Surat Al-Ikhlas Ayat 4: Pilar Kemahaesaan Mutlak

Mukadimah Tauhid: Kedudukan Surat Al-Ikhlas

Surat Al-Ikhlas, yang terdiri dari empat ayat pendek namun padat makna, merupakan salah satu surat fundamental dalam Islam. Ia dijuluki sebagai sepertiga Al-Qur'an, bukan karena bobot jumlah katanya, melainkan karena ia menyarikan inti ajaran wahyu Ilahi: konsep Tauhid murni. Surat ini secara tegas mendefinisikan siapa Allah, apa sifat-Nya, dan apa yang bukan Dia. Ia membersihkan akidah dari segala bentuk syirik, perumpamaan, dan keraguan.

Ayat pertama menetapkan fondasi: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa). Ayat kedua menjelaskan kemandirian-Nya: اللَّهُ الصَّمَدُ (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu). Ayat ketiga menolak asal-usul dan keturunan: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan).

Namun, puncak penegasan dan penolakan segala bentuk keserupaan datang pada ayat keempat, yang menjadi fokus utama kajian ini. Ayat ini menyempurnakan pemahaman tentang keunikan Ilahi, meniadakan segala kemungkinan adanya entitas yang memiliki kesetaraan atau tandingan dengan Pencipta Alam Semesta. Ayat tersebut berbunyi:

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

(Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.)

Kajian mendalam terhadap frasa yang agung ini membawa kita pada pemahaman hakikat Tauhid yang paling murni, yang melampaui sekadar pengakuan akan keesaan, melainkan juga pengakuan akan transendensi dan keunikan-Nya yang absolut (Tanzih). Ayat ini adalah benteng terakhir melawan antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan makhluk) dan politeisme (kemusyrikan).

Analisis Linguistik dan Sintaksis Ayat 4

Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah setiap kata dan struktur gramatikalnya dalam bahasa Arab yang kaya. Struktur وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ adalah penegasan negatif yang sangat kuat, menggunakan partikel penafian yang mutlak.

1. Walam Yakun (Dan tidak pernah/tidak ada)

Partikel وَلَمْ (Walam) adalah partikel negasi (penafian) yang mengindikasikan masa lampau, tetapi dalam konteks ini, ia memberikan makna penolakan yang abadi dan meluas. Ia menafikan keberadaan kesetaraan Allah di masa lalu, masa kini, dan masa depan (keabadian). Penggunaan يَكُن (yakun), bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja present/future) yang didahului oleh *lam* (partikel negasi), menegaskan bahwa ketiadaan tandingan ini bukanlah kondisi sementara, melainkan sifat hakiki yang kekal dan abadi, sesuai dengan keazalian Allah.

2. Lahu (Bagi-Nya)

Frasa لَّهُ (Lahu) adalah penekanan kepemilikan atau keterkaitan. Dalam konteks ini, ia berfungsi sebagai khabar muqaddam (predikat yang didahulukan). Dalam aturan tata bahasa Arab, mendahulukan predikat di atas subjek (yang akan kita bahas selanjutnya, yaitu *ahad*) bertujuan untuk memberikan penekanan dan pembatasan (hasr). Penekanannya adalah: bagi Allah, dan hanya bagi Allah, ketiadaan tandingan itu berlaku.

3. Kufuwan (Kesetaraan, Tandingan)

Kata kunci dalam ayat ini adalah كُفُوًا (Kufuwan). Akar kata (k-f-w) mengandung makna kemiripan, kesetaraan, sebanding, atau sama derajat. Dalam konteks sosial, kufu digunakan untuk kesetaraan status dalam pernikahan. Namun, dalam konteks teologis, maknanya diperluas secara mutlak: tidak ada entitas yang sebanding, setara, atau semisal dengan Allah dalam zat-Nya (Dhat), sifat-Nya (Sifat), atau perbuatan-Nya (Af’al).

