Ayat ini adalah titik balik surah.
Semua usaha manusia, terlepas dari pekerjaan, status, atau kekayaan, terbagi menjadi dua kategori utama: usaha menuju kebenaran (kebaikan) dan usaha menuju kesesatan (kejahatan). Ayat ini memberikan kebebasan memilih, tetapi sekaligus memberi peringatan bahwa pilihan yang diambil akan menentukan hasil akhir. Usaha seorang dermawan dan seorang kikir tidak mungkin menghasilkan balasan yang sama, sebagaimana malam dan siang tidak mungkin terjadi pada waktu yang bersamaan.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini menggunakan kata 'usaha' (sa'ya), menekankan bahwa yang dihitung bukanlah hasilnya semata, melainkan kerja keras, niat, dan upaya yang diinvestasikan di dalamnya. Keberagaman usaha ini adalah rahmat dan ujian bagi manusia.
II. Golongan Pertama: Pemberi dan Bertakwa (Ayat 5–7)
Setelah menegaskan dualitas usaha, Surah Al-Lail kini menjelaskan ciri-ciri golongan yang memilih jalan kemudahan.
Ayat 5: "Fa ammaa man a’ṭā wattaqā."
"Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa." Ayat ini memperkenalkan dua pilar utama jalan kebenaran:
- A’ṭā (Memberi/Berderma): Bukan sekadar memberi, tetapi memberi dengan kemauan yang ikhlas, mengeluarkan harta tanpa merasa berat, baik itu wajib (zakat) maupun sunnah (sedekah).
- Wattaqā (Bertakwa): Menjaga diri dari perbuatan dosa karena takut kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Takwa adalah landasan spiritual, sementara memberi adalah manifestasi praktisnya.
Ayat 6: "Wa ṣaddaq bil ḥusnā."
"Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Al-Husna)." Al-Husna memiliki dua makna utama dalam tafsir:
- Pahala Terbaik: Yaitu Surga. Orang ini percaya penuh akan janji pahala di akhirat.
- Kalimat Terbaik: Yaitu kalimat Tauhid, ‘Lā ilāha illallāh’. Orang ini mengakui keesaan Allah dan seluruh kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat 7: "Fasanuyassiruhū lil yusrā."
"Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." Ini adalah janji ilahi (Wa'd) bagi golongan pertama. Lil Yusrā berarti jalan kemudahan. Kemudahan ini diinterpretasikan dalam berbagai dimensi:
- Kemudahan dalam beramal saleh di dunia (Allah membimbingnya dan menjadikannya ringan untuk berbuat baik).
- Kemudahan saat menghadapi sakaratul maut.
- Kemudahan saat dihisab di hari kiamat, yaitu masuk Surga.
III. Golongan Kedua: Kikir dan Mendustakan (Ayat 8–11)
Kontras total disajikan pada golongan kedua, yaitu mereka yang memilih jalan kesulitan.
Ayat 8: "Wa ammaa mam bakhila wastaghnā."
"Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya cukup." Ayat ini mencakup dua dosa besar yang saling terkait:
- Bakhila (Kikir): Menahan harta yang seharusnya dikeluarkan, baik zakat maupun sedekah. Kekikiran adalah penyakit hati yang menghalangi kebaikan mengalir.
- Wastaghnā (Merasa Cukup/Tidak Butuh): Merasa dirinya sudah sempurna atau tidak membutuhkan pertolongan dan ridha Allah. Mereka yakin bahwa kekayaan mereka adalah hasil usaha murni tanpa campur tangan Tuhan, dan oleh karena itu, tidak perlu berbagi atau beribadah secara sungguh-sungguh.
Ayat 9: "Wa kadz dzaba bil ḥusnā."
"Serta mendustakan pahala yang terbaik (Al-Husna)." Sebagaimana golongan pertama membenarkan janji Surga, golongan kedua ini mendustakannya. Karena mereka tidak percaya akan adanya balasan yang lebih baik di akhirat, mereka memilih menimbun harta di dunia. Mereka menganggap konsep Surga, pahala, dan pertanggungjawaban hanya isapan jempol atau dongeng, sehingga tidak ada motivasi bagi mereka untuk berkorban.
