Pertanyaan mengenai struktur dasar Surah ini sangat penting untuk memahami dimensinya. Surah Al Fil (سورة الفيل) adalah surah ke-105 dalam susunan Al-Qur'an (Mushaf Utsmani). Ia diklasifikasikan sebagai Surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ.
Surat Al Fil terdiri dari 5 (lima) ayat.
Meskipun jumlah ayatnya relatif pendek, narasi yang terkandung di dalamnya—Kisah Pasukan Bergajah—merupakan salah satu peristiwa sejarah paling monumental dalam kebudayaan Arab, yang menjadi penanda kelahiran Rasulullah ﷺ.
Untuk memahami kedalaman makna dari kelima ayat Surah Al Fil, kita harus menilik kembali pada masa diturunkannya. Surah ini diturunkan di Mekah dan berfungsi sebagai pengingat visual dan spiritual bagi kaum Quraisy tentang kekuasaan mutlak Allah SWT. Peristiwa yang diceritakan dalam Surah ini dikenal sebagai Amul Fil (Tahun Gajah), yang terjadi kira-kira lima puluh sampai lima puluh lima hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Pusat dari Surah Al Fil adalah kisah penyerangan Ka'bah oleh tentara yang dipimpin oleh Abrahah al-Ashram, seorang gubernur Kristen dari Yaman (yang pada saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Aksum dari Etiopia). Abrahah membangun sebuah gereja besar dan indah di Sana’a, Yaman, yang ia sebut *Al-Qulais*, dengan tujuan mulia (menurutnya) untuk mengalihkan rute haji dan perdagangan dari Ka'bah di Mekah ke gerejanya.
Namun, setelah mengetahui bahwa gerejanya tidak dihormati dan bahkan dicemari oleh orang Arab yang masih menghormati Ka'bah, Abrahah marah besar. Kemarahan ini memuncak menjadi dendam yang membara. Ia bersumpah untuk menghancurkan Ka'bah, yang ia anggap sebagai sumber spiritualitas dan kehormatan bangsa Arab. Dendam pribadi ini, yang berbalut ambisi politik dan ekonomi, mendorongnya untuk mengumpulkan pasukan besar yang diperkuat oleh gajah-gajah tempur yang belum pernah dilihat oleh masyarakat Hijaz sebelumnya. Pasukan ini bergerak menuju Mekah dengan maksud tunggal: meratakan Baitullah (Rumah Allah) dengan tanah.
Pada masa itu, Mekah adalah kota yang rapuh secara militer. Dipimpin oleh kakek Nabi, Abdul Muttalib, mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki kekuatan untuk melawan pasukan besar Abrahah yang dilengkapi dengan senjata modern dan kekuatan gajah yang masif. Ketika Abrahah dan pasukannya tiba di lembah Mekah, mereka merampas harta benda dan ternak milik penduduk Mekah, termasuk unta-unta milik Abdul Muttalib.
Dalam pertemuan legendaris antara Abdul Muttalib dan Abrahah, Abdul Muttalib tidak meminta keselamatan Mekah, tetapi hanya menuntut untanya dikembalikan. Ketika Abrahah terkejut dan bertanya mengapa ia tidak meminta perlindungan bagi Ka'bah, Abdul Muttalib menjawab dengan kalimat yang menunjukkan tauhid yang mendalam, meskipun saat itu mereka masih berada di masa jahiliyah: "Aku adalah pemilik unta-unta ini, dan Baitullah memiliki Pemilik yang akan melindunginya." Perkataan ini menggarisbawahi inti dari Surah Al Fil: Ka'bah dilindungi bukan oleh manusia, melainkan oleh kekuatan yang jauh melampaui perhitungan militer duniawi.
Setelah itu, Abdul Muttalib dan penduduk Mekah yang ketakutan mundur ke bukit-bukit di sekitar Mekah, meninggalkan Ka'bah tanpa pertahanan fisik, menyerahkan urusan penjagaan Rumah Suci itu sepenuhnya kepada Allah SWT.
