Menggali Makna Surat Al-Insyirah Ayat 7: Prinsip Kerja Keras Tiada Henti
Surat Al-Insyirah, yang dikenal juga sebagai Al-Syarh atau Alam Nasyrah, adalah mutiara ke-94 dalam Al-Qur'an. Ia diturunkan di Mekkah (Makkiyah) pada periode awal kenabian, sebuah masa di mana Rasulullah ﷺ menghadapi tekanan, kesulitan, dan penolakan yang luar biasa. Seluruh surah ini berfungsi sebagai sumber penghiburan ilahi, penegasan janji kemudahan setelah kesukaran, dan bimbingan moral serta etos kerja yang abadi bagi seluruh umat manusia.
Inti dari surah ini adalah janji ketenangan dan kelapangan hati yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ, diikuti dengan kaidah universal yang menjadi pedoman hidup, yaitu ayat ketujuh. Ayat ini bukan sekadar anjuran, melainkan sebuah instruksi ilahi tentang bagaimana seorang hamba harus menjalani siklus kehidupan yang dipenuhi dengan tanggung jawab dan ibadah yang berkelanjutan.
Ayat Kunci dan Terjemahannya
Terjemahan harfiah dari ayat ketujuh ini adalah:
"Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)." (QS. Al-Insyirah [94]: 7)
Ayat ini berdiri sebagai jembatan yang menghubungkan janji kemudahan (ayat 5 dan 6) dengan tujuan akhir kehidupan seorang mukmin (ayat 8). Ia mengajarkan bahwa kelapangan yang diberikan Allah harus disambut bukan dengan kelengahan, melainkan dengan peningkatan intensitas amal dan perjuangan yang baru.
I. Analisis Mendalam Tafsir Per Kata (Tahlil Lafdzi)
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus mengurai setiap kata kuncinya, terutama kontras antara *Faraghta* dan *Fanṣab*.
A. Kata Kunci: فَإِذَا (Fa Izā) – Maka Apabila
Kata ini menunjukkan konsekuensi dan urutan logis. Huruf *Fā’* (فَ) adalah penghubung yang menunjukkan hasil langsung dari kondisi sebelumnya (yaitu, kelapangan hati dan kemudahan yang telah diberikan Allah, sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat 1-6). Ia menetapkan bahwa tindakan yang diperintahkan (bekerja keras) adalah respons yang segera dan logis terhadap kemudahan yang telah dirasakan.
B. Kata Kunci: فَرَغْتَ (Faraghta) – Engkau Telah Selesai
Kata kerja ini berasal dari akar kata *Farāgh* (فراغ) yang berarti kosong, luang, bebas, atau selesai dari pekerjaan. Dalam konteks ayat ini, para mufasir memiliki spektrum pandangan yang luas mengenai apa yang dimaksud dengan ‘selesai’:
1. Selesai dari Kewajiban Duniawi (Tafsir Ibadah ke Dunia)
Menurut beberapa ulama seperti Qatadah dan Mujahid, *Faraghta* berarti selesai dari urusan duniawi yang sifatnya mubah atau kebutuhan hidup. Apabila seseorang telah menyelesaikan pekerjaannya untuk mencari nafkah, membersihkan rumah, atau menyelesaikan tugas sosial, maka dia harus segera beralih kepada kewajiban kepada Allah.
2. Selesai dari Kewajiban Ilahi (Tafsir Ibadah ke Ibadah)
Ini adalah tafsir yang paling kuat di antara ulama salaf, termasuk Ibnu Abbas dan al-Hasan al-Basri. *Faraghta* berarti:
- Selesai dari shalat fardhu: Segera beralih kepada dzikir, doa, atau shalat sunnah.
- Selesai dari haji: Segera bersiap untuk ibadah atau pekerjaan lain.
- Selesai menyampaikan dakwah (bagi Rasulullah ﷺ): Segera bersiap untuk beribadah secara pribadi dan memohon pertolongan Allah.
Inti dari tafsir ini adalah bahwa kehidupan seorang mukmin tidak mengenal jeda spiritual yang mutlak. Satu ibadah yang selesai hanyalah titik tolak menuju ibadah selanjutnya. Kekosongan waktu harus segera diisi dengan kebermaknaan.