Ayat 10: "Fasanuyassiruhū lil ‘usrā."
"Maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar." Ini adalah ancaman (Wa’īd) bagi golongan kikir. Lil ‘Usrā berarti jalan kesulitan atau kesukaran. Kesukaran ini terjadi sebagai akibat alami dari pilihan mereka:
- Mereka akan kesulitan dalam urusan dunia, terus dikejar hawa nafsu dan ketamakan.
- Allah membuat amal kebaikan terasa berat bagi mereka.
- Kesukaran terbesar adalah jalan menuju Neraka.
Ayat 11: "Wa mā yughnī ‘anhu māluhū idzā taraddā."
"Dan hartanya sekali-kali tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh (binasa)." Ayat ini menghancurkan ilusi kekayaan dunia. Semua harta yang mereka kumpulkan dengan kekikiran tidak akan menolong sedikit pun saat ajal menjemput (teraddā – jatuh, binasa, mati, atau dilemparkan ke Neraka). Dalam konteks kematian, harta ditinggalkan, dan di akhirat, harta itu justru menjadi beban. Ayat ini menekankan bahwa kekayaan hanya bermanfaat jika diubah menjadi bekal akhirat melalui pemberian.
IV. Penegasan Kekuasaan dan Peringatan (Ayat 12–16)
Setelah memaparkan dua jalur, surah kembali menegaskan bahwa hak untuk memberi petunjuk dan mengatur balasan sepenuhnya ada di tangan Allah.
Ayat 12: "Inna ‘alainā lal hudā."
"Sesungguhnya kewajiban Kami-lah memberi petunjuk." Ayat ini menghapus kesalahpahaman bahwa manusia dapat mencapai petunjuk tanpa Allah. Tugas Allah adalah menunjukkan kedua jalur—kebaikan dan keburukan—dan manusia memiliki kebebasan memilih. Al-Hudā (petunjuk) di sini adalah petunjuk yang jelas melalui para Nabi dan Kitab Suci, yang membedakan jalan Yusrā dan ‘Usrā.
Ayat 13: "Wa inna lanā lal ākhirata wal ūlā."
"Dan sesungguhnya kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia." Ini adalah penegasan kekuasaan mutlak (Rububiyah). Karena Allah menguasai dunia (al-Ūlā) dan akhirat (al-Ākhirah), maka janji balasan-Nya—Surga dan Neraka—pasti terjadi. Manusia tidak bisa lari dari kekuasaan-Nya di mana pun ia berada.
Ayat 14: "Fa andzartukum nāran talaẓẓā."
"Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala." Peringatan (Indzār) diberikan secara eksplisit. Talaẓẓā berarti berkobar-kobar hebat, menyala-nyala, menunjukkan intensitas siksaannya. Peringatan ini ditujukan kepada mereka yang memilih jalan ‘Usrā.
Ayat 15: "Lā yaṣlāhā illal asyqā."
"Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka." Neraka yang menyala-nyala itu bukan ditujukan kepada setiap pendosa, melainkan kepada Al-Asyqā, orang yang paling celaka, yang merupakan puncak dari kekafiran dan kekikiran yang disengaja.
Ayat 16: "Alladzī kadz dzaba wa tawallā."
"Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari keimanan)." Ayat ini mendefinisikan siapa Al-Asyqā itu:
- Kadz dzaba (Mendustakan): Tidak hanya mendustakan Surga, tetapi mendustakan ajaran Nabi dan seluruh wahyu.
- Tawallā (Berpaling): Mengabaikan, menolak, dan berpaling dari kewajiban beribadah dan beramal.
V. Jalan Keselamatan dan Kepuasan Abadi (Ayat 17–21)
Penutup Surah ini kembali memfokuskan pada golongan yang beriman dan memberikan deskripsi yang detail tentang motivasi seorang pemberi sejati.
