Ilustrasi kemuliaan Laylatul Qadr, malam turunnya wahyu.
Surah Al-Qadr (سورة القدر) merupakan salah satu surah pendek yang paling agung dalam Al-Qur'an, yang kemuliaannya tidak tertandingi oleh surah-surah lain yang sebanding panjangnya. Surah ini secara eksklusif membahas satu topik sentral yang sangat fundamental bagi akidah Islam: Malam Kemuliaan, yang dikenal sebagai Laylatul Qadr.
Surah ini menempati urutan ke-97 dalam mushaf standar dan diklasifikasikan sebagai surah Makkiyah oleh mayoritas ulama tafsir, meskipun ada pandangan yang menyebutnya Madaniyah berdasarkan konteks hadis tertentu yang berkaitan dengan Laylatul Qadr. Namun, fokus utama dari kajian ini adalah komposisi strukturalnya.
Pertanyaan kunci yang sering diajukan oleh umat Muslim untuk memahami kerangka dasar surah ini adalah mengenai jumlah ayat yang menyusunnya. Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat jelas dan konsensus dalam seluruh tradisi qira'at (bacaan) Al-Qur'an dan mushaf di seluruh dunia: Surah Al-Qadr terdiri dari lima (5) ayat.
Meskipun jumlahnya sedikit—hanya lima ayat—Surah Al-Qadr memuat makna yang sangat padat dan mendalam, menjadikannya ringkasan teologis tentang peristiwa paling penting dalam sejarah Islam: permulaan turunnya Al-Qur'an, yang kemudian disandingkan dengan kemuliaan ibadah selama seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan). Kelima ayat yang membentuk Surah Al Qadr ini adalah pilar yang menopang pemahaman kita tentang keagungan Laylatul Qadr.
Untuk memastikan pemahaman yang kokoh, mari kita tinjau kembali kelima ayat yang membentuk Surah Al-Qadr. Setiap ayat memiliki peran unik dalam menjelaskan kronologi dan keagungan Malam Kemuliaan tersebut. Jumlah total ayat Surah Al Qadr adalah lima ayat, sebagaimana tercatat dalam mushaf Utsmani.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (١)
Ayat 1: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Malam Kemuliaan.
وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (٢)
Ayat 2: Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ (٣)
Ayat 3: Malam Kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.
تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ مِّنْ كُلِّ اَمْرٍ (٤)
Ayat 4: Pada malam itu turunlah para malaikat dan Ar-Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
سَلٰمٌۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (٥)
Ayat 5: Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.
Inilah kelima ayat yang membentuk struktur Surah Al Qadr. Kelima pilar narasi ini secara progresif mengungkap kemuliaan yang tersembunyi, mulai dari pernyataan fundamental (Ayat 1) hingga detail operasional dan spiritual malam tersebut (Ayat 4 dan 5).
Mengingat bahwa Surah Al Qadr hanya terdiri dari lima ayat, pendalaman tafsir harus dilakukan secara ekstensif untuk memahami kekayaan makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipilih Allah SWT. Para ulama mufassirin, dari Ibnu Katsir hingga Al-Qurtubi, telah mencurahkan upaya besar untuk mengurai setiap frase dari kelima ayat ini.
Kata kerja *Anzalnahu* (Kami telah menurunkannya) menggunakan bentuk *inzaal*, yang dalam ilmu ushul tafsir sering diartikan sebagai penurunan secara kolektif atau sekaligus. Ini adalah perbedaan penting dari kata *tanziil* (penurunan bertahap). Tafsir mayoritas menjelaskan bahwa makna penurunan di sini adalah dari Lauh Mahfuzh ke Baitul Izzah (rumah kemuliaan) di langit dunia. Ini adalah permulaan wahyu yang menandai dimulainya kenabian Muhammad SAW. Proses penurunan secara bertahap (selama 23 tahun) baru dimulai kemudian, namun "penurunan total" terjadi pada malam ini.
Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Al-Qur'an diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia pada satu malam, yaitu Laylatul Qadr. Kemudian, Jibril AS menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW secara bertahap. Penegasan bahwa Surah Al Qadr terdiri dari ayat yang memulai dengan pernyataan ini menunjukkan fokus mutlak surah pada wahyu ilahi.