3. Selesai dari Perjuangan (Tafsir Konteks Kenabian)
Dalam konteks Nabi Muhammad ﷺ yang sedang berjuang di Mekkah, *Faraghta* dapat merujuk pada selesai dari beban kesulitan tertentu atau penuntasan tugas kenabian. Ketika Allah memberinya kelapangan dada dan menghilangkan kesulitan, beliau diperintahkan untuk tidak beristirahat, melainkan untuk memulai fase perjuangan yang lebih berat.
C. Kata Kunci: فَانصَبْ (Fanṣab) – Tetaplah Bekerja Keras
Kata ini berasal dari akar kata *Naṣaba* (نصب) yang berarti berusaha keras, berjerih payah, lelah, mendirikan, atau menempatkan sesuatu. Adanya huruf *Fā’* (فَ) di awal lagi-lagi menegaskan perintah yang harus dilakukan segera setelah kondisi *Farāgh* tercapai.
1. Penafsiran Naṣab sebagai Ibadah Intensif (Paling Umum)
Mayoritas ulama menafsirkan *Fanṣab* sebagai perintah untuk beribadah dengan penuh kesungguhan. Ketika Nabi ﷺ selesai dari tugas berat, Allah memerintahkannya untuk mendirikan shalat malam (Qiyamul Lail), berdzikir, dan berdoa secara intensif. Ini menunjukkan bahwa puncak istirahat spiritual bagi seorang hamba adalah berpindah dari kesulitan duniawi menuju kelelahan dalam beribadah. Kelelahan ini adalah kelelahan yang menghasilkan pahala dan kedekatan dengan Allah.
2. Penafsiran Naṣab sebagai Doa (Fokus Kepasrahan)
Ada juga penafsiran, yang juga diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa *Fanṣab* berarti 'tegakkanlah tanganmu dalam doa' atau 'berdirilah dalam shalat'. Ini menyoroti bahwa upaya keras yang dimaksud adalah fokus pada komunikasi spiritual dan munajat kepada Allah SWT, bukan hanya kerja fisik semata.
3. Penafsiran Naṣab sebagai Kontinuitas Kerja Dunia dan Akhirat
Dalam pandangan yang lebih luas dan modern, *Fanṣab* adalah perintah untuk meneruskan kerja keras, entah itu dalam ibadah (akhirat) atau urusan sosial/ekonomi (dunia), selama kerja itu bertujuan meraih ridha Allah. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan setelah menyelesaikan suatu proyek; proyek yang lain harus segera dimulai.
II. Prinsip Kontinuitas Amal: Melawan Kekosongan (Al-Farāgh)
Ayat 7 Surat Al-Insyirah menanamkan filosofi kehidupan yang menolak konsep kelambanan atau kekosongan yang berlebihan. Dalam pandangan Islam, waktu adalah modal (*ra’s al-māl*), dan kekosongan adalah bahaya terbesar bagi iman seseorang.
A. Bahaya *Farāgh* yang Negatif
Jika *Faraghta* dipahami sebagai keadaan 'selesai' atau 'luang' dari tanggung jawab, maka Islam mengajarkan bahwa kekosongan ini harus segera diisi agar tidak menjadi pintu masuk bagi kemaksiatan atau kesia-siaan. Jiwa yang tidak disibukkan dengan kebaikan pasti akan disibukkan oleh kebatilan. Oleh karena itu, perintah *Fanṣab* adalah pencegahan terhadap penyakit spiritual seperti kemalasan (*kasal*), penundaan (*tasawwuf*), dan penyakit hati lainnya.
B. *Ibadah* sebagai Transisi, Bukan Istirahat
Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah tidak pernah menjadi sekadar jeda atau istirahat dari kehidupan; ibadah adalah tujuan itu sendiri. Ketika Nabi ﷺ selesai dari tekanan dakwah di siang hari, beliau diperintahkan untuk 'bekerja keras' lagi di malam hari melalui shalat, seperti yang diperjelas dalam QS. Al-Muzzammil, yang juga menekankan upaya keras dalam ibadah malam.
