Pernikahan adalah salah satu institusi fundamental dalam Islam, yang tidak hanya menyatukan dua insan tetapi juga membentuk fondasi keluarga dan masyarakat. Allah SWT dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surat Al-Baqarah, memberikan panduan yang komprehensif mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan. Ayat 236 hingga 240 dari surat ini secara khusus membahas tentang kewajiban dan hak-hak yang timbul dari akad nikah, serta memberikan pedoman etika dan moral dalam hubungan suami istri. Memahami ayat-ayat ini adalah kunci untuk membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ جُبٌ وَعَلَى الْمُقْتِرِ جُبٌ ۚ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Tidak ada dosa atasmu, jika kamu menceraikan isteri-isteri yang belum kamu sentuh dan belum kamu tentukan (mahar) untuk mereka. Akan tetapi, berilah mereka mut'ah, yaitu pemberian secukupnya bagi orang yang mampu menurut kadar kemampuannya dan bagi orang yang tidak mampu menurut kadar kemampuannya; (ini adalah) kewajiban bagi orang-orang yang berbuat baik.
Ayat 236 ini memberikan keringanan hukum terkait perceraian sebelum terjadi hubungan badan atau penetapan mahar. Dalam situasi seperti ini, seorang suami tidak berdosa jika menceraikan istrinya. Namun, Islam tetap mengajarkan etika untuk memberikan 'mut'ah' (pemberian cerai) kepada istri, sebagai bentuk penghargaan dan penyejuk hati, yang kadarnya disesuaikan dengan kemampuan suami. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan dalam perpisahan, Islam tetap menekankan kebaikan dan adab.
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan jika kamu menceraikan mereka sesudah kamu kawini padahal kamu telah menentukan baginya (dina) padanya, maka (hendaklah kamu) berikan separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (isteri-isteri) memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan pernikahan. Dan memaafkan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan karunia (saling memaafkan) di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat 237 melanjutkan pembahasan mengenai perceraian, kali ini jika talak terjadi setelah penetapan mahar namun sebelum hubungan badan. Dalam kondisi ini, istri berhak mendapatkan setengah dari mahar yang telah ditetapkan. Namun, ayat ini juga memberikan fleksibilitas: suami atau istri bisa saling memaafkan, atau pihak yang memegang kendali (biasanya wali atau suami) bisa memaafkan. Sikap memaafkan ditekankan sebagai tindakan yang lebih mendekati takwa dan merupakan bentuk kebaikan yang tidak boleh dilupakan antar sesama.
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salatmu dan salat pertengahan (salat asr). dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Meskipun ayat 238 ini secara umum berbicara tentang pentingnya menjaga salat, terutama salat 'ashar, konteksnya dalam rangkaian ayat-ayat tentang pernikahan dan perceraian bisa diartikan sebagai pengingat bahwa segala urusan, termasuk yang berkaitan dengan rumah tangga dan perceraian, harus dijalankan dengan kesadaran spiritual dan kepatuhan kepada Allah. Ketaatan dalam ibadah akan membawa ketenangan dan kejernihan dalam mengambil keputusan, termasuk dalam urusan yang sensitif seperti perpisahan.
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا ۖ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Apabila kamu telah aman, maka zikirlah kepada Allah, sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.
Ayat 239 ini memberikan contoh bagaimana Islam memberikan keringanan dalam menjalankan ibadah salat ketika dalam kondisi darurat atau bahaya. Keringanan ini menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang praktis dan mengerti kondisi manusia. Dalam konteks pernikahan dan tanggung jawab, ini bisa diartikan bahwa dalam situasi sulit, umat Islam dituntun untuk mencari solusi yang terbaik sambil tetap menjaga kewajiban mereka kepada Sang Pencipta. Ketika kondisi kembali normal, penting untuk kembali berzikir dan bersyukur atas nikmat keamanan yang diberikan.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ۚ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah membuat wasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah sampai lunasnya iddahnya setahun, tanpa mengusirnya. Jika mereka keluar sendiri, maka tidak ada dosa bagimu memakan harta mereka itu, untuk keperluan yang patut dianggarkan. Demikian itu adalah suatu ketentuan dari Allah, yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 240 berbicara tentang hak-hak istri yang ditinggalkan suaminya karena meninggal dunia. Islam mewajibkan suami yang menjelang ajal untuk memberikan wasiat berupa nafkah bagi istrinya selama masa iddah (satu tahun), tanpa boleh mengusir mereka dari rumah. Ini adalah bentuk perlindungan sosial dan ekonomi bagi perempuan yang kehilangan pasangan hidup. Keringanan diberikan jika istri memutuskan untuk keluar sendiri dengan cara yang baik. Ayat ini menegaskan kembali prinsip kebaikan dan keadilan dalam Islam, bahkan setelah kematian, dan menunjukkan bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana dalam menetapkan syariat-Nya.
Rangkaian ayat Al-Baqarah 236-240 memberikan pelajaran berharga mengenai pondasi pernikahan, tanggung jawab, dan etika. Pertama, Islam sangat menghargai ikatan pernikahan, namun juga memberikan solusi yang adil dan manusiawi ketika perpisahan tak terhindarkan. Kedua, kewajiban terhadap pasangan, baik dalam pernikahan maupun setelah perpisahan atau kematian, diatur dengan detail untuk menciptakan keadilan dan mengurangi potensi konflik. Ketiga, aspek spiritualitas, seperti menjaga salat dan berzikir, menjadi landasan penting dalam menjalani seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan rumah tangga. Keempat, prinsip memaafkan dan berbuat baik ditekankan sebagai jalan menuju ketakwaan dan keharmonisan.
Memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat-ayat ini membantu menciptakan keluarga yang kuat, masyarakat yang harmonis, dan individu yang bertakwa. Pernikahan bukan sekadar kontrak, melainkan ibadah yang membutuhkan pemahaman, komitmen, dan kasih sayang, serta kesiapan untuk menghadapi berbagai dinamika kehidupan dengan bijaksana.