Surat Al Insyirah, atau dikenal juga sebagai Surat Alam Nasyrah, adalah salah satu surat Makkiyyah yang memiliki makna spiritual sangat mendalam. Surat ini terdiri dari delapan ayat dan merupakan wahyu yang diturunkan pada masa-masa sulit yang dialami oleh Rasulullah ﷺ di Mekah. Inti dari surat ini adalah penegasan kasih sayang dan dukungan Allah SWT kepada hamba-Nya yang berjuang, memberikan kepastian bahwa setiap kesulitan pasti akan diikuti oleh kemudahan.
Nama 'Al Insyirah' sendiri secara harfiah berarti 'Kelapangan' atau 'Melapangkan'. Ini merujuk pada ayat pertamanya yang menanyakan, "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?" Pesan utama yang terkandung di dalamnya adalah optimisme yang hakiki, yang bersumber langsung dari janji Ilahi. Surat ini menjadi penawar bagi hati yang sedang gundah, penguat bagi jiwa yang lelah, dan pengingat bahwa penderitaan di dunia ini bersifat sementara, sementara pertolongan Allah adalah pasti.
Teks Arab, Transliterasi, dan Surat Al Insyirah Artinya
Untuk memahami kedalaman pesan ini, mari kita telaah satu per satu setiap ayat dari Surat Al Insyirah, dengan memperhatikan terjemahan literal serta konteksnya.
Ayat 1: Kelapangan Dada Kenabian
(١) أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
Alam nasyraḥ laka ṣadrak.
Artinya: Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?
Ayat 2: Pengangkatan Beban
(٢) وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
Wawaḍa‘nā ‘anka wizrak.
Artinya: Dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu,
Ayat 3: Beban yang Memberatkan Punggung
(٣) ٱلَّذِىٓ أَنقَضَ ظَهْرَكَ
Allażī anqaḍa ẓahrak.
Artinya: Yang memberatkan punggungmu,
Ayat 4: Peninggian Derajat
(٤) وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
Warafa‘nā laka żikrak.
Artinya: Dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu.
Ayat 5 dan 6: Janji Kemudahan yang Diulang
(٥) فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًۭا
Fa inna ma‘al-‘usri yusrā.
Artinya: Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
(٦) إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًۭا
Inna ma‘al-‘usri yusrā.
Artinya: Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Ayat 7: Pentingnya Beribadah Setelah Tugas Selesai
(٧) فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ
Fa iżā faraghta fanṣab.
Artinya: Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
Ayat 8: Hanya Kepada Tuhanmu Berharap
(٨) وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب
Wa ilā rabbika farghab.
Artinya: Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
Asbabun Nuzul dan Konteks Historis
Surat Al Insyirah diturunkan pada periode Mekah, masa di mana tekanan dan perlawanan terhadap dakwah Islam mencapai puncaknya. Rasulullah ﷺ menghadapi cemoohan, intimidasi, dan penolakan keras dari kaum Quraisy. Beban psikologis dan tanggung jawab kenabian terasa sangat berat bagi beliau.
Ibnu Abbas RA dan para mufasir lainnya menjelaskan bahwa surat ini turun segera setelah Surat Ad-Dhuha. Jika Ad-Dhuha berfungsi sebagai jaminan bahwa Allah tidak meninggalkan Nabi, maka Al Insyirah berfungsi sebagai pengobatan spesifik terhadap tekanan mental dan kesulitan tugas kenabian yang beliau pikul.
Beberapa kondisi yang melatarbelakangi turunnya surat ini meliputi:
- Tekanan Dakwah: Kelelahan fisik dan mental dalam menyampaikan risalah tauhid di tengah masyarakat jahiliah yang menentang.
- Dukungan Ilahi: Allah ingin menegaskan bahwa kesulitan yang dirasakan Nabi adalah bagian dari ujian, dan Allah telah menyiapkan balasan serta bantuan yang melampaui kesulitan itu.
- Penguatan Hati: Surat ini datang untuk memberikan ketenangan (sakinah) kepada hati Rasulullah, memastikan bahwa kelapangan dada dan kejayaan di masa depan telah ditetapkan.
Oleh karena itu, ketika kita membaca Surat Al Insyirah, kita tidak hanya membaca janji universal, tetapi juga menyaksikan sebuah momen intim di mana Allah secara langsung menguatkan pemimpin umat manusia di saat beliau paling membutuhkan dorongan spiritual.