C. Hukum *Naṣab* dalam Kehidupan Profesional
Ayat ini memberikan fondasi teologis yang sangat kuat bagi etos kerja Islam. Ini menuntut mentalitas proaktif dan anti-prokrastinasi. Dalam konteks profesional, *Fanṣab* berarti:
- Respons Cepat: Menyelesaikan satu tugas dengan kualitas terbaik, dan segera beralih ke tugas berikutnya tanpa menunggu insentif eksternal.
- Efisiensi Waktu: Memaksimalkan waktu luang antara proyek atau pertemuan untuk kegiatan yang produktif (misalnya, membaca, merencanakan, berdzikir).
- Peningkatan Kualitas (*Ihsan*): Menganggap bahwa setiap penyelesaian adalah peluang untuk memulai proyek yang lebih baik, lebih menantang, dan lebih bermanfaat bagi umat.
Jeda atau istirahat fisik memang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, tetapi jeda spiritual atau mental yang mengarah pada kelambanan adalah sesuatu yang ditentang keras oleh perintah *Fanṣab* ini. Istirahat harus menjadi sarana untuk mengisi energi, bukan tujuan untuk menghabiskan waktu.
III. Penerapan Fiqh Ayat 7 dalam Siklus Ibadah Harian
Penerapan paling konkret dari *Fa izā faraghta fanṣab* terjadi dalam kehidupan ibadah seorang mukmin, khususnya mengenai transisi antara shalat wajib dan amal sunnah.
A. Transisi Setelah Shalat Fardhu
Menurut tafsir Ibnu Abbas, selesainya shalat fardhu (misalnya, Dzuhr atau Ashr) adalah momen *Faraghta*. Perintah *Fanṣab* di sini adalah segera mendirikan ibadah lain, yaitu:
- Dzikir dan Wirid: Segera setelah salam, mukmin diperintahkan untuk berdzikir, memuji, dan mengagungkan Allah. Ini adalah "kerja keras" spiritual yang menstabilkan hati dan menegaskan ketaatan.
- Doa dan Munajat: Waktu setelah shalat adalah waktu mustajab. Menegakkan tangan dalam doa (seperti tafsir Ibnu Mas'ud) adalah bentuk *Naṣab* yang menunjukkan ketergantungan total kepada Allah.
- Shalat Sunnah Rawatib: Setelah shalat fardhu, Nabi ﷺ menganjurkan shalat sunnah rawatib, memastikan bahwa siklus ibadah berlanjut dan kesadaran spiritual tidak padam.
Bayangkan jika seorang hamba menyelesaikan shalat (Faraghta) dan segera tenggelam dalam urusan duniawi tanpa dzikir (Naṣab), maka makna spiritual dari shalat itu akan cepat menguap. Ayat ini memastikan bahwa benang penghubung antara hamba dan Rabb-nya selalu terjalin erat.
B. *Fanṣab* dan Konsep *Jihadun Nafs*
Perintah untuk bekerja keras memiliki dimensi yang sangat mendalam terkait dengan *Jihadun Nafs* (perjuangan melawan hawa nafsu). Selesai dari tugas apapun, baik duniawi maupun akhirat, selalu diikuti oleh dorongan untuk berleha-leha dan menunda tugas berikutnya. *Fanṣab* adalah perintah untuk menolak dorongan tersebut.
Dalam konteks puasa Ramadhan, ketika bulan suci selesai (*Faraghta*), mukmin diperintahkan untuk segera melanjutkan perjuangan spiritual, misalnya dengan puasa sunnah Syawal atau meningkatkan kualitas shalat malam di luar Ramadhan. Siklus ketaatan tidak boleh terputus hanya karena momentum ibadah kolektif telah berakhir.
C. *Fanṣab* Sebagai Manifestasi *Tawakkal* yang Dinamis
Ayat ke-8 dari surah ini menyebutkan, "dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap." (Wailā rabbika farghab). Ayat 7 dan 8 tidak dapat dipisahkan. *Fanṣab* (bekerja keras) adalah wujud nyata dari *Tawakkal* (berserah diri). Islam menolak tawakal pasif yang hanya menunggu takdir. Justru, seorang hamba harus mengerahkan seluruh usaha (Naṣab) terlebih dahulu, baru kemudian hatinya berserah total (Raghbah) kepada Allah atas hasil dari usahanya tersebut.
