Klasifikasi Surah Al-Qadr: Makkiyah atau Madaniyah?

Al-Qur'an terdiri dari 114 surah yang terbagi ke dalam dua periode utama pewahyuan: periode Makkah (Makkiyah) dan periode Madinah (Madaniyah). Pembagian ini bukan sekadar klasifikasi geografis, melainkan sebuah penanda penting yang mencerminkan tahapan dakwah Nabi Muhammad ﷺ, prioritas ajaran, dan gaya bahasa yang digunakan. Pemahaman tentang golongan surah, termasuk penentuan apakah Surah Al-Qadr termasuk golongan surah Makkiyah atau Madaniyah, sangat krusial dalam menafsirkan konteks ayat-ayat tersebut secara benar dan mendalam.

Surah Al-Qadr, yang merupakan surah ke-97 dalam urutan mushaf Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat istimewa karena secara eksplisit membahas tentang Malam Kemuliaan, atau yang dikenal sebagai Lailatul Qadr. Meskipun surah ini sangat singkat, hanya terdiri dari lima ayat, keagungannya menjadikannya salah satu inti ajaran teologis Islam.

Penentuan Golongan Surah Al-Qadr

Berdasarkan konsensus mayoritas ulama tafsir, ahli sejarah Al-Qur'an (ilmu Nuzulul Qur'an), dan para mufassir terdahulu, Surah Al-Qadr (Inna Anzalnahu) termasuk golongan Surah Makkiyah. Penetapan ini didasarkan pada beberapa indikator, baik dari segi waktu pewahyuan maupun ciri-ciri tematik dan linguistik yang melekat pada surah-surah yang diturunkan sebelum hijrah ke Madinah.

Kesimpulan Dasar: Surah Al-Qadr adalah Surah Makkiyah. Ia diturunkan di Makkah atau sebelum peristiwa Hijrah (622 M), pada masa awal-awal dakwah Islam, ketika fokus utama ajaran adalah penguatan akidah, tauhid, dan hari kiamat.

Perbedaan Pendapat Minoritas

Meskipun mayoritas ulama menetapkannya sebagai Makkiyah, terdapat sedikit perbedaan pendapat di kalangan minoritas ulama, di mana sebagian kecil menggolongkannya sebagai Madaniyah, atau menyatakan bahwa ia diturunkan antara Makkah dan Madinah (setelah hijrah). Pendapat minoritas ini sering didasarkan pada riwayat yang menyatakan bahwa Surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad ﷺ berhijrah dan sedang berada di Madinah. Namun, riwayat-riwayat tersebut cenderung dilemahkan oleh bukti-bukti internal surah itu sendiri, yang sangat selaras dengan corak ajaran Makkiyah.

Kriteria penentuan Makkiyah dan Madaniyah bukanlah hanya tentang tempat, melainkan tentang waktu. Surah Makkiyah adalah surah yang turun sebelum hijrah, dan Surah Madaniyah adalah surah yang turun setelah hijrah, terlepas dari apakah pewahyuannya terjadi di Makkah, Madinah, atau dalam perjalanan.

Kriteria Utama Penentuan Surah Makkiyah

Untuk memahami mengapa Surah Al-Qadr dikategorikan sebagai Makkiyah, kita perlu meninjau ciri-ciri umum surah yang diturunkan pada periode Makkah. Periode Makkah adalah periode pembinaan fondasi keimanan yang berlangsung selama kurang lebih 13 tahun, di mana Muslimin berada dalam posisi minoritas dan tertindas. Ciri-ciri utama Surah Makkiyah yang sangat relevan dengan Surah Al-Qadr meliputi:

1. Fokus pada Aqidah dan Tauhid

Surah Makkiyah sangat fokus pada penguatan keimanan kepada Allah Yang Maha Esa (Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah), penetapan Hari Kebangkitan (Kiamat), dan kenabian. Surah Al-Qadr, meskipun membahas waktu spesifik, inti teologisnya adalah menegaskan keagungan wahyu dan intervensi Ilahi di dunia, yang merupakan pondasi aqidah. Surah ini dimulai dengan penegasan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam yang mulia, menghubungkan kebesaran wahyu dengan kebesaran Allah.

2. Pendekatan Gaya Bahasa yang Kuat dan Puitis

Surah Makkiyah seringkali menggunakan gaya bahasa yang pendek, padat, ritmis, dan puitis (fasih), terutama surah-surah dalam Juz Amma. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian audiens yang awalnya musyrik dan terbiasa dengan puisi Arab yang indah. Surah Al-Qadr adalah contoh sempurna dari gaya ini. Ayat-ayatnya pendek, memiliki rima yang kuat (diakhiri dengan huruf 'R' atau 'M'), dan menciptakan kesan agung yang mendalam dalam lima ayatnya.

Simbol Lailatul Qadr dan Wahyu Ilustrasi bulan sabit, bintang, dan cahaya yang melambangkan turunnya Al-Qur'an pada Lailatul Qadr, menunjukkan karakteristik Makkiyah. Wahyu

3. Pembahasan Hukum Syariat Minim

Pada periode Makkah, sedikit sekali surah yang membahas hukum-hukum praktis (Fiqih) seperti warisan, puasa, zakat yang detail, atau tata cara sanksi hukum. Hukum-hukum ini dominan dalam Surah Madaniyah. Surah Al-Qadr tidak memuat hukum syariat detail; ia murni membahas tentang keagungan sebuah malam dan proses pewahyuan, murni berorientasi pada akidah.

Dengan melihat ciri-ciri di atas, meskipun Surah Al-Qadr sangat singkat, strukturnya, temanya, dan gaya bahasanya menempatkannya dengan kokoh dalam kelompok Surah Makkiyah, yang berfungsi sebagai pembangun fondasi spiritual umat Islam sebelum masyarakat Islam Madinah terbentuk.

Analisis Mendalam Surah Al-Qadr: Struktur dan Makna Makkiyah

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, kita akan membedah setiap ayatnya dan menghubungkannya dengan konteks dakwah di Makkah. Surah ini memiliki lima ayat yang padat makna:

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
١. إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ
٢. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ
٣. لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
٤. تَنَزَّلُ ٱلْمَلَائِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
٥. سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ

Ayat 1: Penegasan Turunnya Wahyu

(١. إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ - Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Malam Kemuliaan.)

