Analisis Mendalam Surat Al Kahfi Ayat 50

Kisah Pembangkangan Iblis dan Pelajaran tentang Kesombongan

I. Pengantar: Keutamaan Surat Al Kahfi dan Konteks Ayat 50

Surat Al Kahfi (Gua) adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an, yang dikenal luas karena memuat empat kisah utama yang mengandung hikmah mendalam sebagai benteng dari fitnah Dajjal di akhir zaman: kisah Ashabul Kahfi (pemuda gua), kisah pemilik dua kebun, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr, serta kisah Dzulqarnain. Meskipun Ayat 50 tidak termasuk dalam empat kisah inti tersebut, ia ditempatkan secara strategis di tengah surat, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan peringatan tentang kesenangan duniawi (yang diwakili oleh kisah pemilik kebun) dengan kisah Dzulqarnain, sambil secara bersamaan memberikan peringatan fundamental tentang musuh abadi umat manusia: Iblis.

Ayat ini berfungsi sebagai pengingat yang tajam tentang sumber utama kesesatan dan kegagalan manusia, yaitu kesombongan dan ketidaktaatan, yang pertama kali dicontohkan oleh Iblis. Peringatan ini sangat relevan dalam konteks Surat Al Kahfi, yang secara keseluruhan menekankan pentingnya iman, ketaatan, dan penolakan terhadap godaan materi dan kekuasaan. Dengan memahami konteks historis dan naratif dari ayat 50, kita dapat menggali pelajaran yang jauh lebih mendalam daripada sekadar kisah sejarah semata.

II. Teks dan Terjemahan Surat Al Kahfi Ayat 50

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam,' maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagimu? Amat buruklah (iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim." (QS. Al Kahfi: 50)

Ayat ini adalah salah satu ayat kunci yang menceritakan kembali drama penciptaan dan pemberontakan kosmik pertama yang menjadi inti dari permusuhan antara kebenaran dan kebatilan. Detail penting dalam ayat ini adalah penegasan status Iblis sebagai dari golongan jin (كانَ مِنَ الْجِنِّ), yang memberikan penjelasan teologis mengapa Iblis memiliki kehendak bebas untuk menentang, sesuatu yang tidak dimiliki oleh para Malaikat.

III. Tafsir dan Analisis Leksikal Ayat 50

A. Perintah Sujud kepada Adam

Frasa وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ (Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, 'Sujudlah kamu kepada Adam') menggarisbawahi keagungan penciptaan Adam (manusia) dan penobatannya sebagai khalifah di bumi. Sujud yang diperintahkan di sini oleh mayoritas mufassir (ahli tafsir) diartikan sebagai sujud penghormatan (tahiyyah), bukan sujud ibadah, karena ibadah murni hanya dipersembahkan kepada Allah SWT. Perintah ini adalah ujian ketaatan dan pengakuan terhadap otoritas ilahi dan kedudukan Adam.

B. Pengecualian Iblis dan Statusnya

Poin sentral dari ayat ini terletak pada pengecualian: فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ (maka mereka pun sujud kecuali Iblis). Ayat ini secara eksplisit menjelaskan alasannya melalui frasa berikutnya: كَانَ مِنَ الْجِنِّ (Dia adalah dari golongan jin). Penegasan ini memiliki implikasi besar dalam akidah:

C. Definisi Pembangkangan (Fasaqa)

Kata kunci فَفَسَقَ (maka ia mendurhakai) berasal dari akar kata *fasiqun* (orang-orang yang fasik). Secara bahasa, *fasqa* berarti keluar dari batas atau kulit. Dalam konteks syariat, ini berarti keluar dari ketaatan dan melanggar perintah Allah. Iblis secara sadar memilih untuk melanggar batas yang ditetapkan oleh Penciptanya, meskipun ia menyaksikan keagungan perintah tersebut. Kebebasan memilihnya inilah yang menyebabkannya menerima hukuman, dan menjadi simbol bagi setiap manusia yang memilih kesesatan meskipun telah diberikan petunjuk.