Para ulama tafsir menekankan bahwa penolakan *kufuwan* ini mencakup empat aspek utama:

4. Ahad (Seorang pun)

Kata أَحَدٌ (Ahad), yang dalam ayat ini berfungsi sebagai Ism Yakun (subjek dari yakun) yang diakhirkan, adalah bentuk negasi universal. Ketika *ahad* digunakan dalam konteks negasi, ia berarti "satu pun," "siapa pun," atau "sesuatu pun." Ini menutup semua celah. Bukan hanya tidak ada tandingan yang kuat, tetapi tidak ada entitas apa pun, sekecil apa pun, yang dapat disamakan dengan-Nya.

Struktur penempatan أَحَدٌ di akhir kalimat setelah كُفُوًا (predikat) memperkuat penolakan tersebut, menjadikannya penolakan total dan menyeluruh terhadap segala bentuk keserupaan di alam semesta.

Ilustrasi Konsep Tanzih Sebuah ilustrasi geometris yang melambangkan konsep tauhid dan transendensi, menunjukkan satu pusat yang tak tertandingi. AHAD Tidak Ada Tandingan (Kufuwan)

Visualisasi sentralitas dan keunikan Allah (Ahad) yang tidak memiliki titik perbandingan.

Tafsir Akidah: Penegasan Tanzih dan Penolakan Tajsim

Ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ adalah landasan teologis (akidah) untuk konsep Tanzih, yaitu pemurnian Allah dari segala atribut, batasan, atau kekurangan yang melekat pada makhluk. Ini adalah penolakan mutlak terhadap Tajsim (antropomorfisme) atau penyerupaan Allah dengan manusia.

Keutamaan Mutlak dan Kemustahilan Perbandingan

Jika kita menerima bahwa Allah adalah Pencipta (Al-Khaliq) dan segala sesuatu selain Dia adalah ciptaan (makhluk), maka secara logis, tidak mungkin ada kesetaraan. Kesetaraan hanya mungkin terjadi di antara makhluk yang berbagi jenis dan keterbatasan. Ketika Allah dikatakan tidak memiliki *kufu*, ini berarti eksistensi-Nya berada di luar dimensi makhluk, di luar ruang, waktu, dan batasan kausalitas.

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menolak ide-ide yang muncul dari berbagai aliran sesat yang mencoba membatasi atau mengukur Tuhan, seperti keyakinan bahwa Allah memiliki anggota badan atau bahwa Dia menempati ruang. Karena jika Dia memiliki tubuh, Dia pasti memiliki kesetaraan dalam bentuk fisik, padahal ayat ini menafikannya secara mutlak.

Konsep *Kufuwan Ahad* memaksa akal manusia untuk menerima batasan kognitifnya dalam memahami Zat Ilahi. Manusia dapat memahami sifat-sifat Allah melalui manifestasi-Nya (seperti kekuasaan atau rahmat), tetapi tidak akan pernah mampu memahami *bagaimana* Zat itu sendiri, karena pemahaman kita terikat pada dimensi perbandingan dan kesamaan, yang justru ditolak oleh ayat ini.

Penolakan Terhadap Duality dan Trinitas

Secara historis, Surat Al-Ikhlas diturunkan sebagai jawaban tegas terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh kaum musyrikin Mekah dan beberapa penganut agama lain mengenai asal-usul, substansi, dan hakikat Tuhan. Ayat 4 secara khusus menjadi penutup yang menolak segala bentuk tandingan yang diyakini dalam politeisme:

Tanzih dalam Perspektif Asy'ariyah dan Maturidiyah

Dalam teologi Islam (Ilmu Kalam), khususnya mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah, ayat ini adalah dalil utama untuk menetapkan sifat *Mukhalafatuhu lil-Hawadith* (Berbeda dengan makhluk yang baru). Mereka menjelaskan bahwa perbedaan ini harus dipahami secara kualitatif, bukan kuantitatif.

