Surat Al-Kahfi, yang berarti Gua, adalah salah satu surat yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Qur'an. Surat ini memuat empat kisah besar yang menjadi fondasi pelajaran tentang iman, cobaan, dan akhir zaman: kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua), kisah dua pemilik kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah Dzulqarnain. Di antara kisah-kisah agung tersebut, terselip mutiara tauhid yang sangat mendalam, yakni pada ayat ke-39, yang merupakan klimaks dialog antara dua orang sahabat pemilik kebun.
Ayat ini tidak hanya menceritakan sebuah dialog masa lalu, tetapi juga memberikan pedoman fundamental bagi setiap muslim dalam menghadapi godaan dunia, kekayaan, dan rasa bangga yang dapat merusak keimanan. Kalimat yang terkandung di dalamnya—"Ma sha Allah la quwwata illa billah"—adalah penawar bagi kesombongan, pengakuan mutlak atas Kehendak Ilahi, dan penegasan bahwa tidak ada kekuatan kecuali yang bersumber dari Allah Yang Maha Kuasa.
Sebelum membahas secara spesifik kandungan ayat 39, penting untuk memahami latar belakang kisah yang menjadi pemicunya. Kisah ini (terdapat pada ayat 32-44) menceritakan tentang dua orang laki-laki. Salah satunya dikaruniai kekayaan yang luar biasa: dua kebun anggur yang dikelilingi pohon kurma, di tengahnya mengalir sungai. Kehidupannya penuh kemewahan, hasil bumi melimpah ruah, dan ia merasa dirinya adalah puncak kesuksesan duniawi.
Sahabatnya, di sisi lain, adalah seorang mukmin yang miskin atau berkecukupan seadanya. Ketika pemilik kebun yang kaya itu berdialog dengan sahabatnya, ia berbicara dengan nada meremehkan, penuh keangkuhan, dan keraguan terhadap hari kebangkitan. Ia begitu yakin bahwa kekayaannya akan abadi dan tidak akan pernah binasa. Rasa sombong ini, yang lahir dari penglihatan yang terbatas pada sebab-sebab materi duniawi, adalah titik awal kejatuhannya.
Pemilik kebun yang kaya melupakan satu hal mendasar: bahwa segala yang ia miliki hanyalah pinjaman dan anugerah. Ia gagal menghubungkan hasil dan sebab-sebab duniawi tersebut kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Inilah penyakit hati yang paling berbahaya: al-istighna (merasa cukup dan mandiri) yang berujung pada kekufuran nikmat. Ia merasa bahwa usahanya, kepintarannya, dan modalnya lah yang menciptakan kekayaan tersebut, padahal semua itu adalah bagian dari takdir yang diizinkan Allah.
Dialog ini mencapai titik kritis ketika sahabat yang mukmin, yang hatinya penuh dengan tauhid, menyajikan nasihat yang menusuk. Nasihat tersebut bertujuan untuk mengembalikan pandangan temannya kepada realitas Ilahiah. Ia tidak mendebat soal kekayaan fisik temannya, tetapi ia menyerang akar kesombongan dan kekufuran yang menggerogoti hati temannya.
Ayat 39 Surah Al-Kahfi adalah puncak dari nasihat sang sahabat mukmin. Inilah teks Arab dan terjemahan dari ayat yang mulia tersebut:
Kalimat yang dicetak tebal dalam terjemahan tersebut, مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ, adalah inti dari tauhid dalam menghadapi nikmat dunia. Sang sahabat mukmin menyesalkan mengapa temannya tidak mengucapkan kalimat tersebut saat melihat keindahan kebunnya. Kalimat ini berfungsi sebagai rem spiritual yang mencegah hati terjerumus dalam kekaguman diri sendiri (ujub) dan kesombongan (kibr).
Secara harfiah berarti "Apa yang dikehendaki Allah". Ini adalah pengakuan fundamental terhadap prinsip Qada' wal Qadar (ketentuan dan takdir Allah). Ketika seseorang melihat keindahan, kekayaan, atau kesuksesan—baik milik sendiri maupun milik orang lain—mengucapkan "Ma sha Allah" adalah pengakuan bahwa semua itu terjadi semata-mata karena izin dan kehendak mutlak Allah, bukan karena kecerdasan atau kekuatan manusia semata.
