Menelusuri Kronologi Wahyu: Surah Al-Qadr Diturunkan Sesudah Surah Apa?
Pendahuluan: Kompleksitas Urutan Nuzul Al-Quran
Studi mengenai Al-Quran tidak pernah terlepas dari dua perspektif fundamental dalam penataannya. Pertama adalah Tartib al-Mushaf, yaitu susunan surah sebagaimana yang kita kenal dan baca dalam mushaf Utsmani saat ini, dimulai dari Al-Fatihah hingga An-Nas. Kedua adalah Tartib an-Nuzul, atau urutan kronologis penurunan wahyu, yang menjadi kunci untuk memahami konteks historis, perkembangan hukum syariat, dan evolusi tematik dakwah Nabi Muhammad ﷺ.
Pengetahuan tentang urutan Nuzul (penurunan) adalah fondasi penting dalam ilmu tafsir dan Ulumul Quran (ilmu-ilmu Al-Quran). Ia membantu para mufassir menetapkan nasikh (yang menghapus) dan mansukh (yang dihapus) serta memahami alasan di balik penurunan ayat tertentu (Asbabun Nuzul). Di antara surah-surah yang menarik untuk diteliti kronologinya adalah Surah Al-Qadr (Surah ke-97), sebuah surah yang mulia yang secara eksklusif membahas tentang Lailatul Qadr, Malam Kemuliaan.
Dalam susunan Mushaf, Surah Al-Qadr terletak setelah Surah Al-'Alaq dan Surah At-Tin. Namun, dalam urutan Nuzul, posisi surah ini seringkali menimbulkan perdebatan dan membutuhkan telaah riwayat yang cermat. Menentukan secara definitif surah mana yang mendahului Surah Al-Qadr dalam rentetan penurunan wahyu membutuhkan komparasi antara riwayat-riwayat klasik, khususnya daftar kronologi yang disusun oleh para ulama seperti Imam Az-Zarkashi, Imam As-Suyuthi, dan Jaber bin Zaid.
Fokus utama pembahasan ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis surah yang secara kronologis diturunkan sesaat sebelum Surah Al-Qadr. Mengingat Al-Qadr adalah surah Makkiyah awal atau pertengahan, ia berada dalam kelompok surah pendek yang kuat penekanan pada tauhid, hari kiamat, dan moralitas dasar. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu menyelami metodologi penetapan urutan Nuzul dan karakteristik spesifik dari Surah Al-Qadr.
Metodologi Penetapan Urutan Nuzul dan Klasifikasi Makkiyah
Penentuan urutan penurunan wahyu bukanlah tugas yang mudah, sebab Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah menyusun daftar kronologis resmi selama hidup beliau. Urutan Nuzul direkonstruksi oleh para ulama berdasarkan bukti-bukti internal dan eksternal yang kuat. Secara umum, ada tiga sumber utama dalam menetapkan kronologi:
- Riwayat Shahih dari Sahabat dan Tabi’in: Keterangan dari Sahabat seperti Ibnu Abbas atau Tabi’in seperti Mujahid yang menyaksikan konteks penurunan wahyu. Misalnya, riwayat tentang Surah Al-Alaq sebagai wahyu pertama adalah riwayat yang mutawatir.
- Asbabun Nuzul (Sebab Penurunan): Konteks peristiwa yang melatarbelakangi penurunan suatu ayat atau surah. Walaupun tidak semua surah memiliki Asbabun Nuzul yang jelas, konteks historisnya dapat membantu penanggalan.
- Karakteristik Linguistik dan Tematik: Surah Makkiyah (diturunkan sebelum Hijrah) umumnya pendek, berirama cepat, dan berfokus pada akidah, sedangkan Surah Madaniyah (setelah Hijrah) cenderung panjang, membahas hukum, dan interaksi sosial. Surah-surah Makkiyah awal, tempat Surah Al-Qadr berada, memiliki ciri khas penekanan pada sumpah dan gambaran dahsyatnya Hari Kiamat.
Posisi Surah Al-Qadr dalam Periode Makkiyah
Hampir seluruh ulama sepakat bahwa Surah Al-Qadr adalah Surah Makkiyah. Pertanyaan kuncinya adalah: Makkiyah awal (seperti Al-Alaq) atau Makkiyah pertengahan (seperti Al-Mu'minun)? Konsensus umum, terutama berdasarkan daftar yang disusun oleh Ibnu Abbas melalui riwayat Jabir bin Zaid dan Al-Baihaqi, menempatkan Surah Al-Qadr (97) di antara kelompok surah-surah yang diturunkan pada periode awal hingga pertengahan dakwah di Makkah. Ini adalah periode di mana fokus utama dakwah adalah penegasan kembali keesaan Allah (Tauhid) dan penekanan spiritualitas.
