Kunci Ketenangan: Tafsir Mendalam Surat Al-Insyirah Ayat 5 & 6

Janji Ilahi tentang Kepastian Kemudahan yang Mengiringi Setiap Kesulitan

Simbol Kemudahan dan Kesulitan Ilustrasi gelombang kesulitan (usr) yang diikuti dan diimbangi oleh gelombang kemudahan (yusr), melambangkan janji Allah dalam Al-Insyirah. Kesulitan (الْعُسْر) Kemudahan (يُسْر) JANJI

Visualisasi Janji Ilahi: Kemudahan yang Mengikuti Kesulitan.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5-6)


I. Pendahuluan: Konteks Wahyu Surat Al-Insyirah

Surat Al-Insyirah, yang dikenal juga sebagai Surat Alam Nasyrah, adalah mutiara ke-94 dalam Al-Qur’an. Ia diturunkan pada periode awal dakwah di Mekah, ketika tekanan dan penderitaan yang dialami oleh Nabi Muhammad ﷺ berada di puncak. Ayat 5 dan 6 dari surat ini bukan sekadar kalimat motivasi biasa; ia adalah deklarasi tegas dari Rabb semesta alam, sebuah janji yang mengandung kepastian absolut dan berfungsi sebagai penawar segala keputusasaan.

Konteks utama diturunkannya surat ini adalah untuk meneguhkan hati Rasulullah ﷺ yang sedang merasa tertekan oleh beratnya tanggung jawab dakwah, penolakan kaumnya, dan fitnah yang tak berkesudahan. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tafsir, surat ini datang sebagai jawaban atas doa yang tak terucapkan, sebagai pengingat bahwa setiap beban yang dipikul akan diikuti oleh pertolongan dan kelapangan yang jauh lebih besar.

Pengulangan ayat yang sama, “Fa inna ma’al usri yusra, Inna ma’al usri yusra”, bukanlah redundansi. Dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab), pengulangan ini mengandung makna penegasan (ta’kid) yang luar biasa kuat, menghapus segala bentuk keraguan. Sebelum kita menyelami tafsir harfiah dan implikasi filosofisnya, penting untuk memahami bahwa kedua ayat ini adalah inti dari ajaran tentang kesabaran, optimisme, dan tawakkal (penyerahan diri) dalam Islam.

Ayat ini mengajarkan prinsip universalitas hukum Ilahi: kesulitan adalah bagian intrinsik dari kehidupan dunia, tetapi kesulitan itu bukanlah akhir. Sebaliknya, kesulitan adalah wadah yang di dalamnya telah disiapkan kemudahan. Ini adalah pemahaman yang harus diintegrasikan ke dalam setiap aspek perjuangan hidup, mulai dari masalah rumah tangga, tantangan ekonomi, hingga krisis spiritual.


II. Analisis Linguistik dan Tafsir Harfiah

Untuk memahami kedalaman janji ini, kita harus membedah setiap kata dalam bahasa aslinya, karena struktur tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) memegang kunci penafsiran yang mendalam.

1. Penggunaan Partikel Penegasan (Inna dan Fa)

2. Perbedaan Krusial antara Al-Usr dan Yusr

Inti dari tafsir linguistik terletak pada penggunaan kata sandang (definite dan indefinite article) pada kedua kata tersebut:

A. Al-Usr (الْعُسْر) – Kesulitan yang Definitif

Kata ini menggunakan awalan ‘Al’ (Alif Lam), yang menjadikannya kata benda definitif (ma’rifah). Dalam konteks Surat Al-Insyirah, ini merujuk pada KESULITAN TERTENTU yang sedang dihadapi oleh Rasulullah ﷺ pada saat wahyu diturunkan (kesulitan dakwah di Mekah). Karena kata ini definitif dan tunggal, maka setiap kali disebutkan, ia merujuk pada kesulitan yang sama. Ayat 5 dan 6 sama-sama merujuk pada kesulitan yang tunggal tersebut.

B. Yusra (يُسْرًا) – Kemudahan yang Indefinitif

Kata ini tidak menggunakan ‘Al’ (nakirah), yang menjadikannya kata benda indefinitif (tidak tentu). Karena ia tidak tentu, maka ia tidak terikat. Ketika kata Yusra diulang dalam ayat 6, ia merujuk pada KEMUDAHAN YANG BERBEDA dari yang disebutkan di ayat 5. Kemudahan itu bersifat jamak, beragam, dan melimpah.