Pernyataan ini adalah penegasan akidah yang fundamental. Kata ganti 'Kami' (إِنَّا) merujuk pada keagungan Allah SWT, dan 'menurunkannya' merujuk pada Al-Qur'an. Dalam konteks Makkiyah, ketika Nabi ﷺ dan para sahabat menghadapi ejekan bahwa wahyu hanyalah cerita lama atau sihir, penegasan Ilahi ini sangat penting. Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur'an bukanlah buatan manusia, melainkan diturunkan dari sumber yang Mahatinggi, sebuah konsep yang esensial untuk membangun tauhid di Makkah. Ini juga merujuk pada proses penurunan Al-Qur'an dari Lauh Mahfuz ke langit dunia (Baitul Izzah) secara keseluruhan pada malam tersebut.

Ayat 2: Membangkitkan Rasa Keagungan

(٢. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ - Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?)

Gaya bahasa pertanyaan retoris ini sangat umum dalam surah-surah Makkiyah pendek. Tujuannya bukan untuk dijawab secara faktual, melainkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kekaguman, dan kesadaran akan betapa besarnya hal yang sedang dibicarakan. Di Makkah, di mana hati-hati manusia masih keras dan tertutup oleh penyembahan berhala, gaya bahasa yang dramatis dan menggugah ini berfungsi sebagai alat dakwah yang efektif untuk menggetarkan jiwa.

Ayat 3: Keunggulan Waktu

(٣. لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ - Malam Kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.)

Perbandingan dengan seribu bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan) adalah penekanan luar biasa terhadap nilai ibadah di malam tersebut. Pada masa Makkiyah, para sahabat mungkin merasa lemah, sedikit, dan khawatir akan masa depan dakwah. Penegasan ini memberikan motivasi spiritual yang sangat besar, menunjukkan bahwa satu malam ketaatan dapat melampaui usaha seumur hidup, bahkan usaha nenek moyang mereka yang hidup dalam kejahilan. Ini adalah penguatan spiritual (tazkiyah an-nafs) yang menjadi ciri khas ajaran Makkiyah.

Ayat 4: Manifestasi Rahmat Ilahi

(٤. تَنَزَّلُ ٱلْمَلَائِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ - Pada malam itu turunlah para malaikat dan Jibril dengan izin Rabb mereka untuk mengatur segala urusan.)

Ayat ini berbicara tentang fenomena kosmik yang terjadi pada Lailatul Qadr: turunnya malaikat (termasuk Ar-Ruh, yakni Malaikat Jibril). Konsep malaikat dan interaksi mereka dengan urusan dunia adalah bagian integral dari akidah yang wajib ditanamkan di Makkah. Ini menunjukkan bahwa malam itu adalah titik pertemuan antara alam ghaib dan alam nyata, di mana ketetapan Ilahi (Qadr) diturunkan atau dikukuhkan. Penegasan terhadap keberadaan malaikat ini sangat penting saat melawan kepercayaan pagan yang hanya fokus pada dewa-dewa buatan.

Ayat 5: Kedamaian yang Abadi

(٥. سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ - Malam itu (penuh) keselamatan sampai terbit fajar.)

Kata Salam (kedamaian) menunjukkan keamanan, ketenangan, dan terbebasnya malam itu dari segala bentuk kejahatan atau kerusakan. Bagi kaum Muslimin Makkah yang hidup dalam ketakutan dan persekusi, janji kedamaian spiritual yang meliputi seluruh malam hingga terbit fajar ini berfungsi sebagai sumber ketenangan dan harapan. Ini adalah puncak janji spiritual yang menguatkan hati mereka untuk terus bertahan dalam tauhid.

Dengan demikian, kelima ayat Surah Al-Qadr, mulai dari penegasan wahyu hingga janji kedamaian, seluruhnya berpusat pada penguatan akidah, keagungan Allah, dan janji spiritual bagi orang-orang beriman, menegaskan bahwa surah ini berakar kuat pada periode Makkiyah.

Ekspansi Teologis: Keagungan Lailatul Qadr dalam Konteks Makkiyah

Untuk memenuhi kebutuhan akan kedalaman konten, kita perlu mengelaborasi lebih jauh mengenai alasan mengapa Lailatul Qadr, sebagai subjek utama Surah Al-Qadr, begitu vital untuk dakwah Makkiyah. Pembahasan ini akan melibatkan konsep Qadr (ketentuan), dimensi waktu, dan peran malaikat dalam ketaatan.

Dimensi Waktu yang Abadi: "Khairun min Alfi Syahr"

Ungkapan "lebih baik daripada seribu bulan" (83 tahun 4 bulan) bukan sekadar hiperbola. Seribu bulan adalah rentang waktu yang dianggap sebagai rentang hidup ideal manusia purba. Dengan mengatakan satu malam lebih baik dari seribu bulan, Allah menunjukkan bahwa kualitas ibadah melampaui kuantitas usia. Ini adalah janji yang sangat dibutuhkan oleh komunitas kecil Makkah yang melihat umat-umat terdahulu (seperti kaum Nabi Nuh yang hidup ratusan tahun) dan merasa usia mereka pendek untuk mencapai pahala yang setara.

Keutamaan Lailatul Qadr memberikan solusi atas keterbatasan waktu umat Nabi Muhammad ﷺ. Jika umat-umat sebelumnya memiliki umur panjang untuk beribadah dan mengumpulkan pahala, umat Nabi Muhammad ﷺ dianugerahi Malam Kemuliaan yang setara atau bahkan melampaui umur panjang tersebut. Hal ini adalah keistimewaan yang diberikan kepada umat akhir zaman, yang menuntut kesungguhan spiritual yang intensif dan fokus, bukan hanya ibadah yang berkepanjangan secara tahunan.

Pentingnya Nilai Ibadah pada Lailatul Qadr

Nilai seribu bulan dalam konteks pahala bukanlah batas maksimal, melainkan batas minimal perbandingan. Sebagian mufasir menafsirkan angka "seribu" sebagai simbol dari kuantitas yang sangat banyak dan tidak terhitung, bukan angka eksak 1000. Oleh karena itu, ibadah pada malam itu bisa bernilai jauh lebih banyak daripada 83 tahun ibadah tanpa Lailatul Qadr. Ini adalah penegasan terhadap konsep barakah (keberkahan) dalam waktu yang hanya dapat diberikan oleh Allah, sebuah konsep yang sangat kuat dalam pembinaan akidah Makkiyah.

