Surat Al Kahfi (Gua) menempati posisi yang sangat mulia dalam Al-Qur'an, sering kali dibaca pada hari Jumat sebagai benteng perlindungan dari fitnah Dajjal, fitnah harta, fitnah kekuasaan, dan fitnah ilmu. Surat ini secara keseluruhan adalah narasi peringatan tentang kefanaan dunia dan urgensi investasi untuk kehidupan abadi. Ayat-ayat awal surat ini meletakkan dasar pemahaman tersebut, mengkontraskan keindahan sementara dengan nasib akhir segala sesuatu di atas bumi.
Ayat kedelapan dari surat ini merupakan puncak dari rangkaian pengantar tentang ujian kehidupan, memberikan kesimpulan yang tegas dan gamblang mengenai nasib akhir dari semua perhiasan dan kenikmatan yang diciptakan di permukaan bumi. Ayat ini bukan sekadar kalimat penutup, melainkan sebuah janji ilahi yang mutlak, sebuah peringatan yang harus selalu terpatri dalam kesadaran setiap insan yang beriman.
Transliterasi: Wa innā lajā'ilūna mā 'alaiha ṣa'īdan juruzā.
Terjemahan Kementerian Agama RI (Ringkas): Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya (bumi) gersang dan tandus.
Ayat ini hadir setelah ayat ketujuh yang menjelaskan tujuan diciptakannya perhiasan dunia: untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang paling baik amalannya. Jika ayat ketujuh berbicara tentang alasan keberadaan kemewahan dunia (sebagai ujian), maka ayat kedelapan berbicara tentang nasib akhir dari kemewahan itu sendiri. Ayat ini menjadi penegas bahwa apa pun yang indah dan memikat di bumi memiliki batas waktu yang pasti.
Memahami kedalaman ayat ini memerlukan pembedahan terhadap tiga kata kunci utama yang sarat makna dan implikasi teologis:
Kata ini berasal dari akar kata *ja'ala* (menjadikan). Dengan penambahan *lam* penegas (lam taukid) dan bentuk kata kerja aktif (isim fa’il), frasa “Wa innā lajā'ilūna” diterjemahkan sebagai "Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan." Struktur gramatikal ini memberikan penekanan yang luar biasa kuat: bukan hanya kemungkinan, tetapi sebuah janji yang mutlak dan tak terhindarkan dari Dzat Yang Maha Kuasa.
Penegasan ini menghilangkan keraguan sedikit pun. Kapanpun janji Allah disampaikan dalam bentuk penegasan ganda (Inna dan Lam Taukid), hal itu merujuk pada ketetapan yang pasti. Ini adalah pengumuman final mengenai batas waktu keindahan dunia. Allah tidak hanya bisa melakukannya, tetapi Dia pasti akan melakukannya. Kekuasaan-Nya memastikan bahwa kehancuran ini akan terjadi pada waktu yang telah ditetapkan, dan tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat mencegahnya.
Implikasi dari kepastian ini adalah bahwa investasi emosional dan material yang terlalu besar pada hal-hal yang fana ('mā 'alaiha' - apa yang ada di atasnya) adalah tindakan yang bertentangan dengan realitas ilahi. Seorang mukmin didorong untuk berinvestasi pada hal yang kekal, menyadari bahwa panggung dunia ini sedang menuju keruntuhan total.
Kata *ṣa'īd* memiliki beberapa makna dalam konteks Al-Qur'an. Paling umum, ia merujuk pada permukaan tanah atau debu yang bersih (seperti dalam konteks tayammum). Namun, dalam konteks kehancuran, ia merujuk pada permukaan yang datar dan tandus, yang telah diratakan dan dihancurkan. Ketika Allah menjadikan segala sesuatu yang hijau dan indah menjadi *ṣa'īd*, ini menggambarkan sebuah transformasi drastis.
Bukan hanya tanaman yang mati, tetapi struktur tanah itu sendiri diubah. Pemandangan gunung, lembah, dan bukit yang menawan akan diratakan. Seluruh arsitektur geografis bumi yang kita kenal—dengan kebun-kebun yang subur, gedung-gedung pencakar langit yang megah, dan peradaban yang rumit—akan diubah menjadi satu permukaan yang seragam dan tidak lagi menarik.