Setiap dari kelima ayat dalam Surah Al Fil membawa beban makna sejarah, teologis, dan retoris yang luar biasa. Surah ini adalah salah satu contoh paling kuat dari gaya bahasa Al-Qur'an yang ringkas namun eksplosif dalam menyampaikan narasi.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ ١
Terjemahan: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah?
Ayat ini dibuka dengan pertanyaan retoris, "Alam tara..." (Apakah kamu tidak memperhatikan/melihat?). Penggunaan 'melihat' (tara) di sini tidak selalu berarti melihat secara fisik, tetapi lebih merujuk pada mengetahui, memahami, atau menyaksikan melalui laporan yang kredibel dan meyakinkan. Ini menunjukkan bahwa peristiwa Tahun Gajah begitu terkenal dan baru terjadi sebentar sebelum masa pewahyuan, sehingga semua orang Quraisy mengetahuinya seolah-olah mereka telah melihatnya sendiri.
Kata "Rabbuka" (Tuhanmu) menghubungkan langsung perlindungan ini kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang pada saat itu masih bayi atau baru saja lahir. Hal ini menekankan bahwa perlindungan terhadap Mekah adalah demi persiapan risalah yang akan diemban oleh Rasulullah. Kemudian, "Ashab al-Fil" (Pasukan Bergajah) merujuk kepada Abrahah dan seluruh tentaranya, yang simbol kekuatan mereka adalah gajah, makhluk yang dianggap tak terkalahkan.
Pertanyaan ini berfungsi sebagai pembuka yang menarik perhatian, menyentuh memori kolektif bangsa Arab, dan menetapkan nada bahwa apa yang akan diceritakan adalah demonstrasi kekuasaan Tuhan yang tak terbantahkan, yang jauh melampaui kekuatan materi duniawi.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ ٢
Terjemahan: Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia?
Ayat ini kembali menggunakan pertanyaan retoris, menegaskan bahwa rencana (kaidahum) Abrahah—yang sangat terstruktur dan dipersiapkan dengan matang—telah dibuat menjadi sia-sia atau tersesat (fi tadlil). Tipu daya mereka, yang bertujuan mengganti pusat ibadah dan menghancurkan simbol keesaan Tuhan, benar-benar gagal total. Allah tidak hanya menggagalkan serangan, tetapi juga membuat seluruh strategi dan perencanaan militer mereka menjadi absurd dan tidak efektif.
Para mufasir menjelaskan bahwa kegagalan ini dimulai dari gajah utama, yang dikenal bernama Mahmud, menolak untuk melangkah maju menuju Ka'bah. Setiap kali gajah diarahkan ke Mekah, ia berlutut dan menolak bergerak. Namun, jika diarahkan ke arah lain, ia akan bergerak dengan cepat. Ini adalah manifestasi awal dari kegagalan strategi yang tak terduga, menunjukkan bahwa bahkan hewan pun tunduk pada kehendak Ilahi.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ ٣
Terjemahan: Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (Ababil).
Di sinilah keajaiban sesungguhnya Surah Al Fil dimulai. Setelah tipu daya mereka digagalkan, hukuman Ilahi datang melalui instrumen yang paling lemah: burung. Kata kunci di sini adalah "Tayran Ababil".
Makna 'Tayran Ababil': Kata *Ababil* bukanlah nama spesies burung, melainkan sebuah kata sifat yang berarti 'berkelompok-kelompok', 'berbondong-bondong', atau 'berbaris-baris secara terpisah'. Ini mengesankan sebuah pemandangan mengerikan di mana langit dipenuhi oleh ribuan burung yang datang dari segala penjuru, dalam formasi yang tiada habisnya, menyerang pasukan tersebut.
Pengiriman 'Ababil' menegaskan bahwa Allah menggunakan makhluk yang paling sederhana dan kecil untuk mengalahkan kekuatan militer yang paling canggih saat itu. Ini adalah pelajaran abadi bahwa keagungan dan perlindungan tidak bergantung pada ukuran atau kekuatan fisik, melainkan pada kehendak Sang Pencipta.
تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ ٤
Terjemahan: Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar.
Ayat ini menjelaskan aksi dari burung-burung Ababil. Mereka melempari pasukan Abrahah (termasuk gajah-gajah) dengan batu (hijarah). Batu-batu ini memiliki deskripsi khusus: "min Sijjil".
