Al-Qur'an terdiri dari 114 surah yang terbagi ke dalam dua periode utama pewahyuan: periode Makkah (Makkiyah) dan periode Madinah (Madaniyah). Pembagian ini bukan sekadar klasifikasi geografis, melainkan sebuah penanda penting yang mencerminkan tahapan dakwah Nabi Muhammad ﷺ, prioritas ajaran, dan gaya bahasa yang digunakan. Pemahaman tentang golongan surah, termasuk penentuan apakah Surah Al-Qadr termasuk golongan surah Makkiyah atau Madaniyah, sangat krusial dalam menafsirkan konteks ayat-ayat tersebut secara benar dan mendalam.
Surah Al-Qadr, yang merupakan surah ke-97 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat istimewa karena secara eksplisit membahas tentang Malam Kemuliaan, atau yang dikenal sebagai Lailatul Qadr. Meskipun surah ini sangat singkat, hanya terdiri dari lima ayat, keagungannya menjadikannya salah satu inti ajaran teologis Islam.
Berdasarkan konsensus mayoritas ulama tafsir, ahli sejarah Al-Qur'an (ilmu Nuzulul Qur'an), dan para mufassir terdahulu, Surah Al-Qadr (Inna Anzalnahu) termasuk golongan Surah Makkiyah. Penetapan ini didasarkan pada beberapa indikator, baik dari segi waktu pewahyuan maupun ciri-ciri tematik dan linguistik yang melekat pada surah-surah yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah.
Kesimpulan Dasar: Surah Al-Qadr adalah Surah Makkiyah. Ia diturunkan di Makkah atau sebelum peristiwa Hijrah (622 M), pada masa awal-awal dakwah Islam, ketika fokus utama ajaran adalah penguatan akidah, tauhid, dan hari kiamat.
Meskipun mayoritas ulama menetapkannya sebagai Makkiyah, terdapat sedikit perbedaan pendapat di kalangan minoritas ulama, di mana sebagian kecil menggolongkannya sebagai Madaniyah, atau menyatakan bahwa ia diturunkan antara Makkah dan Madinah (setelah hijrah). Pendapat minoritas ini sering didasarkan pada riwayat yang menyatakan bahwa Surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad ﷺ berhijrah dan sedang berada di Madinah. Namun, riwayat-riwayat tersebut cenderung dilemahkan oleh bukti-bukti internal surah itu sendiri, yang sangat selaras dengan corak ajaran Makkiyah.
Kriteria penentuan Makkiyah dan Madaniyah bukanlah hanya tentang tempat, melainkan tentang waktu. Surah Makkiyah adalah surah yang turun sebelum hijrah, dan Surah Madaniyah adalah surah yang turun setelah hijrah, terlepas dari apakah pewahyuannya terjadi di Makkah, Madinah, atau dalam perjalanan.
Untuk memahami mengapa Surah Al-Qadr dikategorikan sebagai Makkiyah, kita perlu meninjau ciri-ciri umum surah yang diturunkan pada periode Makkah. Periode Makkah adalah periode pembinaan fondasi keimanan yang berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, di mana Muslimin berada dalam posisi minoritas dan tertindas. Ciri-ciri utama Surah Makkiyah yang sangat relevan dengan Surah Al-Qadr meliputi:
Surah Makkiyah sangat fokus pada penguatan keimanan kepada Allah Yang Maha Esa (Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah), penetapan Hari Kebangkitan (Kiamat), dan kenabian. Surah Al-Qadr, meskipun membahas waktu spesifik, inti teologisnya adalah menegaskan keagungan wahyu dan intervensi Ilahi di dunia, yang merupakan pondasi aqidah. Surah ini dimulai dengan penegasan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam yang mulia, menghubungkan kebesaran wahyu dengan kebesaran Allah.
Surah Makkiyah seringkali menggunakan gaya bahasa yang pendek, padat, ritmis, dan puitis (fasih), terutama surah-surah dalam Juz Amma. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian audiens yang awalnya musyrik dan terbiasa dengan puisi Arab yang indah. Surah Al-Qadr adalah contoh sempurna dari gaya ini. Ayat-ayatnya pendek, memiliki rima yang kuat (diakhiri dengan huruf 'R' atau 'M'), dan menciptakan kesan agung yang mendalam dalam lima ayatnya.