Ayat 17: "Wa sayujannabuhal atqā."
"Dan kelak akan dijauhkan neraka itu dari orang yang paling takwa." Di sisi lain dari Al-Asyqā, terdapat Al-Atqā, orang yang paling bertakwa. Ini menunjukkan bahwa Surga juga disiapkan bukan hanya untuk orang takwa biasa, tetapi untuk mereka yang mencapai derajat ketakwaan tertinggi. Mereka adalah lawan sejati dari orang yang celaka.
Ayat 18: "Alladzī yu`tī mālahū yatazakkā."
"Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya." Ayat ini menjelaskan fungsi hakiki sedekah: Yatazakkā (membersihkan). Memberi bukan untuk mendapatkan imbalan manusia, pujian, atau status sosial, tetapi untuk membersihkan jiwa dari sifat kikir, cinta dunia yang berlebihan, dan dosa-dosa. Zakat dan sedekah adalah proses pemurnian spiritual.
Ayat 19: "Wa mā li-aḥadin ‘indahū min ni’matin tujzā."
"Padahal tidak ada seorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya." Ini adalah deskripsi puncak dari keikhlasan. Pemberiannya itu bukan sebagai balasan (tujzā) atas kebaikan atau pertolongan yang pernah ia terima dari orang lain. Artinya, ia tidak bersedekah karena hutang budi atau kewajiban sosial yang harus ditunaikan.
Ayat 20: "Illab tighā`a wajhi rabbihil a’lā."
"Tetapi (ia memberikan itu) semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi." Ayat ini memuat kata kunci terpenting: Ibtighā`a wajhi Rabbih (semata-mata mencari Wajah/Ridha Tuhannya). Inilah definisi tertinggi dari keikhlasan (Ikhlas). Seorang yang Al-Atqā beramal bukan karena dorongan duniawi, bukan karena pamrih, tetapi murni karena ingin mencapai derajat keridhaan Allah Yang Maha Tinggi.
Mayoritas mufassir sepakat bahwa ayat 17-21 ini diturunkan berkaitan dengan sosok Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., yang membebaskan banyak budak Muslim yang lemah (seperti Bilal bin Rabah) tanpa mengharapkan balasan apa pun dari mereka, melainkan murni demi Allah. Meskipun ada sebab khusus, hukum ayat ini berlaku umum bagi setiap Muslim yang mencapai derajat keikhlasan tersebut.
Ayat 21: "Wa lasaufa yarḍā."
"Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan." Penutup Surah menjanjikan ridha (kepuasan) dari Allah. Kepuasan ini adalah balasan paling agung; bukan hanya Surga, tetapi perasaan damai dan sukacita yang abadi karena ia telah mencapai tujuan tertinggi penciptaan, yaitu keridhaan Sang Pencipta. Janji ini bersifat pasti (lasaufa) dan paripurna, melengkapi janji kemudahan (lil Yusrā) yang diberikan pada ayat 7.
Relevansi Tematik: Keseimbangan dalam Surah Al-Lail
Surah Al-Lail adalah masterpiece yang mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan antara aspek fisik dan spiritual dalam amal perbuatan. Tiga tema utama yang menonjol adalah Dualitas, Pentingnya Memberi, dan Konsekuensi Usaha.
1. Prinsip Dualitas dan Pilihan Bebas (Free Will)
Penggunaan sumpah kosmik (Malam, Siang, Laki-laki, Perempuan) pada permulaan surah bukanlah kebetulan. Allah menghubungkan kebenaran alam semesta yang pasti dan berpasangan dengan ketidakpastian pilihan moral manusia. Sebagaimana malam dan siang tidak bisa dicampur, jalan kebaikan (Yusrā) dan jalan keburukan (‘Usrā) juga tidak bisa ditempuh secara bersamaan. Surah ini menekankan bahwa manusia, dengan kehendak bebasnya, harus memilih salah satu dari dua jalur yang ada.