Makna 'Sijjil': Tafsir klasik (seperti yang dijelaskan oleh Mujahid dan Qatadah) sering mengartikan Sijjil sebagai batu keras dari tanah liat yang terbakar (batu yang sudah dipanaskan atau dibakar, mirip gerabah yang sangat keras). Ukuran batu ini sangat kecil, konon tidak lebih besar dari kacang atau kerikil, namun daya hancurnya luar biasa. Ketika batu tersebut mengenai prajurit, ia menembus perisai, helm, bahkan menembus badan hingga keluar dari sisi lain, menyebabkan penyakit mengerikan, luka bakar, dan kematian instan.
Kekuatan destruktif batu Sijjil yang kecil ini menunjukkan bahwa ia bukan senjata alamiah, melainkan manifestasi langsung dari azab Ilahi. Senjata biologis atau termal ini melumpuhkan seluruh pasukan, mengubah tubuh mereka menjadi lumer dan busuk dalam hitungan jam, memastikan tidak ada satupun yang selamat, termasuk Abrahah sendiri yang dilaporkan kembali ke Yaman dengan tubuh yang membusuk perlahan hingga akhirnya meninggal.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ ٥
Terjemahan: Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat atau ulat).
Ayat penutup ini menyajikan metafora yang kuat untuk menggambarkan hasil akhir dari pasukan besar dan sombong tersebut. Allah menjadikan mereka "ka'asfin ma'kul".
Makna 'Asfin Ma'kul': *Asfin* berarti daun-daun atau jerami kering sisa panen (biasanya biji-bijian seperti gandum atau padi). *Ma'kul* berarti yang dimakan atau dikunyah. Metafora ini merujuk pada kondisi jerami yang telah dikunyah oleh hewan ternak, yang hasilnya adalah kotoran, atau jerami yang telah dimakan ulat, meninggalkan sisa serat yang lumat dan hancur. Ini melambangkan kehancuran total, kehinaan, dan luluhnya kekuatan besar menjadi sesuatu yang menjijikkan dan tidak berarti.
Kehancuran mereka begitu mutlak sehingga tidak ada sisa-sisa kemuliaan militer; mereka benar-benar dilumat habis, memastikan bahwa tidak ada siapapun yang akan berani mencoba menyerang Ka'bah lagi untuk jangka waktu yang sangat lama. Lima ayat ini menyimpulkan narasi sejarah yang panjang, menegaskan kedaulatan Allah atas seluruh makhluk, baik yang besar (gajah) maupun yang kecil (burung).
Kisah ini memiliki arti penting yang melampaui sekadar cerita hukuman. Peristiwa Tahun Gajah menandai titik balik penting dalam sejarah Arab dan Islam, terutama karena waktu kejadiannya yang berdekatan dengan kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
Tahun Gajah (Amul Fil) menjadi begitu signifikan sehingga orang Arab Mekah menggunakannya sebagai titik referensi kalender. Peristiwa ini terjadi hanya beberapa minggu sebelum Rasulullah ﷺ dilahirkan, menjadikan masa itu sebagai periode di mana perlindungan Ilahi secara eksplisit disaksikan oleh seluruh Jazirah Arab. Keajaiban ini membersihkan Mekah dari ancaman besar tepat pada waktunya untuk menyambut cahaya kenabian.
Setelah kehancuran pasukan Abrahah, status Ka'bah, dan secara otomatis status suku Quraisy sebagai penjaganya, meningkat drastis. Mereka tidak perlu berperang; Allah telah melindungi mereka. Suku-suku Arab lainnya mengakui bahwa Quraisy dan Rumah Suci mereka berada di bawah perlindungan entitas yang sangat kuat. Ini memberikan kaum Quraisy keunggulan moral dan politik yang tak tertandingi, yang kelak akan memfasilitasi peran mereka sebagai suku yang pertama menerima dan menyebarkan Islam.
Dalam susunan Al-Qur'an, Surah Al Fil (105) hampir selalu dibaca berdampingan dengan Surah Quraisy (106). Kedua surah ini membentuk pasangan tematik yang erat:
Jika Surah Al Fil adalah demonstrasi kekuasaan Tuhan yang menakutkan, Surah Quraisy adalah ajakan untuk bersyukur atas kekuasaan tersebut. Kedua surah ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa Allah berdaulat atas kehidupan, keamanan, dan rezeki.