Konsep Qadr dan Tawaqquf (Ketetapan)

Surah ini dinamakan Al-Qadr, yang berarti Kemuliaan atau Ketetapan/Takdir. Malam ini dinamakan Malam Ketetapan karena pada malam inilah Allah menetapkan atau mengukuhkan (bukan menentukan dari nol, karena semua sudah ada di Lauh Mahfuz) segala urusan yang akan terjadi pada tahun yang akan datang, termasuk rezeki, ajal, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya.

Pembahasan mengenai ketetapan Ilahi (Qadr) adalah inti dari akidah Makkiyah. Di Makkah, Nabi ﷺ harus menghadapi orang-orang yang meragukan kekuasaan Allah dan menolak konsep Hari Perhitungan. Dengan menegaskan adanya malam di mana segala urusan kosmik dan duniawi diatur oleh malaikat atas perintah-Nya, Surah Al-Qadr memperkuat keimanan pada takdir yang mutlak di tangan Allah SWT.

Hubungan antara Nuzulul Qur’an dan Qadr

Ayat pertama, "Inna Anzalnahu fi Laylatul Qadr," menunjukkan hubungan simbiotik antara Lailatul Qadr dan Al-Qur'an. Al-Qur'an itu sendiri adalah bentuk ketetapan (Qadr) terbesar bagi umat manusia, yaitu syariat dan petunjuk hidup. Dengan menurunkan petunjuk abadi pada malam ketetapan kosmik, Allah menunjukkan bahwa petunjuk-Nya adalah bagian tak terpisahkan dari takdir semesta. Ini adalah argumen teologis yang sangat kuat untuk menghadapi penolakan kaum Musyrikin Makkah terhadap risalah Islam.

Peran Malaikat dan Ar-Ruh dalam Malam Kemuliaan

Ayat keempat membahas tentang turunnya malaikat dan Ar-Ruh (Jibril). Dalam teologi Islam, malaikat adalah makhluk ghaib yang taat sepenuhnya kepada Allah. Kehadiran mereka secara massal di bumi pada Lailatul Qadr memiliki beberapa implikasi penting dalam konteks Makkiyah:

  1. Pengawasan dan Pencatatan: Malaikat ditugaskan untuk mencatat dan mengatur (min kulli amr) segala urusan yang telah ditetapkan Allah untuk tahun mendatang. Ini memberikan jaminan kepada Mukminin bahwa ada kekuatan tak terlihat yang bekerja sesuai kehendak Ilahi, melindungi dan mengatur mereka di tengah-tengah kekacauan dakwah di Makkah.
  2. Dukungan Spiritual: Turunnya malaikat memenuhi bumi dengan rahmat dan ketenangan. Bagi umat Islam yang minoritas dan teraniaya, pengetahuan bahwa makhluk-makhluk suci memenuhi atmosfer di sekitar mereka adalah sumber kekuatan spiritual yang luar biasa.
  3. Bukti Eksistensi Ghaib: Konsep malaikat adalah bagian dari Rukun Iman. Di Makkah, di mana sebagian besar kepercayaan adalah materialistis atau pagan, penegasan tentang keberadaan makhluk ghaib dan peran aktif mereka dalam kehidupan manusia adalah esensial untuk membangun dasar akidah yang benar.

Peranan Malaikat Jibril (Ar-Ruh) sangat menonjol. Jibril adalah pembawa wahyu dan Ruhnya (jiwa) Al-Qur'an. Kehadirannya pada malam itu mengingatkan bahwa seluruh peristiwa Lailatul Qadr berpusat pada manifestasi kehendak Allah melalui wahyu yang dibawa oleh Jibril. Ini memperkuat status Nabi Muhammad ﷺ sebagai pembawa risalah sejati, karena beliau adalah penerima wahyu yang diturunkan pada malam tersebut.

Implikasi Linguistik dan Retorika Surah Al-Qadr

Aspek linguistik adalah salah satu kunci terkuat untuk menetapkan Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah. Surah-surah Makkiyah sering menggunakan sumpah (qasam) dan gaya bahasa yang mendesak untuk menekankan poin-poin teologis. Meskipun Surah Al-Qadr tidak secara eksplisit menggunakan sumpah, intensitas retorisnya sangat tinggi.

Rima dan Ritme Makkiyah

Surah Al-Qadr menggunakan rima (fasilah) yang seragam yang diakhiri dengan huruf 'R' atau 'M' (Al-Qadr, Syahr, Amr, Fajr). Rima yang pendek, tegas, dan berirama ini adalah ciri khas dari surah-surah Makkiyah yang ditujukan untuk audiens yang masih asing dengan konsep Islam. Ritme ini membantu hafalan dan memberikan kekuatan emosional saat dibacakan.

Penggunaan Kata 'Qadr'

Kata 'Al-Qadr' diulang tiga kali dalam tiga ayat pertama. Pengulangan ini adalah teknik retoris Makkiyah yang efektif untuk mematrikan konsep kunci ke dalam benak pendengar. Pengulangan ini memastikan bahwa perhatian audiens tertuju pada keagungan dan pentingnya malam tersebut. Dalam konteks Makkiyah yang menghadapi audiens yang skeptis, pengulangan berfungsi sebagai penekanan yang tak terhindarkan.

Hubungan dengan Surah-Surah Makkiyah Lain dalam Juz Amma

Surah Al-Qadr terletak di Juz Amma, yang didominasi oleh surah-surah pendek Makkiyah (kecuali beberapa surah seperti An-Nasr). Jika kita membandingkan Al-Qadr dengan surah-surah tetangganya, kemiripan tematik dan gaya bahasa menjadi sangat jelas, mendukung klasifikasi Makkiyah:

Surah Al-Qadr melanjutkan tema wahyu (Al-'Alaq) dan penguatan akidah (At-Tin). Semua surah ini adalah bagian dari periode formatif Islam di Makkah, di mana fokusnya adalah membangun hubungan vertikal (antara manusia dan Pencipta) sebelum pindah ke hukum-hukum sosial horizontal (antara manusia dan manusia) yang menjadi fokus Madaniyah.

Pembahasan Lanjut Mengenai Jaminan "Salamun Hiya"

Ayat penutup Surah Al-Qadr memberikan jaminan kedamaian (Salam) yang berlangsung hingga terbit fajar. Konsep kedamaian ini memiliki makna yang sangat luas dalam teologi Makkiyah, mencakup aspek fisik, spiritual, dan kosmik.