3. Kaidah Balaghah: Satu Kesulitan, Dua Kemudahan

Para ulama besar, seperti Imam Syafi'i dan Ibnu Mas'ud, menekankan kaidah linguistik ini. Kesulitan (Al-Usr) yang definitif hanya satu, meskipun disebut dua kali. Sementara kemudahan (Yusr) yang indefinitif, ketika diulang, merujuk pada jenis atau jumlah kemudahan yang berbeda. Ini berarti:

"Satu kesulitan yang sama pasti akan diikuti oleh dua (atau lebih) kemudahan yang berlipat ganda."

Ini adalah pesan optimisme yang melampaui logika matematis biasa. Allah tidak hanya menjanjikan penyelesaian masalah, tetapi juga bonus kemudahan, kelapangan hati, dan pahala yang menyertai proses tersebut.

4. Ma’a (Bersama)

Penggunaan kata ‘Ma’a’ (bersama) sangat penting. Allah tidak mengatakan “Ba’da al-usr” (setelah kesulitan), tetapi “Ma’a al-usr” (bersama kesulitan). Ini menyiratkan bahwa kemudahan itu tidak menunggu kesulitan berakhir, melainkan sudah ada, berdampingan, dan tersembunyi di dalam kesulitan itu sendiri. Kemudahan adalah esensi dari cobaan, bukan sekadar hadiah setelah cobaan selesai. Ini memerlukan perspektif hati yang mendalam untuk melihat potensi kemudahan tersebut saat kita masih berada di tengah badai.


III. Dimensi Teologis: Hakikat Cobaan dan Janji Kepastian

Ayat 5 dan 6 Al-Insyirah adalah landasan teologis bagi pemahaman seorang Muslim terhadap takdir (qadha dan qadar) dan ujian (ibtila). Ia mengubah kesulitan dari status "hukuman" menjadi "kendaraan menuju kelapangan."

1. Kepastian Ilahi: Penghapusan Keraguan

Pengulangan janji ini berfungsi untuk menghancurkan fitrah manusia yang cenderung mudah menyerah. Manusia sering kali hanya melihat ‘Al-Usr’ di hadapannya dan gagal melihat ‘Yusr’ yang tersembunyi. Dengan janji ini, Allah menuntut hamba-Nya untuk memiliki Husnuzan (berprasangka baik) mutlak kepada-Nya. Keyakinan ini adalah ibadah tertinggi.

Kepastian yang dijanjikan dalam ayat ini melampaui sekadar solusi duniawi. ‘Yusr’ tidak selalu berarti masalah finansial segera teratasi, atau penyakit segera sembuh. ‘Yusr’ yang pertama bisa berupa ketenangan hati, kesabaran yang tak terhingga, dan kemampuan untuk bersyukur dalam kesulitan. ‘Yusr’ yang kedua mungkin adalah pertolongan duniawi yang datang tiba-tiba, dan ‘Yusr’ yang terbesar adalah pahala di akhirat.

2. Kesulitan sebagai Syarat Kemudahan

Dalam teologi Islam, kesulitan adalah mekanisme yang mengatur kualitas iman. Allah berfirman dalam Surat Al-Ankabut, apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan hanya dengan berkata, “Kami telah beriman,” sementara mereka belum diuji? Al-Usr adalah filter dan pemurni. Tanpa ‘Al-Usr’, tidak akan ada ‘Yusr’ yang sejati.

Ini adalah hukum keseimbangan kosmik. Malam harus ada agar pagi dapat dihargai. Kesulitan yang parah akan menghasilkan kemudahan yang berlipat ganda. Ini mendorong Muslim untuk tidak meminta dihindarkan dari cobaan, melainkan meminta kekuatan untuk melalui cobaan itu dengan penuh kesabaran, karena mereka tahu bahwa nilai pahala dan kemudahan yang menanti setara dengan beratnya cobaan yang dipikul.

Para ulama tafsir kontemporer sering mengaitkan ayat ini dengan konsep ‘Sunnatullah’ (hukum alam yang ditetapkan oleh Allah). Bahkan secara ilmiah, tekanan dan stres (dalam batas tertentu) diperlukan untuk menghasilkan pertumbuhan dan adaptasi. Ini mencerminkan bahwa janji Ilahi ini berlaku di setiap level keberadaan, baik spiritual maupun material.