Pengucapan ini menanamkan kesadaran bahwa manusia hanyalah pelaku dari skenario yang telah ditetapkan. Kekayaan dan hasil panen melimpah bukanlah kepastian, tetapi kemungkinan yang diizinkan-Nya. Hal ini membawa ketenangan bagi orang yang mengucapkannya, sekaligus menjadi perisai dari sifat iri atau takjub berlebihan yang menyesatkan.
Artinya: "Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah." Bagian ini menegaskan prinsip Tawakkal (berserah diri) dan penolakan terhadap kekuatan diri yang berdiri sendiri. Segala daya dan upaya (termasuk tenaga kerja, modal, teknologi) yang digunakan untuk mencapai keberhasilan hanyalah alat yang keberhasilannya bergantung pada izin Allah.
Jika "Ma sha Allah" berbicara tentang takdir dan kehendak yang melatarbelakangi, maka "La Quwwata illa billah" berbicara tentang pelaksanaan dan sumber energi. Kekuatan fisik untuk bekerja, kekuatan mental untuk berpikir, dan kekuatan modal untuk berinvestasi, semuanya berasal dari Allah. Jika Dia mencabut kekuatan itu, maka kebun yang subur akan layu, dan modal yang besar akan hilang sekejap mata.
Ayat ini adalah salah satu penjelas terbaik tentang Tauhid Rububiyah (keesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta) dan Tauhid Uluhiyah (keesaan Allah dalam peribadatan). Tiga pilar utama Tauhid yang diajarkan oleh ayat ini adalah:
Penyakit pertama yang diderita oleh pemilik kebun yang kaya adalah ujub, yaitu merasa bangga dan kagum terhadap pencapaian diri sendiri. Ujub seringkali menjadi pintu gerbang menuju kesombongan. Rasulullah SAW telah memperingatkan tentang bahaya ujub, yang dapat membatalkan amal dan menjauhkan seseorang dari rahmat Ilahi. Ketika seseorang mengucapkan "Ma sha Allah la quwwata illa billah" saat melihat nikmatnya, ia secara otomatis mengalihkan kekaguman itu dari dirinya kepada Allah.
Ini adalah terapi spiritual yang sangat efektif. Setiap kali mata memandang kesuksesan—gaji tinggi, anak cerdas, rumah mewah, atau kesehatan prima—hati yang terlatih akan langsung mengingat bahwa semua ini bukan karena kehebatan diri, melainkan karena karunia Allah. Ini menjaga hati tetap rendah hati (tawadhu') meskipun berada di puncak kejayaan duniawi.
Tawakkal bukanlah sekadar menunggu tanpa usaha; ia adalah usaha yang disertai keyakinan penuh bahwa hasil akhirnya berada di tangan Allah. Kalimat "La quwwata illa billah" menegaskan bahwa upaya manusia adalah fana dan terbatas, sementara kekuatan Allah adalah abadi dan tak terbatas.
Dalam konteks modern, di mana keberhasilan seringkali diukur murni berdasarkan metrik bisnis, modal, dan jaringan, ayat ini mengingatkan bahwa faktor-faktor tersebut hanyalah 'sebab' yang harus disertai dengan 'musabbib' (Pencipta Sebab). Tanpa izin-Nya, teknologi tercanggih pun bisa gagal, dan rencana terperinci pun bisa berantakan. Mengucapkan kalimat ini adalah meletakkan hati pada sandaran yang paling kokoh, yaitu Allah.
Kekufuran nikmat terjadi ketika seseorang menerima karunia namun melupakan atau menafikan sumber karunia tersebut. Pemilik kebun melakukan ini ketika ia berkata, "Aku rasa kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya." (Al-Kahf: 35). Ia memproyeksikan kekekalan pada hal yang fana. Sahabatnya menasihati agar ia mengucapkan kalimat tauhid, yang merupakan bentuk syukur verbal dan pengakuan hati.
Syukur (terima kasih) tidak hanya diucapkan saat nikmat datang, tetapi juga diikrarkan saat nikmat itu sedang dinikmati. Kalimat ini memastikan bahwa nikmat yang diterima selalu terikat erat dengan Pemberi Nikmat. Ini menjamin bahwa hati si penerima nikmat tidak akan pernah merasa mandiri dari Tuhannya.