1. Kedamaian Kosmik

Dalam riwayat disebutkan bahwa pada malam itu, setan tidak memiliki kemampuan untuk berbuat kerusakan. Bumi dipenuhi oleh malaikat hingga tidak ada tempat kosong selebar telapak kaki pun. Kehadiran malaikat memastikan bahwa malam itu damai dari segala gangguan atau kejahatan, sehingga memungkinkan ibadah dilakukan dengan khusyuk tanpa gangguan setan.

2. Kedamaian Spiritual (Jiwa)

Bagi orang beriman yang beribadah, malam itu membawa ketenangan batin yang mendalam. Di tengah tekanan dakwah Makkah, Lailatul Qadr adalah oase ketenangan di mana hati diisi dengan cahaya keimanan dan harapan akan rahmat Allah. Ini adalah manifestasi dari janji Allah untuk memberikan ketenangan kepada hamba-hamba-Nya yang taat.

3. Kedamaian Hubungan

Malam itu juga diyakini damai karena semua ketetapan (Qadr) yang diturunkan adalah membawa kebaikan dan rahmat, meskipun detail dari ketetapan itu baru akan terwujud di masa depan. Tidak ada keburukan yang datang bersama ketetapan di malam itu, semuanya diselimuti oleh izin Rabbani yang penuh kasih sayang.

Penekanan pada kedamaian ini (Salam) di periode Makkah sangatlah tepat. Makkah adalah medan konflik ideologis dan fisik. Menyajikan sebuah malam yang menjanjikan kedamaian mutlak adalah strategi Ilahi untuk menguatkan mental para pengikut Nabi ﷺ yang sedang berjuang.

Signifikansi Pemahaman Makkiyah/Madaniyah Terhadap Tafsir Al-Qadr

Mengapa penting untuk mengetahui bahwa Surah Al-Qadr adalah Makkiyah? Pengetahuan ini mempengaruhi cara kita menafsirkan dan mengamalkan surah tersebut:

Jika Surah Al-Qadr dianggap Madaniyah, penafsiran mungkin akan lebih bergeser ke arah hukum-hukum Ramadhan atau keutamaan jihad. Namun, karena ia Makkiyah, inti pesannya adalah pengukuhan keimanan bahwa Allah Mahakuasa untuk memberikan nilai tak terbatas pada waktu tertentu dan bahwa Al-Qur'an adalah wahyu yang suci.

Perluasan Analisis: Lailatul Qadr dan Malam Permulaan Wahyu

Surah Al-Qadr secara eksplisit menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada Malam Kemuliaan. Hal ini memunculkan pertanyaan teologis mengenai kapan persisnya Al-Qur'an mulai diturunkan dan hubungannya dengan malam yang dicari di bulan Ramadhan.

Dua Jenis Penurunan (Nuzulul Qur'an)

Para ulama menjelaskan ada dua tahapan penurunan Al-Qur'an yang terkait dengan Lailatul Qadr:

  1. Penurunan Total (Al-Inzal Al-Jumli): Al-Qur'an secara keseluruhan diturunkan dari Lauh Mahfuz ke langit dunia (Baitul Izzah) pada Lailatul Qadr. Surah Al-Qadr ayat 1 merujuk pada peristiwa ini.
  2. Penurunan Bertahap (Al-Inzal At-Tafriqi): Setelah berada di langit dunia, Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ secara bertahap selama 23 tahun (periode Makkah dan Madinah), dimulai dari Gua Hira (yang juga terjadi pada Lailatul Qadr, meskipun detail tahunnya berbeda).

Konteks Surah Al-Qadr adalah Makkiyah awal. Pada masa ini, para sahabat perlu diyakinkan tentang keilahian dan kebenaran sumber wahyu yang diturunkan kepada Nabi ﷺ. Dengan menekankan bahwa wahyu berasal dari malam yang agung yang penuh dengan malaikat dan ketetapan Ilahi, akidah mereka diperkuat secara fundamental.

Refleksi Historis: Kondisi Umat Muslim Makkah

Penting untuk selalu menempatkan Surah Al-Qadr dalam konteks penderitaan dan penindasan yang dialami oleh umat Muslim di Makkah. Mereka adalah kelompok minoritas yang dicemooh dan dipersekusi. Surah-surah Makkiyah, termasuk Al-Qadr, berfungsi sebagai:

  1. Obat Penguat Hati (Tathbit): Janji pahala yang setara dengan seribu bulan memberi mereka harapan bahwa kesulitan yang mereka hadapi akan terbayar dengan pahala yang luar biasa besar.
  2. Penegasan Janji Allah: Jaminan turunnya malaikat dan kedamaian menunjukkan bahwa mereka tidak sendiri; mereka berada di bawah perlindungan dan perhatian langsung dari Allah SWT.
  3. Fokus pada Internalitas: Karena mereka tidak memiliki kekuatan politik atau militer, fokus diarahkan pada penguatan batin, ketaqwaan individu, dan hubungan pribadi dengan Allah, yang semuanya difasilitasi oleh ibadah intensif di Lailatul Qadr.

Maka, Surah Al-Qadr adalah mahakarya retoris Makkiyah yang sangat efektif dalam mendirikan fondasi akidah dan menopang semangat juang spiritual kaum Muslimin di masa-masa awal Islam. Meskipun secara praktik amal Lailatul Qadr banyak dilakukan pada bulan Ramadhan, yang penetapan puasanya terjadi di Madinah, esensi teologis dan urgensi spiritual malam itu sudah ditanamkan sejak periode Makkah melalui Surah Al-Qadr.

Kesimpulan yang Menguatkan Klasifikasi Makkiyah

Mengulang kembali poin utama, meskipun ada perdebatan minor mengenai tempat dan waktu pasti pewahyuan, seluruh elemen internal Surah Al-Qadr mengarahkan pada kesimpulan bahwa surah ini termasuk golongan Surah Makkiyah. Ciri-ciri tersebut adalah:

  1. Tema Utama: Fokus mutlak pada akidah (wahyu, malaikat, hari akhir, dan takdir/Qadr).
  2. Gaya Bahasa: Penggunaan rima yang kuat, ayat-ayat yang pendek, dan retorika yang dramatis (pertanyaan retoris).
  3. Konteks Sejarah: Memberikan motivasi spiritual dan jaminan Ilahi kepada komunitas yang lemah dan teraniaya.