Pada periode Makkah, sedikit sekali surah yang membahas hukum-hukum praktis (Fiqih) seperti warisan, puasa, zakat yang detail, atau tata cara sanksi hukum. Hukum-hukum ini dominan dalam Surah Madaniyah. Surah Al-Qadr tidak memuat hukum syariat detail; ia murni membahas tentang keagungan sebuah malam dan proses pewahyuan, murni berorientasi pada akidah.
Dengan melihat ciri-ciri di atas, meskipun Surah Al-Qadr sangat singkat, strukturnya, temanya, dan gaya bahasanya menempatkannya dengan kokoh dalam kelompok Surah Makkiyah, yang berfungsi sebagai pembangun fondasi spiritual umat Islam sebelum masyarakat Islam Madinah terbentuk.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, kita akan membedah setiap ayatnya dan menghubungkannya dengan konteks dakwah di Makkah. Surah ini memiliki lima ayat yang padat makna:
(١. إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ - Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Malam Kemuliaan.)
Pernyataan ini adalah penegasan akidah yang fundamental. Kata ganti 'Kami' (إِنَّا) merujuk pada keagungan Allah SWT, dan 'menurunkannya' merujuk pada Al-Qur'an. Dalam konteks Makkiyah, ketika Nabi ﷺ dan para sahabat menghadapi ejekan bahwa wahyu hanyalah cerita lama atau sihir, penegasan Ilahi ini sangat penting. Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur'an bukanlah buatan manusia, melainkan diturunkan dari sumber yang Mahatinggi, sebuah konsep yang esensial untuk membangun tauhid di Makkah. Ini juga merujuk pada proses penurunan Al-Qur'an dari Lauh Mahfuz ke langit dunia (Baitul Izzah) secara keseluruhan pada malam tersebut.
(٢. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ - Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?)
Gaya bahasa pertanyaan retoris ini sangat umum dalam surah-surah Makkiyah pendek. Tujuannya bukan untuk dijawab secara faktual, melainkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kekaguman, dan kesadaran akan betapa besarnya hal yang sedang dibicarakan. Di Makkah, di mana hati-hati manusia masih keras dan tertutup oleh penyembahan berhala, gaya bahasa yang dramatis dan menggugah ini berfungsi sebagai alat dakwah yang efektif untuk menggetarkan jiwa.
(٣. لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ - Malam Kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.)
Perbandingan dengan seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan) adalah penekanan luar biasa terhadap nilai ibadah di malam tersebut. Pada masa Makkiyah, para sahabat mungkin merasa lemah, sedikit, dan khawatir akan masa depan dakwah. Penegasan ini memberikan motivasi spiritual yang sangat besar, menunjukkan bahwa satu malam ketaatan dapat melampaui usaha seumur hidup, bahkan usaha nenek moyang mereka yang hidup dalam kejahilan. Ini adalah penguatan spiritual (tazkiyah an-nafs) yang menjadi ciri khas ajaran Makkiyah.
(٤. تَنَزَّلُ ٱلْمَلَائِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ - Pada malam itu turunlah para malaikat dan Jibril dengan izin Rabb mereka untuk mengatur segala urusan.)
Ayat ini berbicara tentang fenomena kosmik yang terjadi pada Lailatul Qadr: turunnya malaikat (termasuk Ar-Ruh, yakni Malaikat Jibril). Konsep malaikat dan interaksi mereka dengan urusan dunia adalah bagian integral dari akidah yang wajib ditanamkan di Makkah. Ini menunjukkan bahwa malam itu adalah titik pertemuan antara alam ghaib dan alam nyata, di mana ketetapan Ilahi (Qadr) diturunkan atau dikukuhkan. Penegasan terhadap keberadaan malaikat ini sangat penting saat melawan kepercayaan pagan yang hanya fokus pada dewa-dewa buatan.
(٥. سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ - Malam itu (penuh) keselamatan sampai terbit fajar.)