3. Menjaga Harapan (Raja') dalam Situasi Mustahil

Ayat ini adalah sumber utama dari sifat ‘Raja’ (harapan kepada Allah). Ketika situasi tampak buntu, ketika semua pintu tertutup, Al-Insyirah 5-6 berfungsi sebagai kunci pembuka. Dalam sejarah Nabi Yunus AS, yang berada di tengah kegelapan perut ikan, atau Nabi Ibrahim AS di tengah api, janji kemudahan itu adalah realitas yang diwujudkan melalui mukjizat. Bagi kita, janji itu terwujud melalui kekuatan batin dan pertolongan yang datang dari arah tak terduga (Rezeki yang tak terduga atau ‘min haitsu la yahtasib’).

Oleh karena itu, tugas seorang Mukmin dalam menghadapi ‘Al-Usr’ bukanlah fokus pada besarnya masalah, melainkan fokus pada Besarnya Dzat yang menjanjikan ‘Yusr’, yaitu Allah SWT.


IV. Perspektif Ilmuwan Muslim dan Penafsiran Klasik

Kajian mendalam terhadap Surat Al-Insyirah 5-6 telah menjadi fokus utama para mufassir sepanjang masa. Mereka meneliti janji ini dari berbagai sudut pandang, memperkaya pemahaman kita tentang aplikasinya.

1. Tafsir Ibnu Katsir: Penekanan pada Kepastian

Imam Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, sangat menekankan riwayat yang datang dari Rasulullah ﷺ yang menegaskan bahwa kesulitan tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan. Beliau menyajikan hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda, "Bergembiralah! Tidak akan menang satu kesulitan atas dua kemudahan." Ibnu Katsir menggunakan kaidah linguistik ‘Al’ dan ‘tanwin’ (nakirah) untuk membuktikan hal ini secara gramatikal. Fokus tafsir Ibnu Katsir adalah menghilangkan segala bentuk keputusasaan di hati umat Muslim, menjadikannya penenang jiwa yang paling ampuh.

2. Tafsir Al-Qurtubi: Kesulitan sebagai Pemantik Ibadah

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, melihat kesulitan (Al-Usr) tidak hanya sebagai ujian material, tetapi sebagai kondisi yang memaksa manusia kembali kepada Allah. Ketika kemudahan datang, ia adalah kemudahan dalam ibadah dan ketaatan. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa terkadang kesulitan yang berkepanjangan menghasilkan pahala yang jauh lebih besar dan memperkuat tauhid seseorang. Dalam pandangan beliau, kemudahan yang dijanjikan mencakup ampunan dosa dan peningkatan derajat spiritual (maqam).

3. Tafsir Fi Zilalil Qur’an oleh Sayyid Qutb: Dimensi Perjuangan

Sayyid Qutb menafsirkan ayat ini dalam konteks perjuangan (jihad) dan dakwah. Beliau melihat ‘Al-Usr’ sebagai tekanan yang dihadapi oleh para dai dan pejuang kebenaran. Dalam pandangan Qutb, janji ‘Yusr’ adalah janji kemenangan ideologi, janji tegaknya keadilan, dan janji bagi mereka yang berkorban di jalan Allah. Kemudahan di sini adalah hasil dari aksi dan keteguhan, bukan pasifitas. Ayat ini adalah seruan untuk berjuang terus menerus, karena janji Ilahi akan terwujud melalui usaha hamba-Nya yang gigih.

4. Tafsir Al-Azhar oleh Buya Hamka: Kearifan Lokal dan Pencerahan Batin

Buya Hamka, dengan gaya khasnya yang menyentuh jiwa, mengaitkan ayat ini dengan filosofi hidup orang Timur, menekankan pentingnya tawakal dan jiwa yang besar. Hamka menjelaskan bahwa kesulitan adalah sekolah kehidupan. Kemudahan yang datang adalah hasil dari perubahan sudut pandang batin (inner transformation). Beliau mencontohkan bagaimana orang yang sabar dalam kemiskinan akan menemukan kemudahan dalam rasa syukur dan harga diri, yang jauh lebih berharga daripada kekayaan materi. Hamka menekankan bahwa hati yang lapang (seperti yang dibahas pada awal surat) adalah kemudahan pertama yang diberikan Allah.