Kata *Al-Qadr* (القدر) sendiri memiliki tiga makna utama yang saling berkaitan, yang semuanya relevan dengan surah ini:
Pernyataan dalam ayat pertama ini, yang merupakan ayat pertama dari Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat, secara tegas mengaitkan kemuliaan malam tersebut dengan turunnya Kitab Suci. Tidak ada kemuliaan malam tanpa adanya wahyu yang mendasarinya.
Ayat kedua ini, yang juga menunjukkan betapa ringkas dan padatnya Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat, adalah pertanyaan retoris yang kuat. Fungsinya bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menekankan keagungan dan misteri yang terkandung di dalamnya.
Dalam tradisi bahasa Arab Al-Qur'an, ketika Allah menggunakan frasa *Wa ma adraaka* (Dan tahukah kamu...), itu menunjukkan bahwa Allah kemudian akan memberikan jawaban atas hal tersebut. Sebaliknya, ketika Allah menggunakan frasa *Wa ma yudriika* (Dan apa yang memberitahumu/kamu tidak akan tahu), itu menunjukkan sesuatu yang ilmunya mutlak tersembunyi dari manusia.
Dalam Surah Al-Qadr, Allah menggunakan *Wa ma adraaka*, yang berarti Allah akan segera menjelaskan kemuliaan malam tersebut pada ayat berikutnya. Hal ini meningkatkan rasa ingin tahu dan persiapan mental bagi pendengar untuk menerima pernyataan keagungan yang luar biasa.
Ini adalah ayat inti yang paling sering dikutip dari Surah Al Qadr yang hanya terdiri dari lima ayat. Angka "seribu bulan" (sekitar 83 tahun 4 bulan) bukanlah batasan maksimal, melainkan merupakan kiasan untuk menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan tak terhingga (*mutlak tafdhil*).
Para mufassir menjelaskan bahwa seribu bulan adalah rentang waktu hidup yang panjang bagi manusia di masa lalu. Beribadah dalam satu malam di Laylatul Qadr sama, atau bahkan lebih baik, daripada beribadah terus-menerus selama periode hidup normal yang panjang. Ini adalah hadiah dari Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW, yang rentang usianya lebih pendek dibandingkan umat terdahulu.
Hadis mengenai Laylatul Qadr sering dikaitkan dengan kisah seorang pejuang Bani Israil yang berjuang di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti. Umat Islam merasa sedih karena usia mereka tidak mencapai usia umat terdahulu. Maka, Allah menganugerahkan malam ini, di mana amal seorang Muslim melampaui amal sepanjang hidup umat sebelumnya.
Frasa "lebih baik daripada" menunjukkan bahwa pahalanya tidak hanya setara dengan seribu bulan, tetapi kualitas dan intensitas keberkahannya melampaui perhitungan matematis biasa. Pahala yang dilipatgandakan pada malam ini mencakup semua jenis amal saleh: salat, zikir, membaca Al-Qur'an, dan terutama doa.
Ayat keempat ini menjelaskan mekanisme Laylatul Qadr dan mengapa malam itu begitu mulia. Kata *tanazzal* (turun berturut-turut/berangsur-angsur) menunjukkan pergerakan yang padat dan terus-menerus.
Mayoritas ulama tafsir, termasuk Imam Qatadah, Mujahid, dan Ibnu Zaid, berpendapat bahwa *Ar-Ruh* (الرُّوْحُ) di sini merujuk secara spesifik kepada Malaikat Jibril AS. Disebutkannya Jibril secara terpisah dari "para malaikat" menunjukkan statusnya yang sangat istimewa, karena ia adalah pemimpin malaikat dan pembawa wahyu.
Pendapat lain menyatakan bahwa Ar-Ruh adalah malaikat yang sangat besar, atau bahkan tentara khusus malaikat yang hanya turun pada malam tersebut. Namun, pandangan yang dominan adalah Jibril. Kedatangan mereka adalah untuk menjalankan ketetapan ilahi yang telah diwahyukan mengenai takdir tahunan.