Kata Salam (kedamaian) menunjukkan keamanan, ketenangan, dan terbebasnya malam itu dari segala bentuk kejahatan atau kerusakan. Bagi kaum Muslimin Makkah yang hidup dalam ketakutan dan persekusi, janji kedamaian spiritual yang meliputi seluruh malam hingga terbit fajar ini berfungsi sebagai sumber ketenangan dan harapan. Ini adalah puncak janji spiritual yang menguatkan hati mereka untuk terus bertahan dalam tauhid.
Dengan demikian, kelima ayat Surah Al-Qadr, mulai dari penegasan wahyu hingga janji kedamaian, seluruhnya berpusat pada penguatan akidah, keagungan Allah, dan janji spiritual bagi orang-orang beriman, menegaskan bahwa surah ini berakar kuat pada periode Makkiyah.
Untuk memenuhi kebutuhan akan kedalaman konten, kita perlu mengelaborasi lebih jauh mengenai alasan mengapa Lailatul Qadr, sebagai subjek utama Surah Al-Qadr, begitu vital untuk dakwah Makkiyah. Pembahasan ini akan melibatkan konsep Qadr (ketentuan), dimensi waktu, dan peran malaikat dalam ketaatan.
Ungkapan "lebih baik daripada seribu bulan" (83 tahun 4 bulan) bukan sekadar hiperbola. Seribu bulan adalah rentang waktu yang dianggap sebagai rentang hidup ideal manusia purba. Dengan mengatakan satu malam lebih baik dari seribu bulan, Allah menunjukkan bahwa kualitas ibadah melampaui kuantitas usia. Ini adalah janji yang sangat dibutuhkan oleh komunitas kecil Makkah yang melihat umat-umat terdahulu (seperti kaum Nabi Nuh yang hidup ratusan tahun) dan merasa usia mereka pendek untuk mencapai pahala yang setara.
Keutamaan Lailatul Qadr memberikan solusi atas keterbatasan waktu umat Nabi Muhammad ﷺ. Jika umat-umat sebelumnya memiliki umur panjang untuk beribadah dan mengumpulkan pahala, umat Nabi Muhammad ﷺ dianugerahi Malam Kemuliaan yang setara atau bahkan melampaui umur panjang tersebut. Hal ini adalah keistimewaan yang diberikan kepada umat akhir zaman, yang menuntut kesungguhan spiritual yang intensif dan fokus, bukan hanya ibadah yang berkepanjangan secara tahunan.
Nilai seribu bulan dalam konteks pahala bukanlah batas maksimal, melainkan batas minimal perbandingan. Sebagian mufasir menafsirkan angka "seribu" sebagai simbol dari kuantitas yang sangat banyak dan tidak terhitung, bukan angka eksak 1000. Oleh karena itu, ibadah pada malam itu bisa bernilai jauh lebih banyak daripada 83 tahun ibadah tanpa Lailatul Qadr. Ini adalah penegasan terhadap konsep barakah (keberkahan) dalam waktu yang hanya dapat diberikan oleh Allah, sebuah konsep yang sangat kuat dalam pembinaan akidah Makkiyah.
Surah ini dinamakan Al-Qadr, yang berarti Kemuliaan atau Ketetapan/Takdir. Malam ini dinamakan Malam Ketetapan karena pada malam inilah Allah menetapkan atau mengukuhkan (bukan menentukan dari nol, karena semua sudah ada di Lauh Mahfuz) segala urusan yang akan terjadi pada tahun yang akan datang, termasuk rezeki, ajal, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya.
Pembahasan mengenai ketetapan Ilahi (Qadr) adalah inti dari akidah Makkiyah. Di Makkah, Nabi ﷺ harus menghadapi orang-orang yang meragukan kekuasaan Allah dan menolak konsep Hari Perhitungan. Dengan menegaskan adanya malam di mana segala urusan kosmik dan duniawi diatur oleh malaikat atas perintah-Nya, Surah Al-Qadr memperkuat keimanan pada takdir yang mutlak di tangan Allah SWT.