Kerja keras yang diperintahkan di sini adalah ibadah yang dinamis—sebuah manifestasi fisik dan mental dari keimanan yang harus selalu diperbarui.
IV. Etos Kerja Islami Berdasarkan Ayat 7: Dimensi Sosial dan Ekonomi
Meskipun konteks awal ayat ini berkaitan dengan Nabi Muhammad ﷺ dan urusan spiritual, kaidah yang dikandungnya bersifat universal dan sangat relevan dengan pembentukan masyarakat yang produktif dan berkeadilan.
A. Penolakan terhadap Mentalitas Pekerja Musiman
Ayat 7 secara tegas menolak mentalitas pekerja musiman. Seorang mukmin tidak boleh hanya bekerja keras ketika ada kebutuhan mendesak, tenggat waktu yang ketat, atau motivasi yang tinggi. Kerja keras adalah sikap hidup permanen. Ketika satu proyek selesai, energi yang sama harus segera dialihkan ke proyek atau tanggung jawab berikutnya, baik itu pengembangan diri, pelayanan masyarakat, atau penemuan ilmiah.
Ini menciptakan siklus produktivitas yang berkelanjutan, di mana setiap penyelesaian adalah gerbang menuju tantangan baru. Keberhasilan tidak dipandang sebagai titik akhir, melainkan sebagai fondasi untuk usaha yang lebih besar.
B. Keseimbangan Antara Kebutuhan dan Keinginan
Dalam teori manajemen waktu Islam, waktu harus dibagi secara adil: waktu untuk Allah, waktu untuk keluarga, dan waktu untuk mencari penghidupan. *Fanṣab* memastikan bahwa tidak ada satu pun dari sektor ini yang dibiarkan kosong ketika sektor lain telah selesai. Selesai dari pekerjaan kantor, mukmin harus segera *Fanṣab* dalam pekerjaan rumah tangga atau pendidikan anak, atau bahkan yang paling penting, ibadah personal.
Profesor Fazlur Rahman menekankan bahwa perintah *Fanṣab* ini mengubah konsep kerja di mata Islam. Kerja menjadi ibadah (al-kasb al-thayyib) hanya jika dilakukan dengan kesungguhan (Naṣab) dan dihubungkan dengan harapan kepada Allah (Raghbah).
C. *Fanṣab* dalam Mencari Ilmu
Bagi seorang penuntut ilmu (*thālibul ‘ilm*), ayat ini memiliki makna khusus. Ketika selesai mempelajari satu bab atau menuntaskan satu kitab (Faraghta), ia tidak boleh berpuas diri. Ia harus segera *Fanṣab* dengan mengulang, mengajarkan, atau memulai kitab baru. Kehidupan ilmiah adalah perjuangan tanpa henti, karena ilmu adalah samudera yang tak bertepi. Rasa puas diri dalam ilmu adalah awal dari kebodohan.
D. Dampak Psikologis: Mengisi Kesenjangan
Dari sisi psikologi positif, ayat ini memberikan kerangka kerja yang sangat sehat: flow state (keadaan mengalir). Dengan beralih segera dari satu tugas ke tugas lain yang bermanfaat, seseorang mencegah masuknya stres, kebosanan, dan perasaan tidak berguna. Rasa pencapaian terus menerus dipupuk melalui perjuangan yang berkelanjutan, bukan melalui relaksasi yang berlebihan.
V. Kontras Konsep: *Farāgh*, *Naṣab*, dan *Raghbah*
Surat Al-Insyirah ditutup dengan tiga konsep krusial yang saling terkait dalam ayat 7 dan 8:
- Farāgh (Kekosongan/Selesai): Keadaan telah menyelesaikan suatu tugas.
- Naṣab (Perjuangan/Kelelahan): Perintah untuk segera memulai usaha keras yang baru.
- Raghbah (Harapan/Keinginan): Arah tujuan dari semua perjuangan tersebut.