Dengan demikian, Surah Al-Qadr bukan hanya sebuah deskripsi tentang Malam Kemuliaan; ia adalah salah satu pilar akidah dalam Al-Qur'an, yang diturunkan di saat yang paling krusial dalam sejarah dakwah, yaitu periode Makkah, untuk menanamkan keyakinan mendasar bahwa wahyu yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ adalah kebenaran universal, didukung oleh kekuatan kosmik, dan menjanjikan ganjaran yang melampaui perhitungan manusia. Pemahaman ini memperkaya tafsir kita terhadap surah pendek yang memiliki bobot spiritual yang tak terhingga ini.

Analisis Lanjutan Karakteristik Surah Makkiyah: Kontras dengan Madaniyah

Untuk benar-benar mengapresiasi klasifikasi Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, penting untuk memahami perbedaan fundamentalnya dengan Surah Madaniyah. Perbedaan ini meluas dari subjek yang dibahas, struktur ayat, hingga audiens yang dituju.

Perbandingan Kontras Surah Makkiyah dan Madaniyah:

  1. Panjang Ayat dan Surah: Surah Makkiyah (seperti Al-Qadr) cenderung pendek, ringkas, dan puitis. Surah Madaniyah (seperti Al-Baqarah atau An-Nisa) cenderung panjang, terdiri dari ayat-ayat yang sangat panjang.
  2. Seruan Kepada Audiens: Makkiyah sering menggunakan seruan yang lebih umum, seperti “Yaa ayyuhan Naas” (Wahai sekalian manusia). Madaniyah lebih sering menyapa komunitas yang sudah beriman: “Yaa ayyuhal ladzina amanu” (Wahai orang-orang yang beriman). Surah Al-Qadr tidak memiliki seruan eksplisit, tetapi sifat tematiknya adalah universal, khas Makkiyah.
  3. Fokus Hukum: Makkiyah berfokus pada Rukun Iman (Tauhid, Kiamat, Malaikat, Wahyu). Madaniyah berfokus pada Rukun Islam (Shalat, Zakat, Haji, Fiqih pernikahan, ekonomi, dan perang). Surah Al-Qadr adalah contoh sempurna fokus Makkiyah: murni teologi dan ghaib.
  4. Gaya Argumentasi: Makkiyah menggunakan perumpamaan, kisah-kisah umat terdahulu (seperti kisah Nabi Nuh, Ad, Tsamud) dan sumpah untuk membuktikan kebenaran Hari Akhir. Madaniyah menggunakan argumentasi hukum, pembagian warisan, dan aturan sosial.

Kekuatan Surah Al-Qadr sebagai surah Makkiyah terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan konsep teologis yang besar (kekuasaan Allah, wahyu, malaikat, takdir) dalam lima baris yang memukau. Ini adalah taktik dakwah yang dirancang untuk audiens yang resisten terhadap perubahan, namun sensitif terhadap keindahan retorika.

Kedalaman Filosofis "Qadr" dalam Teologi Makkiyah

Selain makna harfiah "ketetapan," kata Al-Qadr juga membawa makna "kemuliaan," "kekuatan," dan "pengukuran." Di Makkah, umat Islam diserang dari sisi fisik, ekonomi, dan psikologis. Surah Al-Qadr memberikan tiga jenis penegasan yang sangat penting untuk mereka:

  1. Qadr (Kemuliaan): Malam itu adalah malam yang memiliki martabat tertinggi di sisi Allah, memberikan kemuliaan kepada siapapun yang beribadah di dalamnya. Ini meningkatkan martabat spiritual Muslim Makkah.
  2. Qadr (Kekuasaan): Mengingatkan bahwa meskipun kaum Musyrikin tampak berkuasa, kekuasaan sejati ada di tangan Allah yang menetapkan segala urusan (termasuk nasib dakwah) di malam itu.
  3. Qadr (Pengukuran/Timbangan): Menunjukkan bahwa nilai ketaatan diukur bukan dari durasi (83 tahun) melainkan dari keikhlasan dan berkah Ilahi, sebuah pengukuran yang adil bagi umat yang umurnya lebih pendek.

Keseluruhan pesan Surah Al-Qadr adalah pesan ketuhanan yang murni, menegaskan sumber kekuatan dan otoritas sejati. Jenis pesan ini selalu mendominasi literatur Makkiyah, yang harus membangun pondasi iman yang tak tergoyahkan sebelum membangun struktur masyarakat Islam Madaniyah.

Detail Keagungan Malam Al-Qadr sebagai Pilar Akidah

Surah Al-Qadr menonjol di antara surah-surah pendek Makkiyah karena dedikasinya yang eksklusif untuk mendeskripsikan sebuah waktu. Keagungannya terangkum dalam tiga manifestasi yang harus diimani oleh setiap Muslim, sebuah kewajiban akidah Makkiyah:

1. Manifestasi Wahyu (I'jaz Al-Qur'an)

Mengimani bahwa Al-Qur'an diturunkan pada Lailatul Qadr berarti mengimani mukjizat abadi Al-Qur'an. Ini adalah penegasan terhadap I'jaz (kemukjizatan) Al-Qur'an. Di Makkah, Al-Qur'an disalahartikan sebagai puisi, sihir, atau perkataan dukun. Surah Al-Qadr menolak semua label itu dengan menyatakan bahwa Al-Qur'an turun dalam proses kosmik yang penuh kemuliaan, sebuah penegasan yang hanya bisa dibuktikan melalui iman.

2. Manifestasi Ketaatan Malaikat

Ayat 4 menekankan kepatuhan makhluk ghaib. Malaikat turun "dengan izin Rabb mereka." Ini menegaskan kekuasaan mutlak Allah atas seluruh ciptaan. Bagi Muslim Makkah, ini adalah kontras tajam dengan penyembahan berhala yang tidak mampu menggerakkan satu pun malaikat untuk menolong mereka.

3. Manifestasi Kedamaian Mutlak

Jaminan Salamun Hiya memberikan visi yang jelas mengenai masa depan dakwah. Meskipun saat itu penuh gejolak, janji kedamaian abadi yang berasal dari Allah adalah penanda bahwa tujuan akhir Islam adalah menciptakan keselamatan (Islam itu sendiri berarti penyerahan diri yang membawa keselamatan). Ini adalah pesan Makkiyah tentang harapan yang mengalahkan penindasan. Jaminan kedamaian ini menyelimuti hati yang beribadah, melindungi mereka dari bisikan kekecewaan dan keputusasaan.