Ilustrasi Kelapangan Dada (Insyirah) yang dijanjikan Allah.
Tafsir Mendalam Ayat per Ayat (Tafsir Al-Insyirah)
Penafsiran terhadap surat ini sangat kaya, melibatkan aspek bahasa (balaghah), sejarah, dan spiritualitas. Para mufasir besar seperti Imam Fakhruddin Ar-Razi, Imam At-Tabari, dan Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang melampaui terjemahan harfiah.
Tafsir Ayat 1: ‘Alam Nasyrah Laka Shadrak’
Pertanyaan retoris, "Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?", adalah pengakuan atas nikmat yang telah diberikan. Kelapangan dada (syarh ash-shadr) dalam konteks ini memiliki dua dimensi utama:
- Kelapangan Fisik (Mukjizat): Beberapa ulama menafsirkan ini merujuk pada peristiwa pembedahan dada Nabi (Syaqq ash-Shadr) yang terjadi beberapa kali (saat kecil dan saat Isra' Mi'raj), di mana hati beliau dibersihkan. Ini adalah pembersihan literal dan metaforis untuk menerima wahyu.
- Kelapangan Spiritual dan Intelektual: Ini adalah anugerah terbesar. Allah melapangkan dada Nabi sehingga mampu menampung beban kenabian, menghadapi kerasnya penentangan, memiliki kesabaran tak terbatas, dan menerima ilmu serta hikmah yang mendalam. Tanpa kelapangan ini, manusia biasa akan hancur di bawah tekanan tugas sebesar itu.
Penyebutan dada sebagai tempat kelapangan menunjukkan bahwa masalah yang terbesar bukanlah kesulitan eksternal, melainkan cara hati merespons kesulitan tersebut.
Tafsir Ayat 2 dan 3: Pengangkatan Beban (Wizr)
Beban (Wizr) yang diangkat dari punggung Nabi (yang ‘memberatkan punggung’) ditafsirkan dalam beberapa sudut pandang:
- Beban Kesulitan Dakwah: Ini adalah penafsiran paling umum. Beban berupa tanggung jawab besar untuk menyelamatkan umat manusia, kekhawatiran terhadap nasib kaumnya, dan kesulitan dalam melaksanakan perintah Allah.
- Beban Pra-Kenabian: Sebagian kecil ulama menafsirkan ini merujuk pada dosa atau kekeliruan kecil sebelum kenabian, atau bahkan kekhawatiran beliau terhadap masa lalu umatnya. Namun, tafsir yang kuat adalah bahwa beban tersebut adalah beban kenabian itu sendiri, di mana setiap kesulitan yang dihadapi Nabi diampuni atau diringankan Allah.
Ungkapan "memberatkan punggungmu" (anqaḍa ẓahrak) menggunakan metafora fisik untuk menggambarkan tekanan psikologis yang ekstrem. Ayat ini meyakinkan bahwa Allah sendiri yang memikul, meringankan, dan mengampuni kesulitan yang Nabi rasakan sebagai ganti dari upaya beliau.
Tafsir Ayat 4: Peninggian Sebutan (Rafana Laka Dhikrak)
Ini adalah janji agung yang menunjukkan derajat Rasulullah ﷺ yang diangkat melebihi seluruh makhluk. Peninggian sebutan ini diwujudkan dalam banyak cara:
- Syahadat: Nama beliau disandingkan dengan nama Allah dalam syahadat (Asyhadu an lā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muḥammadan rasūlullāh).
- Adzan dan Iqamah: Setiap hari, lima kali sehari, nama beliau dikumandangkan di seluruh dunia.
- Shalawat: Umat Islam diwajibkan membaca shalawat atas Nabi dalam shalat, dan didorong melakukannya di luar shalat.
- Al-Qur'an: Kitab suci ini adalah pengingat abadi akan risalah beliau.
Janji ini datang sebagai kontras langsung terhadap upaya kaum Quraisy yang berusaha merendahkan dan menghapus nama Nabi dari ingatan manusia. Allah berjanji, semakin keras mereka mencoba menghapusnya, semakin tinggi nama itu diangkat dan diabadikan.