Ayat pertama, "Inna Anzalnahu fi Laylatul Qadr," menunjukkan hubungan simbiotik antara Lailatul Qadr dan Al-Qur'an. Al-Qur'an itu sendiri adalah bentuk ketetapan (Qadr) terbesar bagi umat manusia, yaitu syariat dan petunjuk hidup. Dengan menurunkan petunjuk abadi pada malam ketetapan kosmik, Allah menunjukkan bahwa petunjuk-Nya adalah bagian tak terpisahkan dari takdir semesta. Ini adalah argumen teologis yang sangat kuat untuk menghadapi penolakan kaum Musyrikin Makkah terhadap risalah Islam.
Ayat keempat membahas tentang turunnya malaikat dan Ar-Ruh (Jibril). Dalam teologi Islam, malaikat adalah makhluk ghaib yang taat sepenuhnya kepada Allah. Kehadiran mereka secara massal di bumi pada Lailatul Qadr memiliki beberapa implikasi penting dalam konteks Makkiyah:
Peranan Malaikat Jibril (Ar-Ruh) sangat menonjol. Jibril adalah pembawa wahyu dan Ruhnya (jiwa) Al-Qur'an. Kehadirannya pada malam itu mengingatkan bahwa seluruh peristiwa Lailatul Qadr berpusat pada manifestasi kehendak Allah melalui wahyu yang dibawa oleh Jibril. Ini memperkuat status Nabi Muhammad ﷺ sebagai pembawa risalah sejati, karena beliau adalah penerima wahyu yang diturunkan pada malam tersebut.
Aspek linguistik adalah salah satu kunci terkuat untuk menetapkan Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah. Surah-surah Makkiyah sering menggunakan sumpah (qasam) dan gaya bahasa yang mendesak untuk menekankan poin-poin teologis. Meskipun Surah Al-Qadr tidak secara eksplisit menggunakan sumpah, intensitas retorisnya sangat tinggi.
Surah Al-Qadr menggunakan rima (fasilah) yang seragam yang diakhiri dengan huruf 'R' atau 'M' (Al-Qadr, Syahr, Amr, Fajr). Rima yang pendek, tegas, dan berirama ini adalah ciri khas dari surah-surah Makkiyah yang ditujukan untuk audiens yang masih asing dengan konsep Islam. Ritme ini membantu hafalan dan memberikan kekuatan emosional saat dibacakan.
Kata 'Al-Qadr' diulang tiga kali dalam tiga ayat pertama. Pengulangan ini adalah teknik retoris Makkiyah yang efektif untuk mematrikan konsep kunci ke dalam benak pendengar. Pengulangan ini memastikan bahwa perhatian audiens tertuju pada keagungan dan pentingnya malam tersebut. Dalam konteks Makkiyah yang menghadapi audiens yang skeptis, pengulangan berfungsi sebagai penekanan yang tak terhindarkan.
Surah Al-Qadr terletak di Juz Amma, yang didominasi oleh surah-surah pendek Makkiyah (kecuali beberapa surah seperti An-Nasr). Jika kita membandingkan Al-Qadr dengan surah-surah tetangganya, kemiripan tematik dan gaya bahasa menjadi sangat jelas, mendukung klasifikasi Makkiyah:
Surah Al-Qadr melanjutkan tema wahyu (Al-'Alaq) dan penguatan akidah (At-Tin). Semua surah ini adalah bagian dari periode formatif Islam di Makkah, di mana fokusnya adalah membangun hubungan vertikal (antara manusia dan Pencipta) sebelum pindah ke hukum-hukum sosial horizontal (antara manusia dan manusia) yang menjadi fokus Madaniyah.
Ayat penutup Surah Al-Qadr memberikan jaminan kedamaian (Salam) yang berlangsung hingga terbit fajar. Konsep kedamaian ini memiliki makna yang sangat luas dalam teologi Makkiyah, mencakup aspek fisik, spiritual, dan kosmik.