Jika kita mengatakan Allah memiliki sifat Kekuasaan (Al-Qudrah), dan manusia juga memiliki kekuasaan (kemampuan), kedua kekuasaan ini tidak setara (*kufu*). Kekuasaan Allah adalah azali, absolut, tak terbatas, dan menciptakan; sedangkan kekuasaan manusia adalah terbatas, relatif, diamanahkan, dan bergantung. Ayat 4 memastikan bahwa tidak ada perbandingan yang valid antara Sifat Ilahi dengan sifat makhluk.

Implikasi Filosofis dan Kosmologis dari Ketiadaan Tandingan

Pengakuan terhadap ketiadaan tandingan Allah (وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) tidak hanya berdampak pada keyakinan teologis internal, tetapi juga membentuk pandangan Muslim terhadap alam semesta, keteraturan, dan takdir.

Keteraturan Alam Semesta

Dalam kosmologi Islam, ketiadaan *kufuwan* (tandingan) menjelaskan mengapa alam semesta berfungsi dalam keteraturan yang tunggal dan harmonis. Jika ada dua atau lebih Tuhan yang setara, maka akan terjadi konflik kehendak (seperti yang sering digambarkan dalam mitologi politeistik). Satu Tuhan ingin siang, yang lain ingin malam; satu ingin hujan, yang lain ingin kemarau. Konflik ini akan menghasilkan kekacauan total.

Ayat ini selaras dengan ayat lain, seperti Surah Al-Anbiya' ayat 22: لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا (Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa). Oleh karena alam semesta menunjukkan keteraturan dan kesatuan hukum fisika, maka pasti Penguasanya adalah Satu dan Mutlak, tanpa tandingan yang dapat menentang atau membatalkan kehendak-Nya.

Ketidakbergantungan Mutlak (Al-Ghani)

Ayat 4 memperkuat konsep Ayat 2 (اللَّهُ الصَّمَدُ - Allah tempat bergantung). Karena Allah tidak memiliki *kufuwan*, Dia tidak memerlukan bantuan, dukungan, atau pelengkap dari entitas lain. Keberadaan-Nya adalah esensial, sedangkan keberadaan makhluk adalah aksidental.

Makhluk selalu membutuhkan sesuatu yang setara atau lebih rendah darinya untuk bertahan hidup, berinteraksi, atau bereproduksi. Namun, karena Allah tidak memiliki *kufuwan*, Dia bersifat *Al-Ghani* (Maha Kaya dan Tidak Membutuhkan). Segala sesuatu bergantung pada-Nya, dan Dia tidak bergantung pada apa pun. Pemahaman ini melarang seorang Muslim untuk mencari pertolongan sejati dari selain Allah, karena segala sesuatu selain Dia adalah terbatas dan fana.

Implikasi pada Doa dan Ibadah

Ibadah (penyembahan) adalah tindakan menghormati dan tunduk. Jika ada dua entitas yang setara, maka ketaatan kita akan terbagi. Namun, karena tidak ada yang setara dengan Allah, ibadah harus diarahkan hanya kepada-Nya. Ayat ini adalah inti dari ajaran ‘Ikhlas’ (memurnikan ibadah). Memurnikan ibadah berarti mengakui bahwa hanya Dia yang layak disembah karena hanya Dia yang tidak memiliki tandingan dalam kesempurnaan dan kekuasaan.

Kaligrafi Arab Walam yakul lahu kufuwan ahad Kaligrafi gaya Kufi yang elegan dari ayat suci Surat Al-Ikhlas ayat 4: Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Kaligrafi Surat Al-Ikhlas Ayat 4, penegasan ketiadaan kesetaraan.