Para ulama salaf dan khalaf telah membahas secara ekstensif mengenai kapan dan bagaimana kalimat "Ma sha Allah la quwwata illa billah" sebaiknya diucapkan. Keutamaan dan aplikasi kalimat ini sangat luas, menjadikannya salah satu dzikir yang dianjurkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sesuai dengan konteks ayat 39, penggunaan utama kalimat ini adalah saat seseorang melihat kekayaan, kesuksesan, atau keindahan yang mengagumkan—miliknya sendiri, atau milik orang lain. Tujuannya adalah untuk menangkis potensi pandangan iri atau pandangan yang terlalu mengagungkan dunia (duniawi-sentris).
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa kalimat ini adalah obat dari penyakit iri hati (hasad) yang mungkin timbul ketika seseorang melihat kelebihan orang lain. Jika seseorang melihat nikmat pada saudaranya dan mengucapkan kalimat ini, ia telah mengakui bahwa itu adalah kehendak Allah, sehingga hati nuraninya akan terhindar dari rasa dengki, dan pada saat yang sama, ia mendoakan keberkahan bagi saudaranya.
Beberapa hadits, meskipun ada yang bersifat dhaif (lemah) namun diperkuat oleh pengamalan ulama, menunjukkan bahwa kalimat ini memiliki fungsi perlindungan. Kalimat ini sering disebut sebagai salah satu 'kanz' (perbendaharaan) dari surga.
Dalam sebuah riwayat yang masyhur, Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abu Hurairah, "Maukah aku tunjukkan kepadamu salah satu perbendaharaan surga?" Abu Hurairah menjawab, "Tentu, ya Rasulullah." Beliau bersabda, "Ucapkanlah: Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh (Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah)." Meskipun hadits ini menggunakan lafaz yang sedikit berbeda, konsepnya sama, yaitu penyerahan total. Kalimat pada ayat 39 ini menggabungkan penyerahan (La quwwata illa billah) dengan pengakuan takdir (Ma sha Allah), menjadikannya dzikir perlindungan yang sangat kuat terhadap musibah yang tidak terduga, sebagaimana musibah yang menimpa kebun si kaya.
Para ulama fikih sering membahas pandangan 'Ain, yaitu pandangan mata yang disertai kekaguman atau kedengkian yang berlebihan, yang berpotensi menimbulkan bahaya pada objek yang dipandang. Ketika seseorang melihat sesuatu yang indah dan langsung mengucapkan, "Ma sha Allah la quwwata illa billah," ia telah 'memberkahi' objek tersebut dan mencegah timbulnya bahaya dari pandangan jahat.
Dalam konteks ayat ini, si sahabat mukmin menyayangkan sikap temannya yang gagal mengucapkan kalimat tersebut. Kegagalan ini menunjukkan bahwa si kaya telah membiarkan kebunnya rentan terhadap takdir buruk, karena ia tidak memagari nikmat tersebut dengan pengakuan tauhid.
Kandungan Surat Al-Kahfi ayat 39 memberikan dampak spiritual dan psikologis yang mendalam bagi seorang mukmin yang istiqamah mengamalkannya.
Ketika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi, baik kesenangan maupun kesulitan, berada dalam lingkaran kehendak Allah (Ma sha Allah), ia akan mencapai tingkat ketenangan yang tinggi. Rasa cemas dan kekhawatiran yang biasanya timbul dari kegagalan dalam usaha atau ketidakpastian masa depan akan berkurang drastis.
Ketenangan ini berasal dari kepastian bahwa, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga, hasil akhir adalah urusan Allah. Ia tidak akan terlalu euforia saat sukses (karena itu bukan kekuatannya sendiri) dan tidak akan terlalu terpuruk saat gagal (karena ia tahu bahwa segala daya upaya sudah maksimal, namun takdir Allah yang berlaku).
Pengucapan "La quwwata illa billah" memurnikan niat (ikhlas). Jika seseorang mengakui bahwa kekuatannya berasal dari Allah, maka ia beramal bukan untuk mendapatkan pujian dari manusia atau untuk memamerkan kemampuannya, tetapi semata-mata karena ingin menjalankan perintah Dzat Yang Memberinya kekuatan.
Ikhlas adalah fondasi dari semua amal yang diterima. Ayat 39 secara implisit mengajarkan bahwa kekayaan yang diberkahi adalah kekayaan yang diakui sebagai anugerah Ilahi, sehingga penggunaannya pun diarahkan untuk kepentingan yang diridhai Allah, menjauhkan dari sifat riya' (pamer) dan sum’ah (ingin didengar orang).