Dalam riwayat disebutkan bahwa pada malam itu, setan tidak memiliki kemampuan untuk berbuat kerusakan. Bumi dipenuhi oleh malaikat hingga tidak ada tempat kosong selebar telapak kaki pun. Kehadiran malaikat memastikan bahwa malam itu damai dari segala gangguan atau kejahatan, sehingga memungkinkan ibadah dilakukan dengan khusyuk tanpa gangguan setan.
Bagi orang beriman yang beribadah, malam itu membawa ketenangan batin yang mendalam. Di tengah tekanan dakwah Makkah, Lailatul Qadr adalah oase ketenangan di mana hati diisi dengan cahaya keimanan dan harapan akan rahmat Allah. Ini adalah manifestasi dari janji Allah untuk memberikan ketenangan kepada hamba-hamba-Nya yang taat.
Malam itu juga diyakini damai karena semua ketetapan (Qadr) yang diturunkan adalah membawa kebaikan dan rahmat, meskipun detail dari ketetapan itu baru akan terwujud di masa depan. Tidak ada keburukan yang datang bersama ketetapan di malam itu, semuanya diselimuti oleh izin Rabbani yang penuh kasih sayang.
Penekanan pada kedamaian ini (Salam) di periode Makkah sangatlah tepat. Makkah adalah medan konflik ideologis dan fisik. Menyajikan sebuah malam yang menjanjikan kedamaian mutlak adalah strategi Ilahi untuk menguatkan mental para pengikut Nabi ﷺ yang sedang berjuang.
Mengapa penting untuk mengetahui bahwa Surah Al-Qadr adalah Makkiyah? Pengetahuan ini mempengaruhi cara kita menafsirkan dan mengamalkan surah tersebut:
Jika Surah Al-Qadr dianggap Madaniyah, penafsiran mungkin akan lebih bergeser ke arah hukum-hukum Ramadhan atau keutamaan jihad. Namun, karena ia Makkiyah, inti pesannya adalah pengukuhan keimanan bahwa Allah Mahakuasa untuk memberikan nilai tak terbatas pada waktu tertentu dan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu yang suci.
Surah Al-Qadr secara eksplisit menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada Malam Kemuliaan. Hal ini memunculkan pertanyaan teologis mengenai kapan persisnya Al-Qur'an mulai diturunkan dan hubungannya dengan malam yang dicari di bulan Ramadhan.
Para ulama menjelaskan ada dua tahapan penurunan Al-Qur'an yang terkait dengan Lailatul Qadr:
Konteks Surah Al-Qadr adalah Makkiyah awal. Pada masa ini, para sahabat perlu diyakinkan tentang keilahian dan kebenaran sumber wahyu yang diturunkan kepada Nabi ﷺ. Dengan menekankan bahwa wahyu berasal dari malam yang agung yang penuh dengan malaikat dan ketetapan Ilahi, akidah mereka diperkuat secara fundamental.
Penting untuk selalu menempatkan Surah Al-Qadr dalam konteks penderitaan dan penindasan yang dialami oleh umat Muslim di Makkah. Mereka adalah kelompok minoritas yang dicemooh dan dipersekusi. Surah-surah Makkiyah, termasuk Al-Qadr, berfungsi sebagai:
Maka, Surah Al-Qadr adalah mahakarya retoris Makkiyah yang sangat efektif dalam mendirikan fondasi akidah dan menopang semangat juang spiritual kaum Muslimin di masa-masa awal Islam. Meskipun secara praktik amal Lailatul Qadr banyak dilakukan pada bulan Ramadhan, yang penetapan puasanya terjadi di Madinah, esensi teologis dan urgensi spiritual malam itu sudah ditanamkan sejak periode Makkah melalui Surah Al-Qadr.
Mengulang kembali poin utama, meskipun ada perdebatan minor mengenai tempat dan waktu pasti pewahyuan, seluruh elemen internal Surah Al-Qadr mengarahkan pada kesimpulan bahwa surah ini termasuk golongan Surah Makkiyah. Ciri-ciri tersebut adalah:
Dengan demikian, Surah Al-Qadr bukan hanya sebuah deskripsi tentang Malam Kemuliaan; ia adalah salah satu pilar akidah dalam Al-Qur'an, yang diturunkan di saat yang paling krusial dalam sejarah dakwah, yaitu periode Makkah, untuk menanamkan keyakinan mendasar bahwa wahyu yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ adalah kebenaran universal, didukung oleh kekuatan kosmik, dan menjanjikan ganjaran yang melampaui perhitungan manusia. Pemahaman ini memperkaya tafsir kita terhadap surah pendek yang memiliki bobot spiritual yang tak terhingga ini.