Meskipun Surah Al Fil adalah deskripsi sejarah, nilai-nilai spiritual dan moralnya bersifat universal dan relevan sepanjang masa. Ada beberapa pelajaran mendasar yang diajarkan oleh kelima ayat pendek ini.
Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah bahwa kekuatan dan keangkuhan manusia, bahkan ketika dilengkapi dengan teknologi militer termodern (simbol gajah), tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak Ilahi. Abrahah adalah lambang tirani yang yakin bahwa ia dapat mengubah takdir dengan kekuatan fisik. Kehancurannya membuktikan bahwa rencana Allah (kaidahum) jauh lebih unggul dan tidak dapat dibendung oleh manusia.
Surah ini menegaskan janji Allah untuk melindungi pusat-pusat ibadah yang didirikan atas dasar tauhid, khususnya Ka'bah, yang merupakan rumah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah. Peristiwa ini berfungsi sebagai demonstrasi keagungan Allah sebagai Rabb al-Bait (Pemilik Rumah) yang akan membela dan melindunginya dari segala bentuk penistaan dan agresi, menunjukkan bahwa tempat suci memiliki Pemilik yang tidak tidur dan tidak pernah lalai.
Allah memilih instrumen yang paling lemah, yaitu burung dan batu kecil, untuk melaksanakan hukuman. Ini mengajarkan umat manusia agar tidak meremehkan apa pun yang kecil dan sederhana, karena di tangan Tuhan, instrumen paling remeh pun dapat menjadi penyebab kehancuran total bagi musuh-musuh-Nya. Ini juga mendorong orang beriman untuk senantiasa bertawakal (berserah diri), karena kemenangan tidak bergantung pada sumber daya yang terlihat, melainkan pada bantuan yang tidak terlihat.
Metafora "ka'asfin ma'kul" (seperti daun yang dimakan ulat) adalah pelajaran tentang kehinaan. Musuh-musuh Allah tidak hanya dikalahkan, tetapi juga dihancurkan secara total hingga tidak meninggalkan jejak kehormatan. Bagi mereka yang berani menyerang kesucian dan kebenaran, hasil akhirnya adalah kehancuran yang memalukan dan membusuk, sebuah peringatan keras bagi setiap tiran di setiap zaman.
Peristiwa ini, yang terjadi tepat sebelum masa kenabian, memberikan landasan spiritual bagi penerimaan Islam. Ketika Nabi Muhammad ﷺ memulai dakwahnya, orang-orang Mekah tidak dapat menyangkal bahwa ia berasal dari kaum yang telah dilindungi secara supernatural oleh Tuhan yang Maha Kuasa, memperkuat klaimnya sebagai utusan dari Tuhan yang sama yang menghancurkan pasukan gajah.
Karya sastra Al-Qur'an dalam Surah Al Fil sangat menonjol. Meskipun hanya terdiri dari lima ayat, ia menggabungkan elemen narasi sejarah, pertanyaan retoris yang kuat, dan metafora yang visual, menjadikannya salah satu surah yang paling mengesankan dari segi balaghah (retorika keindahan bahasa).
Dua ayat pertama dibuka dengan "Alam tara..." dan "Alam yaj'al...". Penggunaan pertanyaan negatif (Apakah kamu tidak...) bukanlah untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegaskan fakta yang tak terbantahkan. Ini memanggil pendengar untuk secara otomatis mengakui kebenaran peristiwa yang disinggung. Teknik ini sangat efektif untuk membangun konsensus spiritual dan sejarah di kalangan audiens pertama (Quraisy).
Surah ini menyajikan kontras yang dramatis: Gajah (kekuatan, kebesaran, alat perang) versus Burung (kelemahan, kecil, instrumen alami). Kontras ini memperkuat narasi mukjizat: semakin besar jurang antara penyerang dan instrumen hukuman, semakin jelas terlihat tangan Tuhan yang bekerja.