A. Naṣab Sebagai Jembatan Menuju Raghbah
Perjuangan (*Naṣab*) yang diperintahkan dalam ayat 7 bukanlah perjuangan yang sia-sia, melainkan perjuangan yang terarah. Ayat 8, *Wa ilā rabbika farghab* (Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap), memberikan panduan tujuan. Semua usaha keras, semua kelelahan, dan semua kontinuitas amal yang kita lakukan harus disandarkan pada harapan dan kerinduan untuk meraih ridha Allah semata.
Jika *Naṣab* dilakukan tanpa *Raghbah* kepada Allah, ia hanya akan menjadi kerja keras duniawi yang melelahkan dan berpotensi menimbulkan keangkuhan atau rasa putus asa ketika gagal. Sebaliknya, jika *Raghbah* ada tanpa *Naṣab*, ia menjadi ilusi dan tawakal pasif yang dilarang.
B. Ketidakberakhiran Tugas bagi Seorang Mukmin
Bagi seorang muslim, tugas yang diberikan Allah tidak akan pernah benar-benar selesai di dunia ini, kecuali dengan datangnya kematian. Jika seseorang menyelesaikan tugas dakwah di suatu daerah, tugas berikutnya adalah penguatan keimanan di sana. Jika dia selesai membangun masjid, tugas berikutnya adalah memakmurkannya. Siklus ini mencerminkan hakikat peribadatan dalam Islam: ketaatan adalah proses, bukan titik akhir.
Para ulama tafsir menekankan bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan rasa terbebani yang dirasakan Nabi ﷺ. Allah tidak menghilangkan beban sepenuhnya; Dia mengubah beban menjadi energi. Beliau diajarkan bahwa setelah beban dakwah diangkat, beban ibadah yang lebih intensif menanti, dan beban ini adalah beban yang menenangkan (sakinah), bukan yang membebani (taklif) dalam arti negatif.
C. Dimensi Sufistik dari Fanṣab
Dalam kacamata tasawuf, *Fanṣab* dapat diartikan sebagai perintah untuk selalu ‘berdiri’ di hadapan Allah dalam keadaan spiritual yang waspada. Ketika hati telah ‘selesai’ (Faraghta) dari kesibukan duniawi atau telah tenang, ia harus segera ‘ditegakkan’ (Naṣab) dalam *muraqabah* (pengawasan diri) dan *muhasabah* (introspeksi). Kelelahan yang dicari adalah kelelahan dalam melawan diri sendiri, kelelahan yang membersihkan jiwa dari kotoran.
VI. Telaah Perbandingan dan Penguatan Konsep Istiqamah
Prinsip yang terkandung dalam Surat Al-Insyirah ayat 7 sangat selaras dengan konsep istiqamah (keteguhan dan konsistensi) yang ditekankan di banyak ayat Al-Qur'an dan Hadits.
A. Kesinambungan dengan Surat Al-Muzzammil
Surat Al-Insyirah sering kali dilihat berdampingan dengan Al-Muzzammil, yang juga diturunkan di awal kenabian. Ketika Nabi ﷺ merasa terbebani, Surat Al-Muzzammil memerintahkan: *Qumil laila illā qalīlā* (Bangunlah di malam hari (untuk shalat), kecuali sedikit). Ini adalah perintah spesifik untuk *Naṣab* (berdiri dan berjuang) dalam ibadah malam, sebagai respons terhadap beban dakwah di siang hari.
Kedua surah ini saling menguatkan: jika kamu merasa lapang (Insyirah), manfaatkan untuk perjuangan baru (Ayat 7); jika kamu merasa berat (Muzzammil), perjuangan malam akan menjadi penguat jiwa.
B. Hadits tentang Amalan yang Paling Dicintai
Prinsip *Naṣab* yang berkelanjutan juga didukung oleh hadits Nabi ﷺ yang menekankan pentingnya amal yang konsisten, meskipun sedikit. Aisyah ra. meriwayatkan bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten (dawam), meskipun jumlahnya sedikit. Prinsip ini adalah antitesis dari bekerja keras secara eksplosif dan kemudian terhenti karena kelelahan spiritual. *Fanṣab* mengajarkan kerja keras yang berkelanjutan dan terukur.