Ayat ini menegaskan bahwa para malaikat dan Jibril turun membawa ketetapan atau urusan (amr) dari Allah. Ini kembali menguatkan makna *Al-Qadr* sebagai Penetapan atau Pengukuran. Seluruh urusan, baik mengenai kehidupan, kematian, rezeki, hujan, atau segala kejadian tahun mendatang, dikelola dan diatur oleh malaikat pada malam itu.
Keseluruhan proses ini, dijelaskan dalam Surah Al Qadr yang ringkas namun mendalam dan terdiri dari lima ayat, menunjukkan bahwa Laylatul Qadr adalah puncak pertemuan antara dimensi langit dan bumi, di mana takdir ilahi diperkenalkan kepada para pelaksana ilahi.
Ayat penutup ini merangkum suasana Laylatul Qadr, yaitu kedamaian total.
Kata *Salamun* (kesejahteraan/kedamaian) memiliki dua interpretasi utama:
Kedamaian dan keberkahan ini berlangsung secara terus-menerus hingga terbit fajar (waktu Subuh). Ini memberikan batasan waktu yang jelas bagi Laylatul Qadr. Semua ibadah, doa, dan penetapan takdir terjadi dalam rentang waktu antara terbenamnya matahari (setelah maghrib) hingga terbitnya fajar.
Meskipun Surah Al Qadr terdiri dari lima ayat, keutamaannya sering disandingkan dengan surah-surah yang jauh lebih panjang, seperti Surah Ad-Dukhan (Asap) Ayat 3 dan Surah Al-Baqarah (Sapi Betina) Ayat 185.
Surah Al-Qadr hanya menyebutkan "Laylatul Qadr" tanpa menyebutkan bulan Ramadan secara eksplisit. Namun, kaitannya ditemukan dalam Surah Al-Baqarah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ
QS. Al-Baqarah [2]: 185: Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an...
Gabungan dua ayat ini – Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat dan Al-Baqarah Ayat 185 – secara definitif menetapkan bahwa Laylatul Qadr terjadi di bulan Ramadan. Para ulama bersepakat bahwa malam itu adalah salah satu malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan.
Surah Ad-Dukhan juga menyebutkan peristiwa turunnya Al-Qur'an:
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ
QS. Ad-Dukhan [44]: 3: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan.
Mayoritas mufassir sepakat bahwa "Malam yang Diberkahi" (Laylatin Mubaarakah) yang dimaksud dalam Surah Ad-Dukhan adalah Laylatul Qadr yang dijelaskan secara rinci dalam Surah Al-Qadr. Ini memperkuat keutamaan malam tersebut sebagai pusat spiritual tahunan.
Setelah memahami bahwa Surah Al Qadr terdiri dari lima ayat yang padat makna, penting untuk meninjau implikasi fiqih (hukum) dan amalan yang disarankan berdasarkan surah ini dan hadis-hadis terkait.
Meskipun Surah Al Qadr tidak menentukan tanggal spesifik, Nabi Muhammad SAW telah mengarahkan umatnya untuk mencarinya. Hadis Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa Laylatul Qadr harus dicari pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
Malam-malam yang menjadi fokus utama pencarian adalah: malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Namun, para ulama menganjurkan agar kaum Muslimin beribadah dengan giat di seluruh sepuluh malam terakhir untuk memastikan mereka tidak melewatkan malam agung yang dijelaskan dalam surah yang terdiri dari lima ayat ini.
Keutamaan beribadah yang nilainya setara seribu bulan menuntut amal yang spesifik dan maksimal. Amalan-amalan tersebut meliputi:
Ibadah utama adalah mendirikan salat malam (Tarawih/Tahajud). Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang mendirikan salat pada Laylatul Qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." Keutamaan ini menegaskan janji yang tersirat dalam ayat ketiga Surah Al Qadr.
Mengingat bahwa malam ini adalah malam diturunkannya Al-Qur'an (sebagaimana ditegaskan dalam ayat pertama Surah Al Qadr), memperbanyak tilawah dan tadabbur Al-Qur'an menjadi amalan yang sangat dianjurkan.