V. Aplikasi Psikologis: Resiliensi dan Manajemen Krisis

Dalam konteks modern, Surat Al-Insyirah 5-6 menawarkan kerangka kerja psikologis yang superior untuk menghadapi stres, kecemasan, dan trauma. Ayat ini menanamkan resiliensi (ketahanan mental) yang berbasis spiritual.

1. Mengubah Struktur Kognitif Kekhawatiran

Kebanyakan kekhawatiran manusia berasal dari ketakutan akan ‘ketiadaan akhir’ dari kesulitan. Ayat ini secara radikal mengubah narasi internal tersebut. Ia mengajarkan bahwa kesulitan bukanlah ruang hampa yang abadi; ia adalah jembatan menuju kelapangan. Dengan keyakinan ini, pikiran dapat dialihkan dari mode ‘korban’ menjadi mode ‘bertahan dan belajar’. Ini adalah teknik restrukturisasi kognitif tertinggi, di mana janji Tuhan menjadi data faktual yang diyakini oleh akal dan hati.

2. Peran Sabar dalam Mengaktifkan ‘Yusr’

Sabar (kesabaran) bukanlah pasifitas, melainkan kekuatan aktif untuk menahan diri dari keluh kesah dan terus beramal sambil menunggu janji Allah. Sabar memiliki tiga dimensi, yang semuanya diperlukan untuk mengaktifkan ‘Yusr’:

Hanya dengan sabar yang utuh, seseorang dapat melihat ‘Yusr’ yang telah disisipkan bersamaan dengan ‘Al-Usr’. Kesabaran menjadi lensa yang membuat kemudahan itu terlihat.

3. Terapi Keterulangan (Repetition Therapy)

Pengulangan ayat 5 dan 6 (dua kali) memiliki efek terapeutik yang kuat. Ketika seseorang membaca atau mendengarnya saat tertekan, pengulangan itu berfungsi seperti afirmasi spiritual yang melawan suara-suara keraguan dan keputusasaan dalam pikiran. Ini adalah fondasi dari praktik dzikir, di mana pengulangan kalimat tauhid menenangkan sistem saraf dan mengembalikan fokus kepada Sumber Kekuatan sejati.

Para psikolog Muslim kontemporer sering menggunakan ayat ini sebagai jangkar utama dalam konseling krisis. Mereka menjelaskan bahwa ketika seseorang merasa terhimpit oleh satu masalah yang terasa begitu besar (Al-Usr), harus diingat bahwa Allah telah menjanjikan setidaknya dua jalan keluar atau bentuk kemudahan (Yusra) yang akan datang dari arah yang tak terduga.

Kesulitan menciptakan tekanan, dan tekanan, jika dikelola dengan keyakinan, menghasilkan permata kematangan spiritual dan mental. Rasa sakit yang dirasakan saat ini adalah harga dari pertumbuhan yang akan datang.


VI. Penerapan Praktis dalam Kehidupan dan Profesi

Janji dalam Al-Insyirah 5-6 tidak terbatas pada krisis spiritual atau musibah besar. Ia adalah pedoman operasional untuk keberhasilan di dunia nyata, baik dalam bisnis, karir, maupun pendidikan.

1. Dalam Dunia Kewirausahaan dan Bisnis

Dunia bisnis penuh dengan ketidakpastian (pasar jatuh, modal seret, kompetisi). Bagi seorang wirausahawan Muslim, prinsip ini adalah bahan bakar. Kegagalan bisnis (Al-Usr) harus dilihat sebagai data, bukan sebagai takdir permanen. Kegagalan pertama membawa pelajaran (Yusr 1), dan ketekunan setelah kegagalan membawa keberhasilan sejati di masa depan (Yusr 2).

Ayat ini mendorong ketahanan inovatif. Sejarah menunjukkan bahwa penemuan terbesar sering lahir dari kebutuhan mendesak atau krisis. Kesulitan finansial memaksa kita berpikir di luar kotak, mencari solusi yang lebih efisien dan kreatif. Jika kita menganggap ‘Al-Usr’ sebagai ujian yang memiliki durasi terbatas dan membawa janji dua kemudahan, maka semangat untuk mencoba lagi tidak akan pernah padam.