Transformasi menjadi *ṣa'īdan* ini adalah representasi visual dari kiamat yang menghapus semua jejak kehidupan dan peradaban. Ini menantang kesombongan manusia yang sering berpikir bahwa bangunan dan karya mereka akan abadi. Semua kebanggaan manusia, mulai dari piramida hingga teknologi modern, akan kembali menjadi debu yang sama, diratakan oleh kehendak Ilahi.
Kata *juruz* adalah inti dari peringatan ini. Secara bahasa, *juruz* berarti tanah yang telah digunduli, dihabiskan, dan tidak lagi menghasilkan apa-apa. Ini adalah tanah yang telah habis kekuatannya, tandus, dan kering kerontang. Dalam tafsir, *juruz* sering diartikan sebagai tanah yang tidak ditumbuhi tanaman, tempat yang tidak ada kemakmuran sama sekali.
Jika *ṣa'īdan* merujuk pada bentuk fisik yang diratakan, maka *juruzā* merujuk pada kondisi spiritual dan fungsional dari tanah tersebut: kemandulan total. Kontrasnya sangat tajam. Ayat sebelumnya berbicara tentang perhiasan yang subur (زِينَةً لَّهَا), namun ayat 8 menjanjikan *juruzā*. Ini adalah antitesis sempurna. Segala yang dijadikan perhiasan akan diubah menjadi ketiadaan perhiasan.
Para mufasir menekankan bahwa penggunaan kata *juruzā* setelah deskripsi tentang perhiasan dunia adalah sengaja untuk memberikan dampak psikologis yang mendalam. Kebun-kebun yang megah, yang menjadi objek iri hati dan kesombongan manusia (seperti yang dikisahkan dalam cerita pemilik dua kebun di Al Kahfi), pada akhirnya akan menjadi hamparan debu yang mematikan, tidak berguna, dan sunyi.
Ayat 8 tidak dapat dipisahkan dari ayat 7:
Innā ja‘alnā mā ‘alal-arḍi zīnatal lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu ‘amalā.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Al Kahfi: 7)
Ayat 7 menetapkan bahwa perhiasan dunia (kekayaan, kekuasaan, keindahan fisik) adalah alat uji. Ayat 8 kemudian menutup siklus ini dengan mengingatkan bahwa alat uji itu sendiri akan lenyap. Pesan gabungan ini adalah: Jangan terperdaya oleh alat uji! Ia fana. Fokuslah pada hasil ujian, yaitu amal yang terbaik.
Keterkaitan ini merupakan filosofi esensial dari iman: Dunia adalah jembatan, bukan tujuan. Jembatan itu sendiri akan runtuh, sehingga yang bijak adalah yang telah menyeberang dan fokus pada tujuan akhir. Seluruh keindahan yang kita saksikan—mulai dari tetesan embun pagi, hamparan hutan, hingga kilauan intan—adalah izin sementara, yang akan ditarik kembali secara total, meninggalkan ṣa'īdan juruzā.
Visualisasi Bumi yang telah diubah menjadi permukaan gersang dan tandus (Sa'idan Juruzan).
Ayat 8 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam menjelaskan konsep Al-Fana' (kefanaan) dalam teologi Islam. Seluruh makhluk dan materi di alam semesta ini tunduk pada hukum kefanaan, kecuali Dzat Allah (Al-Baqi').
Manusia cenderung menciptakan peradaban dengan ambisi keabadian: membangun monumen batu, menulis hukum di atas lempengan perunggu, dan mendirikan dinasti yang diharapkan bertahan ribuan tahun. Ayat 8 menghancurkan ilusi keabadian ini. Ia mengingatkan bahwa sehebat apapun teknologi dan perencanaan manusia, semua itu adalah fana. Kekuatan alam dan keputusan ilahi yang mengubah bumi menjadi *juruzā* jauh melampaui kemampuan manusia untuk mempertahankannya.
Bumi, yang dianggap manusia sebagai sumber stabilitas dan fondasi eksistensi, pada akhirnya hanyalah panggung sementara yang akan dibongkar total. Para mufasir kontemporer sering menghubungkan ayat ini dengan bencana ekologis yang masif, atau bahkan kiamat kosmik di mana hukum fisika yang menopang kehidupan di bumi ditarik kembali oleh Sang Pencipta.
Ayat ini berfungsi sebagai motivator utama bagi konsep Zuhud (asketisme) yang sehat—yaitu, meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total, tetapi memahami nilainya yang sesungguhnya: dunia bernilai nol ketika dibandingkan dengan akhirat.