Kedalaman Tafsir Klasik Mengenai Kufuwan Ahad

Para mufassir klasik menghabiskan banyak halaman untuk menjelaskan implikasi dari penolakan kesetaraan ini. Mereka sering mengaitkan ayat ini dengan sifat-sifat Allah yang telah dibahas di tempat lain dalam Al-Qur'an, menunjukkan bahwa keunikan (Ahad) dan ketiadaan tandingan (Kufuwan Ahad) adalah konsep yang saling menguatkan.

Tafsir Imam At-Tabari

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Tabari menafsirkan كُفُوًا sebagai "mithlan" (contoh atau perumpamaan) dan "nadhiran" (tandingan atau yang setara). Menurut At-Tabari, ayat ini adalah penolakan terhadap pemikiran bahwa ada makhluk yang memiliki sifat ketuhanan, bahkan dalam skala yang lebih kecil. Penolakan ini sangat penting karena mencabut akar segala alasan yang digunakan oleh penyembah berhala, yang seringkali mengklaim bahwa berhala mereka adalah 'perwakilan' atau 'mediator' yang setara dengan bagian dari kekuasaan Ilahi.

At-Tabari juga menekankan pada penggunaan *lam* pada *Walam yakun*, menunjukkan bahwa penolakan ini berlaku sejak keabadian dan akan berlanjut tanpa akhir. Allah senantiasa dan selamanya tidak memiliki padanan. Ini adalah sifat esensial, bukan sifat yang didapatkan.

Tafsir Imam Ar-Razi (Mafatih al-Ghayb)

Fakhruddin Ar-Razi, seorang teolog dan filosof, memberikan analisis paling rinci. Ia membahas posisi *Kufuwan* dari perspektif filosofis. Ar-Razi berpendapat bahwa jika ada dua entitas yang setara, maka mereka pasti memiliki titik persamaan dan titik perbedaan. Jika mereka setara dalam semua aspek, maka mereka tidak akan menjadi dua entitas, melainkan satu. Namun, jika mereka berbeda, maka entitas yang memiliki keunggulan akan lebih superior, sehingga tidak lagi setara.

Dalam kasus Allah, keesaan-Nya adalah keesaan mutlak (Ahad). Jika ada *kufuwan* (setara), maka entitas tersebut harus memiliki semua kesempurnaan yang dimiliki Allah tanpa batas. Jika ini terjadi, maka kita memiliki dua *Wajibul Wujud* (Yang Wajib Ada). Ar-Razi menyimpulkan, berdasarkan argumen filosofis (Dalil at-Tamānu'), bahwa mustahil ada dua *Wajibul Wujud*, karena keberadaan dua entitas yang sempurna dan setara akan menghasilkan ketidakmungkinan logis dan kekacauan. Oleh karena itu, ketiadaan *kufuwan ahad* adalah kepastian filosofis dan teologis.

Tafsir Ibn Kathir

Ibn Kathir, dalam tafsirnya, menghubungkan ayat ini secara langsung dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Ia mencatat hadis yang menegaskan keutamaan Surat Al-Ikhlas, menunjukkan bahwa siapapun yang memahami dan meyakini isi surat ini, khususnya penolakan kesetaraan, telah meraih pemahaman Tauhid yang sempurna.

Ibn Kathir sering kali menyajikan penafsiran yang paling dekat dengan makna harfiah dan riwayat (hadis), menegaskan bahwa maknanya sudah jelas: Allah tidak memiliki mitra, tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada yang sebanding dengan-Nya dalam kekuasaan atau keindahan.

Kontinuitas Penegasan Tauhid Dalam Al-Qur'an

Ayat 4 Surat Al-Ikhlas bukanlah pernyataan yang berdiri sendiri. Ia merupakan sintesis dan penegasan kembali dari banyak ayat lain dalam Al-Qur'an yang membahas keunikan Allah, yang menunjukkan bahwa ketiadaan tandingan adalah tema sentral wahyu.