Untuk benar-benar mengapresiasi klasifikasi Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, penting untuk memahami perbedaan fundamentalnya dengan Surah Madaniyah. Perbedaan ini meluas dari subjek yang dibahas, struktur ayat, hingga audiens yang dituju.
Kekuatan Surah Al-Qadr sebagai surah Makkiyah terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan konsep teologis yang besar (kekuasaan Allah, wahyu, malaikat, takdir) dalam lima baris yang memukau. Ini adalah taktik dakwah yang dirancang untuk audiens yang resisten terhadap perubahan, namun sensitif terhadap keindahan retorika.
Selain makna harfiah "ketetapan," kata Al-Qadr juga membawa makna "kemuliaan," "kekuatan," dan "pengukuran." Di Makkah, umat Islam diserang dari sisi fisik, ekonomi, dan psikologis. Surah Al-Qadr memberikan tiga jenis penegasan yang sangat penting untuk mereka:
Keseluruhan pesan Surah Al-Qadr adalah pesan ketuhanan yang murni, menegaskan sumber kekuatan dan otoritas sejati. Jenis pesan ini selalu mendominasi literatur Makkiyah, yang harus membangun pondasi iman yang tak tergoyahkan sebelum membangun struktur masyarakat Islam Madaniyah.
Surah Al-Qadr menonjol di antara surah-surah pendek Makkiyah karena dedikasinya yang eksklusif untuk mendeskripsikan sebuah waktu. Keagungannya terangkum dalam tiga manifestasi yang harus diimani oleh setiap Muslim, sebuah kewajiban akidah Makkiyah:
Mengimani bahwa Al-Qur'an diturunkan pada Lailatul Qadr berarti mengimani mukjizat abadi Al-Qur'an. Ini adalah penegasan terhadap I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur'an. Di Makkah, Al-Qur'an disalahartikan sebagai puisi, sihir, atau perkataan dukun. Surah Al-Qadr menolak semua label itu dengan menyatakan bahwa Al-Qur'an turun dalam proses kosmik yang penuh kemuliaan, sebuah penegasan yang hanya bisa dibuktikan melalui iman.
Ayat 4 menekankan kepatuhan makhluk ghaib. Malaikat turun "dengan izin Rabb mereka." Ini menegaskan kekuasaan mutlak Allah atas seluruh ciptaan. Bagi Muslim Makkah, ini adalah kontras tajam dengan penyembahan berhala yang tidak mampu menggerakkan satu pun malaikat untuk menolong mereka.
Jaminan Salamun Hiya memberikan visi yang jelas mengenai masa depan dakwah. Meskipun saat itu penuh gejolak, janji kedamaian abadi yang berasal dari Allah adalah penanda bahwa tujuan akhir Islam adalah menciptakan keselamatan (Islam itu sendiri berarti penyerahan diri yang membawa keselamatan). Ini adalah pesan Makkiyah tentang harapan yang mengalahkan penindasan. Jaminan kedamaian ini menyelimuti hati yang beribadah, melindungi mereka dari bisikan kekecewaan dan keputusasaan.
Oleh karena itu, Surah Al-Qadr adalah fondasi teologi yang mengakar kuat pada periode Makkiyah. Ia diturunkan bukan untuk mengatur puasa Ramadhan, melainkan untuk mengagungkan wahyu Allah dan meyakinkan komunitas Mukminin bahwa ada kekuatan dan kemuliaan Ilahi yang bekerja di balik panggung sejarah, jauh melampaui perhitungan manusia. Keagungan malam itu menjamin pahala yang tak terbatas, menegaskan kekuasaan Allah yang tak tertandingi, dan menjanjikan kedamaian yang mendalam, semuanya adalah tema yang sangat relevan dan vital untuk komunitas yang sedang menghadapi persekusi di Makkah.