Ketika seseorang merenungkan bahwa kekayaan, kebun, dan rumah mewah yang ia kumpulkan akan kembali menjadi ṣa'īdan juruzā, maka ia akan berhenti mengejar benda-benda fana sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, ia akan menggunakan sumber daya fana tersebut untuk mencapai tujuan yang kekal (amal saleh). Ini adalah pemahaman yang benar, di mana ayat 8 memberikan perspektif yang sangat diperlukan untuk menyeimbangkan hidup.
Tanpa ayat ini, seseorang mungkin keliru mengira bahwa Allah menyukai perhiasan dunia. Ayat 7 mengatakan Dia menciptakan perhiasan, tetapi Ayat 8 segera memberikan peringatan keras, menyeimbangkan pemahaman agar hati tidak terikat pada sesuatu yang telah dijanjikan kehancurannya.
Tafsir klasik sepakat bahwa implementasi total dari ayat 8—di mana seluruh permukaan bumi benar-benar menjadi gersang dan datar—adalah peristiwa yang terjadi menjelang atau pada saat Kiamat Besar (As-Sa'ah). Ini adalah tahap kehancuran total sebelum pembangkitan kembali.
Para ulama tafsir menghubungkan proses *ṣa'īdan juruzā* dengan peristiwa peniupan sangkakala pertama dan kedua. Peniupan pertama menghancurkan dan mematikan semua yang hidup. Proses inilah yang mengubah bentuk bumi. Kemudian, gunung-gunung dihancurkan, lautan mendidih, dan semua struktur kehidupan lenyap, meninggalkan satu permukaan tanah yang seragam dan datar, gundul dari segala kehidupan.
Ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an menguatkan gambaran ini, seperti dalam Surat At-Takwir atau Al-Qari'ah, yang menggambarkan gunung-gunung menjadi seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Ayat 8 dari Al Kahfi merangkum hasil akhir dari proses kosmik ini: bumi kembali ke kondisi netral, kosong, dan gersang, sebagai persiapan bagi pengadilan universal.
Peringatan tentang bumi yang menjadi *juruzā* berfungsi untuk mengarahkan pandangan ke bumi yang lain, yaitu tanah di surga. Jika bumi dunia akan habis kekuatannya, tanah di surga digambarkan sebagai sesuatu yang abadi, subur, dan penuh dengan kenikmatan yang tak pernah berkurang.
Penderitaan saat melihat bumi berubah menjadi tanah gersang menjadi motivasi untuk mengejar tanah yang dijanjikan dalam Surga, yang tidak akan pernah mengalami kefanaan dan kemandulan. Perenungan ini memperkuat iman terhadap akhirat, yang merupakan tema sentral dari seluruh Surat Al Kahfi.
Surat Al Kahfi mengandung empat kisah utama yang merupakan metafora dari fitnah kehidupan. Ayat 8 berfungsi sebagai kerangka naratif yang menyatukan semua kisah ini di bawah payung kefanaan dunia. Setiap kisah membuktikan janji *ṣa'īdan juruzā* dalam konteks yang berbeda:
Kisah pemuda gua adalah tentang meninggalkan peradaban duniawi (yang fana dan zalim) demi menjaga keimanan yang abadi. Mereka meninggalkan kenyamanan dan kekayaan kota mereka. Pilihan mereka adalah penolakan implisit terhadap perhiasan dunia yang dijanjikan Allah akan menjadi gersang.
Kisah ini adalah ilustrasi paling literal dari Ayat 8. Salah satu pemilik kebun itu sombong karena kekayaannya dan berkata, "Aku tidak yakin kebun ini akan binasa selama-lamanya." (Al Kahfi: 35). Namun, Allah mengirimkan bencana yang mengubah kebunnya yang subur menjadi gundukan tanah yang hancur (disebut *sa’idan zalaqan* – tanah licin dan habis). Hukuman ini adalah miniatur dari janji universal dalam Ayat 8. Apa yang terjadi pada kebun individu itu akan terjadi pada seluruh bumi.
Ini adalah pengajaran bahwa harta yang membuat manusia lupa diri tidak hanya fana, tetapi kehancurannya akan menjadi penyesalan besar jika ia tidak digunakan untuk kebaikan abadi.