Dualitas ini merasuk hingga ke tingkat bahasa, dengan pasangan kata: *yaghsya* vs. *tajallā*, *dzakar* vs. *untsā*, *a’ṭā* vs. *bakhila*, *ittaqa* vs. *istaghnā*, *ṣaddaq* vs. *kadz dzaba*, dan *yusrā* vs. *‘usrā*. Setiap kontras ini memperkuat pesan bahwa hasil akhir di akhirat adalah cerminan dari pilihan kontras yang kita buat di dunia. Pilihan ini adalah manifestasi dari Inna sa’yakum lashattā.
2. Menafkahkan Harta sebagai Pemurnian Diri (Tazkiyatun Nafs)
Fokus utama Surah Al-Lail beralih dari Tauhid umum ke praktik etika spesifik, yaitu infaq (menafkahkan harta). Ayat 18 secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan memberi adalah yatazakkā (membersihkan diri). Dalam masyarakat Mekkah yang didominasi oleh sifat materialisme dan kikir (Bakhil) dari kaum Quraisy, pesan ini sangat radikal.
Kekikiran (Bakhila) di sini dipandang sebagai akar dari kesombongan spiritual (Wastaghnā). Orang yang kikir pada akhirnya mendustakan kebenaran (Kadz dzaba bil Husnā) karena ia menganggap harta dunia lebih berharga daripada janji Allah. Sebaliknya, orang yang memberi menunjukkan keyakinan penuh pada balasan akhirat (Ṣaddaq bil Husnā). Dengan demikian, Surah Al-Lail mengajarkan bahwa tes keimanan yang paling nyata terletak pada bagaimana seseorang memperlakukan hartanya.
Penekanan pada keikhlasan dalam Ayat 19-20 (memberi tanpa mengharapkan balasan dari manusia, melainkan hanya demi wajah Allah) menjadikan sedekah sebagai amalan ibadah murni, yang membedakannya dari amal kemanusiaan biasa. Motivasi ini yang membedakan Al-Atqā dari para dermawan duniawi.
3. Janji Balasan yang Pasti
Sangat kuat penekanan pada janji (Wa'd) dan ancaman (Wa'īd). Bagi golongan pertama, janji kemudahan (lil Yusrā) dan kepuasan (yarḍā) diberikan. Bagi golongan kedua, ancaman kesukaran (lil ‘Usrā) dan Neraka menyala (nāran talaẓẓā) diperingatkan. Janji ini bersifat timbal balik: perbuatan baik dibalas dengan kemudahan, perbuatan buruk dibalas dengan kesulitan.
Mufassir modern, seperti Sayyid Qutb, menyoroti bahwa Yusrā dan ‘Usrā bukan hanya tentang pahala akhirat, tetapi juga tentang pengalaman hidup di dunia. Orang yang jiwanya lapang karena memberi dan bertakwa akan menemukan hidupnya lebih mudah dan tenang, sementara orang yang kikir akan selalu merasa kurang, sulit, dan jiwanya diselimuti kesukaran, bahkan jika hartanya melimpah. Dengan kata lain, balasan sudah mulai dirasakan sejak di dunia.
Penerapan Praktis Surah Al-Lail dalam Kehidupan Sehari-hari
Memahami bacaan Latin dan tafsir Al-Lail harus diterjemahkan ke dalam tindakan nyata. Surah ini menawarkan cetak biru etika Muslim yang fundamental.
A. Mengembangkan Sifat 'A’ṭā' (Memberi)
Inti dari surah ini adalah panggilan untuk menjadi 'pemberi'. Hal ini melampaui kewajiban zakat. Setiap Muslim didorong untuk mencari peluang untuk berinfaq, baik materiil maupun non-materiil. Memberi tidak harus berupa uang; memberi ilmu, waktu, tenaga, bahkan senyuman yang ikhlas, semuanya termasuk dalam kategori a’ṭā.
Pengamalan Ayat 18 (yu`tī mālahū yatazakkā) mengajarkan kita untuk memeriksa niat sedekah. Apakah kita memberi agar orang lain memuji? Atau agar mendapatkan kemudahan urusan dunia? Seorang yang mempraktikkan Al-Lail akan memastikan bahwa setiap pemberiannya adalah murni demi wajhi rabbihil a’lā.