D. Peringatan terhadap Manusia

Bagian akhir ayat 50 adalah teguran keras kepada umat manusia: أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ (Patutkah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagimu?). Ini adalah retorika ilahi yang menggugah akal sehat. Bagaimana mungkin seseorang memilih musuh bebuyutan sebagai pelindung atau pemimpin? Iblis dan keturunannya (para setan) telah menyatakan permusuhan terbuka sejak awal. Ayat ini memperingatkan bahwa mencari perlindungan, petunjuk, atau mengikuti jalan Iblis adalah pilihan yang sangat buruk dan logisnya mustahil bagi orang yang berakal.

Ayat ditutup dengan penekanan tajam: بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا (Amat buruklah (iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim). Orang-orang yang memilih Iblis sebagai pengganti (wali/pelindung) sesungguhnya sedang menzalimi diri mereka sendiri (*zalimin*), karena mereka menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya—yaitu menempatkan musuh di tempat yang seharusnya diisi oleh Dzat Yang Maha Melindungi.

Ilustrasi Pembangkangan Iblis Ilustrasi visual yang melambangkan perintah sujud, dengan figur Iblis yang menolak, kontras dengan figur yang bersujud. Sujud Adam Menolak Perintah Allah

IV. Hakekat Iblis: Jin yang Melawan Kodrat

Poin teologis كانَ مِنَ الْجِنِّ adalah pembeda utama Iblis dari para malaikat. Pemahaman mendalam tentang entitas Jin sangat penting untuk memahami mengapa Iblis bisa gagal dalam ujian ketaatan ini, sementara Malaikat sukses. Jin, seperti manusia, adalah makhluk yang bertanggung jawab (*mukallaf*) atas pilihan mereka.

A. Perbedaan Fundamental Malaikat dan Jin

Malaikat adalah tentara langit yang tidak pernah membangkang; ketaatan adalah kodrat mereka. Tugas mereka murni bersifat pelayanan dan pelaksanaan perintah Allah. Jin, sebaliknya, hidup di bumi atau dimensi paralel, makan, minum, menikah, dan memiliki potensi untuk beriman atau kafir. Iblis adalah makhluk yang dulunya sangat taat, mungkin bahkan diangkat derajatnya untuk tinggal di antara para Malaikat karena intensitas ibadahnya, namun ia tetap mempertahankan sifat dasar Jin, yaitu kebebasan memilih dan, pada gilirannya, potensi kesombongan.

B. Akar Dosa: Kesombongan (Kibr)

Dosa Iblis bukanlah sekadar tidak mau sujud, tetapi menolak kebenaran dan meremehkan ciptaan Allah berdasarkan pandangan dirinya sendiri. Kesombongan (merasa lebih unggul) adalah penyakit Iblis yang paling berbahaya. Dalam hadis disebutkan bahwa tidak akan masuk surga orang yang di hatinya terdapat sebiji zarah kesombongan. Kisah Iblis menjadi cetak biru abadi bagi bahaya kesombongan: ia menghancurkan amal bertahun-tahun dan mengubah ketaatan menjadi kekafiran abadi.

C. Implikasi Ketetapan Azali

Para ulama berdiskusi panjang lebar mengenai bagaimana Iblis bisa jatuh meskipun diberi karunia ibadah yang luar biasa. Jawabannya terletak pada pandangan bahwa Allah SWT mengetahui apa yang tersembunyi. Meskipun Iblis beribadah, di dalam dirinya tersembunyi benih kesombongan dan keangkuhan yang menunggu ujian yang tepat untuk muncul. Ujian terhadap Adam adalah ujian pamungkas yang mengungkap apa yang telah lama tersembunyi di dalam hati Iblis, membuktikan bahwa amal lahiriah tidak akan menyelamatkan jika batin dipenuhi dengan kebencian dan keangkuhan.