Kisah ini mengajarkan bahwa ilmu manusia itu terbatas dan bahwa banyak peristiwa yang tampak buruk di permukaan (seperti merusak perahu atau membunuh anak kecil) ternyata memiliki hikmah ilahi yang jauh lebih besar. Ini mengajarkan agar manusia tidak sombong dengan ilmunya. Ketika bumi menjadi *juruzā*, semua ilmu pengetahuan, teori, dan penemuan manusia tidak akan berguna untuk mencegah kehancuran tersebut.
Dzulkarnain adalah raja yang diberikan kekuasaan atas seluruh penjuru bumi. Namun, dia selalu menyadari bahwa kekuasaannya bersifat sementara dan datang dari Allah. Dia tidak membangun kerajaannya untuk keabadian. Bahkan tembok kokoh yang dibangunnya untuk menahan Ya’juj dan Ma’juj pun ditakdirkan untuk runtuh menjelang kiamat. Kekuasaan, sehebat apapun, akan menjadi debu di atas tanah gersang yang dijanjikan dalam Ayat 8.
Jika perhiasan dunia (harta, bangunan, kekuasaan) akan menjadi *ṣa'īdan juruzā*, lalu apa yang tersisa? Jawaban Al-Qur'an adalah: amal shalih.
Perhiasan sejati bagi seorang mukmin bukanlah yang diciptakan Allah di bumi sebagai ujian, melainkan apa yang dilakukan manusia dengan perhiasan itu. Amal shalih diibaratkan sebagai benih yang ditanamkan dalam tanah kehidupan dunia, namun hasilnya dipanen di tanah akhirat yang abadi.
Harta yang ditimbun akan menjadi gersang. Namun, harta yang disedekahkan atau digunakan untuk menegakkan keadilan akan kekal sebagai catatan amal. Sedekah jariyah, pembangunan masjid, atau beasiswa pendidikan adalah "perhiasan" yang tidak akan terkena hukum *juruzā*, karena ia telah ditransfer ke dimensi kekekalan. Kekayaan fisik lenyap, tetapi pahala dari penggunaan kekayaan itu abadi.
Setiap detik yang dihabiskan di atas bumi yang fana ini adalah modal. Jika waktu itu digunakan untuk mengejar hal-hal yang akan menjadi gersang, maka ia terbuang. Jika waktu itu digunakan untuk dzikir, shalat, dan introspeksi, maka ia menjadi investasi abadi. Ayat 8 mendesak kita untuk menilai setiap momen berdasarkan nilai kekal, bukan nilai sementara.
Kesadaran bahwa bumi sedang menuju kehancuran total seharusnya menghasilkan urgensi dalam beramal. Mengapa menunda kebaikan jika panggung di mana kita berakting bisa ditarik kapan saja, meninggalkan kita berdiri di atas tanah yang tandus tanpa hasil?
Penyesalan terbesar pada hari kiamat adalah penyesalan atas peluang yang hilang. Ketika seseorang menyaksikan bumi yang tadinya subur dan indah berubah menjadi *ṣa'īdan juruzā*, ia akan menyadari betapa bodohnya ia menghabiskan hidup untuk memperebutkan debu. Penyesalan ini diabadikan dalam berbagai ayat, tetapi Ayat 8 dari Al Kahfi memberikan gambaran visual yang paling mengerikan tentang nasib benda-benda yang diperebutkan itu.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dari Surat Al Kahfi ayat 8, kita perlu mengulangi dan memperluas pemahaman tentang bagaimana Al-Qur'an menggunakan bahasa untuk mencapai efek keagungan dan kengerian. Ayat ini tidak hanya menyatakan kehancuran, tetapi juga memberikan visualisasi puitis dari kehampaan yang akan datang.
Kata ṣa'īdan juruzā adalah perpaduan dua sifat yang saling melengkapi dalam deskripsi kemandulan. Jika hanya disebut ṣa'īdan (permukaan tanah), mungkin masih ada sisa-sisa kehidupan atau potensi. Namun, ketika ditambahkan juruzā (gundul dan tandus), ia menutup semua kemungkinan regenerasi. Ini adalah kepunahan total dari fungsi ekologis bumi.