2. Dalam Lingkungan Akademik dan Pengembangan Diri

Kesulitan dalam belajar, kegagalan ujian, atau proses penelitian yang rumit (Al-Usr) seringkali membuat pelajar putus asa. Prinsip ‘Ma’al Usri Yusra’ mengajarkan bahwa kesusahan belajar yang dialami adalah syarat untuk kemudahan pemahaman yang mendalam. Orang yang berjuang keras untuk menguasai suatu ilmu akan memperoleh dua kemudahan:

Ini adalah seruan untuk merayakan proses perjuangan, bukan hanya hasil. Kesulitan adalah pupuk untuk kecerdasan sejati.

3. Manajemen Hubungan dan Keluarga

Konflik rumah tangga atau kesulitan membesarkan anak (Al-Usr) dapat terasa menghancurkan. Janji ini menegaskan bahwa bahkan dalam krisis terburuk sekalipun, jika pasangan berpegangan pada ajaran ini, mereka akan menemukan kemudahan. Kemudahan pertama mungkin adalah matangnya komunikasi dan empati (Yusr 1), dan kemudahan kedua adalah kokohnya ikatan dan keberkahan keluarga yang dihasilkan dari ujian tersebut (Yusr 2).

Ayat ini menuntut kita untuk mencari ‘Yusr’ yang tersembunyi. Mungkin kesulitan dengan anak adalah kemudahan yang memaksa orang tua menjadi lebih sabar, lebih mendidik, dan lebih dekat kepada Allah. Ini adalah panduan untuk mencari hikmah (kebijaksanaan) dalam setiap masalah yang dihadapi.


VII. Kontemplasi Mendalam: Bagaimana Kemudahan Bisa ‘Bersama’ Kesulitan?

Konsep ‘Ma’a’ (bersama) adalah titik kontemplasi tertinggi dari ayat ini. Bagaimana mungkin cahaya dan kegelapan, kesulitan dan kemudahan, berada dalam satu ruang waktu yang sama? Para arifbillah (ulama yang mendalami tasawuf) memberikan beberapa jawaban:

1. Kemudahan Ibadah di Masa Kesulitan

Salah satu tafsir utama adalah bahwa ketika kesulitan memuncak, ibadah yang dilakukan (seperti shalat, dzikir, atau sedekah) memiliki nilai dan kualitas yang berkali lipat. Kemudahan di sini adalah pahala yang besar yang sedang dicatat oleh malaikat. Pada saat kesulitan (Al-Usr) terjadi, pahala yang luar biasa itu (Yusr) sudah mulai dicatat, sehingga mereka benar-benar ‘bersama’.

2. Penyingkapan Tabir Hakikat Diri

Kesulitan adalah momen kejujuran mutlak. Ia menelanjangi ilusi kita tentang kekuatan diri sendiri dan memaksa kita bersandar sepenuhnya pada Allah. Kemudahan yang ‘bersama’ kesulitan adalah penemuan hakikat diri yang sebenarnya: keterbatasan manusia dan keagungan Tuhan. Pengenalan diri dan pengenalan Tuhan ini adalah puncak dari kemudahan spiritual.

3. Mekanisme Penyeimbang Ilahi

Bayangkan kesulitan sebagai mata uang. Setiap unit kesulitan yang Anda investasikan dengan kesabaran, secara otomatis menghasilkan dua unit kemudahan dalam bentuk ganjaran duniawi atau ukhrawi. Mekanisme ini berjalan simultan dan otomatis. Kemudahan tidak menunggu ‘Al-Usr’ selesai; ia berfungsi sebagai penyeimbang energi yang membuat beban ‘Al-Usr’ terasa lebih ringan saat dipikul.

Inilah yang dimaksud dengan ‘kelapangan dada’ yang disebutkan di awal surat. Ketika hati Nabi ﷺ dilapangkan, beban dakwah yang sangat berat (Al-Usr) tetap ada, tetapi ia menjadi ringan karena hati telah diperluas untuk menampung pertolongan Ilahi (Yusr) secara bersamaan. Kemudahan ini adalah kelapangan batin yang tak dapat dibeli oleh harta benda.