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah, doa apa yang harus diucapkan jika ia mengetahui malam tersebut. Nabi SAW mengajarkan doa: "Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai ampunan, maka ampunilah aku." Doa ini mencerminkan suasana *Salamun Hiyya* (kedamaian dan ampunan) yang dijelaskan dalam ayat kelima Surah Al Qadr.
I'tikaf, yakni berdiam diri di masjid dengan niat beribadah penuh, adalah sunnah Nabi yang paling efektif untuk memastikan seseorang menangkap Laylatul Qadr.
Untuk benar-benar memahami keagungan surah ini, yang hanya terdiri dari lima ayat, kita harus menggali lebih dalam akar kata triliteral Qaf-Dal-Ra (ق د ر) yang menjadi nama surah ini.
Kata *Qadr* adalah kata multifaset. Dalam konteks teologis, ia merujuk pada kekuasaan mutlak Allah (Qudrah). Kemuliaan malam ini terkait langsung dengan manifestasi kekuasaan Allah dalam menetapkan takdir tahunan.
Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata ini juga mengandung makna penetapan. Malam Laylatul Qadr adalah malam penetapan, pengukuran, dan penentuan. Semua peristiwa yang akan terjadi di tahun mendatang—mulai dari turunnya hujan, kematian, kehidupan, hingga rezeki—diperlihatkan dan diamanahkan kepada para malaikat yang bertanggung jawab. Proses ini merupakan representasi paling nyata dari arti Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat yang semuanya berpusat pada konsep penetapan ilahi.
Penyebutan "malaikat dan Ar-Ruh" dalam ayat keempat Surah Al Qadr memiliki signifikansi linguistik yang mendalam. Dalam bahasa Arab, ketika dua entitas disebutkan, dan salah satunya adalah bagian dari kelompok yang lain (Jibril adalah malaikat), ini disebut *athf al-khash ‘ala al-‘am* (pengkhususan yang dilekatkan pada umum).
Teknik ini digunakan untuk mengagungkan dan menonjolkan entitas yang dikhususkan (Ar-Ruh/Jibril). Meskipun Jibril termasuk malaikat, ia disebut secara terpisah untuk menunjukkan betapa pentingnya perannya dalam Laylatul Qadr—ia adalah pembawa berita agung dan pemimpin rombongan yang turun ke bumi.
Penggunaan kata kerja *hiyya* (adalah dia/itu) dalam ayat kelima Surah Al Qadr (سَلٰمٌۛ هِيَ) memberikan penekanan bahwa Laylatul Qadr itu sendiri adalah kedamaian, bukan hanya mengandung kedamaian. Ini adalah personifikasi dari keadaan, menunjukkan bahwa esensi malam itu adalah ketenangan dan kebaikan murni, sebuah atmosfer yang tak tertandingi oleh malam-malam lainnya sepanjang tahun.
Interpretasi mengenai "lebih baik dari seribu bulan" telah memicu diskusi yang kaya di kalangan ulama. Karena Surah Al Qadr terdiri dari lima ayat, setiap kata di dalamnya diperlakukan dengan sangat serius.
Imam Ar-Razi dalam *Mafatih al-Ghayb* menekankan bahwa seribu bulan harus dipahami secara literal (83 tahun 4 bulan), tetapi juga sebagai kiasan untuk jumlah yang sangat besar, menunjukkan bahwa keutamaan malam ini tidak terhingga. Beliau juga menghubungkan keutamaan malam ini dengan lima hal, sesuai dengan jumlah ayatnya, yaitu: turunnya Al-Qur'an, turunnya malaikat, ampunan dosa, keselamatan dari siksa, dan kebaikan yang berlipat ganda.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya memperkuat pandangan bahwa seribu bulan adalah periode jihad seorang lelaki Bani Israil, yang ditujukan untuk memberikan harapan besar kepada umat Nabi Muhammad SAW. Keutamaan amal pada malam itu menghapus kekhawatiran umat Islam tentang usia mereka yang pendek. Ini adalah kemurahan ilahi yang terkandung dalam ayat ketiga Surah Al Qadr.
Beberapa ulama kontemporer melihat angka seribu ini juga terkait dengan struktur kosmos Islam, di mana angka-angka besar seringkali melambangkan kesempurnaan dan kelengkapan. Artinya, keberkahan malam itu tidak hanya mencakup amal di bumi, tetapi juga dampak spiritualnya di seluruh alam semesta, yang tercermin dalam pergerakan para malaikat yang turun membawa urusan.