Dalam konteks kehidupan spiritual, kekayaan yang dimiliki oleh seseorang tetapi tidak pernah digunakan untuk memberi manfaat bagi orang lain atau jalan Allah dapat diibaratkan seperti tanah juruzā. Tanah tersebut ada, tetapi mandul dan tidak menghasilkan pahala. Allah menghancurkan bumi yang subur secara fisik (*ṣa'īdan juruzā*) sebagai gambaran bagi kekayaan manusia yang subur secara potensi, tetapi mandul secara spiritual. Peringatan ini bersifat dua lapis: kehancuran fisik yang pasti, dan potensi kemandulan spiritual jika tidak dimanfaatkan dengan benar.
Bayangkanlah kebun-kebun yang indah, pepohonan rindang, sungai-sungai mengalir, dan bangunan-bangunan monumental yang merupakan simbol kekuatan dan kreativitas manusia. Semuanya memiliki sifat perhiasan. Dalam sekejap, semua perhiasan ini akan dicabut, dilenyapkan, dan yang tersisa hanyalah permukaan yang rata, kering, dan tidak menarik. Transisi dari kemewahan visual yang memanjakan mata menjadi kegersangan yang menyakitkan adalah inti dari peringatan ilahi ini.
Kekuatan ayat ini terletak pada prediksinya yang melampaui waktu dan peradaban. Ketika ayat ini diturunkan, perhiasan dunia mungkin berupa karpet sutra dan unta yang bagus. Hari ini, perhiasan itu berupa data digital, gedung pencakar langit, dan jet pribadi. Namun, nasib akhir dari semua perhiasan ini tetap sama: ṣa'īdan juruzā. Ayat ini tidak pernah kadaluwarsa karena ia berbicara tentang sifat fundamental realitas material, bukan hanya manifestasi material tertentu.
Ayat 8 adalah panggilan keras menuju introspeksi. Jika dunia yang kita pijak ini memiliki tanggal kedaluwarsa yang dijamin oleh Penciptanya sendiri, maka setiap keputusan harus dipertimbangkan dari sudut pandang kekekalan. Pertanyaan yang muncul harus selalu: Apakah tindakan ini akan menghasilkan pahala yang akan tetap ada setelah bumi menjadi gersang?
Ayat ini mendorong apa yang bisa disebut sebagai 'minimalisme spiritual'. Ini adalah prinsip mengurangi keterikatan pada hal-hal yang akan lenyap, agar hati dapat bebas berfokus pada hal-hal yang abadi. Tidak berarti hidup miskin, tetapi hidup dengan kesadaran bahwa segala yang dimiliki adalah pinjaman yang harus dipertanggungjawabkan dan akan segera diambil kembali oleh Allah.
Minimalisme yang didorong oleh ayat ini adalah pengakuan sadar bahwa keindahan dunia adalah fatamorgana. Kita melihatnya, kita menggunakannya, tetapi kita tahu ia tidak nyata dalam artian kekal. Seorang bijak tidak akan membangun rumah di atas pasir yang sebentar lagi akan hanyut. Begitu pula, seorang mukmin sejati tidak akan menambatkan hatinya pada bumi yang dijanjikan akan menjadi juruzā.
Sepanjang sejarah, kita melihat miniatur dari janji ṣa'īdan juruzā. Kota-kota kuno yang megah seperti Pompeii, Machu Picchu, atau reruntuhan Mesopotamia, yang dulunya merupakan puncak peradaban, kini hanyalah gundukan debu dan reruntuhan. Sebagian besar kembali ke alam, menjadi tanah gersang yang hanya disisipi oleh sisa-sisa peninggalan. Ini adalah tanda-tanda kecil (ayat) di dunia ini yang membuktikan kebenaran janji kehancuran universal yang dijanjikan dalam Al Kahfi ayat 8.
Setiap peradaban yang jatuh adalah pengingat bahwa kekayaan dan kekuasaan adalah ilusi. Ayat 8 memastikan bahwa nasib akhir yang menimpa peradaban-peradaban lokal ini akan menimpa seluruh planet, tanpa terkecuali, dalam skala yang tak terbayangkan.
Merenungkan kehancuran masa lalu seharusnya memicu rasa rendah diri dan kepasrahan. Kita hanyalah penghuni sementara di bumi yang fana, dan kesombongan kita dalam membangun struktur permanen adalah kekeliruan teologis yang disingkap oleh ayat ini.
Frasa *mā 'alaiha* (apa yang ada di atasnya) mencakup segalanya: makhluk hidup, manusia, hewan, tumbuhan, gunung, sungai, dan semua karya buatan manusia. Kelengkapan cakupan ini sangat penting. Tidak ada pengecualian.