B. Menghindari Penyakit 'Bakhila' (Kikir) dan 'Istaghnā' (Sombong)
Surah ini memperingatkan bahwa kekikiran adalah pintu menuju kesombongan. Kekikiran tidak hanya merugikan orang lain, tetapi yang paling parah, merusak jiwa sendiri. Sifat kikir mengunci hati dari rahmat ilahi dan membuat manusia merasa seolah-olah dia tidak membutuhkan Allah. Dalam kehidupan modern, ini termanifestasi sebagai materialisme ekstrem, di mana nilai diri diukur semata-mata dari jumlah harta yang ditimbun.
Untuk menghindari bakhila dan istaghnā, kita harus senantiasa mengingat Ayat 11: harta tidak akan menolong saat mati. Kesadaran akan kefanaan dunia adalah penangkal terbaik terhadap ketamakan.
C. Menjemput 'Lil Yusrā' (Jalan Kemudahan)
Janji lil Yusrā adalah motivasi spiritual yang besar. Jalan kemudahan yang dijanjikan Allah adalah buah dari kombinasi ketakwaan (Ittaqā) dan pemberian (A’ṭā). Dalam menghadapi kesulitan hidup, seorang Muslim yang mengamalkan Al-Lail akan menemukan bahwa pintu-pintu kemudahan akan terbuka baginya. Jika ia menghadapi masalah finansial, pintu rezeki tak terduga akan datang; jika ia menghadapi masalah personal, ketenangan jiwa akan diberikan padanya. Ini adalah bentuk karamah (kemuliaan) bagi hamba yang ikhlas.
D. Menguatkan Keyakinan pada Al-Husna (Pahala Terbaik)
Keyakinan pada janji Allah adalah motor penggerak segala kebaikan. Apabila seseorang ragu akan adanya akhirat atau balasan yang lebih baik, ia akan cenderung kikir dan serakah di dunia. Dengan merenungkan Surah Al-Lail, kita diingatkan untuk Ṣaddaq bil ḥusnā (membenarkan janji terbaik). Kehidupan kita harus dijalani dengan perspektif jangka panjang, di mana setiap kesulitan duniawi yang dihadapi dalam rangka ketaatan adalah investasi abadi untuk keridhaan Allah.
E. Kasus Historis dan Relevansi Abadi
Walaupun surah ini terkait dengan kisah Abu Bakar dan Bilal, pesan universalnya tetap relevan hingga hari ini. Di era kapitalisme yang mengagungkan akumulasi kekayaan, Surah Al-Lail berdiri tegak sebagai pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam apa yang kita tahan, tetapi dalam apa yang kita berikan. Ini adalah pesan revolusioner yang menantang nilai-nilai materialistis dengan etika ketuhanan.
Surah Al-Lail memberikan peta jalan yang jelas. Ia menyajikan dua ujung ekstrim usaha manusia dan dua balasan yang pasti. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita ingin berjalan di jalur yang diselimuti kemudahan (Yusrā) karena kedermawanan dan takwa, atau di jalur yang penuh kesulitan (‘Usrā) karena kekikiran dan kesombongan. Membaca dan memahami transliterasi Latin Surah Al-Lail adalah langkah awal menuju pembaruan janji kita kepada Allah untuk memilih jalan keikhlasan dan kedermawanan, demi meraih kepuasan abadi di sisi-Nya.
Pengayaan Linguistik dan Implikasi Tafsir Modern
Untuk memahami kedalaman Surah Al-Lail secara menyeluruh, perlu ditelusuri lebih lanjut makna leksikal dari beberapa kata kunci dalam konteks yang lebih luas, sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir kontemporer.
