Surat Al-Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Qur'an, memuat berbagai macam kisah, hukum, dan hikmah. Di antara ayat-ayatnya yang kaya makna, terdapat rangkaian ayat 15 hingga 20 yang menyajikan perumpamaan unik dari Allah SWT mengenai sifat dan perlakuan orang-orang munafik. Melalui metafora yang kuat, Allah SWT memberikan gambaran yang jelas agar umat manusia dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan, serta memahami konsekuensi dari kekufuran dan kemunafikan.
Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, yaitu isteri Nuh dan isteri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba Kami yang saleh; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksaan) Allah, dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)."
Ayat kelima belas ini membuka pembahasan dengan perumpamaan yang mencengangkan. Allah SWT menjadikan dua istri para nabi terkemuka, yaitu Nabi Nuh dan Nabi Luth 'alaihima as-salam, sebagai gambaran bagi orang-orang kafir. Meskipun kedua suami mereka adalah hamba Allah yang mulia dan diutus untuk menyampaikan kebenaran, istri-istri mereka justru berkhianat. Pengkhianatan di sini diartikan sebagai tidak beriman kepada suami mereka dan tidak mengikuti ajaran yang dibawa. Perlu ditekankan bahwa ini bukan berarti mereka melakukan perbuatan tercela secara fisik, melainkan penolakan terhadap risalah suaminya. Pentingnya ayat ini adalah untuk menunjukkan bahwa kedekatan nasab atau hubungan dengan orang saleh tidaklah otomatis menyelamatkan seseorang dari azab Allah jika ia tidak memiliki keimanan yang benar. Kesalehan individu tidak dapat ditransfer kepada anggota keluarga yang tidak beriman.
Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, yaitu isteri Fir'aun. Tatkala ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam syurga, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim."
Berbeda dengan ayat sebelumnya, ayat keenam belas menyajikan contoh yang kontras untuk orang-orang beriman. Allah SWT mengangkat istri Fir'aun, Asiah binti Muzahim, sebagai teladan. Meskipun hidup dalam istana kekuasaan yang zalim dan berada di bawah ancaman suaminya sendiri yang mengaku Tuhan, Asiah menunjukkan keimanan yang teguh. Doanya yang tulus kepada Allah untuk mendapatkan rumah di surga, keselamatan dari Fir'aun dan perbuatannya yang keji, serta perlindungan dari kaum zalim, menjadi bukti keimanannya yang mendalam. Ayat ini mengajarkan bahwa lingkungan yang buruk bukanlah penghalang untuk beriman dan berdoa kepada Allah. Keimanan yang tulus justru dapat menguatkan seseorang dalam menghadapi cobaan seberat apapun.
Dan Maryam puteri 'Imran yang menjaga kehormatannya, maka Kami tiupkan kedalam (kandungan)nya dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat.
Ayat ketujuh belas menambahkan seorang figur wanita mulia lainnya, yaitu Maryam binti Imran, ibu dari Nabi Isa 'alaihima as-salam. Maryam dikenal sebagai wanita yang menjaga kesucian dirinya. Keistimewaannya bukan hanya pada nasabnya, tetapi pada ketaatannya yang luar biasa kepada Allah. Kehamilannya yang merupakan keajaiban dengan tiupan ruh dari Allah (tanpa campur tangan ayah) tidak membuatnya goyah. Ia senantiasa membenarkan firman-firman Allah dan kitab-kitab-Nya, serta termasuk dalam golongan orang-orang yang khusyuk dan patuh kepada-Nya. Kisah Maryam menegaskan bahwa keimanan, kesucian, dan ketaatan kepada Allah adalah pondasi utama dalam meraih kemuliaan di sisi-Nya, bahkan dalam keadaan yang paling luar biasa sekalipun.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir sesudah (adanya) keterangan itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
Ayat kedelapan belas menjadi penutup rangkaian perumpamaan ini, sekaligus peringatan keras. Setelah Allah memberikan perumpamaan yang jelas melalui kisah dua istri nabi dan dua wanita mulia, bagi mereka yang tetap memilih kekafiran setelah menerima bukti-bukti kebenaran tersebut, maka merekalah orang-orang yang fasik. Kata "fasik" berarti keluar dari ketaatan kepada Allah, menyimpang dari jalan yang benar. Ini menegaskan bahwa Allah tidak akan pernah menyalahkan hamba-Nya jika mereka belum menerima petunjuk. Namun, ketika petunjuk itu telah jelas dan mereka tetap berpaling, maka konsekuensinya adalah kefasikan dan tergolong sebagai orang-orang yang keluar dari lingkaran keimanan.
Dan Allah mempunyai perumpamaan yang tertinggi; dan Dia adalah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat kesembilan belas menegaskan bahwa Allah SWT memiliki perumpamaan-perumpamaan yang paling luhur dan tinggi nilainya. Makna tersiratnya adalah bahwa Allah senantiasa memberikan contoh-contoh yang paling tepat dan paling jelas untuk dipahami oleh manusia. Dialah Yang Maha Perkasa dalam kekuasaan-Nya dan Maha Bijaksana dalam setiap firman dan ciptaan-Nya.
Atau seperti (halnya) hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menutupkan anak jarinya ke telinga mereka, karena takut akan mati, sedang Allah melingkupi orang-orang yang kafir.
Ayat kedua puluh ini melanjutkan metafora yang sangat visual. Allah menyamakan orang-orang munafik dengan mereka yang berada dalam hujan lebat yang disertai kegelapan, guntur, dan kilat. Dalam situasi seperti ini, mereka menutup telinga karena takut akan mati akibat suara guntur yang menggelegar. Keterangan ini melambangkan kebingungan dan ketakutan yang dialami oleh orang munafik. Al-Qur'an datang membawa kebenaran (hujan), namun karena hati mereka tertutup oleh keraguan dan kemunafikan (kegelapan), mereka tidak dapat menerima cahaya kebenaran. Suara kebenaran (guntur) membuat mereka terkejut dan takut, sehingga mereka berusaha menutup diri (menutup telinga). Namun, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Meliputi orang-orang kafir, artinya tidak ada sedikitpun celah bagi mereka untuk lari dari pengetahuan dan kekuasaan Allah, sekalipun mereka berusaha keras untuk menyembunyikan kekufuran mereka.
Melalui rangkaian ayat 15-20 Surat Al-Baqarah, Allah SWT mengajarkan kita untuk senantiasa menjaga keimanan, memohon perlindungan kepada-Nya dalam segala keadaan, dan memahami bahwa kedekatan dengan orang saleh tidaklah menjamin keselamatan spiritual tanpa adanya keimanan yang tulus dalam diri sendiri. Metafora yang digunakan adalah pelajaran berharga agar kita tidak menjadi seperti mereka yang tertutup dari cahaya kebenaran dan tenggelam dalam kebingungan serta ketakutan diri sendiri.