Mengapa surah yang memuat tema sepenting Laylatul Qadr, sebuah malam yang lebih baik dari 83 tahun, hanya terdiri dari lima ayat?
Keindahan Al-Qur'an terletak pada *ijaz* (ringkas dan padat) dan *balaghah* (retorika tinggi). Surah Al-Qadr adalah contoh sempurna dari prinsip ini. Dalam lima ayat, Allah berhasil menyampaikan:
Tidak ada kata-kata yang mubazir. Setiap kata dalam kelima ayat Surah Al Qadr adalah batu bata yang membentuk narasi sempurna tentang keagungan malam tersebut.
Karena Surah Al Qadr hanya terdiri dari lima ayat, ia mudah dihafal oleh setiap Muslim, dari anak-anak hingga orang dewasa. Ini memastikan bahwa pesan Laylatul Qadr dapat diakses dan diingat oleh seluruh umat, yang pada akhirnya mendorong mereka untuk beribadah dan mencari malam tersebut setiap tahun.
Sebagai penutup dari analisis yang mendalam ini, penting untuk kembali menegaskan fakta fundamental mengenai komposisi Surah Al-Qadr.
Surah Al-Qadr, yang menjadi rujukan utama bagi umat Islam dalam memahami Laylatul Qadr, sebuah malam yang agung dan lebih mulia daripada ibadah seribu bulan, secara universal dan tanpa pengecualian dalam semua riwayat qira'at, dipastikan terdiri dari lima ayat.
Kelima ayat ini tidak hanya memberikan informasi teologis tetapi juga menetapkan pedoman spiritual bagi umat Islam. Dari ayat pertama Surah Al Qadr yang menjelaskan penurunan wahyu, hingga ayat kelima Surah Al Qadr yang menjamin kedamaian, seluruh rangkaiannya merupakan blueprint bagi Muslim untuk meraih ampunan dan rahmat terbesar dalam setahun.
Maka, memahami struktur Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat yang ringkas ini adalah langkah awal untuk menghayati kedalaman spiritual Laylatul Qadr, sebuah malam di mana langit dan bumi bertemu dalam keheningan yang penuh rahmat dan penetapan takdir ilahi. Kesadaran akan jumlah ayat yang spesifik dan singkat ini seharusnya memacu kita untuk mendalami setiap kata, karena di dalamnya terkandung janji pahala yang melampaui usia rata-rata manusia.
Umat Islam terus mencari malam ini setiap tahun, termotivasi oleh janji agung yang tersurat dalam kelima ayat Surah Al Qadr. Lima ayat tersebut adalah mercusuar cahaya yang menerangi sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, menawarkan kesempatan sekali seumur hidup untuk menghapus dosa dan memperoleh keberkahan abadi. Dengan demikian, keagungan surah ini tidak diukur dari panjangnya, melainkan dari kebesaran makna yang terkandung di dalam setiap barisnya, yang bermula dari turunnya Al-Qur'an hingga terbitnya fajar kedamaian.
Kajian mendalam tentang Surah Al Qadr, yang terdiri dari lima ayat, tidak lengkap tanpa membahas implikasi teologisnya terhadap konsep Qadha dan Qadar. Laylatul Qadr secara eksplisit disebut sebagai malam penetapan takdir. Ini memunculkan pertanyaan filosofis klasik dalam Islam mengenai peran manusia di tengah ketetapan ilahi.
Para teolog dan mufassir membedakan antara *Qadar Azali* (takdir yang telah ditetapkan oleh Allah sejak keabadian di Lauh Mahfuzh) dan *Qadar Sanawi* (takdir tahunan). Laylatul Qadr adalah malam di mana *Qadar Sanawi* diungkapkan. Para malaikat, khususnya Jibril dan malaikat lainnya yang bertugas, menerima cetak biru operasional mengenai peristiwa tahunan. Proses ini tidak mengubah Takdir Azali, melainkan merupakan fase implementasi dan perinciannya.