Keterkaitan dengan Ayat Kursi

Ayat Kursi (Al-Baqarah 255) menegaskan sifat-sifat Allah yang hidup, mandiri, dan tidak pernah mengantuk. Ayat-ayat di dalamnya seperti مَن ذَا ٱلَّذِى يَشْفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذْنِهِۦ (Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?) menunjukkan ketiadaan tandingan dalam otoritas. Karena tidak ada yang setara dengan-Nya, maka tidak ada yang dapat bertindak atau mengintervensi tanpa izin mutlak dari-Nya. Ini adalah bukti kekuasaan tanpa lawan.

Surah Asy-Syura Ayat 11

Ayat yang paling sering disandingkan dengan وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ adalah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia) dalam Surah Asy-Syura ayat 11. Walaupun memiliki makna yang sangat mirip—sama-sama menolak keserupaan—Surat Al-Ikhlas menggunakan kata *Kufuwan*, yang secara spesifik menargetkan kesetaraan derajat atau tandingan yang memiliki potensi kekuasaan yang sama.

Para ulama menyatakan bahwa ayat-ayat ini saling melengkapi: Asy-Syura 11 menolak kemiripan (simile), sementara Al-Ikhlas 4 menolak kesetaraan (kufu'). Dengan menafikan kemiripan dan kesetaraan, konsep Tanzih menjadi sempurna dan tak tergoyahkan.

Penolakan Terhadap Tandingan di Hari Kiamat

Konsep ketiadaan *kufuwan* juga relevan dalam konteks Hari Kiamat. Pada hari itu, segala klaim kekuatan atau otoritas dari tuhan-tuhan palsu akan runtuh. Allah akan bertanya, لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ (Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?), dan jawaban yang diberikan-Nya sendiri adalah لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ (Kepunyaan Allah Yang Maha Esa, Maha Perkasa). Kekuasaan-Nya di hari itu tidak memiliki tandingan, sebagaimana kekuasaan-Nya di dunia ini. Ketiadaan *kufuwan* adalah manifestasi dari sifat *Al-Qahhar* (Maha Perkasa, Penunduk).

Melawan Syirik Kontemporer Berdasarkan Ayat 4

Meskipun Surat Al-Ikhlas awalnya diturunkan untuk menanggapi politeisme Arab kuno, maknanya tetap relevan untuk menghadapi bentuk-bentuk syirik dan penyimpangan akidah di era modern. Setiap penyimpangan yang memberikan porsi kedaulatan, kekuasaan, atau otoritas mutlak kepada selain Allah bertentangan dengan ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ.

Syirik dalam Otoritas Hukum (Syirkut Tashri')

Jika ada entitas manusia atau institusi yang mengklaim otoritas untuk menetapkan hukum yang mutlak, menandingi atau bahkan membatalkan hukum Ilahi tanpa keterikatan pada wahyu, hal ini secara esensi menempatkan entitas tersebut sebagai *kufuwan* (tandingan) bagi Allah dalam aspek *Rububiyah* (ketuhanan) yang berkaitan dengan hukum dan kedaulatan. Ayat 4 menafikan adanya legislatif tertinggi selain Sang Pencipta.

Syirik dalam Ketergantungan (Syirkul Asbab)

Seringkali, manusia modern cenderung mengagungkan faktor-faktor materialistik atau sebab-akibat hingga melupakan sang Penggerak di baliknya. Misalnya, menyakini bahwa uang, jabatan, atau teknologi memiliki kekuatan otonom untuk memberi manfaat atau mudarat tanpa keterlibatan kehendak Allah. Kepercayaan berlebihan pada 'sebab' hingga menempatkannya setara dengan 'Musabbibul Asbab' (Pencipta Sebab) melanggar prinsip ketiadaan *kufuwan*. Segala sesuatu adalah sarana yang terbatas; hanya Allah yang memiliki kekuatan tak terbatas.