Daftar Kronologis Utama
Salah satu daftar kronologis yang paling sering dirujuk dan menjadi pedoman dalam menentukan urutan Nuzul adalah daftar yang dikumpulkan dari riwayat Ibnu Abbas, yang menetapkan posisi Surah Al-Qadr di urutan sekitar ke-25 hingga ke-30 dari total 114 surah. Dalam daftar ini, surah-surah yang berada di sekitar Surah Al-Qadr (97) meliputi:
- Surah Al-Balad (90) - Sebelum
- Surah Ash-Shams (91) - Sebelum
- Surah Al-Buruj (85) - Sebelum
- Surah At-Tin (95) - Kandidat terdekat yang sering disebut
- Surah Al-Qadr (97) - Posisi yang dianalisis
- Surah Al-Bayyinah (98) - Sesudah
Berdasarkan kompilasi kronologis terkemuka, terutama yang cenderung diikuti oleh As-Suyuthi dalam karyanya Al-Itqan fi Ulumil Quran, Surah Al-Qadr (97) diturunkan sesudah Surah At-Tin (95). Meskipun Surah At-Tin terletak di urutan ke-95 Mushaf, ia berada di urutan Nuzul ke-24 atau ke-28, tergantung riwayatnya. Untuk analisis ini, kita akan fokus pada Surah At-Tin sebagai surah yang paling kuat argumentasinya sebagai pendahulu langsung Surah Al-Qadr, diikuti oleh Surah Al-Balad sebagai konteks tematik yang sangat dekat.
Surah Al-Qadr (97): Pesan Inti dan Konteks Penurunan
Surah Al-Qadr, yang berarti "Malam Kemuliaan" atau "Ketetapan," adalah surah yang sangat singkat, terdiri dari lima ayat yang padat makna. Keistimewaannya tidak terletak pada panjangnya, tetapi pada signifikansi teologis dan spiritualnya. Surah ini secara eksklusif berfokus pada pengumuman dan kemuliaan Lailatul Qadr, malam di bulan Ramadan di mana Al-Quran mulai diturunkan.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailatul Qadr (Malam Kemuliaan).” (Q.S. Al-Qadr, 97:1)
Karakteristik Tematik Surah Al-Qadr
Meskipun pendek, Surah Al-Qadr memuat tiga poin teologis utama yang relevan dengan periode Makkiyah:
- Penegasan Sumber Wahyu (Tauhid Rububiyah): Ayat pertama menegaskan bahwa Al-Quran diturunkan oleh 'Kami' (Allah), mengesampingkan keraguan kaum musyrikin Makkah yang menganggapnya sebagai puisi atau sihir buatan manusia.
- Pentingnya Waktu: Fokus pada Lailatul Qadr, malam yang lebih baik daripada seribu bulan, menekankan nilai waktu dalam perspektif ilahi dan menyeru kepada umat Islam untuk mencari berkah spiritual yang tak terhingga.
- Misi Jibril dan Kedamaian: Penyebutan turunnya malaikat dan Ruh (Jibril) menegaskan hubungan antara dunia langit dan bumi, serta pernyataan bahwa malam itu penuh kedamaian (salaam) hingga terbit fajar, sebuah gambaran ketenangan surgawi di tengah gejolak dakwah Makkah.
Konteks penurunan surah ini terkait erat dengan pertanyaan mengenai keutamaan ibadah di masa lalu. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah diceritakan mengenai seorang Bani Israil yang berjuang di jalan Allah selama seribu bulan, sehingga umat Islam merasa kurang termotivasi. Maka turunlah Surah Al-Qadr sebagai kabar gembira bahwa Allah telah memberikan umat Nabi Muhammad ﷺ sebuah malam yang nilainya melebihi perjuangan seribu bulan tersebut. Konteks ini menunjukkan bahwa surah ini diturunkan pada saat komunitas muslim yang kecil di Makkah membutuhkan dorongan spiritual yang masif.
Surah Al-Qadr dalam Kaitannya dengan Al-Alaq
Perlu diingat bahwa Surah Al-Alaq (96) adalah wahyu pertama (ayat 1-5). Surah Al-Qadr memiliki kaitan tematik yang sangat erat dengan Al-Alaq karena keduanya berbicara tentang permulaan wahyu. Namun, Al-Qadr diturunkan jauh sesudah Al-Alaq. Al-Alaq adalah perintah untuk membaca dan menciptakan; Al-Qadr adalah penegasan kembali tempat dan waktu dilakukannya penciptaan (penurunan) Al-Quran itu sendiri, seringkali ditafsirkan sebagai penurunan Al-Quran secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul Izzah di langit dunia.