Di malam yang agung ini, yang dijelaskan dalam kelima ayat Surah Al Qadr, manusia diberikan kesempatan terbesar untuk memengaruhi takdir tahunan mereka melalui doa dan ibadah. Walaupun hasil akhir sudah diketahui oleh Allah, upaya (ikhtiyar) manusia di malam Laylatul Qadr sangat dipertimbangkan. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa doa dapat mengubah Qadha (ketetapan). Ini menunjukkan adanya ruang bagi kehendak bebas manusia dalam kerangka takdir ilahi.
Ayat 3 menyatakan keutamaan ibadah (lebih baik dari seribu bulan), sementara Ayat 4 berbicara tentang penurunan malaikat untuk mengatur urusan. Hubungan antara kedua ayat dalam Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat ini sangat harmonis. Ketika seorang hamba beribadah dengan kesungguhan yang tak tertandingi di malam itu, para malaikat yang turun untuk menetapkan takdir tahunan menyaksikan kesungguhan tersebut. Doa yang dipanjatkan di waktu yang sangat mulia itu memiliki bobot yang luar biasa dalam proses penetapan, menjadikannya malam yang penuh harapan akan perubahan nasib menjadi lebih baik.
Secara numerik, Surah Al Qadr terdiri dari lima ayat. Angka lima seringkali memiliki makna simbolis dalam ajaran Islam, meskipun penekanan utama harus selalu pada makna tekstual.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa jumlah lima ayat dalam Surah Al Qadr merefleksikan pentingnya kesempurnaan dalam fondasi spiritual. Kelima ayat tersebut memberikan kerangka lengkap: apa yang terjadi (wahyu), seberapa pentingnya (retoris), nilainya (seribu bulan), mekanismenya (malaikat dan Ruh), dan durasinya (hingga fajar). Setiap aspek esensial Laylatul Qadr telah diabadikan secara ringkas dan menyeluruh dalam Surah Al Qadr yang hanya terdiri dari lima ayat.
Keindahan Surah Al Qadr juga terletak pada ritme dan fonetiknya, sebuah ciri khas dari surah Makkiyah. Meskipun surah ini hanya terdiri dari lima ayat, kesamaan bunyi akhir (*faasilah*) menciptakan resonansi yang mendalam bagi pendengarnya.
Perhatikan rima yang digunakan: *Al-Qadr* (Ayat 1), *Al-Qadr* (Ayat 2), *Shahr* (Ayat 3), *Amr* (Ayat 4), dan *Al-Fajr* (Ayat 5). Hampir seluruh ayat diakhiri dengan huruf *Ra* (ر), memberikan efek bunyi yang kuat, tegas, dan bergetar, cocok untuk menggambarkan peristiwa agung dan kerasnya penetapan takdir. Rima ini memperkuat ingatan dan memuliakan topik yang dibahas, memastikan bahwa kelima ayat Surah Al Qadr selalu memiliki tempat khusus dalam hati orang yang membacanya.
Meskipun Surah Al Qadr hanya terdiri dari lima ayat, penafsiran atas kata *Al-Qadr* sendiri menghasilkan perbedaan pandangan di antara mufassir yang patut dicatat:
Imam Malik dan Imam Syafi'i cenderung menekankan makna *Al-Qadr* sebagai Pengukuran (*Taqdir*). Mereka berfokus pada Ayat 4 Surah Al Qadr, di mana malaikat turun untuk mengatur segala urusan. Bagi mereka, malam ini adalah puncak dari manifestasi ilahi dalam mengatur jalannya alam semesta untuk satu tahun ke depan. Segala sesuatu yang terukur dan ditetapkan menjadi pusat keagungan malam tersebut.
Sebagian ulama Hanafiyah lebih menekankan makna *Al-Qadr* sebagai Keagungan (*Sharaf*). Fokus mereka adalah pada nilai pahala yang luar biasa (lebih baik dari seribu bulan). Kemuliaan malam itu begitu besar sehingga amal sekecil apa pun di malam itu memiliki bobot yang sangat tinggi di mata Allah. Penekanan ini berakar kuat pada Ayat 3 Surah Al Qadr.