Ini bukan hanya tentang kehancuran peradaban manusia, tetapi kehancuran total ekosistem yang menopangnya. Tumbuhan yang memberikan keindahan, air yang memberikan kehidupan, dan udara yang membersihkan akan terhenti fungsinya. Seluruh rantai kehidupan akan berakhir, meninggalkan lapisan permukaan yang tidak lagi mendukung adanya kehidupan.
Ini menegaskan kembali sifat Allah sebagai *Al-Qadir* (Yang Maha Kuasa). Dia yang menyusun tatanan kosmik yang rumit ini juga yang memiliki kekuatan untuk membongkarnya menjadi kepingan paling dasar, menjadikannya gersang dan sunyi.
Para mufasir klasik, meskipun hidup di zaman yang berbeda, selalu menafsirkan ayat ini sebagai deskripsi literal dari hari kiamat. Mereka tidak pernah membatasi maknanya hanya pada bencana lokal atau kekeringan biasa. Imam Al-Qurtubi, misalnya, menekankan bahwa ini adalah nasib akhir yang tidak terhindarkan bagi semua yang diciptakan Allah di atas bumi sebagai ujian.
Tafsir yang konsisten sepanjang sejarah Islam mengajarkan bahwa kita harus menjalani kehidupan dengan dua pandangan: menikmati anugerah Allah di dunia (sebagaimana diizinkan dalam batas syariat) sambil hati kita sepenuhnya berorientasi pada negeri yang kekal. Ayat 8 adalah jembatan antara dua pandangan ini, menuntut kita untuk melepaskan keterikatan hati pada yang fana.
Tanpa kesadaran akan nasib *ṣa'īdan juruzā*, manusia akan rentan terhadap fitnah al-mal (fitnah harta), yang menjadi fokus utama dalam kisah pemilik dua kebun. Ayat ini adalah penawar (anti-virus) terhadap penyakit keserakahan dan kelalaian.
Bagaimana seorang mukmin menerapkan kesadaran akan ṣa'īdan juruzā dalam rutinitas sehari-hari? Penerapannya harus tampak dalam tiga aspek utama kehidupan:
Menyadari bahwa semua aset akan menjadi gersang berarti prioritas kepemilikan bergeser dari akumulasi menjadi distribusi. Semakin banyak yang diberikan (dalam bentuk zakat dan sedekah), semakin banyak yang disimpan di akhirat. Kepemilikan duniawi dilihat sebagai kendaraan amal, bukan sebagai tujuan istirahat.
Ketika segala sesuatu yang material akan lenyap, apa yang tersisa adalah hubungan antar manusia yang didasari keimanan. Keindahan dunia (pepohonan, gedung) akan menjadi gersang, tetapi keindahan akhlak dan hubungan yang baik (silaturahim) akan kekal dalam catatan amal. Investasi dalam kebaikan sosial jauh lebih berharga daripada investasi dalam properti fana.
Seorang mukmin yang merenungkan Ayat 8 akan memperlakukan manusia dengan lebih baik, karena ia tahu bahwa manusia (dengan ruh abadi dan tanggung jawabnya) lebih mulia dan lebih kekal nilainya daripada seluruh perhiasan di bumi.
Meskipun Allah menjanjikan kehancuran total, ini tidak membebaskan kita dari tanggung jawab untuk menjaga lingkungan saat ini. Sebaliknya, kesadaran bahwa bumi sedang menuju *juruzā* seharusnya membuat kita lebih bertanggung jawab, menggunakan sumber daya secara bijak, dan tidak merusak lingkungan, karena kerusakan yang kita timbulkan di dunia ini akan menjadi bagian dari amal buruk yang akan dipertanggungjawabkan ketika bumi telah rata dan gersang.
Kewajiban menjaga alam adalah bagian dari 'amal yang terbaik' (ahsanu 'amalā) yang disebutkan dalam Ayat 7. Dengan merusak bumi, kita tidak hanya melanggar etika lingkungan, tetapi juga gagal dalam ujian yang diberikan Allah.
Surat Al Kahfi ayat 8, dengan bahasanya yang tegas dan gamblang, merupakan salah satu ayat paling menggugah tentang realitas akhir dunia. Ia adalah penutup definitif bagi pengantar Surah Al Kahfi, menetapkan nada teologis yang berpusat pada keterikatan hati yang benar.