Syirik dalam Pengkultusan Individu

Pengkultusan berlebihan terhadap tokoh agama, pemimpin, atau pahlawan hingga mencapai derajat yang hampir menyerupai penghormatan yang hanya layak diberikan kepada Tuhan adalah pelanggaran terhadap ayat ini. Ketika seseorang diklaim memiliki pengetahuan gaib yang mutlak, atau kemampuan untuk mengampuni dosa secara independen, ini adalah bentuk penempatan makhluk pada posisi yang setara dengan Sifat Ilahi, yaitu menentang konsep *kufuwan ahad*.

Menghindari Kesalahan dalam Memahami Sifat

Salah satu tantangan terbesar dalam memahami ayat ini adalah menghindari dualitas: menyucikan Allah tanpa menafikan sifat-sifat-Nya. Beberapa kelompok ekstrem (seperti sebagian Mu’tazilah di masa lalu) mencoba menyucikan Allah dengan menolak semua Sifat-Nya, khawatir bahwa menetapkan sifat akan menciptakan *kufuwan* bagi sifat tersebut. Namun, akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menyatakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna, namun sifat-sifat tersebut unik dan tidak setara dengan sifat makhluk. Inilah makna terdalam dari لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ yang didukung oleh وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ.

Jika Allah memiliki Kekuasaan (Qudrah), Kekuasaan-Nya adalah *kufuwan* bagi Diri-Nya sendiri, bukan bagi makhluk. Kesempurnaan-Nya adalah keunikan yang tidak dapat dibagi atau ditiru. Kita menetapkan sifat tanpa menanyakan 'bagaimana' (bila kaif) dan tanpa menyerupakan (bila tasybih).

Keutamaan dan Manfaat Memahami Kufuwan Ahad

Pemahaman yang mendalam terhadap ayat keempat Surat Al-Ikhlas memberikan manfaat spiritual dan praktis yang tak ternilai bagi seorang mukmin.

Pembersihan Hati (Ikhlas)

Makna nama surat ini, Al-Ikhlas (Pemurnian), terkait langsung dengan pemahaman bahwa Allah tidak memiliki tandingan. Ketika seseorang sepenuhnya menyadari bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, ia akan memurnikan niatnya (ikhlas) dalam setiap tindakan. Semua perbuatan, harapan, dan ketakutan hanya akan diarahkan kepada Yang Mutlak. Ini menghilangkan riya' (pamer) dan sum’ah (mencari popularitas), karena pujian atau celaan dari manusia yang terbatas tidak akan lagi setara dengan ridha dari Tuhan Yang Tak Tertandingi.

Kekuatan dalam Tauhid

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa kecintaan terhadap Surat Al-Ikhlas, yang merupakan ringkasan dari sifat-sifat Tuhan, adalah tanda keimanan yang kuat. Pemahaman bahwa Allah tidak memiliki *kufuwan* memberikan kekuatan mental yang luar biasa. Seorang mukmin tidak akan merasa lemah atau takut terhadap kekuatan manusia mana pun, karena ia tahu bahwa kekuatan manusia adalah fana dan terbatas, sedangkan kekuatan Allah adalah abadi dan tak tertandingi.

Meningkatkan Kualitas Doa

Ketika seseorang berdoa setelah merenungkan bahwa وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ, doanya akan menjadi lebih bermakna. Ia tahu bahwa ia memohon kepada Zat yang tidak terbatas kekuasaan-Nya, yang tidak terbebani oleh permohonan makhluk-Nya, dan yang tidak membutuhkan persetujuan dari tandingan mana pun. Ini menghasilkan keyakinan (yaqin) yang lebih besar dalam penerimaan doa.

Pencegahan Rasa Putus Asa

Rasa putus asa sering kali timbul karena melihat masalah duniawi sebagai sesuatu yang terlalu besar untuk diatasi. Namun, bagi orang yang memahami bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, tidak ada masalah yang setara dengan kekuasaan-Nya. Jika semua makhluk berkumpul untuk mencegah sesuatu terjadi, tetapi Allah berkehendak, pencegahan mereka menjadi nol. Ini menanamkan optimisme yang hakiki dan tawakal yang benar.