Penetapan Surah Pendahulu: Surah At-Tin (95)
Berdasarkan urutan Nuzul yang paling sering dirujuk, seperti yang disajikan oleh Jaber bin Zaid dan diikuti oleh banyak ulama kontemporer, surah yang diturunkan segera sebelum Surah Al-Qadr (97) adalah Surah At-Tin (95). Surah At-Tin memiliki urutan Nuzul yang berada tepat sebelum Al-Qadr, menempatkan keduanya dalam kluster Makkiyah yang sangat awal, menekankan penciptaan manusia dalam bentuk terbaik dan tanggung jawab moral.
Surah At-Tin, yang berarti "Buah Tin," dibuka dengan sumpah-sumpah kosmik yang agung: "Demi buah Tin dan buah Zaitun, dan demi gunung Sinai, dan demi kota yang aman ini (Makkah)." Sumpah ini mengaitkan empat lokasi suci atau simbol spiritual yang berbeda (Palestina/Syam, Sinai, Makkah), yang kemudian menjadi dasar untuk menjustifikasi pernyataan berikutnya: penciptaan manusia.
Koneksi Tematik antara At-Tin dan Al-Qadr
Walaupun Surah Al-Qadr membahas wahyu dan waktu, dan Surah At-Tin membahas penciptaan manusia, keduanya memiliki kontinuitas tematik yang kuat dalam konteks dakwah Makkiyah:
1. Penegasan Kemuliaan Penciptaan vs. Kemuliaan Wahyu
- At-Tin (95): Menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik (ahsanit taqwim), sebuah argumen yang ditujukan kepada kaum musyrikin Makkah yang merendahkan kebesaran Allah. Surah ini menekankan potensi keunggulan moral dan spiritual manusia.
- Al-Qadr (97): Menunjukkan manifestasi kemuliaan ini melalui wahyu. Jika manusia diciptakan mulia (At-Tin), maka mereka layak menerima petunjuk termulia (Al-Qadr), yaitu Al-Quran. Wahyu ini berfungsi sebagai alat bagi manusia untuk mempertahankan status ahsanit taqwim mereka.
2. Konsep Ketetapan dan Pengadilan
Kata "Qadr" dalam Al-Qadr dapat berarti kemuliaan atau ketetapan. Surah At-Tin secara eksplisit berbicara tentang pengadilan (fahuwa ghairu mamnun) dan penolakan manusia untuk beriman. Setelah Allah menegaskan bahwa Dia adalah hakim yang paling adil (Ayat 8, At-Tin), Surah Al-Qadr melanjutkan dengan mendefinisikan malam di mana semua ketetapan (Qadr) dan perkara dunia diturunkan. Ini menunjukkan transisi dari argumen tentang potensi manusia (At-Tin) ke argumen tentang hukum ilahi dan takdir (Al-Qadr).
Dalam daftar kronologis rinci, Surah At-Tin menjadi jembatan yang logis antara surah-surah yang membahas Hari Kiamat (seperti Al-Inshiqaq atau Al-Buruj) dan surah-surah yang secara langsung membahas wahyu (seperti Al-Qadr dan Al-Alaq). Urutan ini memastikan bahwa sebelum Muslim ditegaskan kembali mengenai keagungan Al-Quran, mereka diingatkan tentang tanggung jawab moral mereka sebagai makhluk yang diciptakan sempurna.
Konteks Tematik Lebih Luas: Hubungan dengan Surah Al-Balad (90)
Meskipun Surah At-Tin adalah kandidat terkuat sebagai surah yang diturunkan *segera* sebelum Al-Qadr dalam banyak riwayat, penting untuk menyertakan Surah Al-Balad (90) dalam analisis, karena ia berada dalam kluster kronologis yang sama dan memiliki kaitan tematik yang kuat dengan kondisi sosial di Makkah saat Al-Qadr diturunkan.
Surah Al-Balad: Perjuangan dan Kesulitan
Surah Al-Balad (Negeri), juga surah Makkiyah, berfokus pada penderitaan dan perjuangan manusia (Laqad khalaqnal-insāna fī kabad – Kami telah menciptakan manusia berada dalam kesulitan). Surah ini berbicara tentang kesombongan manusia yang merasa mampu mengatasi kesulitan hanya dengan kekayaan, mengabaikan kewajiban moral seperti memberi makan anak yatim dan orang miskin, serta pentingnya memilih jalan yang mendaki (al-'Aqabah).