Imam Qatada berkata tentang ayat ini: "Allah mengangkat sebutan Nabi-Nya di dunia dan akhirat. Tidak ada khatib, tidak ada orang yang shalat, dan tidak ada yang bersaksi, melainkan menyebut nama Muhammad SAW di sisi nama Allah."
Analisis Linguistik dan Spiritual ‘Inna Ma'al Usri Yusra’
Ayat 5 dan 6 adalah jantung dari Surat Al Insyirah, bahkan merupakan salah satu janji terpenting dalam Al-Qur'an bagi umat manusia. Pengulangan janji ini bukan sekadar penekanan, tetapi mengandung rahasia linguistik dan spiritual yang luar biasa.
Analisis Kata Kunci: Al-‘Usr dan Yusra
Penting untuk memperhatikan penggunaan artikel (kata sandang) dalam bahasa Arab:
- Al-‘Usr (Kesulitan): Kata ini menggunakan artikel definif (al-). Dalam kaidah bahasa Arab, penggunaan kata benda yang diawali al- dan diulang berarti merujuk pada benda yang sama. Artinya, ada satu kesulitan spesifik yang dimaksud (kesulitan dakwah Nabi atau kesulitan yang sedang kita hadapi).
- Yusra (Kemudahan): Kata ini tidak menggunakan artikel definif (berbentuk nakirah, atau indefinit). Ketika kata benda nakirah diulang, itu merujuk pada dua hal yang berbeda.
Dengan demikian, janji tersebut ditafsirkan sebagai: **Satu Kesulitan (Al-'Usr) akan disertai dengan Dua Kemudahan (Yusra).**
Para ulama, termasuk Umar bin Khattab RA, sering mengutip hadis yang menegaskan penafsiran ini: "Satu kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan." Ini adalah jaminan matematis dari Allah bahwa kemudahan yang diberikan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada kesulitan yang dialami.
Makna 'Ma'a' (Bersama)
Kata ma'a berarti 'bersama'. Allah tidak mengatakan kemudahan datang *setelah* kesulitan, tetapi *bersama* kesulitan. Ini mengajarkan dua pelajaran vital:
- Kemudahan Sudah Dimulai: Bahkan ketika kita berada di tengah kesulitan (terutama kesulitan yang membawa kita dekat kepada Allah), benih-benih kemudahan dan pahala sudah mulai bersemi.
- Kesulitan Adalah Jalan: Kemudahan adalah buah dari kesulitan itu sendiri. Tanpa menghadapi kesulitan (ujian kesabaran, keikhlasan), kita tidak akan pernah mencapai kemudahan hakiki (lapang dada, pahala besar, ampunan).
Pengulangan ayat 5 dan 6 bertujuan menghilangkan keraguan sedikit pun dari hati Nabi dan seluruh umat Islam. Ini adalah poros spiritual yang harus dipegang teguh saat badai kehidupan menerpa.
Hikmah dan Aplikasi Praktis Surat Al Insyirah
Setelah Allah memberikan jaminan kemudahan dan janji kejayaan, surat ini ditutup dengan perintah aksi yang harus dilakukan oleh seorang mukmin. Ayat 7 dan 8 adalah transisi dari janji ke tindakan, dari kepasrahan kepada usaha.
Tafsir Ayat 7: Pentingnya Kesinambungan Usaha
"Fa iżā faraghta fanṣab." — Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).
Perintah ini memiliki interpretasi yang luas tentang etos kerja dan ibadah:
- Kesinambungan Ibadah (Tafsir Ibadah): Setelah selesai menunaikan shalat wajib, segera bersungguh-sungguh (fanṣab) dalam berdoa. Atau, setelah selesai berdakwah dan berjuang, segera bersungguh-sungguh dalam ibadah pribadi (shalat malam, zikir). Ini menunjukkan bahwa ibadah tidak pernah berhenti.
- Etos Kerja (Tafsir Muamalah): Apabila telah selesai dari satu tugas duniawi, jangan berleha-leha. Segera beralih ke tugas berikutnya. Islam mengajarkan bahwa seorang mukmin harus selalu aktif dan produktif, mengisi setiap celah waktu dengan kegiatan yang bermanfaat.