V. Konsep Permusuhan: Iblis dan Keturunannya sebagai Musuh Abadi

Ayat 50 bukan hanya cerita masa lalu, tetapi juga peringatan realitas masa kini: Iblis dan keturunannya (*dzurriyyatuhu*) adalah musuh yang aktif. Allah secara eksplisit menanyakan mengapa manusia memilih wali (pelindung/teman) dari pihak yang jelas-jelas memusuhi mereka. Ini menuntut kesadaran penuh dari umat manusia.

A. Pengertian Dzurriyyah (Keturunan) Iblis

Apakah Iblis memiliki keturunan secara harfiah? Mayoritas mufassir menyatakan ya, berdasarkan ayat ini dan beberapa riwayat. Sebagaimana manusia bereproduksi, Iblis dan Jin juga bereproduksi, menghasilkan syaitan (para setan) yang merupakan bala tentara Iblis. Mereka bekerja secara kolektif dan sistematis untuk menyesatkan manusia. Keturunan Iblis tidak hanya mengacu pada keturunan biologisnya, tetapi juga merujuk kepada setiap entitas atau manusia yang mengikuti jalannya dan menyebarkan kejahatan.

B. Strategi Jangka Panjang Setan

Permusuhan Iblis tidaklah pasif. Ia meminta penangguhan waktu dari Allah (dikenal sebagai *nadhirah* atau penangguhan) hingga Hari Kiamat untuk membuktikan bahwa manusia—yang dianggapnya lebih rendah—tidak akan bersyukur. Strategi Iblis sangat terperinci dan mencakup:

  1. Goda (Waswasah): Bisikan halus yang menyerang hati dan pikiran.
  2. Janji Palsu: Menjanjikan kekayaan, kekuasaan, dan kesenangan yang seolah-olah permanen.
  3. Menakut-nakuti: Menggunakan rasa takut akan kemiskinan atau hukuman duniawi untuk mencegah manusia beramal baik.
  4. Penghiasan Dosa (Tazyeen): Membuat perbuatan buruk terlihat indah dan logis.

Kesadaran akan strategi ini, yang ditegaskan dalam Al Kahfi 50, adalah langkah pertama dalam perlindungan diri spiritual.

VI. Pelajaran Filosofis dan Teologis dari Peringatan Ayat 50

A. Ujian Kehendak Bebas dan Tanggung Jawab (Taklif)

Kisah Iblis menempatkan tanggung jawab moral secara penuh pada bahu makhluk yang memiliki kehendak bebas, yaitu Jin dan Manusia. Iblis memilih untuk menyalahgunakan kehendak bebasnya, menggunakan logika kesombongan untuk menolak ketaatan. Ini mengajarkan bahwa kehendak bebas bukanlah lisensi untuk berbuat sesuka hati, melainkan ujian terberat di mana ketaatan sejati diukur bukan dari kemudahan, tetapi dari penundukan ego.

B. Bahaya Mengganti Wali (Pelindung)

Ayat 50 menyentuh konsep sentral dalam tauhid: *al-wala'* (loyalitas dan perlindungan). Ketika Allah bertanya, Patutkah kamu menjadikan dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain Aku? ini adalah kritik terhadap segala bentuk syirik dan ketergantungan pada selain-Nya. Orang yang mencari petunjuk dari Iblis atau sistem yang diilhami oleh setan (seperti materialisme ekstrem, hedonisme) adalah orang yang telah menggantikan Sang Pencipta dengan musuh yang zalim.

Mengganti Allah dengan Iblis sebagai wali (pelindung) berarti meninggalkan cahaya untuk kegelapan, meninggalkan keadilan untuk kezaliman. Keputusan untuk mengikuti jalan Iblis selalu menghasilkan kerugian abadi. Allah menyediakan jalan petunjuk, tetapi orang yang zalim memilih jalan yang berlawanan, sebuah pilihan yang amat buruklah (iblis itu) sebagai pengganti.