C. Konsistensi Melawan *Futur* (Kelemahan Iman)
Dalam perjalanan spiritual, setiap mukmin pasti menghadapi *futur*—masa-masa di mana semangat ibadah melemah atau terasa hambar. Ayat 7 adalah obat spiritual untuk mengatasi *futur*. Ketika seseorang merasa puas atau telah mencapai titik keberhasilan (Faraghta), di situlah potensi *futur* paling besar muncul. Perintah *Fanṣab* memaksa kita untuk mengabaikan rasa puas diri itu dan segera menemukan titik perjuangan baru. Ini menjaga mesin spiritual agar tetap panas.
Para sufi menyebutkan bahwa perjuangan itu sendiri adalah rezeki spiritual. Kelelahan yang timbul dari ketaatan adalah kelelahan yang manis (*talab al-halāwah*). Sebaliknya, istirahat yang mutlak dari perjuangan adalah kegelisahan yang sesungguhnya.
D. Mengelola Sumber Daya Diri
Prinsip *Fa izā faraghta fanṣab* mengajarkan manajemen energi yang cerdas. Itu bukan perintah untuk menjadi workaholic yang merusak diri, tetapi untuk mengalihkan energi secara efisien. Energi yang baru didapatkan setelah menyelesaikan tugas atau setelah beristirahat harus segera disalurkan ke arah yang benar. Setiap jeda yang diambil harus direncanakan sebagai sarana untuk menghasilkan *Naṣab* yang lebih berkualitas pada tugas berikutnya.
Jika seseorang menggunakan *Farāgh* untuk tujuan yang sia-sia, energi itu terbuang. Jika ia menggunakannya untuk berjuang demi Allah (*Fanṣab*), energi itu menjadi berkah dan investasi abadi.
E. *Naṣab* dan Konsep Puncak Ketaatan
Para mufasir modern sering menafsirkan *Naṣab* sebagai puncak ketaatan yang tulus. Ketika Nabi ﷺ merasakan kelapangan setelah kesempitan, responsnya adalah meningkatkan ibadah, bukan mengurangi. Ini adalah teladan tertinggi dari syukur. Syukur yang sejati diungkapkan bukan hanya melalui lisan, tetapi melalui peningkatan kinerja dan perjuangan. Semakin besar nikmat yang Allah berikan (Faraghta), semakin besar pula tuntutan perjuangan yang harus dipenuhi (Fanṣab).
VII. Konteks Sejarah dan Relevansi Abadi
Ketika surah ini diturunkan, Nabi Muhammad ﷺ berada dalam masa-masa paling sulit di Mekkah, menghadapi cemoohan dan keraguan internal. Allah memberinya kelapangan dada dan janji kemudahan. Dalam momen psikologis yang krusial ini, ayat 7 memastikan bahwa kelapangan itu tidak membawa pada stagnasi.
A. Pelajaran dari Selesainya Perang
Dalam konteks militer dan perjuangan fisik, ayat ini juga memberikan arahan. Ketika umat Islam selesai dari satu pertempuran atau peperangan (Faraghta), mereka tidak boleh bersantai-santai, melainkan harus segera bersiap untuk mempertahankan kemenangan, berdakwah kepada yang belum tersentuh, atau mempersiapkan diri menghadapi tantangan berikutnya (Fanṣab). Perjuangan ideologis dan fisik selalu berlanjut.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin kecuali di surga." Ungkapan ini merangkum esensi dari *Fanṣab*: di dunia ini, kehidupan adalah medan jihad yang berkelanjutan.
B. Menghadapi Krisis Global
Dalam menghadapi krisis atau kesulitan global (misalnya, pandemi, krisis ekonomi, atau konflik sosial), ayat ini menjadi pedoman aksi. Setelah melewati puncak kesulitan (Faraghta), kaum muslimin diperintahkan untuk tidak larut dalam euforia kesembuhan atau pemulihan, melainkan segera *Fanṣab* untuk membangun kembali sistem yang lebih kuat, menegakkan keadilan, dan meningkatkan solidaritas sosial.
Pembangungan fisik harus diiringi oleh pembangunan spiritual. Selesai dari kepayahan dunia, segera mulai kepayahan akhirat. Selesai dari usaha keras mencari nafkah, segera mulai usaha keras beribadah dan introspeksi diri.