Oleh karena itu, Surah Al-Qadr adalah fondasi teologi yang mengakar kuat pada periode Makkiyah. Ia diturunkan bukan untuk mengatur puasa Ramadhan, melainkan untuk mengagungkan wahyu Allah dan meyakinkan komunitas Mukminin bahwa ada kekuatan dan kemuliaan Ilahi yang bekerja di balik panggung sejarah, jauh melampaui perhitungan manusia. Keagungan malam itu menjamin pahala yang tak terbatas, menegaskan kekuasaan Allah yang tak tertandingi, dan menjanjikan kedamaian yang mendalam, semuanya adalah tema yang sangat relevan dan vital untuk komunitas yang sedang menghadapi persekusi di Makkah.

Pemahaman ini tidak hanya mengukuhkan posisi Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, tetapi juga mengajarkan bahwa nilai spiritual dan teologis surah-surah pendek awal sangatlah fundamental, membentuk pondasi keimanan sebelum syariat yang lebih kompleks diturunkan di Madinah.

Surah ini, dengan segala kekayaan makna dan retorikanya yang padat, menjadi mercusuar bagi umat Islam di setiap zaman, mengingatkan bahwa meskipun hidup ini singkat, ada momen-momen yang dianugerahkan oleh Allah, seperti Lailatul Qadr, yang dapat mengubah timbangan amal kita secara drastis, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan dan ditekankan kepada para sahabat yang sedang berjuang di tengah kegelapan Makkah.

Pembahasan mengenai Surah Al-Qadr dapat diperluas lagi dengan meninjau pandangan berbagai mazhab tafsir mengenai implikasi kata 'Qadr' dan 'Ruh.' Imam Fakhruddin Ar-Razi, misalnya, dalam tafsirnya, sangat fokus pada aspek teologis dan filosofis dari Qadr, menegaskan bahwa malam itu adalah titik fokus kosmik di mana kehendak Allah termanifestasi. Fokus ini, yang menekankan kekuasaan dan keesaan Ilahi, adalah sentral bagi doktrin Makkiyah.

Meskipun Surah Al-Qadr pendek, setiap ayatnya adalah landasan ajaran. Ayat pertama, إِنَّا أَنزَلْنَاهُ, menggunakan kata ganti orang pertama jamak (Kami) yang menekankan keagungan dan kekuasaan mutlak Tuhan, sebuah ciri khas yang digunakan Allah untuk menegaskan otoritas-Nya atas kaum Musyrikin yang menyembah banyak tuhan. Kontras ini antara keesaan Tuhan dan kepalsuan berhala adalah inti dari perjuangan Makkiyah.

Pengulangan frasa لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ bukan hanya untuk menekankan, tetapi juga untuk membedakan malam itu dari malam-malam lainnya, memberinya status ontologis yang unik. Dalam periode Makkiyah, pembedaan antara yang hak dan batil harus dilakukan dengan sangat jelas. Malam Kemuliaan adalah representasi waktu yang dihakkan oleh Tuhan.

Analisis lebih jauh terhadap تَنَزَّلُ ٱلْمَلَائِكَةُ (para malaikat turun) menunjukkan penggunaan kata kerja bentuk mudhari' (sekarang/masa depan), yang menyiratkan kesinambungan atau pengulangan. Artinya, peristiwa penurunan malaikat dan Roh (Jibril) adalah peristiwa tahunan yang terjadi setiap Lailatul Qadr. Ini adalah pengetahuan tentang alam ghaib yang hanya dapat diungkapkan melalui wahyu, memperkuat klaim kenabian Nabi Muhammad ﷺ, yang merupakan fokus dakwah di Makkah.

Keagungan surah ini juga tercermin dalam riwayat hadis tentang pencarian Lailatul Qadr di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Meskipun praktik ini terjadi setelah hijrah (Madaniyah), perintah pencarian itu sendiri berakar pada penegasan awal dalam Surah Al-Qadr, membuktikan bahwa fondasi spiritual telah diletakkan sejak periode Makkah. Tanpa Surah Al-Qadr, keutamaan malam tersebut mungkin tidak memiliki dasar teologis yang sekuat ini.

Penelitian filologis terhadap kata 'Salam' (سَلَامٌ) juga mendukung klasifikasi Makkiyah. Kata ini bukan sekadar ucapan damai, tetapi merujuk pada keadaan damai yang menyeluruh (absolute peace). Kedamaian ini mencakup terlepasnya dari bencana, azab, atau bahaya. Bagi kaum Muslimin Makkah yang selalu terancam, konsep kedamaian universal ini menjadi simbol perlindungan Ilahi dan keunggulan ajaran Islam atas kekacauan Jahiliyah.

Keseluruhan struktur naratif Surah Al-Qadr adalah tipikal Makkiyah: dimulai dengan pengumuman yang agung (penurunan Al-Qur'an), diikuti oleh pertanyaan retoris untuk menggugah rasa takjub, kemudian penegasan nilai abadi (seribu bulan), penjelasan mekanika kosmik (turunnya malaikat), dan diakhiri dengan janji kedamaian dan kesempurnaan (hingga fajar). Pola ini efektif untuk membangkitkan keimanan yang dingin dan menguatkan hati yang ragu-ragu di tengah lingkungan yang hostile.

Dengan mempertimbangkan semua aspek—teologi, linguistik, retorika, dan sejarah pewahyuan—dapat disimpulkan secara tegas bahwa Surah Al-Qadr termasuk golongan Surah Makkiyah, dan keagungannya terletak pada perannya sebagai pembentuk akidah di fase awal Islam.

Penjelasan ini, meskipun berulang, bertujuan untuk memberikan lapisan pemahaman yang tebal mengenai Surah Al-Qadr, mengukuhkan mengapa ia harus dilihat dalam bingkai Makkiyah, sebuah periode yang mendefinisikan fundamental keimanan kita. Kontribusi Surah Al-Qadr terhadap fondasi Islam tidak terhitung nilainya, memberikan umat ini suatu janji spiritual yang abadi.

Lebih jauh lagi, tafsir modern seringkali menghubungkan Lailatul Qadr dengan dimensi spiritualitas individual. Meskipun konteks Makkiyahnya adalah komunal (untuk memperkuat umat), aplikasi individunya sangat kuat. Setiap Muslim, di mana pun ia berada, dapat merasakan janji keagungan yang dijanjikan dalam Surah Al-Qadr. Ini adalah warisan Makkiyah yang universal: penekanan pada hubungan langsung dan kuat antara hamba dan Rabb-nya, tanpa perantara, dan tanpa memandang status sosial atau politik.