Namun, harus ditekankan bahwa semua pandangan ini bersifat melengkapi. Laylatul Qadr adalah malam Keagungan karena ia adalah malam Pengukuran, dan ia adalah malam Pengukuran karena ia adalah malam diturunkannya wahyu, sebuah peristiwa yang dijelaskan secara padat dan sempurna dalam Surah Al Qadr yang terdiri dari lima ayat.
Keagungan yang dijanjikan dalam Surah Al Qadr, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, memiliki dampak psikologis dan sosial yang masif terhadap umat Islam.
Pengetahuan bahwa ada satu malam yang bernilai 83 tahun ibadah memberikan motivasi yang luar biasa. Konsep ini menghilangkan keputusasaan akibat keterbatasan umur dan memberikan setiap Muslim kesempatan tahunan untuk melakukan "reset" spiritual yang besar. Malam ini mendorong umat Islam, terutama di sepuluh hari terakhir, untuk meninggalkan kegiatan duniawi dan berfokus sepenuhnya pada ibadah, puasa, dan introspeksi.
Surah Al Qadr juga mengajarkan pentingnya memanfaatkan waktu. Karena kedamaian dan penetapan ilahi hanya berlangsung "hingga terbit fajar," umat Islam diajarkan untuk menghargai setiap momen. Hal ini menciptakan disiplin waktu yang kuat, di mana malam Laylatul Qadr menjadi penanda dimulainya fokus spiritual intensif, mengingatkan bahwa setiap kesempatan ibadah bersifat sementara dan harus dimaksimalkan.
Meskipun Surah Al Qadr terdiri dari lima ayat dan sangat ringkas, ia adalah surah yang sangat sering dibaca dalam salat, terutama pada malam hari.
Surah Al Qadr sering dibaca oleh imam pada rakaat witir atau rakaat-rakaat ganjil salat Tarawih di sepuluh malam terakhir Ramadan, beriringan dengan Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas. Tujuannya adalah untuk mengingatkan para jamaah secara konstan tentang urgensi malam tersebut, sejalan dengan inti ayat ketiga Surah Al Qadr.
Banyak ulama menganjurkan memperbanyak pembacaan Surah Al Qadr di luar salat pada sepuluh malam terakhir. Menghafal dan mengulang-ulang surah yang terdiri dari lima ayat ini berfungsi sebagai zikir dan pengingat akan tujuan ibadah di malam-malam ganjil.
Secara keseluruhan, Surah Al Qadr adalah mahakarya ringkas yang berfungsi sebagai kunci spiritual. Seluruh isi Al-Qur'an, yang diturunkan secara bertahap selama dua dekade lebih, memiliki titik awal yang agung, dan titik awal itu diabadikan dalam Surah Al Qadr, sebuah surah yang penuh makna meskipun hanya terdiri dari lima ayat yang mudah dihafal.
Penghayatan mendalam terhadap Surah Al Qadr harus menjadi bagian integral dari ibadah setiap Muslim, memastikan bahwa kemuliaan yang dijanjikan dalam kelima ayatnya dapat diraih sepenuhnya. Kelima ayat tersebut mewakili janji Tuhan akan peluang tak terbatas bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam mencari Malam Kemuliaan.
Penetapan dan takdir, ibadah dan ampunan, semua bersatu padu dalam malam yang dijelaskan dalam surah yang terdiri dari lima ayat ini. Pencarian Laylatul Qadr adalah puncak dari semua ibadah Ramadan, dan Surah Al Qadr adalah panduan abadi untuk mencapai puncak spiritual tersebut.
Setiap Muslim yang memahami bahwa Surah Al Qadr hanya terdiri dari lima ayat akan terdorong untuk mengkaji lebih dalam tafsirnya, menyadari bahwa setiap kata membawa bobot yang lebih besar daripada ribuan kitab. Kelima ayat ini adalah gerbang menuju kemuliaan yang melampaui perhitungan manusiawi, sebuah anugerah yang abadi hingga hari Kiamat.
Demikianlah penjelasan mendalam mengenai Surah Al Qadr, menegaskan bahwa surah yang penuh keagungan ini terdiri dari lima ayat, dan setiap ayatnya adalah cahaya yang membimbing kita menuju Laylatul Qadr.