C. Ayat 7 sebagai Penyeimbang
Ayat 7 berfungsi sebagai penyeimbang sempurna. Jika ayat 5 dan 6 memberikan harapan dan jaminan spiritual ("Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"), ayat 7 memastikan bahwa harapan tersebut tidak disalahartikan sebagai lisensi untuk bermalas-malasan. Kemudahan yang datang adalah energi yang harus segera digunakan kembali untuk ketaatan yang lebih tinggi. Keseimbangan ini adalah kunci untuk mencapai kesuksesan duniawi dan ukhrawi.
Keteguhan dalam Naṣab adalah bukti keimanan sejati. Ia membedakan orang yang sekadar mencari kenyamanan duniawi dari mereka yang menjadikan kehidupan dunia sebagai jembatan menuju akhirat yang kekal. Mereka yang memahami ayat ini tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah berhenti berbuat baik, dan tidak pernah berhenti memohon kepada Allah.
Siklus kehidupan seorang muslim sejati adalah siklus yang tak terputus: Ibadah, Kerja, Selesai (Faraghta); Ibadah Lain, Kerja Lain, Berjuang (Fanṣab); Semua Diarahkan Kepada Allah (Raghbah). Ini adalah formula kesuksesan yang dijamin oleh Al-Qur'an.
VIII. Penutup: Perjuangan yang Membawa Berkah
Surat Al-Insyirah ayat 7, "Fa izā faraghta fanṣab," adalah intisari dari etos perjuangan Islami. Ia adalah panggilan untuk kontinuitas amal, penolakan terhadap kekosongan, dan penegasan bahwa setiap penyelesaian hanyalah permulaan. Perintah ini relevan di setiap zaman dan di setiap aspek kehidupan: dari ruang shalat hingga medan juang, dari kelas belajar hingga pasar perdagangan.
Kelelahan yang timbul dari memenuhi perintah *Fanṣab* ini bukanlah kelelahan yang sia-sia, melainkan kelelahan yang dicatat sebagai jihad, kelelahan yang mendekatkan hamba kepada Tuhannya, dan kelelahan yang pada akhirnya akan digantikan dengan istirahat abadi di Jannah.
Maka, marilah kita jadikan setiap penyelesaian tugas—sekecil apapun—sebagai pemicu untuk segera memulai perjuangan baru, dengan harapan yang teguh dan hanya tertuju kepada Rabb semesta alam.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَب
(QS. Al-Insyirah [94]: 7-8)
Pengulangan dan penegasan terhadap prinsip ini harus menjadi nafas harian seorang mukmin. Tidak ada waktu untuk berdiam diri. Setelah shalat subuh, sibukkan diri. Setelah selesai bekerja, sibukkan diri dengan keluarga dan ibadah. Setelah selesai berdakwah, sibukkan diri dengan introspeksi. Kontinuitas ini adalah manifestasi dari keimanan yang hidup dan dinamis. Ia adalah janji Allah bahwa usaha keras yang tulus dan berkelanjutan tidak akan pernah disia-siakan, dan ia adalah syarat untuk mencapai ketenangan hakiki yang dijanjikan di awal surah.
Umat Islam harus menjadi umat yang paling produktif, paling gigih, dan paling efektif dalam memanfaatkan setiap detik waktu yang diberikan, karena kita memiliki perintah ilahi yang tegas: setelah kamu selesai, berjuanglah lagi dengan sekuat tenaga.
Perjuangan ini mencakup aspek-aspek yang tak terhitung jumlahnya. Di dalamnya termasuk perjuangan untuk menahan lisan dari ghibah setelah menyelesaikan majelis ilmu, perjuangan untuk bersedekah setelah mendapatkan rezeki, perjuangan untuk mengikhlaskan niat setelah berhasil dalam suatu urusan, dan perjuangan untuk kembali berdiri shalat malam setelah tubuh merasa lelah oleh kegiatan duniawi. Semuanya adalah implementasi dari perintah "Fanṣab".