Kontinuitas dari Kesulitan (Al-Balad) menuju Kemuliaan (Al-Qadr)
Jika kita menempatkan Al-Balad secara kronologis sebelum Al-Qadr (sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama yang menempatkan Al-Balad di urutan Nuzul ke-35 dan Al-Qadr ke-36), urutan ini menyajikan narasi yang kuat:
- Makkah sebagai Medan Perjuangan (Al-Balad): Muslim awal menghadapi kesulitan ekonomi, sosial, dan psikologis di Makkah.
- Solusi dan Pengharapan (Al-Qadr): Di tengah kesulitan tersebut, wahyu Surah Al-Qadr datang sebagai penghiburan dan sumber kekuatan. Malam Kemuliaan adalah anugerah spiritual yang memungkinkan mukmin melampaui kesulitan duniawi yang diuraikan dalam Al-Balad. Kekuatan yang didapat dari ibadah di malam itu mengkompensasi kesulitan hidup.
Hubungan ini menunjukkan bahwa penurunan Al-Quran bersifat gradual dan responsif terhadap kebutuhan psikologis dan spiritual komunitas Muslim yang sedang berkembang di bawah tekanan. Surah-surah ini, At-Tin, Al-Balad, dan Al-Qadr, membentuk serangkaian nasihat yang mengalir: Anda diciptakan mulia (At-Tin), Anda akan melalui kesulitan (Al-Balad), tetapi Anda memiliki petunjuk dan sumber kekuatan yang tak tertandingi (Al-Qadr).
Analisis Linguistik dan Struktur Surah-surah Awal
Studi terhadap pola linguistik surah Makkiyah awal menunjukkan ciri khas seperti penggunaan sumpah (qasam) yang berulang, irama yang pendek dan mendesak (fasila), serta fokus pada konsep-konsep universal (langit, bumi, waktu). Surah At-Tin dan Surah Al-Qadr sama-sama sangat pendek, ringkas, dan memiliki ritme yang cepat, mengindikasikan bahwa keduanya adalah bagian dari fase awal pewahyuan yang bertujuan untuk membangun fondasi akidah secara mendesak.
Perbandingan Pola Rima:
Surah At-Tin: Diakhiri dengan suara 'in' dan 'im' (misalnya, At-Tin, Al-Amiin, Taqwiim). Surah Al-Qadr: Diakhiri dengan suara 'r' (misalnya, Al-Qadr, Syahr, Fajr).
Perbedaan kecil dalam pola rima ini justru menunjukkan adanya pergeseran tematik atau penekanan yang berbeda, tetapi dalam rentang waktu penurunan yang berdekatan. Jika At-Tin menggunakan rima yang lebih 'lembut' untuk membahas penciptaan, Al-Qadr menggunakan rima yang lebih 'tegas' untuk membahas kekuasaan dan ketetapan ilahi.
Telaah Mendalam Surah At-Tin (95): Jembatan Menuju Al-Qadr
Karena Surah At-Tin adalah surah yang paling sering disebut sebagai pendahulu langsung, penting untuk menelaah secara rinci bagaimana pesan intinya mempersiapkan audiens untuk menerima Surah Al-Qadr.
Sumpah Kosmik dan Sejarah Nabi
Ayat-ayat pembuka At-Tin yang bersumpah atas Tin, Zaitun, Gunung Sinai, dan Makkah, adalah penggunaan sumpah Al-Quran yang sangat mendalam. Tafsiran klasik menghubungkan keempat elemen ini dengan lokasi-lokasi utama pewahyuan para nabi besar:
- At-Tin dan Az-Zaitun (Tin dan Zaitun): Dikaitkan dengan tanah Syam atau Palestina, tempat Nabi Isa (Yesus) dan banyak nabi Bani Israil berdakwah.
- Thur Sīnīn (Gunung Sinai): Tempat Nabi Musa menerima Taurat.
- Hadza al-Balad al-Amin (Kota yang Aman): Makkah, tempat Nabi Muhammad ﷺ menerima Al-Quran.
Dengan bersumpah atas lokasi-lokasi ini, Allah secara implisit menegaskan bahwa Al-Quran (yang diturunkan di Makkah) adalah puncak dari semua wahyu yang diturunkan sebelumnya. Konteks ini sangat penting. Setelah Surah At-Tin menegaskan kesinambungan dan superioritas risalah Nabi Muhammad ﷺ (yang diwakili oleh Makkah), Surah Al-Qadr kemudian datang untuk menegaskan waktu dan cara penurunan wahyu puncak tersebut (Lailatul Qadr).