1. Analisis Leksikal Kata Kunci
- Yaghsya (يغشى) dan Tajallā (تجلى): Kontras ini adalah kunci. *Yaghsya* (menutupi) memiliki konotasi pasif dan meliputi, sementara *Tajallā* (terang benderang) adalah aktif dan menyingkap. Dalam konteks spiritual, ini berarti amal baik yang tersembunyi (seperti amal di malam hari) dan amal buruk yang tersingkap di hari kiamat. Sumpah ini memastikan bahwa tidak ada perbuatan yang luput dari pandangan Allah, baik tersembunyi maupun terang-terangan.
- Sa’yakum (سعيكم): Kata ini berarti 'usaha' atau 'berlari'. Ini menggarisbawahi sifat aktif dari pilihan manusia. Takdir tidaklah statis; ia dibentuk oleh usaha yang kita investasikan. Tafsir modern menekankan bahwa manusia harus berjuang (berlari) menuju salah satu dari dua jalur tersebut.
- Al-Husnā (الحسنى): Selain Surga, *Al-Husnā* juga merujuk pada konsep kebaikan mutlak. Ketika seseorang Ṣaddaq bil ḥusnā, ia percaya pada nilai-nilai etis tertinggi yang dibawa Islam, termasuk keadilan, keikhlasan, dan pahala yang dijanjikan. Ini berarti, mereka yang berbuat baik didorong oleh pandangan hidup yang optimis dan berorientasi pada nilai abadi.
- Yusrā (اليسرى) dan ‘Usrā (العسرى): Kedua kata ini tidak hanya merujuk pada 'mudah' dan 'sulit' tetapi juga pada kecenderungan. Allah tidak menciptakan kesulitan bagi hamba-Nya yang beriman, tetapi kesulitan itu datang karena kecenderungan hati yang kikir. Sebaliknya, hati yang dermawan secara alami akan cenderung memilih jalan yang memudahkan urusan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
2. Tafsir Kontemporer Mengenai Kekikiran dan Kepuasan
Dalam tafsir modern, khususnya yang berorientasi pada sosial dan psikologis, Surah Al-Lail memberikan pelajaran mendalam tentang psikologi kedermawanan. Kekikiran (Bakhila) dan merasa cukup (Istaghnā) adalah sumber utama penyakit hati. Orang yang kikir hidup dalam ketakutan terus-menerus akan kehilangan, yang menghasilkan kesukaran batin. Mereka adalah budak harta mereka sendiri.
Sebaliknya, janji Wa lasaufa yarḍā (Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan) pada Ayat 21 adalah penawar bagi jiwa yang serakah. Kepuasan ini (Ar-Ridhwan) melampaui kebahagiaan materi. Ini adalah bentuk ketenangan jiwa yang dihasilkan dari ikhlas melepaskan harta demi Allah, mencapai puncak ketenangan spiritual yang tidak bisa dibeli dengan kekayaan dunia.
3. Hubungan dengan Surah-surah Tetangga
Surah Al-Lail sering dikaji berdampingan dengan surah-surah yang mengawali dan mengakhirinya, yaitu Surah Ash-Shams (Matahari) dan Surah Adh-Dhuha (Waktu Dhuha). Ketiga surah ini menggunakan sumpah kosmik untuk menyampaikan pesan moral:
- Ash-Shams (91): Menggunakan Matahari, Bulan, Siang, dan Malam untuk bersumpah bahwa barang siapa menyucikan jiwa (dengan takwa) dia beruntung, dan barang siapa mengotorinya, dia merugi.
- Al-Lail (92): Menggunakan Malam, Siang, dan Penciptaan untuk bersumpah bahwa usaha manusia itu beraneka ragam dan balasan akan diberikan sesuai dengan kedermawanan atau kekikiran mereka.
- Adh-Dhuha (93): Menggunakan Waktu Dhuha dan Malam untuk bersumpah bahwa Allah tidak meninggalkan Nabi, dan memberikan petunjuk khusus tentang perlakuan terhadap anak yatim dan orang yang meminta-minta, yang merupakan bentuk spesifik dari a’ṭā.