- Tafsir Pengorbanan: Kata fanṣab juga bisa berarti ‘tegakkan dirimu’ atau ‘lelahkan dirimu’. Ini menekankan bahwa setelah kesulitan pertama usai (dakwah), perjuangan harus dilanjutkan dengan mengorbankan waktu dan tenaga untuk urusan yang lebih tinggi (ibadah).
Ayat ini mengajarkan bahwa istirahat sejati bagi seorang mukmin adalah beralih dari satu bentuk ketaatan ke bentuk ketaatan lainnya, bukan sekadar bermalas-malasan setelah tugas selesai.
Tafsir Ayat 8: Keikhlasan dan Harapan
"Wa ilā rabbika farghab." — Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
Ayat penutup ini adalah kesimpulan dari seluruh surat. Meskipun Allah telah menjanjikan kelapangan dan kemudahan, tujuan akhir dari setiap usaha haruslah mengharap keridaan-Nya semata. Penggunaan kata 'hanya' (ilā rabbika yang didahulukan) menekankan konsep tauhid dalam harapan (Raja').
Kita berharap kepada Allah:
- Berharap atas kemudahan yang dijanjikan.
- Berharap atas pahala dari kesulitan yang telah dilalui.
- Berharap atas penerimaan ibadah dan doa yang telah dilakukan.
Harapan kepada Allah ini harus dibarengi dengan tindakan (Ayat 7), menciptakan siklus sempurna antara usaha maksimal di dunia dan sandaran total kepada Sang Pencipta.
Korelasi Surat Al Insyirah dengan Surat Sebelumnya (Ad-Dhuha)
Surat Al Insyirah sering dianggap sebagai kelanjutan langsung dari Surat Ad-Dhuha. Para ulama menyebut keduanya sebagai pasangan (az-Zauj) karena diturunkan dalam urutan berdekatan dan membahas tema yang saling melengkapi, yaitu dukungan Allah di masa-masa sulit Rasulullah ﷺ.
Jika Ad-Dhuha berfokus pada nikmat material dan spiritual masa lalu dan masa depan Nabi (janji bahwa akhirat lebih baik dari dunia, janji pemberian nikmat sehingga Nabi puas), maka Al Insyirah berfokus pada solusi internal dan eksternal terhadap penderitaan yang sedang dialami.
| Surat | Fokus Utama | Jaminan Kunci |
|---|---|---|
| Ad-Dhuha | Kekhawatiran akan ditinggalkan (abandonment) dan jaminan masa depan yang cerah. | "Sungguh, akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan." |
| Al Insyirah | Tekanan, beban, dan kesulitan dakwah (burden). | "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." |
Korelasi ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi krisis, Allah memberikan dua jenis kepastian: kepastian bahwa Allah tidak akan meninggalkan kita (Ad-Dhuha), dan kepastian bahwa krisis itu sendiri mengandung jalan keluar (Al Insyirah).
Visualisasi janji "Satu kesulitan bersama dua kemudahan."
Keutamaan dan Manfaat Mengamalkan Surat Al Insyirah
Membaca, memahami, dan mengamalkan pesan Surat Al Insyirah membawa banyak keutamaan spiritual dan psikologis bagi seorang mukmin. Surat ini berfungsi sebagai terapi Al-Qur'an untuk mengatasi kecemasan dan keputusasaan.
1. Penanaman Optimisme yang Hakiki (Raja')
Keutamaan terbesar adalah menanamkan keyakinan mutlak (yaqin) terhadap janji Allah. Dalam kondisi terburuk sekalipun, pengulangan "Inna ma'al 'usri yusra" memastikan bahwa kesulitan hanyalah selimut tipis yang menutupi kemudahan yang jauh lebih besar.
Bagi mereka yang sedang menghadapi krisis finansial, masalah rumah tangga, atau cobaan kesehatan, surat ini adalah penegasan bahwa setiap tetesan air mata dan setiap tarikan napas penuh kesabaran sedang dicatat sebagai benih kemudahan di masa depan.
2. Penguatan Kelapangan Hati
Para ulama menyarankan untuk membaca surat ini saat hati terasa sempit, tertekan, atau penuh kekhawatiran. Membaca ayat 1 ("Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?") adalah doa sekaligus pengingat bahwa Allah mampu melapangkan hati yang paling sempit sekalipun. Kelapangan hati ini adalah kunci untuk menerima takdir dan melanjutkan perjuangan hidup tanpa rasa putus asa.