Kehinaan Manusia yang Ingkar
Setelah ayat 4 menegaskan penciptaan sempurna, ayat 5 dan 6 dari At-Tin membahas bagaimana manusia dapat jatuh ke tingkat yang serendah-rendahnya (asfala sāfilīn) jika mereka tidak beriman dan beramal saleh. Ini adalah peringatan keras yang khas dari surah Makkiyah awal, ditujukan kepada kaum Quraisy yang ingkar meskipun mereka tinggal di 'Kota yang Aman' dan memiliki tradisi kenabian yang panjang.
Al-Qadr sebagai Solusi: Surah Al-Qadr, yang turun sesudahnya, memberikan obat terhadap kejatuhan spiritual yang disebutkan dalam At-Tin. Lailatul Qadr, sebagai malam ibadah, adalah kesempatan bagi manusia yang jatuh ke asfala sāfilīn untuk kembali naik ke tingkat kemuliaan yang dirancang Allah (ahsanit taqwim).
Penyandingan kedua surah ini secara kronologis menunjukkan sebuah pedagogi ilahi: pertama, identifikasi potensi dan kejatuhan manusia (At-Tin); kedua, pemberian sarana ilahi untuk mencapai puncak spiritual (Al-Qadr). Tanpa Al-Qadr yang menegaskan pentingnya wahyu dan ibadah, penekanan moral dalam At-Tin mungkin terasa tidak memiliki jalan keluar yang jelas.
Ketidakpastian dan Ketepatan Riwayat Nuzul
Perlu ditekankan bahwa penentuan urutan Nuzul tidak selalu mutlak, tetapi didasarkan pada riwayat mu’tabar (yang diakui). Daftar kronologis dari Jaber bin Zaid menempatkan At-Tin (Nuzul ke-28) diikuti oleh Al-Qadr (Nuzul ke-29). Namun, ada daftar lain, seperti yang disusun oleh Al-Mahalli dan As-Suyuthi, yang terkadang memberikan sedikit pergeseran. Meskipun demikian, konsensus tetap menempatkan Surah Al-Qadr dalam periode yang sama dengan At-Tin, terpisah dari wahyu pertama (Al-Alaq) dan wahyu Madaniyah (seperti Al-Baqarah).
Implikasi Teologis dari Urutan Nuzul Surah Al-Qadr
Mengapa pengetahuan tentang urutan penurunan wahyu ini menjadi begitu penting? Mengetahui bahwa Surah Al-Qadr diturunkan sesudah Surah At-Tin (atau surah Makkiyah awal lainnya seperti Al-Balad) memberikan wawasan mendalam tentang strategi dakwah Islam pada fase awalnya.
1. Prioritas Pembangkitan Spiritual
Fase Makkah didominasi oleh pembangunan karakter spiritual dan ideologi sebelum hukum-hukum sosial diturunkan di Madinah. Urutan At-Tin -> Al-Qadr menunjukkan bahwa sebelum menetapkan kewajiban ritual formal (yang akan datang belakangan), Allah memberikan insentif spiritual yang luar biasa (Lailatul Qadr). Hal ini menunjukkan bahwa fondasi akidah harus didukung oleh pengalaman spiritual yang mendalam.
Muslim awal di Makkah, yang minoritas dan tertindas, tidak memiliki struktur sosial atau militer. Keimanan mereka hanya dapat diperkuat melalui janji-janji ilahi dan pemahaman mendalam tentang waktu-waktu mulia. Al-Qadr berfungsi sebagai hadiah yang menegaskan bahwa kesulitan mereka diimbangi dengan akses ke rahmat yang tak terbatas di Malam Kemuliaan.
2. Tafsir Bertahap (Gradualism)
Urutan Nuzul mencerminkan sifat bertahap (tadarruj) dalam penetapan syariat. Sebelum Nabi dan Sahabat diperintahkan untuk melakukan puasa Ramadhan secara penuh (yang diwajibkan di Madinah), konsep dan kemuliaan Lailatul Qadr sudah diperkenalkan di Makkah melalui Surah Al-Qadr. Ini memastikan bahwa ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Muslim sudah memiliki pemahaman mendalam tentang mengapa bulan tersebut istimewa—yaitu karena adanya Lailatul Qadr, malam wahyu.
“Pengetahuan tentang yang awal dan yang akhir dari wahyu adalah kunci untuk memahami tafsir dan hukum. Dengan mengetahuinya, kita memahami bagaimana syariat dibentuk secara bertahap dan bagaimana hati para mukmin disiapkan.”