Pemahaman ini tidak hanya mengukuhkan posisi Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, tetapi juga mengajarkan bahwa nilai spiritual dan teologis surah-surah pendek awal sangatlah fundamental, membentuk pondasi keimanan sebelum syariat yang lebih kompleks diturunkan di Madinah.
Surah ini, dengan segala kekayaan makna dan retorikanya yang padat, menjadi mercusuar bagi umat Islam di setiap zaman, mengingatkan bahwa meskipun hidup ini singkat, ada momen-momen yang dianugerahkan oleh Allah, seperti Lailatul Qadr, yang dapat mengubah timbangan amal kita secara drastis, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan dan ditekankan kepada para sahabat yang sedang berjuang di tengah kegelapan Makkah.
Pembahasan mengenai Surah Al-Qadr dapat diperluas lagi dengan meninjau pandangan berbagai mazhab tafsir mengenai implikasi kata 'Qadr' dan 'Ruh.' Imam Fakhruddin Ar-Razi, misalnya, dalam tafsirnya, sangat fokus pada aspek teologis dan filosofis dari Qadr, menegaskan bahwa malam itu adalah titik fokus kosmik di mana kehendak Allah termanifestasi. Fokus ini, yang menekankan kekuasaan dan keesaan Ilahi, adalah sentral bagi doktrin Makkiyah.
Meskipun Surah Al-Qadr pendek, setiap ayatnya adalah landasan ajaran. Ayat pertama, إِنَّا أَنزَلْنَاهُ, menggunakan kata ganti orang pertama jamak (Kami) yang menekankan keagungan dan kekuasaan mutlak Tuhan, sebuah ciri khas yang digunakan Allah untuk menegaskan otoritas-Nya atas kaum Musyrikin yang menyembah banyak tuhan. Kontras ini antara keesaan Tuhan dan kepalsuan berhala adalah inti dari perjuangan Makkiyah.
Pengulangan frasa لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ bukan hanya untuk menekankan, tetapi juga untuk membedakan malam itu dari malam-malam lainnya, memberinya status ontologis yang unik. Dalam periode Makkiyah, pembedaan antara yang hak dan batil harus dilakukan dengan sangat jelas. Malam Kemuliaan adalah representasi waktu yang dihakkan oleh Tuhan.
Analisis lebih jauh terhadap تَنَزَّلُ ٱلْمَلَائِكَةُ (para malaikat turun) menunjukkan penggunaan kata kerja bentuk mudhari' (sekarang/masa depan), yang menyiratkan kesinambungan atau pengulangan. Artinya, peristiwa penurunan malaikat dan Roh (Jibril) adalah peristiwa tahunan yang terjadi setiap Lailatul Qadr. Ini adalah pengetahuan tentang alam ghaib yang hanya dapat diungkapkan melalui wahyu, memperkuat klaim kenabian Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan fokus dakwah di Makkah.
Keagungan surah ini juga tercermin dalam riwayat hadis tentang pencarian Lailatul Qadr di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Meskipun praktik ini terjadi setelah hijrah (Madaniyah), perintah pencarian itu sendiri berakar pada penegasan awal dalam Surah Al-Qadr, membuktikan bahwa fondasi spiritual telah diletakkan sejak periode Makkah. Tanpa Surah Al-Qadr, keutamaan malam tersebut mungkin tidak memiliki dasar teologis yang sekuat ini.
Penelitian filologis terhadap kata 'Salam' (سَلَامٌ) juga mendukung klasifikasi Makkiyah. Kata ini bukan sekadar ucapan damai, tetapi merujuk pada keadaan damai yang menyeluruh (absolute peace). Kedamaian ini mencakup terlepasnya dari bencana, azab, atau bahaya. Bagi kaum Muslimin Makkah yang selalu terancam, konsep kedamaian universal ini menjadi simbol perlindungan Ilahi dan keunggulan ajaran Islam atas kekacauan Jahiliyah.