Frasa "ka'asfin ma'kul" adalah puncak retorika surah ini. Ia tidak sekadar mengatakan "mereka dihancurkan", tetapi memberikan gambaran yang menjijikkan dan konkret tentang bagaimana kekuatan besar itu direduksi menjadi sampah. Jerami sisa kunyahan adalah metafora kehinaan yang mudah dipahami oleh masyarakat agraris dan pastoral di Mekah, memberikan dampak psikologis yang mendalam.
Penggunaan huruf Arab yang lembut dan berirama juga menjadikan Surah ini mudah diingat dan diulang, memastikan kisah ini tertanam kuat dalam tradisi lisan Arab sebelum menjadi bagian dari tulisan suci yang baku. Setiap kata dalam surah ini memiliki bobot yang presisi, mendeskripsikan peristiwa masif dalam bahasa yang paling padat dan efisien.
Mengenai batu Sijjil, penafsiran kontemporer dan klasik seringkali diperdebatkan, namun kesimpulan teologisnya tetap sama: batu itu berasal dari sumber yang melampaui bumi dan memiliki sifat penghancur yang tidak biasa. Sebagian ulama modern berpendapat bahwa Sijjil mungkin merujuk pada jenis material vulkanik tertentu atau bahkan fenomena geologis yang digunakan oleh Allah untuk menghancurkan pasukan, namun mayoritas tafsir klasik bersikeras bahwa ini adalah mukjizat, benda yang diturunkan khusus dari langit yang memiliki daya tembus bak peluru, memastikan bahwa tidak ada interpretasi rasional yang dapat meniadakan sifat supranatural dari peristiwa tersebut.
Apapun bentuk materialnya, inti dari pesan Sijjil adalah bahwa Allah memiliki gudang hukuman yang tak terbatas dan tidak terduga. Manusia mungkin berpikir mereka aman karena tidak ada ancaman manusia, tetapi ancaman dapat datang dari sumber yang paling tidak terduga (yaitu, sekumpulan burung). Batu Sijjil melambangkan keadilan Ilahi yang menghantam kesombongan dengan ketepatan yang tak terhindarkan.
Pembahasan mengenai Tayran Ababil juga harus diperluas. Sebagian ulama, seperti Imam Al-Razi, menekankan bahwa kata *Ababil* menunjukkan jumlah yang begitu besar sehingga tidak mungkin dihitung atau dilawan. Ini bukan hanya sekelompok kecil burung, tetapi lautan burung yang memenuhi cakrawala, menutupi sinar matahari, dan menciptakan rasa teror massal. Kehadiran mereka mematahkan moral pasukan Abrahah bahkan sebelum batu-batu itu mengenai mereka. Burung-burung itu datang membawa batu yang masing-masing seukuran kerikil kecil, satu batu di paruh dan dua batu di cakar. Tiga kerikil per burung, dikalikan dengan jutaan burung, menghasilkan hujan proyektil maut yang tak terhindarkan. Kehancuran yang diakibatkan oleh alat yang begitu rapuh adalah tanda kemuliaan dan kekuasaan mutlak Allah SWT.
Keajaiban ini juga melibatkan waktu dan lokasi yang spesifik. Serangan itu terjadi pada saat pasukan telah mencapai daerah lembah yang dekat dengan Mekah, posisi di mana mereka tidak bisa melarikan diri atau mencari perlindungan dengan mudah. Bahkan gajah-gajah yang awalnya menolak maju, kini tidak bisa berbalik arah atau mundur, terjebak dalam kengerian yang diturunkan dari langit.
Jika kita meninjau kembali kelima ayat tersebut, kita melihat rangkaian narasi yang sangat terstruktur, layaknya drama lima babak:
Struktur ini memastikan bahwa setiap ayat membangun ketegangan dan kengerian hingga mencapai klimaksnya di ayat terakhir, memberikan dampak yang mendalam bagi pembacanya, dan menguatkan mengapa Surah Al Fil, meskipun pendek, dianggap sebagai salah satu surah yang paling kuat dalam Al-Qur'an.
Meskipun kejadian ini terjadi berabad-abad lalu, pelajaran dari Surat Al Fil tetap relevan bagi kehidupan umat Islam modern, terutama dalam menghadapi tantangan politik, sosial, dan spiritual global.