Ayat 39 tidak bisa dipisahkan dari ayat-ayat setelahnya yang menceritakan konsekuensi dari kesombongan. Tepat setelah sahabat mukmin menasihati temannya, Allah menimpakan azab berupa badai yang menghancurkan kebun tersebut hingga rata dengan tanah. Air sungai mengering, pepohonan tumbang, dan segala jerih payah si kaya hilang dalam sekejap.
Kehancuran ini berfungsi sebagai pelajaran keras (iqtibar) bahwa kekuatan dan jaminan yang disangka dimiliki manusia adalah ilusi belaka. Ketika si kaya akhirnya melihat kebunnya hancur, barulah ia menyesal dan mengucapkan penyesalan, sebagaimana difirmankan pada ayat 42:
Penting untuk dicatat, penyesalan si kaya datang terlambat, yaitu setelah bencana terjadi. Nasihat sahabatnya di ayat 39 adalah kesempatan untuk bertaubat sebelum bencana. Kegagalannya mengucapkan "Ma sha Allah la quwwata illa billah" di kala jaya, membuatnya harus mengucapkan penyesalan yang penuh kesadaran tauhid (bahwa ia seharusnya tidak mempersekutukan Allah) di kala hancur.
Kisah ini menegaskan bahwa nikmat dunia adalah ujian yang sangat berat. Ujian terbesar dari nikmat bukanlah bagaimana cara mendapatkannya, melainkan bagaimana cara menjaganya. Menjaga nikmat adalah dengan bersyukur, dan bentuk syukur tertinggi adalah pengakuan tauhid: bahwa sumber kekuatan dan keindahan adalah Allah semata.
Ayat 39 Surah Al-Kahfi merupakan jembatan yang menghubungkan berbagai konsep akidah dan syariat dalam Islam:
Meskipun ayat 39 menggunakan redaksi مَا شَآءَ ٱللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّهِ, ia memiliki kemiripan substansial dengan dzikir Lâ Hawla wa Lâ Quwwata Illâ Billâh (Tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Kedua kalimat ini sama-sama menolak kekuasaan independen bagi makhluk dan mengembalikan segala daya dan kekuatan kepada Allah.
Perbedaannya adalah, kalimat dalam Surah Al-Kahfi Ayat 39 lebih spesifik ditujukan pada konteks pengakuan takdir dan rasa syukur saat melihat nikmat. Ia mengandung dimensi visual dan pengakuan langsung terhadap hasil karya (kebun). Sedangkan Hauqalah lebih umum digunakan sebagai dzikir rutin atau saat menghadapi kesulitan dan beban berat, memohon pertolongan agar dapat melakukan ketaatan.
Para ulama menganjurkan agar muslim menggabungkan keduanya dalam pemahaman. Keduanya adalah perbendaharaan surga dan keduanya adalah manifestasi tertinggi dari tawakkal. Mengucapkan kalimat di Al-Kahfi 39 saat melihat keberkahan adalah salah satu cara terbaik untuk mengintegrasikan tawakkal dan takdir dalam kehidupan nyata.
Kisah pemilik kebun juga merupakan contoh klasik dari Istidraj. Istidraj adalah pemberian kenikmatan duniawi oleh Allah kepada seseorang yang sebenarnya jauh dari-Nya, yang bertujuan untuk semakin menjerumuskan orang tersebut dalam kesesatan. Si kaya diberi kebun yang indah dan subur, bukan sebagai tanda cinta, melainkan sebagai ujian yang ia gagal lewati. Kegagalannya terletak pada ketidakmampuan untuk menghubungkan nikmat itu dengan Pemberi Nikmat.
Ayat 39 mengajarkan cara menghindari Istidraj: dengan mengakui bahwa "Ma sha Allah" (kehendak-Nya) lah yang memberikan nikmat tersebut. Pengakuan ini memutus rantai kesombongan yang bisa membawa seseorang pada kebinasaan spiritual meskipun secara material ia terlihat sukses. Muslim yang bijak akan selalu khawatir bahwa kekayaannya mungkin adalah istidraj, dan kalimat ini menjadi permohonan agar nikmat itu menjadi berkah, bukan bencana.
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman ayat 39, kita harus menyelami makna gramatikal dan linguistik dari susunan kalimatnya:
Kalimat yang diucapkan oleh sahabat mukmin diawali dengan "Walau laa idz dakhaltu jannataka qulta..." (Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu...). Struktur ini menunjukkan penyesalan dan teguran yang lembut namun tegas. Kata “laulaa” di sini berfungsi sebagai kata dorongan dan celaan, seolah berkata: "Tidakkah seharusnya kamu melakukan ini?"