3. Peningkatan Kualitas Ibadah
Surah Al-Qadr menegaskan bahwa satu malam ibadah setara dengan seribu bulan. Pengetahuan ini, yang datang di Makkah, mendorong peningkatan kualitas ibadah. Ini bukan sekadar kuantitas, melainkan kualitas dari niat dan pengabdian, sebuah fokus yang vital bagi komunitas yang masih berada di bawah tekanan dan belum mampu melaksanakan ibadah dalam skala yang besar dan terstruktur.
Rekonstruksi Urutan Makkiyah Awal di Sekitar Al-Qadr
Untuk menguatkan argumen bahwa Surah At-Tin mendahului Surah Al-Qadr, marilah kita tinjau kembali kluster urutan Nuzul yang relevan. Berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dan Jaber bin Zaid (sekitar Nuzul ke-20 hingga 35), urutan kronologis seringkali terlihat sebagai berikut:
- ... (Surah-surah awal seperti Al-Ghasiyah, Al-A’la)
- Surah Al-Lail (92)
- Surah Al-Fajr (89)
- Surah Adh-Dhuha (93)
- Surah Al-Insyirah (94)
- Surah At-Tin (95) - Fokus pada Penciptaan Sempurna dan Pengadilan
- Surah Al-Qadr (97) - Fokus pada Wahyu dan Malam Kemuliaan
- Surah Al-Balad (90) - Fokus pada Perjuangan Manusia (Beberapa riwayat menempatkannya sebelum At-Tin)
- Surah Ash-Shams (91)
- ... (Surah-surah selanjutnya seperti Al-Bayyinah)
Variasi dalam penempatan Surah Al-Balad dan Surah Ash-Shams menunjukkan fleksibilitas dalam riwayat-riwayat tertentu, tetapi dalam daftar yang paling linear, Surah At-Tin berada di posisi yang tepat untuk menjadi surah yang diturunkan sesudah Surah At-Tin, menjaga konsistensi tematik dari penekanan moralitas, penciptaan, dan akhirnya, sumber petunjuk tertinggi (wahyu).
Analisis Teks Kritis dan Pemahaman Kata Kunci
Untuk mencapai kedalaman yang sepadan dengan studi ini, perlu dilakukan perbandingan mendetail atas penggunaan kata kunci utama dalam kedua surah tersebut, Surah At-Tin dan Surah Al-Qadr, yang secara konsisten diyakini sebagai tetangga kronologis.
Kata Kunci di At-Tin: Taqwiim (Kesempurnaan)
Dalam At-Tin, kata kunci adalah ahsanit taqwiim (bentuk yang sebaik-baiknya). Kata ini merujuk pada potensi fisik dan mental manusia yang luar biasa. Allah memberikan manusia akal, hati nurani, dan kemampuan untuk membedakan. Ini adalah konsep kemuliaan intrinsik yang diberikan saat penciptaan.
Implikasi: Jika manusia memiliki potensi yang begitu besar, mengapa banyak dari mereka jatuh ke asfala sāfilīn? Jawabannya terletak pada kurangnya petunjuk. At-Tin menyajikan masalah, yaitu potensi yang terbuang karena kekafiran.
Kata Kunci di Al-Qadr: Qadr (Ketetapan/Kemuliaan)
Kata kunci dalam Al-Qadr memiliki dua makna yang saling terkait:
- Ketetapan (Takdir): Malam di mana urusan takdir tahunan (rezeki, ajal, kejadian) ditentukan (sebagaimana ditafsirkan oleh Al-Qurtubi dan Al-Tabari).
- Kemuliaan (Keagungan): Malam yang memiliki nilai keagungan yang luar biasa, melebihi seribu bulan.
Implikasi: Al-Qadr menyajikan solusi. Untuk menghindari kejatuhan ke kehinaan (asfala sāfilīn), manusia harus memanfaatkan Malam Kemuliaan ini. Malam tersebut adalah hadiah yang memungkinkan manusia kembali kepada fitrah ahsanit taqwiim mereka melalui intervensi ilahi dan penurunan Roh (Jibril).
Korelasi ini sangat jelas: At-Tin menetapkan standar potensi kemanusiaan, dan Al-Qadr memberikan sarana spiritual yang paling kuat (Wahyu dan Malam Kemuliaan) untuk memenuhi standar tersebut. Jika Al-Qadr diturunkan sesudah At-Tin, ini menunjukkan adanya progresi logis dalam pewahyuan yang mengalir dari penetapan moral universal (At-Tin) menuju penetapan sarana spiritual konkret (Al-Qadr).