3. Sumber Energi untuk Beramal
Ayat 7 dan 8 memberikan energi positif untuk terus beramal. Surat ini mengajarkan bahwa tidak ada waktu yang boleh disia-siakan. Setelah satu perjuangan selesai, perjuangan berikutnya sudah menunggu, baik dalam bentuk ibadah vertikal (kepada Allah) maupun ibadah horizontal (kepada sesama manusia).
Manfaat praktisnya: Seorang mukmin yang menerapkan Al Insyirah akan selalu termotivasi untuk beralih dari satu pekerjaan baik ke pekerjaan baik lainnya. Jika pekerjaan dunia selesai, ia beralih ke tahajjud; jika tahajjud selesai, ia beralih ke pekerjaan fajar.
4. Pengangkatan Derajat (Sama seperti Janji Kepada Nabi)
Meskipun ayat 4 secara spesifik ditujukan kepada Rasulullah ﷺ, umatnya juga mendapatkan imbas dari janji tersebut. Siapa pun yang berjuang di jalan Allah, menanggung beban ketaatan, dan bersabar atas kesulitan, niscaya Allah akan mengangkat derajatnya dan sebutannya di antara manusia. Ini mungkin berupa kehormatan di dunia atau kedudukan mulia di akhirat.
Perluasan Analisis: Hakikat Kesulitan dan Kemudahan
Untuk mencapai kedalaman Insyirah (kelapangan), kita perlu memahami hakikat kesulitan (al-'usr) dan kemudahan (yusra) dalam pandangan Islam.
A. Kesulitan (Al-‘Usr) sebagai Ujian
Kesulitan bukanlah hukuman, melainkan alat pemurnian. Para nabi dan orang-orang saleh diuji dengan kesulitan yang paling berat. Allah menguji hamba-Nya untuk melihat siapa yang paling baik amalnya (QS Al-Mulk: 2).
Kesulitan dalam Al Insyirah bersifat definitif (al-'usr). Ini menyiratkan bahwa kesulitan yang kita hadapi seringkali bersifat terdefinisi, memiliki batas waktu, dan ada alasan spesifik mengapa itu terjadi. Ia bukanlah kesulitan yang tak terhingga; ia adalah ujian yang pasti berakhir.
B. Kemudahan (Yusra) yang Berlipat Ganda
Karena kemudahan (yusra) bersifat indefinit, ia mencakup berbagai jenis pertolongan. Kemudahan tidak harus selalu berarti masalah hilang seketika, tetapi bisa berupa:
- Kemudahan Internal: Kelapangan dada, ketenangan, kesabaran yang membuat beban terasa ringan.
- Kemudahan Spiritual: Pahala besar, pengampunan dosa, peningkatan derajat.
- Kemudahan Eksternal: Solusi konkret atas masalah, bantuan tak terduga, atau berubahnya kondisi menjadi lebih baik.
Seorang hamba mungkin masih dalam kesulitan fisik, tetapi jika Allah telah memberinya ketenangan batin (kemudahan internal), maka kesulitan itu secara hakikat sudah diringankan. Inilah rahasia mengapa kemudahan itu 'bersama' kesulitan, bukan 'setelah' kesulitan.
Jika seseorang fokus pada kesulitan (al-'usr), ia akan tenggelam. Jika ia fokus pada janji yang menyertai kesulitan (yusra), ia akan memiliki kekuatan tak terbatas untuk bertahan dan bangkit. Al Insyirah adalah resep untuk perubahan perspektif ini.
C. Dimensi Tauhid dalam Al Insyirah
Seluruh surat ini, dari awal hingga akhir, adalah pelajaran tauhid. Setiap ayat menegaskan bahwa hanya Allah yang dapat:
- Melapangkan dada (Ayat 1).
- Mengangkat beban (Ayat 2).
- Mengangkat derajat (Ayat 4).
- Menyediakan kemudahan (Ayat 5 & 6).
- Tempat kita menaruh harapan (Ayat 8).
Tidak ada satu pun ayat yang menyarankan kita mencari kelapangan, pertolongan, atau harapan dari selain Allah. Inilah mengapa setelah janji-janji agung diberikan, perintahnya adalah: "Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap." Ini adalah pemurnian niat dan tindakan.