Fokusnya bukan pada sekadar masuk kebun, melainkan masuk kebun dan melihat keagungan serta kemegahan yang ditimbulkannya. Dalam momen kekaguman itulah, dzikir tauhid harus diucapkan. Ini adalah panggilan untuk hadirnya kesadaran Ilahiah pada puncak kesenangan material.
Selanjutnya, penggabungan "Ma sha Allah" dan "La quwwata illa billah" dalam satu kalimat memberikan pesan yang utuh: Pertama, pengakuan kekuasaan Allah yang Mahatinggi (Ma sha Allah), dan kedua, penolakan kekuatan bagi selain-Nya (La quwwata illa billah). Kedua frase ini saling melengkapi, menciptakan tameng spiritual yang kokoh dari segala bentuk penyimpangan tauhid.
Jika hanya mengucapkan "Ma sha Allah," mungkin hanya berarti pengakuan takdir tetapi tanpa penegasan daya upaya. Jika hanya mengucapkan "La quwwata illa billah," mungkin hanya fokus pada kelemahan diri tanpa mengaitkan keindahan yang dilihat dengan kehendak Allah. Penggabungan keduanya adalah resep sempurna untuk keutuhan iman di tengah hiruk pikuk dunia.
Di zaman modern ini, godaan kekayaan, kemewahan, dan kebanggaan diri jauh lebih besar dibandingkan masa lalu. Kapitalisme dan budaya meritokrasi seringkali mendorong individu untuk merasa bahwa mereka adalah hasil murni dari kerja keras dan kecerdasan mereka sendiri, mengesampingkan faktor Ilahi.
Ayat 39 Surah Al-Kahfi adalah anti-tesis bagi materialisme yang angkuh. Ia mengajarkan bahwa dalam melihat perusahaan yang sukses, karier yang cemerlang, atau anak yang berprestasi, seorang mukmin harus selalu menambatkannya pada kekuatan Allah.
Ketika seseorang meraih gelar tinggi, ia harus berkata, "Ma sha Allah, la quwwata illa billah," menyadari bahwa kemampuan belajar dan kesempatan mendapatkan pendidikan adalah anugerah. Ketika seorang pengusaha mencapai keuntungan besar, ia harus berkata yang sama, menyadari bahwa kondisi pasar, kesehatan karyawan, dan kelancaran suplai adalah kehendak Allah semata.
Tanpa pengakuan ini, manusia modern sangat rentan terjerumus pada sikap istighna—merasa mandiri—yang merupakan dosa paling fundamental si pemilik kebun. Sikap merasa mandiri inilah yang secara perlahan menjauhkan hati dari Rabb-nya, bahkan ketika ia rajin beribadah. Ibadah tanpa tawadhu' yang disuarakan oleh ayat 39 akan menjadi amal yang kering dan berpotensi ditolak.
Surah Al-Kahfi ayat 39, yang terletak di jantung kisah dua kebun, menyajikan pelajaran tauhid yang mendalam, relevan di setiap zaman. Ia adalah peringatan keras bahwa kekayaan, status, dan kekuasaan adalah ilusi jika tidak dibingkai dengan kesadaran akan kehendak Allah. Pengucapan "Ma sha Allah la quwwata illa billah" adalah manifestasi dari Syukur yang hakiki dan Tawakkal yang sempurna.
Ia adalah formula ajaib yang mengubah kekayaan yang berpotensi menjadi bencana (fitnah) menjadi sebuah rahmat dan berkah, karena ia mencegah hati dari kesombongan, menjaga diri dari pandangan buruk, dan memastikan bahwa setiap kesuksesan yang dinikmati menjadi penguat hubungan vertikal antara hamba dan Khaliq (Pencipta).
Oleh karena itu, setiap muslim dianjurkan untuk menjadikan kalimat ini sebagai bagian tak terpisahkan dari refleksinya saat berinteraksi dengan dunia material. Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba telah memagari nikmatnya dengan pagar iman yang kokoh, menjamin ketenangan batin, dan harapan abadi akan ridha Allah, Sang Pemilik Kekuatan sejati.