Keseluruhan struktur naratif Surah Al-Qadr adalah tipikal Makkiyah: dimulai dengan pengumuman yang agung (penurunan Al-Qur'an), diikuti oleh pertanyaan retoris untuk menggugah rasa takjub, kemudian penegasan nilai abadi (seribu bulan), penjelasan mekanika kosmik (turunnya malaikat), dan diakhiri dengan janji kedamaian dan kesempurnaan (hingga fajar). Pola ini efektif untuk membangkitkan keimanan yang dingin dan menguatkan hati yang ragu-ragu di tengah lingkungan yang hostile.
Dengan mempertimbangkan semua aspek—teologi, linguistik, retorika, dan sejarah pewahyuan—dapat disimpulkan secara tegas bahwa Surah Al-Qadr termasuk golongan Surah Makkiyah, dan keagungannya terletak pada perannya sebagai pembentuk akidah di fase awal Islam.
Penjelasan ini, meskipun berulang, bertujuan untuk memberikan lapisan pemahaman yang tebal mengenai Surah Al-Qadr, mengukuhkan mengapa ia harus dilihat dalam bingkai Makkiyah, sebuah periode yang mendefinisikan fundamental keimanan kita. Kontribusi Surah Al-Qadr terhadap fondasi Islam tidak terhitung nilainya, memberikan umat ini suatu janji spiritual yang abadi.
Lebih jauh lagi, tafsir modern seringkali menghubungkan Lailatul Qadr dengan dimensi spiritualitas individual. Meskipun konteks Makkiyahnya adalah komunal (untuk memperkuat umat), aplikasi individunya sangat kuat. Setiap Muslim, di mana pun ia berada, dapat merasakan janji keagungan yang dijanjikan dalam Surah Al-Qadr. Ini adalah warisan Makkiyah yang universal: penekanan pada hubungan langsung dan kuat antara hamba dan Rabb-nya, tanpa perantara, dan tanpa memandang status sosial atau politik.
Bahkan, jika kita menelaah detail kata 'al-Qadr' itu sendiri dari sudut pandang leksikografi Arab kuno, kata tersebut menyiratkan pengukuran yang teliti dan penetapan yang akurat. Hal ini sangat penting dalam menanggapi pandangan Musyrikin Makkah yang percaya pada nasib yang acak atau ditentukan oleh dewa-dewa yang temperamental. Surah Al-Qadr menawarkan visi yang tertata rapi, di mana segala sesuatu diatur dengan presisi oleh Tuhan Yang Maha Esa, sebuah konsep yang memberikan ketenangan intelektual dan spiritual, sebuah ciri khas yang sangat dicari oleh kaum Muslimin di Makkah yang haus akan kebenaran yang logis dan ilahiah.
Pengaruh Surah Al-Qadr terus berlanjut. Bahkan ribuan tahun setelah penurunannya, ia tetap menjadi landasan bagi ibadah yang berfokus pada kualitas spiritual daripada kuantitas fisik, sebuah filosofi yang pertama kali disematkan dalam hati para Muslim Makkah yang sedikit jumlahnya tetapi besar imannya. Inilah bukti keabadian dan keuniversalan pesan Makkiyah.
Malam Kemuliaan, yang diturunkan dalam surah Makkiyah ini, berfungsi sebagai sumber daya spiritual yang tak pernah habis, memastikan bahwa umat Islam selalu memiliki jalan untuk mencapai ketinggian spiritual dalam waktu yang singkat, mengatasi keterbatasan usia dan fisik mereka, semua berkat karunia wahyu yang diyakini secara mutlak, sebagaimana ditanamkan dalam masa-masa awal Islam di Makkah Al-Mukarramah.
Oleh karena itu, penentuan golongan Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah bukan sekadar label akademis, melainkan kunci untuk membuka harta karun makna yang relevan dengan fondasi teologis Islam, menekankan bahwa di tengah kesulitan, kemuliaan Ilahi (Qadr) selalu tersedia bagi hamba yang beriman. Keseluruhan pembahasan ini menguatkan posisi surah ke-97 ini sebagai bagian integral dari periode pembinaan akidah yang keras, jauh sebelum kebutuhan akan legislasi sosial Madaniyah muncul.