Janji Wa innā lajā'ilūna mā 'alaiha ṣa'īdan juruzā (Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya (bumi) gersang dan tandus) adalah pengingat bahwa keindahan hari ini hanyalah ilusi yang menunggu penarikan kembali. Kemegahan istana, keindahan teknologi, dan kesuburan ladang, semuanya ditakdirkan untuk menjadi permukaan debu yang sunyi dan gersang.
Oleh karena itu, setiap mukmin didorong untuk tidak tertipu, melainkan fokus pada apa yang Allah tetapkan sebagai abadi: keimanan yang murni dan amal saleh. Hanya dengan demikian, kita dapat melewati ujian dunia dan meraih tempat tinggal yang tidak pernah mengenal gersang, kefanaan, ataupun kehancuran—yaitu Surga yang abadi.
Perenungan mendalam terhadap ayat ini adalah kunci untuk memenangkan pertarungan melawan fitnah dunia, sebagaimana yang diajarkan oleh seluruh rangkaian kisah dalam Surat Al Kahfi. Marilah kita terus berjuang memanfaatkan waktu, harta, dan ilmu yang fana ini untuk bekal di hadapan Allah, Dzat Yang Maha Kekal.
Kepastian akan berubahnya bumi menjadi gersang ini harusnya menjadi sumber motivasi, bukan keputusasaan. Ini adalah peta jalan yang jelas: tinggalkan yang fana, kejar yang kekal. Ini adalah ringkasan dari inti ajaran spiritual Islam yang harus kita pegang teguh sampai akhir hayat, sampai janji *ṣa'īdan juruzā* itu benar-benar terwujud.
Setiap detail yang diciptakan di muka bumi, mulai dari yang terkecil hingga yang termegah, memiliki batas waktu yang pasti. Kesadaran ini membebaskan jiwa dari belenggu keserakahan dan keterikatan, memfokuskan energi hanya pada upaya yang menghasilkan buah yang tidak akan pernah layu atau menjadi gersang. Inilah hikmah terbesar dari Ayat 8 Surat Al Kahfi.
Ayat 8 dari Surat Al Kahfi tidak hanya mengandung janji kehancuran fisik, tetapi juga menawarkan landasan filosofis bagi pemahaman eksistensi manusia di dunia. Filosofi ini berakar pada dualitas antara *Mulk* (Kerajaan duniawi yang terlihat) dan *Malakut* (Dimensi spiritual yang tersembunyi). Ketika Allah berfirman bahwa Dia akan menjadikan apa yang di atasnya gersang, Dia sejatinya sedang menyingkap tirai *Malakut* di balik *Mulk*.
Perhiasan dunia (*zīnah*) adalah jebakan optik. Ia tampak padat, indah, dan permanen, sehingga manusia cenderung lupa bahwa kepadatan dan keindahannya hanyalah pinjaman. Ayat ini adalah 'revelasi' kosmik yang menegaskan bahwa struktur pinjaman ini akan dibongkar, dan realitas yang tersisa adalah *juruzā*, sebuah kebenaan yang gersang.
Para sufi dan ulama tasawuf sering menggunakan ayat ini sebagai titik tolak untuk mencapai makam *yaqin* (keyakinan mutlak). Mereka berpendapat bahwa selama hati masih bergantung pada keindahan dan kestabilan material dunia, keyakinan terhadap Hari Akhir belum sempurna. Keyakinan sempurna mensyaratkan penerimaan total terhadap kepastian *ṣa'īdan juruzā*.
Keterikatan yang salah pada dunia (*hubbud dunya*) adalah akar dari semua kesalahan moral. Korupsi terjadi karena ketakutan kehilangan harta yang fana. Penindasan terjadi karena keinginan untuk mengabadikan kekuasaan yang sementara. Ayat 8 berfungsi sebagai terapi spiritual, menghilangkan akar penyakit tersebut dengan meyakinkan hati bahwa objek yang dikejar dengan keserakahan itu sendiri ditakdirkan untuk menjadi debu tak berharga.
Penting untuk direnungkan bahwa sifat gersang (*juruzā*) bukanlah hasil sampingan, melainkan hasil akhir yang direncanakan. Allah tidak hanya membiarkan bumi membusuk; Dia menjadikannya gersang (lajā'ilūna). Ini menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya. Dia mampu membuat surga dan neraka, dan Dia juga mampu mengubah panggung teater ini menjadi gundukan debu, menegaskan kontrol penuh-Nya atas materi dan waktu.