C. Signifikansi Ayat dalam Konteks Surat Al Kahfi

Surat Al Kahfi menekankan perlindungan dari empat fitnah utama: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (pemilik dua kebun), fitnah ilmu (Musa dan Khidr), dan fitnah kekuasaan (Dzulqarnain). Kisah Iblis di ayat 50 berfungsi sebagai payung yang mencakup semua fitnah ini, karena sumber dari semua penyimpangan adalah dorongan Iblis. Baik itu kesombongan pemilik kebun, ketidaksabaran Musa, atau kesesatan ideologis, semuanya berakar pada ketidaktaatan pertama Iblis.

Oleh karena itu, peringatan di ayat 50 adalah kunci untuk menghadapi fitnah-fitnah tersebut. Jika manusia gagal mengenali musuh utamanya, Iblis, dan tidak berlindung kepada Allah, maka ia pasti akan jatuh ke dalam salah satu dari empat fitnah yang dikisahkan dalam surat ini.

VII. Strategi Melawan Bisikan dan Godaan Setan (Waswasah)

Mengingat Iblis dan keturunannya adalah musuh yang konstan, umat Islam harus memiliki strategi pertahanan spiritual yang kuat. Pemahaman dari Surat Al Kahfi 50 harus diterjemahkan menjadi tindakan praktis sehari-hari.

A. Membentengi Diri dengan Tauhid Murni

Kelemahan terbesar Iblis adalah ketidakmampuannya untuk mempengaruhi hamba-hamba Allah yang ikhlas (QS. Al-Hijr: 40). Keikhlasan adalah benteng terkuat. Ini berarti melakukan segala amal ibadah semata-mata karena Allah, tanpa mengharapkan pujian, status, atau pengakuan manusia. Ketika tauhid murni, Iblis kehilangan pijakan untuk menanamkan kesombongan atau riya'.

B. Perlindungan Melalui Dzikir dan Doa

Perintah untuk membaca ta'awwudz (A'udzubillahi minasy syaithanir rajim) sebelum membaca Al-Qur'an adalah pengakuan eksplisit akan kebutuhan kita akan perlindungan Allah dari Iblis yang terkutuk. Dzikir yang konsisten, terutama yang terkait dengan perlindungan (seperti ayat kursi atau Al-Mu'awwidzatain), menciptakan perisai spiritual di sekitar hati seseorang. Iblis bekerja di tempat yang kosong; mengisi hati dengan dzikir menutup pintu masuknya.

C. Menolak Bisikan Pertama

Iblis memulai dengan bisikan (*waswasah*). Seorang mukmin harus dilatih untuk mengenali pikiran negatif, keraguan terhadap janji Allah, atau dorongan untuk berbuat maksiat sebagai serangan musuh. Mengenali bisikan tersebut dan segera memutusnya adalah kunci. Jangan pernah membiarkan bisikan berkembang menjadi ide atau rencana. Jika Iblis membisikkan sesuatu, tanggapi dengan mengingat perintah Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya.

D. Mengkaji Sifat Kesombongan dalam Kehidupan Kontemporer

Kesombongan Iblis, yang lahir dari anggapan bahwa ia lebih baik, kini menjelma dalam berbagai bentuk modern: merasa superior karena kekayaan, pendidikan, ras, atau bahkan karena amal ibadah sendiri. Seorang muslim harus senantiasa melakukan introspeksi (muhasabah) agar tidak jatuh ke dalam perangkap Iblis yang membuat seseorang meremehkan orang lain. Kerendahan hati (*tawadhu'*) adalah lawan dari sifat Iblis.