Pandangan Ulama Klasik
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, banyak mengandalkan riwayat-riwayat Nuzul untuk memahami konteks ayat. Meskipun fokus utamanya adalah hukum, penempatan Surah Al-Qadr di antara Surah Makkiyah awal secara universal diterima. Ibnu Kathir juga menyelaraskan Surah Al-Qadr dengan pengumuman kedatangan wahyu agung, yang logisnya, akan datang setelah surah-surah yang telah mendiskusikan landasan moral dan tauhid (seperti At-Tin, Al-Balad, dan Ash-Shams).
Penting untuk dicatat pula, bahwa dalam ilmu tafsir, urutan Nuzul seringkali lebih dihargai daripada urutan Mushaf ketika menafsirkan perkembangan hukum, karena ia menunjukkan bagaimana Allah mendidik umat-Nya secara bertahap. Penempatan At-Tin sebelum Al-Qadr adalah contoh sempurna dari edukasi spiritual ini di periode awal Makkah.
Meninjau Variasi Lain: Surah Al-Balad (90)
Ada beberapa ulama yang menyusun daftar kronologis dengan Surah Al-Balad (90) berada pada urutan Nuzul ke-35 dan Surah Al-Qadr di urutan ke-36 (terutama dalam daftar yang kurang populer dibandingkan Jaber bin Zaid). Jika ini yang diikuti, maka Surah Al-Balad lah yang diturunkan sesaat sebelum Al-Qadr.
Hubungan tematik Al-Balad dengan Al-Qadr (dari kesulitan menuju kemuliaan) juga sangat kuat, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Perbedaan kecil ini hanya menegaskan bahwa Al-Qadr diturunkan pada periode yang sama persis dengan At-Tin dan Al-Balad, yaitu fase di mana Makkah menjadi sangat represif, dan umat Islam sangat membutuhkan penguatan spiritual.
Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan prevalensi riwayat Nuzul yang paling diakui dalam studi Ulumul Quran kontemporer, penempatan Surah Al-Qadr secara langsung sesudah Surah At-Tin tetap menjadi jawaban yang paling kokoh dan didukung oleh mayoritas ahli kronologi.
Kesinambungan Tema Akhirat
Sebagian besar surah Makkiyah awal (termasuk At-Tin dan Al-Qadr) membahas Hari Kiamat. Surah At-Tin menutup dengan pertanyaan retoris, "Bukankah Allah adalah Hakim yang paling adil?" (95:8). Ini adalah pengantar yang sempurna untuk Surah Al-Qadr, yang menggambarkan bagaimana di malam itu (Lailatul Qadr), segala urusan yang berkaitan dengan takdir dan takdir manusia (yang pada akhirnya akan diadili) ditetapkan dan diturunkan ke bumi. Kedua surah ini bekerja sama untuk membangun rasa takut kepada Allah dan harapan akan pengampunan melalui pemanfaatan malam yang mulia tersebut.
Analisis Historis dan Kontekstual Pewahyuan di Makkah
Untuk sepenuhnya menghargai posisi Surah Al-Qadr setelah Surah At-Tin, kita harus menempatkan diri dalam konteks Makkah saat itu. Periode ini, sekitar tahun ke-4 hingga ke-6 kenabian, ditandai dengan meningkatnya permusuhan dari Quraisy. Muslim awal tidak hanya ditolak secara ideologis, tetapi juga disiksa dan diisolasi secara ekonomi.
Surah Al-Qadr sebagai Penguat Mental
Surah-surah yang diturunkan pada periode ini harus memiliki efek ganda: memperingatkan kaum kafir dan menghibur kaum beriman. Al-Qadr melakukan yang terakhir. Bayangkan seorang Muslim awal yang telah didera kesulitan (seperti yang digambarkan dalam Al-Balad), yang telah diingatkan akan tanggung jawab moralnya (seperti dalam At-Tin). Lalu datanglah Surah Al-Qadr, menjanjikan bahwa ada satu malam yang, jika dihidupkan, dapat menghapus semua kesulitan dan menjanjikan pahala yang melebihi ribuan bulan ibadah non-Ramadan.
Narasi ini bukan hanya teologis, tetapi juga strategis. Ia memberi harapan radikal kepada komunitas yang terancam punah. Ini adalah bukti bahwa wahyu Al-Quran menyesuaikan diri dengan kondisi psikologis audiensnya, memberikan janji-janji spiritual saat janji-janji material tidak mungkin diwujudkan.
Peran Ruh dan Malaikat
Ayat terakhir Al-Qadr menyebutkan, تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ – "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Rabb mereka untuk mengatur segala urusan."