Di dunia modern, "Pasukan Gajah" dapat diibaratkan sebagai kekuatan superioritas teknologi, militer, atau ekonomi yang digunakan untuk menindas kebenaran dan keadilan. Surah Al Fil berfungsi sebagai pengingat bahwa meskipun menghadapi hegemoni yang tampak tak terkalahkan, keangkuhan pada akhirnya akan berhadapan dengan perhitungan Ilahi. Orang beriman diajarkan untuk tidak pernah kehilangan harapan atau merasa kecil di hadapan kekuatan duniawi, karena setiap kekuatan memiliki batas waktu dan kelemahan yang pada akhirnya akan diekspos oleh Allah SWT.
Ketika Abdul Muttalib meninggalkan Ka'bah, ia melakukan tindakan tawakal (berserah diri total). Ini mengajarkan bahwa ada kalanya upaya manusia harus berhenti dan keyakinan kepada Allah harus mengambil alih. Dalam konteks modern, ketika umat Islam menghadapi ancaman yang melampaui kemampuan mereka untuk melawan, Surah Al Fil mengajarkan pentingnya melakukan upaya terbaik (ikhtiar) tetapi kemudian menyerahkan hasilnya kepada Tuhan, yakin bahwa Pemilik Kebaikan tidak akan pernah membiarkannya dirusak tanpa pertanggungjawaban.
Kisah Abrahah juga memberikan pelajaran tentang kesabaran. Hukuman Ilahi mungkin tidak datang seketika, tetapi ia pasti akan datang pada waktu yang tepat (sunnatullah). Surah ini menjamin bahwa setiap rencana jahat yang ditujukan untuk merusak kebenaran akan dikembalikan kepada pelakunya, bahkan jika proses itu membutuhkan waktu dan instrumen yang tidak terduga.
Bagi setiap muslim, Surah Al Fil adalah sumber kekuatan spiritual. Ketika menghadapi krisis pribadi atau kolektif, membaca dan merenungkan Surah ini dapat memulihkan keyakinan bahwa Allah, yang mampu menghancurkan pasukan gajah dengan burung kecil, mampu mengatasi masalah apapun yang dihadapi hamba-Nya. Ini adalah jaminan keamanan dan perlindungan bagi hati yang benar-benar bertawakal.
Sebagai bagian dari Al-Qur'an, setiap surah memiliki keutamaan (fadhilah) tersendiri. Surah Al Fil khususnya sering disebutkan dalam konteks perlindungan dan kekalahan musuh.
Kesimpulannya, meskipun Surat Al Fil terdiri dari hanya 5 ayat yang ringkas, kandungan sejarah, teologis, dan spiritualnya menjadikan surah ini salah satu pilar pengajaran Al-Qur'an tentang tauhid, keadilan Ilahi, dan keajaiban perlindungan-Nya terhadap mereka yang lemah dan jujur.
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan gajah (al-Fil) sebagai fokus utama narasi sangat signifikan dalam konteks Arab saat itu. Gajah adalah simbol kekayaan militer dan keunggulan teknologi yang hanya dimiliki oleh kekaisaran besar seperti Persia, Romawi, atau Aksum. Di mata orang Arab badui yang hanya mengenal unta, gajah adalah makhluk mitologis dan menakutkan, simbol kekuatan tak terkalahkan. Kehancuran pasukan yang didukung gajah ini menghancurkan mitos tak terkalahkan ini, dan menekankan bahwa kebesaran fisik hanyalah ilusi jika tidak disertai dengan izin Ilahi. Narasi Al Fil secara efektif mendekonstruksi simbol kesombongan manusia dengan cara yang paling dramatis.
Lima ayat yang membentuk Surah Al Fil adalah pilar yang menopang pemahaman akan intervensi Ilahi dalam sejarah manusia. Mereka adalah bukti bahwa janji perlindungan Tuhan bersifat nyata, historis, dan abadi. Pemahaman mendalam terhadap kelima ayat ini memastikan bahwa hikmah dari peristiwa Tahun Gajah akan terus relevan dan memotivasi umat beriman di setiap generasi, hingga akhir zaman.