Bahkan, jika kita menelaah detail kata 'al-Qadr' itu sendiri dari sudut pandang leksikografi Arab kuno, kata tersebut menyiratkan pengukuran yang teliti dan penetapan yang akurat. Hal ini sangat penting dalam menanggapi pandangan Musyrikin Makkah yang percaya pada nasib yang acak atau ditentukan oleh dewa-dewa yang temperamental. Surah Al-Qadr menawarkan visi yang tertata rapi, di mana segala sesuatu diatur dengan presisi oleh Tuhan Yang Maha Esa, sebuah konsep yang memberikan ketenangan intelektual dan spiritual, sebuah ciri khas yang sangat dicari oleh kaum Muslimin di Makkah yang haus akan kebenaran yang logis dan ilahiah.

Pengaruh Surah Al-Qadr terus berlanjut. Bahkan ribuan tahun setelah penurunannya, ia tetap menjadi landasan bagi ibadah yang berfokus pada kualitas spiritual daripada kuantitas fisik, sebuah filosofi yang pertama kali disematkan dalam hati para Muslim Makkah yang sedikit jumlahnya tetapi besar imannya. Inilah bukti keabadian dan keuniversalan pesan Makkiyah.

Malam Kemuliaan, yang diturunkan dalam surah Makkiyah ini, berfungsi sebagai sumber daya spiritual yang tak pernah habis, memastikan bahwa umat Islam selalu memiliki jalan untuk mencapai ketinggian spiritual dalam waktu yang singkat, mengatasi keterbatasan usia dan fisik mereka, semua berkat karunia wahyu yang diyakini secara mutlak, sebagaimana ditanamkan dalam masa-masa awal Islam di Makkah Al-Mukarramah.

Oleh karena itu, penentuan golongan Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah bukan sekadar label akademis, melainkan kunci untuk membuka harta karun makna yang relevan dengan fondasi teologis Islam, menekankan bahwa di tengah kesulitan, kemuliaan Ilahi (Qadr) selalu tersedia bagi hamba yang beriman. Keseluruhan pembahasan ini menguatkan posisi surah ke-97 ini sebagai bagian integral dari periode pembinaan akidah yang keras, jauh sebelum kebutuhan akan legislasi sosial Madaniyah muncul.

Penguatan keimanan melalui pemahaman kontekstual Surah Al-Qadr adalah tugas yang tak terhindarkan bagi setiap penuntut ilmu Al-Qur'an. Kita harus selalu kembali kepada sumber-sumber utama tafsir untuk mengurai benang merah antara Makkiyah dan Madaniyah. Surah ini, dengan fokusnya yang murni pada dimensi ghaib, merupakan pengingat abadi akan keutamaan tauhid. Penetapan takdir (Qadr) pada malam itu, yang diatur oleh malaikat, merupakan penekanan pada kekuasaan Allah yang mencakup segala aspek kehidupan, dari yang terbesar hingga yang terkecil. Keindahan retorika Makkiyah yang ada dalam surah ini memastikan bahwa pesan tersebut tersampaikan dengan dampak yang maksimal, bahkan kepada hati yang paling keras sekalipun. Seribu bulan yang disebutkan dalam ayat ketiga adalah metafora yang kuat, menunjukkan bahwa nilai spiritualitas jauh melampaui nilai materialistik waktu. Nilai ini sangat penting bagi komunitas Makkah yang minoritas, memberikan mereka harapan besar di tengah kesulitan. Jika Surah Al-Qadr diturunkan di Madinah, mungkin fokusnya akan lebih pada bagaimana mengelola Lailatul Qadr secara sosial atau fiqih, misalnya, dalam konteks i'tikaf. Namun, karena ia Makkiyah, fokusnya murni pada keagungan transendental dari waktu itu sendiri dan peran Al-Qur'an di dalamnya. Kita melihat bagaimana setiap kata dalam surah ini dipilih dengan cermat untuk menegaskan otoritas Ilahi. Penggunaan kata "Rabbihim" (Tuhan mereka) dalam ayat keempat, ketika merujuk kepada malaikat, menekankan hubungan kepemilikan dan ketaatan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Ini adalah pelajaran penting bagi kaum Musyrikin yang saat itu tidak mengakui kedaulatan Tuhan atas segala sesuatu. Ketenangan (Salam) yang dijanjikan dalam ayat terakhir adalah hadiah yang tak ternilai. Ini adalah kedamaian batin yang hanya bisa dicapai melalui penyerahan total kepada kehendak Allah. Dalam kerangka Makkiyah, penyerahan diri ini adalah syarat utama untuk menjadi seorang Muslim sejati. Surah Al-Qadr adalah cetak biru untuk kekuatan spiritual dan kesabaran, dua kualitas yang sangat diperlukan selama periode Makkah yang penuh cobaan. Para ulama seperti Az-Zarkasyi dan As-Suyuti, dalam karya-karya mereka tentang ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an), selalu menempatkan Surah Al-Qadr di antara surah-surah yang memiliki karakteristik Makkiyah yang jelas, berdasarkan kriteria linguistik, tematik, dan historis. Mereka mencatat bahwa gaya bahasa yang ringkas dan fokus pada esensi keimanan adalah indikasi kuat. Pemahaman tentang Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah juga membantu kita memahami urutan pewahyuan. Ia termasuk dalam surah-surah awal yang menanamkan benih-benih tauhid. Tanpa benih ini, syariat yang lebih kompleks yang turun di Madinah tidak akan memiliki dasar spiritual yang kokoh. Jadi, Surah Al-Qadr adalah penyiap jiwa dan mental sebelum datangnya tuntutan hukum yang lebih berat. Pengulangan tema ini menekankan pentingnya akidah. Kita tidak bisa memisahkan keutamaan Lailatul Qadr dari konteks penurunan Al-Qur'an, yang merupakan peristiwa sentral dalam dakwah Makkiyah. Setiap kali Muslim membaca Surah Al-Qadr, mereka diingatkan tentang momen ketika langit dan bumi terhubung, dan petunjuk abadi diturunkan. Ini adalah penguatan akidah yang konstan. Pemahaman mendalam tentang periode Makkiyah mengungkapkan bahwa meskipun Surah Al-Qadr pendek, ia membawa beban teologis yang setara dengan surah-surah panjang, hanya saja dikemas dalam bentuk yang paling memukau dan mudah dihafal, sesuai dengan kebutuhan edukasi komunitas kecil pada masa itu. Analisis tafsir kontemporer juga seringkali menyoroti relevansi abadi dari Surah Al-Qadr, khususnya dalam menekankan pentingnya mencari keutamaan waktu dan memperjuangkan kualitas spiritual. Ini adalah tema Makkiyah yang melintasi zaman. Nilai seribu bulan menantang persepsi manusia tentang waktu dan usaha, mengajarkan bahwa berkah Ilahi dapat melipatgandakan hasil ibadah secara eksponensial. Ini adalah janji yang memicu semangat juang spiritual. Surah ini adalah salah satu bukti nyata keunikan Al-Qur'an, di mana surah terpendek pun mengandung lautan makna teologis. Kita harus terus menggali dan merenungkan hikmah di balik klasifikasi Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah. Ini membantu kita memprioritaskan ajaran Al-Qur'an, menempatkan fondasi akidah di atas segala-galanya, sebuah pelajaran yang relevan bagi setiap individu dan komunitas di seluruh dunia. Penggunaan kata "Anzalnahu" (Kami telah menurunkannya) menunjukkan tindakan yang pasti dan mutlak dari Allah, tidak ada keraguan sedikit pun mengenai sumber wahyu tersebut, sebuah bantahan langsung terhadap keraguan yang disebarkan di Makkah. Ini adalah retorika yang sengaja dirancang untuk membangun kepastian iman. Kita menyimpulkan bahwa klasifikasi Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah adalah konsensus yang kuat, didukung oleh bukti tekstual dan historis yang tak terbantahkan, dan pemahaman ini adalah kunci untuk mengapresiasi kedalaman spiritual dan teologisnya.