Ayat 39 ini merupakan ajakan universal untuk introspeksi diri, untuk mengikis habis sisa-sisa kesombongan yang mungkin bersemayam dalam jiwa. Jika kita melihat kebun kita, rumah kita, atau bahkan anak-anak kita yang merupakan permata hati, dan kita merasa kagum, maka saat itulah lidah harus basah dengan dzikir agung ini. Pengakuan ini adalah penolak takdir buruk dan penarik keberkahan terbaik.
Pemilik kebun yang sombong mengira ia memiliki kuasa atas masa depan kebunnya, padahal ia bahkan tidak punya kuasa atas hembusan angin yang akan membawa bencana. Kontras antara keyakinan palsu si kaya dan keyakinan teguh si miskin adalah inti dari perdebatan akidah. Di mana pun seorang mukmin berada, di puncak kesuksesan atau di jurang kegagalan, ia wajib tahu bahwa sumber kekuatan bukanlah dirinya, melainkan Allah Yang Maha Perkasa.
Kesadaran akan "Ma sha Allah" menghilangkan ilusi kontrol. Kita merencanakan, kita berusaha, namun hasil mutlak ada di tangan-Nya. Ini adalah pembebasan dari beban mental untuk selalu harus berhasil. Kekuatan terbesar terletak pada kemampuan kita untuk menerima kehendak-Nya, baik dalam bentuk anugerah maupun dalam bentuk ujian. Kekuatan ini hanya dapat dicapai melalui penyerahan diri total, yang dirangkum sempurna dalam frasa "La quwwata illa billah."
Keindahan dari ayat ini adalah sifatnya yang praktis dan aplikatif. Ia bukan hanya teori teologis, melainkan sebuah aksioma yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dari hal terbesar seperti membangun bisnis hingga hal terkecil seperti memuji anak tetangga yang cerdas. Selalu ada ruang bagi intervensi Ilahi, dan intervensi ini selalu didahului oleh pengakuan ketidakberdayaan kita.
Sejatinya, seluruh pesan Surah Al-Kahfi, dari kisah pemuda gua yang mencari perlindungan dari fitnah agama, hingga kisah Dzulqarnain yang diberi kekuasaan besar namun tetap tawadhu', berpusat pada satu tema: bagaimana seorang mukmin mempertahankan keimanan (tauhid) di tengah fitnah dunia, fitnah harta, fitnah ilmu, dan fitnah kekuasaan. Ayat 39 adalah solusi untuk fitnah harta.
Ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang spiritual. Jika hati terlalu condong kepada dunia, kalimat ini menariknya kembali kepada akhirat. Jika jiwa terlalu terpukau pada hasil kerja keras, kalimat ini mengingatkannya pada sumber kekuatan sejati. Pengucapan yang tulus dari kalimat ini adalah ibadah lisan yang sekaligus merupakan ibadah hati, sebuah pengakuan syahadah yang terus diperbarui.
Mari kita renungkan kembali konteks si pemilik kebun. Ia memiliki segala yang diinginkan manusia: harta, keamanan, dan produktivitas. Tetapi ia kehilangan satu hal yang paling penting: kesadaran Ilahi. Ia jatuh karena kesombongan, karena ia menafikan Tuhannya dari hasil usahanya. Pelajaran ini bersifat universal. Semua manusia rentan terhadap penyakit ujub ketika mereka merasa telah mencapai kesuksesan besar. Tanpa pagar "Ma sha Allah la quwwata illa billah," setiap keberhasilan adalah bencana yang menunggu waktu.
Umat Islam diperintahkan untuk menjadi umat yang moderat, tidak berlebihan dalam mencintai dunia, tetapi juga tidak meninggalkannya sepenuhnya. Keseimbangan ini dicapai melalui dzikir. Dzikir ini memastikan bahwa meskipun tangan kita memegang dunia, hati kita tetap terikat pada Pencipta dunia. Itulah esensi dari tawakkal yang diajarkan dalam Surah Al-Kahfi ayat 39.
Seorang ulama besar pernah berkata, "Harta yang tidak diucapkan di atasnya kalimat tauhid adalah harta yang mudah dihinggapi penyakit." Penyakit di sini bukan hanya penyakit fisik pada harta, tetapi penyakit spiritual pada pemiliknya. Harta yang disertai tauhid adalah harta yang membawa ketenangan dan keberkahan, karena pemiliknya menyadari bahwa dia hanyalah administrator sementara yang ditugaskan oleh Allah.