Jika kita menelaah lebih jauh lagi, hikmah tersembunyi dari ayat ini terletak pada pencegahan terhadap penyakit hati yang paling berbahaya: ‘ujub (bangga diri). Ketika seseorang menyelesaikan tugas besar (Faraghta), ia rentan terhadap perasaan bangga diri. Perintah Fanṣab segera menggeser fokusnya dari pencapaian masa lalu ke tanggung jawab masa depan, memaksanya untuk tetap merendah dan menyadari bahwa semua kemampuan untuk berjuang berasal dari Allah SWT. Dengan demikian, ayat ini adalah penawar bagi kesombongan intelektual, spiritual, dan material.
Dalam konteks pengembangan komunitas, seorang pemimpin yang telah menyelesaikan proyek pembangunan (Faraghta) harus segera Fanṣab dalam proyek pemberdayaan masyarakat. Seorang pendidik yang selesai mengajar satu generasi (Faraghta) harus Fanṣab dalam merancang kurikulum baru untuk generasi berikutnya. Ayat ini memastikan bahwa kemajuan adalah proses yang linear, tidak boleh stagnan. Visi dan misi seorang mukmin tidak pernah berhenti di satu titik sukses; ia adalah pengejaran tanpa akhir menuju kesempurnaan amal (*Ihsan*).
Mari kita renungkan betapa besar rahmat Allah yang terkandung dalam instruksi ini. Allah tidak hanya memberi kemudahan, tetapi juga memberi petunjuk tentang cara mempertahankan kemudahan itu, yaitu melalui kerja keras yang terus menerus. Ini adalah pola pikir para nabi dan orang-orang saleh, yang selalu menemukan kebahagiaan sejati justru dalam kelelahan yang dialami dalam rangka mencari keridhaan-Nya.
Kekuatan seorang mukmin terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dari satu jenis perjuangan ke jenis perjuangan yang lain. Dari perjuangan fisik di medan perang, beralih ke perjuangan mental dalam menuntut ilmu, dan kemudian beralih ke perjuangan spiritual dalam menyepi bermunajat di sepertiga malam terakhir. Transisi yang mulus dan cepat antar tugas ini adalah esensi dari Fariqhta Fanṣab. Ia adalah gaya hidup, bukan hanya sebuah saran.
Dalam sejarah Islam, para ulama besar dikenal karena etos kerja mereka yang luar biasa, menyelesaikan puluhan bahkan ratusan kitab. Mereka mencontohkan *Fanṣab* dengan sempurna—setelah selesai mengarang satu jilid, mereka langsung memulai jilid berikutnya. Setelah selesai mengajar di satu majelis, mereka melanjutkan ke majelis lain. Mereka memahami bahwa *Farāgh* adalah bahaya yang harus dihindari, dan *Naṣab* adalah kesempatan untuk mendekat. Mereka membuktikan bahwa produktivitas tanpa batas dapat dicapai ketika digerakkan oleh niat yang tulus (Raghbah).
Oleh karena itu, setiap muslim yang berupaya menerapkan ayat ini dalam hidupnya akan menemukan bahwa kekhawatiran dan kegelisahan yang sering menyertai kehidupan duniawi mulai memudar. Fokus bergeser dari kekecewaan atas kesulitan masa lalu menjadi semangat menghadapi tantangan masa depan. Ini adalah janji ketenangan yang abadi, yang diperoleh melalui kerja keras yang tak kenal lelah, yang semuanya diarahkan kepada Allah, Rabb pemilik segala kemudahan.
Ayat ini adalah undangan untuk mengambil bagian dalam perlombaan kebaikan yang tidak pernah berakhir. Sebuah perlombaan yang mana garis akhirnya hanyalah surga, dan sampai kita mencapainya, perintahnya jelas: Berjuanglah! (Fanṣab).
Subhanallah, betapa indahnya hikmah yang terkandung dalam satu baris instruksi ini. Ia adalah panduan lengkap bagi manajemen waktu, spiritualitas, etos kerja, dan pembangunan karakter. Ia mengajarkan kita bahwa ibadah dan pekerjaan duniawi bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan bagian dari satu siklus ketaatan yang berkesinambungan. Ketika kita berlelah-lelah di dunia ini demi menjalankan perintah Fanṣab, sesungguhnya kita sedang menanam pohon yang buahnya akan kita petik di akhirat kelak, tempat di mana tidak ada lagi Naṣab, hanya Farāgh (kebebasan) yang abadi dari segala kepayahan.