Penutup: Manifestasi Sempurna dari Kemahaesaan

Surat Al-Ikhlas, diakhiri dengan ayat وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ, adalah deklarasi kemerdekaan spiritual. Kemerdekaan dari belenggu perbandingan, dari ketakutan akan tandingan, dan dari keraguan akan keunikan Pencipta.

Ayat ini adalah penyempurna dan penutup yang logis bagi definisi Tauhid yang agung. Ia memastikan bahwa setelah menetapkan keesaan-Nya (Ahad), kemandirian-Nya (As-Samad), dan ketiadaan asal-usul-Nya (Lam yalid walam yulad), tidak ada celah tersisa bagi akal atau hati untuk membayangkan adanya mitra, saingan, atau entitas yang setara dalam hal apa pun, baik di masa lalu, masa kini, maupun masa depan.

Pilar keempat ini, ketiadaan *kufuwan*, menjamin kesucian dan keagungan Zat Ilahi, melepaskan Muslim dari jerat-jerat syirik yang halus, dan memandu umat manusia menuju pemahaman yang murni tentang Tuhan Yang Maha Esa dan Tak Tertandingi.

***

Elaborasi Mendalam atas Konsep Kufuwan

Konsep *Kufuwan* harus dipahami tidak hanya sebagai kesetaraan, tetapi juga sebagai negasi terhadap homogenitas antara Allah dan ciptaan-Nya. Jika kita menggunakan analogi dari fisika, ketiadaan *kufuwan* berarti tidak ada entitas lain yang berbagi dimensi atau hukum dasar eksistensi yang sama dengan Allah. Semua makhluk terikat oleh waktu (temporal), ruang (spatial), dan batasan energi. Allah, sebagai *Al-Khaliq* (Pencipta), adalah Pencipta waktu, ruang, dan energi itu sendiri, sehingga mustahil Dia tunduk pada ciptaan-Nya atau memiliki padanan di dalamnya.

Filsafat Islam klasik sering membahas perbedaan antara *Wajibul Wujud* (Yang Wajib Ada) dan *Mumkinul Wujud* (Yang Mungkin Ada). Allah adalah *Wajibul Wujud*—keberadaan-Nya adalah suatu keharusan dan tidak memerlukan sebab. Semua yang lain adalah *Mumkinul Wujud*—keberadaan mereka adalah mungkin dan bergantung pada kehendak *Wajibul Wujud*. Jika ada *kufuwan*, maka *kufuwan* tersebut juga harus *Wajibul Wujud*. Namun, eksistensi dua *Wajibul Wujud* secara simultan mengarah pada kontradiksi tak terbatas, karena masing-masing harus sempurna tanpa keterbatasan, dan dua entitas sempurna yang sama persis secara esensial adalah satu, bukan dua. Oleh karena itu, *Kufuwan Ahad* adalah penegasan ontologis bahwa hanya ada satu Yang Wajib Ada.

Implikasi pada Sifat Al-Awwal wal Al-Akhir

Ayat ini memperkuat Sifat Allah sebagai Al-Awwal (Yang Awal, tanpa permulaan) dan Al-Akhir (Yang Akhir, tanpa penghabisan). Jika ada entitas lain yang setara (*kufuwan*), entitas tersebut juga harus *Al-Awwal* dan *Al-Akhir*. Konsep dua *Al-Awwal* akan menimbulkan pertanyaan: Siapa yang lebih awal? Jika salah satu lebih awal, maka yang satu lagi bukanlah *Al-Awwal* sejati. Dengan tegas menolak *kufuwan*, ayat 4 mematenkan keazalian dan keabadian Allah sebagai sifat yang unik dan tak terbagi.