Oleh karena itu, semakin seseorang memahami bahwa kemudahan itu sudah ada BERSAMA kesulitan, semakin ia akan fokus pada ketaatan di tengah ujian, bukan pada upaya melarikan diri dari ujian. Ini adalah perubahan paradigma dari ‘bertahan hidup’ menjadi ‘bertumbuh subur’ di tengah kesulitan.


VIII. Penutup: Deklarasi Keyakinan yang Abadi

Surat Al-Insyirah, khususnya ayat 5 dan 6, adalah salah satu ayat yang paling menghibur dan menguatkan dalam Al-Qur’an. Ia adalah benteng terakhir melawan keputusasaan, dan pengingat abadi bahwa Allah SWT adalah sumber keadilan dan kasih sayang yang sempurna.

Janji “Fa inna ma’al usri yusra, Inna ma’al usri yusra” harus diinternalisasi sebagai sebuah hukum fisika spiritual. Sebagaimana gravitasi adalah hukum alam yang tak terhindarkan, demikian pula janji kemudahan setelah kesulitan adalah hukum Ilahi yang tak terhindarkan. Kesulitan adalah sementara, tunggal, dan terdefinisi. Sementara kemudahan adalah abadi, berlipat ganda, dan meliputi segala aspek kehidupan.

Tugas kita sebagai hamba adalah menjalankan konsekuensi dari ayat ini: bersabar dalam kesulitan (Al-Usr), berprasangka baik (Husnuzan) kepada Allah, dan terus bekerja keras (seperti yang diperintahkan di ayat 7 dan 8 Surat Al-Insyirah) karena yakin bahwa saat usaha kita mencapai puncaknya, kemudahan Ilahi pasti akan menyambut. Setiap tetesan air mata, setiap malam tanpa tidur, dan setiap pengorbanan yang dilakukan di tengah kesulitan adalah investasi yang pasti akan menghasilkan dua kali lipat keuntungan kelapangan di masa depan. Tidak ada kesulitan yang sia-sia, dan tidak ada penderitaan yang tidak ditemani oleh rahmat-Nya.

Marilah kita jadikan kedua ayat yang agung ini sebagai mantra kehidupan, sebagai penanda bahwa tidak peduli seberapa berat beban yang kita pikul, janji Allah adalah kebenaran yang mutlak dan tak pernah gagal. Di mana ada kesulitan, di sana pasti ada kemudahan yang menyertai.

Mengatasi Keputusasaan dengan Paradigma Al-Insyirah

Pengulangan janji ini adalah strategi komunikasi Ilahi yang luar biasa. Allah tahu betapa rapuhnya hati manusia di hadapan ujian yang berlarut-larut. Keputusasaan atau ‘al-ya’s’ adalah salah satu senjata terbesar Iblis untuk menjauhkan manusia dari ibadah dan harapan. Dengan mengulanginya, Allah memberikan antibiotik spiritual terhadap penyakit keputusasaan. Kita diajarkan untuk tidak pernah berhenti berharap, bahkan ketika semua indikator duniawi menunjukkan sebaliknya.

Kajian mendalam para ahli bahasa Arab menunjukkan bahwa penempatan kata ‘Ma’a’ (bersama) sebelum kata ‘Al-Usr’ memiliki efek retorika untuk mempercepat persepsi kemudahan. Seolah-olah kemudahan itu sudah berdiri di depan pintu kesulitan, siap sedia untuk masuk dan menggantikannya. Keyakinan semacam ini memberikan energi yang tak terbatas bagi jiwa untuk terus maju, bertawakkal, dan mengesampingkan kekhawatiran yang sia-sia.

Sesungguhnya, kesulitan yang kita hadapi adalah kesulitan yang sama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad ﷺ, hanya dalam skala dan jenis yang berbeda. Jika Allah menjanjikan kemudahan kepada kekasih-Nya di tengah penolakan dan penganiayaan, maka janji itu berlaku secara universal bagi setiap hamba yang mengikuti jejak kesabaran dan keteguhan hati beliau. Oleh karena itu, kita menutup kajian ini dengan memantapkan kembali keyakinan: kesulitan itu tunggal, kemudahan itu jamak, dan janji Allah adalah pasti.

Fa inna ma’al usri yusra, Inna ma’al usri yusra. Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.

🏠 Homepage