VIII. Pengulangan Kisah Iblis: Konsistensi Pesan dalam Al-Qur'an

Kisah Iblis dan penolakannya untuk sujud kepada Adam adalah narasi yang diulang berkali-kali dalam Al-Qur'an (seperti dalam Al-Baqarah, Al-A'raf, Al-Hijr, Al-Isra', dan Shad). Pengulangan ini bukan redundansi, melainkan penekanan strategis untuk memastikan bahwa manusia tidak pernah lupa akan asal-usul permusuhan ini. Setiap pengulangan menambahkan dimensi baru, dan dalam Surat Al Kahfi 50, dimensi yang ditambahkan secara unik adalah penekanan pada status Iblis sebagai Jin.

A. Al-Baqarah (2:34) - Fokus pada Perintah dan Keengganan

Dalam Surat Al-Baqarah, fokus utama adalah perintah sujud dan respons Malaikat, diikuti dengan keengganan Iblis dan sifatnya yang angkuh: أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang kafir). Di sini, Iblis langsung dicap kafir karena menolak perintah eksplisit Allah.

B. Al-A'raf (7:12) - Fokus pada Alasan Materialistik

Di Al-A'raf, Iblis secara eksplisit menyatakan alasan penolakannya: خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ (Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah). Ayat ini menunjukkan bagaimana Iblis menggunakan logika materialistik dan prasangka untuk membenarkan ketidaktaatannya, mengutamakan unsur penciptaan daripada perintah pencipta.

C. Al-Kahfi (18:50) - Fokus pada Identitas dan Pilihan

Surat Al Kahfi memberikan klarifikasi definitif: Iblis adalah Jin, dan karena itu ia *fasaqa* (melanggar/keluar) dari perintah Tuhannya. Klarifikasi identitas ini adalah kunci karena membenarkan kemampuan Iblis untuk memilih jalan yang salah, membedakannya dari Malaikat yang patuh. Ayat ini menghubungkan secara langsung asal-usulnya dengan konsekuensi teologis atas pilihannya.

D. Dampak Kumulatif Pengulangan

Setiap pengulangan dalam Al-Qur'an membangun pemahaman yang lebih kaya tentang Iblis: ia adalah makhluk yang angkuh (Al-Baqarah), yang menggunakan alasan bodoh (Al-A'raf), dan yang diberikan kehendak bebas (Al-Kahfi) namun menyalahgunakannya. Pesan ini harus menancap dalam sanubari setiap mukmin, menjadikan Iblis bukan sekadar mitos, melainkan realitas musuh yang harus diwaspadai sepanjang masa.

IX. Konsekuensi Kezaliman dan Pilihan yang Salah

Penutup ayat 50, Amat buruklah (iblis itu) sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim, membawa kita pada refleksi mendalam mengenai konsep kezaliman (*zhulm*). Kezaliman dalam Islam adalah konsep yang luas, mencakup penindasan terhadap orang lain, tetapi yang paling utama adalah penindasan terhadap diri sendiri (*zhulm al-nafs*) melalui kemusyrikan atau maksiat.

A. Kezaliman terhadap Diri Sendiri (Zhulm al-Nafs)

Orang yang menjadikan Iblis sebagai wali (pelindung/panutan) adalah zalim karena ia mengkhianati amanah fitrahnya dan menyalahi tujuan penciptaannya. Ia menukar perlindungan Allah yang kekal dengan janji kosong Iblis yang sementara. Ini adalah tindakan merusak jiwa yang paling parah, karena kezaliman ini berujung pada kerugian abadi di akhirat.

Para mufassir menekankan bahwa Iblis adalah musuh yang nyata. Barangsiapa yang menjadikan musuhnya sebagai pelindung, ia telah melakukan kezaliman yang tiada tara. Bagaimana mungkin seorang yang berakal menukar Sang Khaliq (Pencipta) dengan makhluk yang telah diusir?

B. Dampak Psikologis Mengikuti Setan

Ketika seseorang mengikuti jalan Iblis, ia tidak hanya melakukan dosa eksternal, tetapi juga menghancurkan kedamaian internalnya. Iblis menjanjikan kebahagiaan melalui kepuasan hawa nafsu, namun yang didapat justru kecemasan, ketidakpuasan, dan kekosongan spiritual. Janji Iblis adalah fatamorgana: ia terlihat seperti air di gurun tetapi lenyap ketika didekati. Ini adalah pengganti yang buruk yang ditawarkan kepada orang-orang zalim.