Penolakan Terhadap Kesetaraan dalam Kehendak (Iradah)

Kehendak Allah (Iradah) adalah mutlak. Jika ada *kufuwan* yang memiliki kehendak yang setara, maka akan terjadi benturan kehendak (tamazun). Misalnya, Allah berkehendak A, *kufuwan* berkehendak B. Logikanya, hanya salah satu kehendak yang akan terwujud. Jika kehendak Allah yang terwujud, maka *kufuwan* tersebut tidak lagi setara (karena kehendaknya dikalahkan). Jika kehendak *kufuwan* yang terwujud, maka Allah bukanlah Maha Kuasa. Jika tidak ada kehendak yang terwujud, maka keduanya menjadi impoten, yang mustahil bagi Tuhan. Maka, ketiadaan *kufuwan* adalah satu-satunya jaminan logis bagi kekuasaan dan kehendak mutlak yang tunggal.

***

Peran Ayat 4 dalam Pendidikan Anak dan Dakwah

Dalam pendidikan akidah, Surat Al-Ikhlas, khususnya ayat keempat, berfungsi sebagai alat dakwah yang paling efektif dan ringkas. Ketika mengajarkan Tauhid kepada non-Muslim atau anak-anak, penjelasan tentang ketiadaan *kufuwan* segera menutup pintu bagi segala perumpamaan yang mungkin muncul dari latar belakang mitologi atau antropomorfis. Sederhana namun tegas: Tuhan adalah Yang Tunggal dan Tidak Ada Satupun yang Sama Persis dengan Dia. Ini memberikan garis batas yang jelas antara Pencipta dan ciptaan.

Pengulangan ayat ini dalam salat harian berfungsi sebagai pengingat konstan bahwa segala kesenangan, kesedihan, kekayaan, dan penderitaan di dunia ini tidak memiliki kekuatan ilahi. Ini membantu seorang Muslim membebaskan dirinya dari keterikatan duniawi dan fokus pada tujuan akhir, yaitu keridhaan dari Dzat yang tiada tandingan. Setiap sujud adalah pengakuan bahwa kita tunduk hanya kepada Yang tak tertandingi.

Perbedaan Kufuwan dan Mitsl

Walaupun sering diterjemahkan serupa, para ahli linguistik membedakan antara *kufuwan* dan *mitsl* (serupa/sebanding). *Mitsl* menunjuk pada kesamaan dalam bentuk atau penampilan luar, yang ditolak oleh Surah Asy-Syura (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia). Sementara *Kufuwan* menunjuk pada kesetaraan substansi, martabat, atau potensi. Al-Ikhlas menutup celah ini: Bahkan jika ada entitas yang entah bagaimana terlihat serupa dalam tindakan (misalnya, membuat sesuatu yang menakjubkan), secara substansi ia tetap tidak setara dalam asal-usul, keazalian, dan kemutlakan kekuatan.

Kesimpulan Komprehensif

Sebagai penutup dari Surat Al-Ikhlas, وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ adalah puncak dari doktrin Islam. Ini adalah pemurnian terakhir. Kita tidak hanya mengakui Allah sebagai satu (Ahad) dan mandiri (Ash-Shamad), dan tidak beranak/diperanakkan, tetapi kita juga meniadakan segala gagasan bahwa ada entitas lain—malaikat, nabi, idola, kekuatan alam, atau konsep filosofis—yang dapat mencapai level kesempurnaan atau otoritas yang sama dengan-Nya. Ayat ini adalah fondasi bagi Izzah (kemuliaan) Islam dan martabat umatnya, yang hanya tunduk kepada Raja Yang Tak Tertandingi.

Pemahaman ini mengikat umat Muslim pada janji Tauhid, membebaskan mereka dari kekhawatiran dan penyembahan selain-Nya, serta mendorong mereka untuk mencari kesempurnaan etika dan amal, yang merupakan cerminan dari pengakuan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Sempurna dan Tidak Memiliki Tandingan.

🏠 Homepage