Tafsir linguistik mendalam juga menekankan bahwa kalimat ini adalah bantahan terhadap segala bentuk fatalisme yang salah. Mengapa? Karena ia mengakui usaha ("kekuatan" ada, tetapi ia hanya milik Allah) namun menolak otonomi manusia penuh. Kita diizinkan berusaha, namun kita tidak diizinkan merasa berkuasa. Batasan ini sangat tipis, dan kalimat ini adalah batas pemisah antara tauhid yang benar dan kesombongan yang tersembunyi.
Bayangkan jika si kaya mengucapkan kalimat itu. Apa yang akan terjadi? Kemungkinan besar, ia akan terhindar dari azab. Bahkan jika bencana itu tetap ditakdirkan terjadi (karena ia telah berlaku zalim di hatinya), maka penyesalannya akan jauh lebih ringan, dan hatinya akan lebih siap menerima takdir tersebut. Kalimat ini adalah permohonan agar Allah menetapkan takdir terbaik, atau setidaknya, memberikan kekuatan untuk menerima takdir yang terjadi. Ini adalah manifestasi dari penyerahan diri yang tertinggi.
Pada akhirnya, ayat 39 ini adalah penuntun menuju hati yang sehat (qalbun salim). Hati yang sehat adalah hati yang terbebas dari penyakit ujub, kibr, riya', dan hasad. Semua penyakit ini berakar pada satu hal: lupa diri dan lupa akan Keberadaan Sang Kuasa. Kalimat ini adalah obat mujarab yang mengingatkan kita, setiap saat, bahwa segala yang kita lihat, nikmati, dan capai, adalah anugerah murni dari Ar-Rahman dan Al-Qawiy.
Muslim yang cerdas adalah yang tidak hanya membaca Al-Kahfi pada hari Jumat, tetapi juga merenungkan dan mengamalkan makna dari setiap ayat pentingnya. Ayat 39, dengan pesannya yang tegas tentang tauhid di tengah kemewahan, adalah salah satu ayat yang harus mendarah daging dalam setiap interaksi kita dengan kenikmatan dunia fana. Ia menjamin bahwa kebun kita tidak akan menjadi sumber kehancuran, melainkan jembatan menuju keridhaan Ilahi.
Kita hidup dalam masyarakat yang terobsesi dengan data dan metrik kesuksesan. Ayat ini datang untuk mengatakan bahwa di atas semua data dan metrik, ada satu variabel tak terukur yang menentukan segalanya: Kehendak Allah. Melupakan variabel ini sama dengan menyalakan api kesombongan yang pasti akan menghanguskan. Oleh karena itu, mari kita jadikan "Ma sha Allah la quwwata illa billah" sebagai slogan hidup, sebagai mantra perlindungan, dan sebagai pengakuan Syahadat yang terus menerus diperbarui dalam setiap napas kehidupan.
Penghayatan kalimat ini juga memperkuat akidah di tengah isu-isu modern tentang kebebasan berkehendak (free will) versus takdir (predestination). Ayat ini menyelesaikan perdebatan tersebut dengan elegan: manusia memiliki kehendak dan kekuatan yang diberikan (sehingga kita berusaha), tetapi sumber kehendak dan kekuatan itu mutlak milik Allah (sehingga kita bertawakkal). Tidak ada kontradiksi; yang ada adalah ketergantungan. Kekuatan kita berasal dari Kekuatan-Nya, dan kehendak kita tunduk pada Kehendak-Nya. Inilah puncak pemahaman tentang Tauhid Rububiyah.
Kehadiran ayat ini dalam Al-Kahfi, yang sering dibaca sebagai perlindungan dari fitnah Dajjal, sangatlah signifikan. Dajjal akan datang dengan membawa fitnah dunia yang luar biasa, berupa kekayaan, hujan, dan kekuasaan material. Kalimat "Ma sha Allah la quwwata illa billah" adalah vaksin akidah yang melatih kita untuk menolak memandang kekuasaan material sebagai kekuatan sejati, sehingga kita tidak akan terpedaya oleh tipu daya Dajjal di akhir zaman.
Dalam setiap langkah yang kita ambil, dalam setiap keberhasilan yang kita raih, dalam setiap kesehatan yang kita nikmati, mari kita sambungkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Pengakuan ini adalah investasi terbaik di dunia dan di akhirat. Ia mengubah kekaguman duniawi menjadi dzikir surgawi, dan itulah hikmah teragung dari Surah Al-Kahfi ayat 39.