Dengan demikian, Surah Al-Lail berperan sebagai jembatan yang menghubungkan Tazkiyatun Nafs (pemurnian jiwa) dalam Ash-Shams dengan praktik nyata kedermawanan dalam Adh-Dhuha. Pesan sentralnya adalah bahwa pemurnian jiwa harus dimanifestasikan melalui tindakan memberi yang ikhlas.
4. Kesadaran Akan Kematian dan Kebinasaan Harta
Ayat 11, "Wa mā yughnī ‘anhu māluhū idzā taraddā," adalah pukulan telak terhadap obsesi materialistik. Kata *taraddā* (telah jatuh/binasa) memiliki kekuatan dramatis. Pada saat kematian, semua ikatan duniawi terputus. Kekayaan, status, dan kekuasaan tidak lagi memiliki nilai tukar. Ayat ini secara gamblang mengingatkan bahwa nilai sejati harta bukan pada kepemilikannya, tetapi pada penggunaannya untuk bekal akhirat. Harta yang disimpan akan binasa, sementara harta yang diinfaqkan akan kekal sebagai amal jariyah.
Penutup Kajian Mendalam
Transliterasi Latin Surah Al-Lail, meskipun membantu dalam pengucapan, membawa kita pada sebuah teks yang sarat dengan ajaran fundamental. Surah ini bukan sekadar peringatan; ia adalah manual praktis tentang bagaimana mencapai kesuksesan abadi. Ia menuntut kita untuk selalu memeriksa niat kita (keikhlasan), memastikan bahwa setiap tetes usaha kita diarahkan pada jalan kemudahan, dan menjadikan pemberian (a'ṭā) sebagai cara hidup, bukan beban. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang digariskan dalam surah yang terdiri dari 21 ayat ini, seorang Muslim sedang mempersiapkan diri untuk janji keridhaan yang tiada batas, janji yang hanya dimiliki oleh Allah Yang Maha Tinggi.
Pemahaman yang mendalam tentang Surah Al-Lail, dari sumpah kosmik hingga janji kepuasan, memperkuat iman dan menyediakan peta jalan yang kokoh bagi setiap individu yang mencari keselamatan dari Neraka yang menyala-nyala (nāran talaẓẓā) dan ingin mencapai Surga yang penuh kemuliaan (Al-Husnā). Ini adalah hikmah abadi dari Al-Qur'an, yang relevan di setiap zaman dan tempat.
Mengulang kembali esensi dari Ayat 4: Inna sa’yakum lashattā, adalah pengingat bahwa hidup adalah tentang pilihan aktif. Setiap hari adalah kesempatan untuk memilih antara Al-Lail (kekelaman kikir) dan An-Nahar (terang benderang kedermawanan). Pilihan ini, sekecil apapun, akan tercatat dan menentukan apakah kita akan menjadi Al-Asyqā (yang paling celaka) atau Al-Atqā (yang paling takwa).
Maka, mari kita jadikan bacaan Latin Surah Al-Lail ini sebagai jembatan untuk menghayati maknanya, sehingga kita tergolong pada mereka yang dimudahkan jalannya menuju kebaikan, dan dijanjikan keridhaan yang abadi di sisi Allah SWT.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk meneladani sifat Al-Atqā, orang yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan diri, semata-mata mencari keridhaan-Nya.
Pembacaan dan pengulangan terhadap ayat-ayat suci ini, khususnya Surah Al-Lail, harus disertai dengan refleksi mendalam mengenai implementasi nilai-nilai 'a’ṭā' dan 'ittaqā' dalam konteks sosial dan ekonomi yang kita hadapi saat ini. Tantangan kekikiran dan individualisme modern membutuhkan solusi spiritual yang tegas, dan Al-Lail memberikan solusi tersebut dengan sangat gamblang dan berwibawa.
Setiap huruf dari bacaan latin Surah Al-Lail, mulai dari "Waal laili idzā yaghsya" hingga "Wa lasaufa yarḍā", membawa beban janji dan ancaman ilahi, sebuah keseimbangan sempurna antara harapan dan ketakutan yang mendefinisikan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.