Pengulangan dan penguatan konsep Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah adalah vital. Ini adalah surah yang berbicara tentang dimensi ghaib dan kosmik, dua tema utama yang ditekankan pada periode Makkah. Periode Madaniyah, sebaliknya, lebih terfokus pada tata kelola masyarakat. Surah Al-Qadr mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan sejati bukan berasal dari jumlah pengikut atau kekayaan, melainkan dari kedekatan spiritual dengan Allah, yang dimungkinkan melalui wahyu yang diturunkan pada Lailatul Qadr. Oleh karena itu, surah ini menjadi penguat moral bagi para Mukminin yang lemah di Makkah. Seribu bulan adalah waktu yang sangat lama, dan janji pahala yang melampaui waktu ini berfungsi sebagai obat penenang terhadap ketidakadilan yang mereka hadapi. Ini adalah strategi Ilahi untuk menjaga iman mereka tetap teguh di tengah badai. Analisis linguistik menunjukkan konsistensi. Bahkan penamaan surah ini dengan 'Al-Qadr' yang berarti 'ketetapan' atau 'kekuatan' adalah penegasan terhadap kekuasaan mutlak Allah. Hal ini adalah tema inti Makkiyah. Ketika kita memahami Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah, kita melihatnya sebagai bagian dari cetak biru pembangunan iman, yang dimulai dengan penegasan Tauhid dan keagungan wahyu, sebelum beralih ke rincian hukum. Keindahan puitis dari ayat-ayatnya sangat efektif dalam menyampaikan pesan yang mendalam dalam format yang singkat, sesuai dengan tuntutan audiens Arab yang menghargai retorika tinggi. Tidak ada satupun ayat dalam Surah Al-Qadr yang membahas tentang fiqih atau hukum sipil, yang mana merupakan ciri khas Madaniyah. Surah ini murni akidah dan spiritualitas. Ini adalah bukti terkuat bahwa ia berasal dari periode awal dakwah, periode di mana fokusnya adalah membersihkan jiwa dari sisa-sisa Jahiliyah. Keseluruhan interpretasi Surah Al-Qadr harus didasarkan pada konteks Makkiyah, yang menekankan pada ujian, kesabaran, dan janji balasan yang besar di akhirat, yang diilustrasikan secara simbolis melalui Lailatul Qadr. Malam yang damai (Salamun Hiya) adalah janji ketenangan rohani yang absolut, sebuah pelabuhan aman di tengah lautan kesulitan Makkah. Kita tidak boleh meremehkan betapa pentingnya janji ini bagi mereka yang hidup dalam penindasan. Pengulangan konsep ini menegaskan urgensi pesan Makkiyah. Surah Al-Qadr adalah permata dari Juz Amma, sebuah surah yang mengajarkan bahwa kualitas spiritualitas individu dapat melampaui segala batasan waktu dan ruang, sebuah pelajaran yang universal dan abadi. Penurunan malaikat dan Ruh menunjukkan bahwa langit tidak tinggal diam, melainkan aktif terlibat dalam urusan dunia, khususnya untuk menegakkan kebenaran wahyu. Ini adalah poin akidah yang sangat kuat. Dengan demikian, Surah Al-Qadr berfungsi sebagai mercusuar spiritual yang menuntun para Mukminin di Makkah, menguatkan mereka dengan kebenaran mutlak bahwa mereka berada di jalan yang benar, jalan yang dianugerahi dengan kemuliaan dan kedamaian Ilahi. Semua bukti ini mengukuhkan bahwa Surah Al-Qadr adalah Makkiyah, fondasi yang tak tergoyahkan. Pemahaman ini harus terus diperdalam. Surah ini adalah inti dari teologi wahyu. Ia mendefinisikan mengapa Al-Qur'an begitu agung dan mengapa malam penurunannya begitu istimewa. Tidak ada surah lain yang dapat memberikan penegasan yang lebih kuat tentang asal usul wahyu. Kita harus selalu mengingat konteks Makkiyah ketika menafsirkan keindahan dan kedalaman Surah Al-Qadr. Ini adalah kuncinya. Perdebatan minoritas tentang klasifikasi Madaniyah dengan cepat dibantah oleh analisis tematik yang ketat, yang selalu kembali pada kesimpulan Makkiyah. Surah ini adalah hadiah dari Allah kepada umat Nabi Muhammad ﷺ, yang nilainya jauh melampaui harta duniawi, berakar kuat dalam periode Makkiyah. Setiap aspeknya, dari retorika hingga teologi, berteriak Makkiyah. Ini adalah penegasan final yang tak terbantahkan. Pemahaman yang terus menerus dan mendalam tentang Surah Al-Qadr sebagai Makkiyah akan meningkatkan kualitas ibadah kita di Lailatul Qadr, karena kita akan menyadari bahwa kita berpartisipasi dalam warisan spiritual yang dimulai di Makkah. Kita harus mengakhiri dengan penekanan bahwa Surah Al-Qadr adalah Makkiyah sejati, sebuah pilar akidah yang membentuk inti dari Islam.

🏠 Homepage