Penyebutan malaikat dan Ruh yang turun secara masif ini di Makkah memiliki makna yang sangat mendalam: penguatan bagi Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau tidak sendirian. Kehadiran fisik malaikat di Malam Kemuliaan adalah penegasan bahwa alam gaib mendukung risalahnya, meskipun secara fisik ia dikelilingi oleh musuh. Ini adalah klimaks spiritual yang sangat dibutuhkan setelah melalui fase penegasan moral dalam surah-surah sebelumnya seperti At-Tin.
Jika kita melihat daftar kronologis, surah-surah yang segera mendahului Al-Qadr (misalnya At-Tin, Al-Insyirah, Adh-Dhuha) seringkali juga berfungsi sebagai penguat mental (seperti أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ – Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?). Al-Qadr adalah puncak dari fase penguatan mental ini, memberikan janji pahala yang melampaui waktu.
Perbandingan Jumlah Surah Makkiyah Awal
Secara umum, Al-Quran Makkiyah dibagi menjadi tiga fase: awal, pertengahan, dan akhir. Surah Al-Qadr dan At-Tin termasuk dalam kelompok 40 hingga 50 surah pertama yang diturunkan. Kelompok ini fokus pada:
- Keesaan Allah dan Asma'ul Husna.
- Hari Kebangkitan.
- Kisah-kisah nabi terdahulu (seperti yang disinggung secara singkat dalam At-Tin).
- Pentingnya wahyu (sebagaimana ditegaskan di Al-Qadr).
Penempatan Surah Al-Qadr dalam kluster ini menunjukkan bahwa penekanan pada sumber wahyu (Al-Quran itu sendiri) dilakukan setelah audiens telah diberi landasan filosofis mengenai tanggung jawab moral (At-Tin). Urutan ini adalah bukti kecerdasan struktural Al-Quran dalam membangun argumentasinya secara progresif.
Kesimpulan Kronologis
Dalam ilmu Tartib an-Nuzul, meskipun variasi minor mungkin ada, Surah At-Tin (95) secara luas diterima sebagai surah yang berada pada urutan Nuzul ke-28, dan Surah Al-Qadr (97) berada pada urutan ke-29. Oleh karena itu, Surah Al-Qadr diturunkan sesudah Surah At-Tin.
Penerimaan luas terhadap urutan ini didasarkan pada kesamaan tema, pola linguistik, dan kesaksian dari para Tabi’in yang mengkompilasi urutan wahyu. Kedua surah ini secara kolektif menyampaikan pesan fundamental: manusia diciptakan sempurna, tetapi untuk mempertahankan kesempurnaan tersebut, mereka memerlukan dan harus menghargai malam istimewa di mana petunjuk abadi diturunkan ke bumi.
Surah At-Tin mengatur panggung dengan pertanyaan eksistensial mengenai nilai manusia; Surah Al-Qadr menyediakan jawaban eksistensial melalui penghubungan kembali antara manusia dengan kehendak ilahi (Qadr) pada waktu yang paling mulia.
Penutup: Konfirmasi Jawaban dan Nilai Ilmu Nuzul
Setelah melakukan analisis mendalam terhadap metodologi penetapan urutan Nuzul, karakteristik Surah Al-Qadr, dan perbandingan tematik dengan surah-surah tetangga dalam kronologi Makkiyah, dapat dikonfirmasikan bahwa berdasarkan riwayat-riwayat otoritatif dari para ulama Ulumul Quran, Surah Al-Qadr (97) diturunkan sesudah Surah At-Tin (95).
Penempatan ini bukan sekadar fakta historis, melainkan sebuah kunci untuk membuka kedalaman pesan Al-Quran. Urutan Nuzul yang menempatkan Surah At-Tin di depan Al-Qadr mengajarkan kita bahwa sebelum Allah mengumumkan kemuliaan wahyu-Nya (Al-Qadr), Dia terlebih dahulu mengingatkan manusia akan kemuliaan ciptaan mereka (At-Tin) dan potensi mereka untuk mencapai derajat tertinggi.
Pengetahuan tentang urutan Nuzul ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana dakwah Islam berkembang di Makkah, bergerak dari penetapan prinsip-prinsip moral dan tauhid yang universal menuju janji-janji spiritual yang konkret dan menguatkan, seperti janji kemuliaan di Malam Al-Qadr. Ini adalah bukti nyata dari kebijaksanaan Allah dalam mendidik umat manusia secara bertahap, menyesuaikan wahyu-Nya dengan kebutuhan spiritual dan tantangan historis yang dihadapi oleh komunitas Nabi Muhammad ﷺ pada masa-masa paling sulit.