C. Perlindungan dari Keturunan Iblis

Penggunaan kata dzurriyyatuhu (keturunannya) dalam ayat ini mengingatkan kita bahwa permusuhan ini bersifat institusional dan turun-temurun. Ini bukanlah pertarungan melawan satu individu (Iblis) tetapi melawan seluruh legiun setan yang bekerja di bawah komandonya, yang masing-masing memiliki spesialisasi dalam menggoda manusia dalam aspek kehidupan tertentu (harta, syahwat, amarah, kesombongan). Oleh karena itu, kesadaran dan kewaspadaan harus bersifat komprehensif.

Penting untuk dipahami bahwa kezaliman memilih Iblis sebagai wali tidak selalu berbentuk penyembahan berhala secara harfiah. Kezaliman terbesar adalah ketika seseorang menyembah ego dan nafsunya, karena ego yang berlebihan adalah perwujudan langsung dari kesombongan Iblis. Setiap kali manusia memilih ego di atas wahyu, ia secara efektif telah memilih Iblis sebagai pemimpinnya.

X. Kesimpulan Hikmah Abadi dari Al Kahfi Ayat 50

Surat Al Kahfi ayat 50, meskipun singkat, memadatkan pelajaran teologis, filosofis, dan praktis yang tak ternilai harganya. Ayat ini tidak hanya mengklarifikasi asal-usul Iblis (Jin) dan alasan kejatuhannya (kesombongan dan pembangkangan), tetapi juga berfungsi sebagai peringatan keras kepada seluruh umat manusia untuk menjaga loyalitas mereka secara eksklusif kepada Allah SWT.

Inti dari ayat ini adalah peringatan terhadap kesombongan, bahaya meremehkan perintah ilahi, dan pentingnya memilih pelindung yang benar. Dalam menghadapi fitnah dunia, baik harta, kekuasaan, atau ilmu, manusia harus senantiasa ingat bahwa musuh yang nyata sedang mengintai. Memilih untuk mengikuti Iblis adalah pertukaran terburuk yang bisa dilakukan oleh seorang hamba, menukar kemuliaan abadi dengan kehinaan sementara. Hanya dengan menundukkan ego dan menjunjung tinggi ketaatan mutlak, sebagaimana dicontohkan oleh para malaikat, manusia dapat mengamankan takdirnya sebagai khalifah yang berhasil dan terhindar dari jalan orang-orang yang zalim.

Kisah Iblis adalah cermin bagi hati manusia. Ia mengungkapkan bahwa setiap manusia membawa potensi untuk menjadi Adam yang taat, atau Iblis yang sombong. Ketaatan menuntut kerendahan hati untuk mengakui kebenaran, bahkan ketika itu bertentangan dengan preferensi atau perasaan superioritas diri. Pelajaran dari ayat ini, yang terletak di jantung Surah yang melindungi dari fitnah terbesar, adalah bahwa pertahanan terbaik melawan semua kejahatan dunia adalah penolakan total terhadap racun kesombongan Iblis, dan deklarasi loyalitas yang tak tergoyahkan kepada Allah, satu-satunya Wali yang sejati.

Dengan mengamalkan pelajaran ini, umat Islam memperkuat diri mereka tidak hanya untuk menghadapi godaan harian, tetapi juga untuk berdiri teguh melawan fitnah-fitnah akhir zaman yang digambarkan oleh Surah Al Kahfi secara keseluruhan. Peringatan tentang musuh bebuyutan ini tetap menjadi pilar utama dalam pemahaman kita tentang perjuangan spiritual manusia. Iblis telah membuat pilihan yang buruk, dan ayat ini memastikan bahwa manusia tidak mengulangi kezaliman yang sama.

🏠 Homepage