Selain kiamat besar, konsep *ṣa'īdan juruzā* juga terjadi dalam skala mikro kehidupan individu: kematian. Saat manusia meninggal, semua yang ia kumpulkan—rumah, mobil, tabungan—seketika menjadi gersang baginya. Semua itu tidak lagi berguna di kuburnya, kecuali amal yang ia kirimkan sebelumnya. Kubur itu sendiri adalah miniatur tanah *juruzā*, sunyi dan tandus tanpa perhiasan. Hanya amal yang mendampinginya dalam kesunyian itu.
Kematian adalah kiamat kecil bagi setiap individu, dan ia memberikan gambaran nyata tentang kehampaan yang akan dirasakan di hari kiamat besar. Jika manusia gagal belajar dari kiamat kecil ini, bagaimana ia akan menghadapi kiamat universal? Ayat 8 adalah petunjuk agar kita mempersiapkan diri menghadapi miniatur ketersiaan sebelum kita menghadapi ketersiaan global.
Setiap penyakit, kehilangan harta, atau kegagalan bisnis adalah sentuhan kecil dari *juruzā* yang mengingatkan kita bahwa stabilitas yang kita rasakan adalah ilusi. Pengalaman pahit semacam itu seharusnya mengarahkan kita kembali kepada Dzat yang kekal, agar hati tidak hancur saat kenyamanan duniawi ditarik kembali.
Tujuan utama dari renungan terhadap *Al-Fana'* (kefanaan) yang diuraikan dalam Ayat 8 adalah untuk mencapai pemahaman tentang *Al-Baqa'* (Kekekalan) yang hanya milik Allah dan janji-janji-Nya. Jika dunia ini gersang, maka Allah dan janji-janji-Nya subur abadi. Perbandingan ini menjadi mesin spiritual yang mendorong mukmin menjauhi pengejaran yang merusak dan mendekati peribadatan yang tulus.
Kesadaran akan gersangnya dunia ini harus menerjemahkan diri menjadi semangat yang membara untuk mencari 'tanah subur' yang abadi. Tanah subur itu adalah shalat, puasa, sedekah, dan setiap detik yang dihabiskan untuk meraih keridhaan Allah. Ini adalah aset yang tidak tunduk pada hukum *ṣa'īdan juruzā*.
Sangat ironis, jika manusia menghabiskan seluruh hidupnya untuk memelihara sebidang tanah subur di dunia, hanya untuk mengetahui bahwa tanah itu pasti akan menjadi gersang. Sementara itu, ia mengabaikan ‘tanah’ spiritual di hatinya, yang jika diisi dengan keimanan dan amal, akan bersemi menjadi kebun-kebun surga yang kekal. Ayat 8 membalikkan prioritas ini secara fundamental.
Oleh karena itu, penekanan pada kata 'benar-benar akan menjadikan' (lajā'ilūna) adalah janji sekaligus ancaman. Janji bagi mereka yang meninggalkan keterikatan dunia, bahwa mereka akan mendapatkan yang lebih baik; dan ancaman bagi mereka yang menjadikan dunia sebagai tuhan, bahwa tuhan mereka itu pasti akan lenyap dan menjadi gersang. Ini adalah pengajaran tauhid yang mendalam, membersihkan keyakinan dari segala bentuk syirik materialistik.
Kisah-kisah dalam Al Kahfi berikutnya memberikan contoh bagaimana manusia merespons janji ketersiaan ini. Ada yang sombong dan menolak (seperti pemilik kebun yang akhirnya hancur), ada yang melarikan diri untuk melindungi iman (Ashabul Kahfi), dan ada yang menggunakan kekuasaan dan ilmu untuk melayani (Dzulkarnain dan Musa). Respons kita terhadap Ayat 8 menentukan kelompok mana kita berada.
Jika kita menerima sepenuhnya bahwa bumi ini sementara dan akan menjadi *ṣa'īdan juruzā*, maka setiap tindakan kita akan mencerminkan orientasi akhirat. Keputusan bisnis, pendidikan anak, hingga cara kita menghabiskan waktu luang, semuanya akan diwarnai oleh kesadaran akan kefanaan dan kebutuhan untuk berinvestasi pada kekekalan. Inilah pelajaran tak ternilai yang diwariskan oleh Surat Al Kahfi ayat 8 kepada setiap generasi Muslim.