Menerapkan Semangat Al Insyirah dalam Kehidupan Modern
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu dalam konteks perjuangan kenabian, Surat Al Insyirah memiliki relevansi universal dalam menghadapi tantangan modern.
1. Mengatasi Stres dan Kecemasan
Dalam era kecepatan tinggi dan tekanan sosial yang masif, penyakit psikologis seperti stres dan kecemasan adalah umum. Al Insyirah mengajarkan bahwa solusi bukan hanya terletak pada manajemen stres, tetapi pada penyerahan diri yang dibarengi keyakinan. Ketika seseorang menyadari bahwa beban tugasnya yang berat adalah beban yang disaksikan dan diringankan oleh Sang Pencipta, beban itu akan terasa lebih ringan.
Surat ini memberikan kerangka berpikir yang kuat: Kesulitan adalah variabel konstan dalam hidup, tetapi kemudahan yang dijanjikan Allah adalah kekuatan yang jauh lebih besar yang selalu mendampinginya.
2. Prinsip Produktivitas Islami
Ayat 7 ("apabila engkau telah selesai, tetaplah bekerja keras") adalah landasan etos kerja Islami. Ayat ini menentang budaya menunda-nunda dan budaya kemalasan yang ekstrim. Muslim yang ideal adalah seseorang yang menyelesaikan satu tugas dengan kualitas terbaik, lalu segera menggunakan momentum tersebut untuk beralih ke tugas mulia lainnya. Ini bisa berarti beralih dari pekerjaan kantor ke mengurus keluarga, atau dari studi ke ibadah sunah.
3. Manajemen Ekspektasi
Ayat 8 mengingatkan kita untuk meletakkan harapan hanya pada Allah. Ketika kita terlalu berharap pada manusia, pekerjaan, atau materi, kita rentan terhadap kekecewaan (al-'usr). Dengan mengarahkan harapan hanya kepada Allah, kita mengikat hati kita pada sumber kekuatan yang tak terbatas dan tak pernah mengecewakan, sehingga mencapai yusra batiniah.
Beban mental sering kali muncul karena harapan yang tidak terpenuhi. Al Insyirah memandu kita untuk mengelola ekspektasi: usahakan maksimal (fanṣab), hasilnya serahkan total kepada Allah (farghab).
Kesimpulan dan Renungan Akhir
Surat Al Insyirah adalah permata Al-Qur'an yang mengajarkan kepada kita tentang anatomi ketahanan spiritual. Ia dimulai dengan janji agung yang bersifat internal (lapangnya dada Nabi) dan eksternal (pengangkatan derajat), dan mencapai puncaknya pada janji universal yang diulang dua kali untuk menghilangkan keraguan: Inna ma'al 'usri yusra.
Pesan kunci dari surat ini bagi setiap mukmin adalah:
- Sadarilah Nikmat Kelapangan: Kelapangan hati adalah anugerah pertama dari Allah yang memungkinkan kita menghadapi kesulitan.
- Yakini Janji Ganda: Kesulitan yang kamu hadapi bersifat tunggal dan terbatas, sementara kemudahan yang Allah siapkan bersifat ganda, berlimpah, dan sudah menyertai kesulitan tersebut.
- Teruslah Berjuang dan Berharap: Jangan biarkan diri beristirahat dari ketaatan. Selesaikan satu urusan, segera beralih ke urusan yang lain dengan harapan hanya tertuju kepada Rabbmu semata.
Ketika kita merasa tertekan, terbebani, dan dunia terasa sempit, Surat Al Insyirah hadir sebagai mercusuar, menerangi jalan dan memastikan bahwa, seberat apa pun beban yang dipikul di punggung, pertolongan dan kelapangan dari Allah SWT akan selalu lebih besar. Janji ini adalah jaminan abadi bagi hamba-hamba-Nya yang bersabar dan bersungguh-sungguh.
Marilah kita senantiasa merenungkan surat ini, menjadikannya zikir harian, dan sumber kekuatan dalam menghadapi segala macam ujian kehidupan. Dengan demikian, kita akan menemukan bahwa kesulitan yang kita takuti sejatinya adalah pintu gerbang menuju kelapangan dan anugerah yang tidak terhingga.
Fa iżā faraghta fanṣab. Wa ilā rabbika farghab.
Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh, dan hanya kepada Tuhanmu letakkan segala harapan.