Surat Al-Lahab (Api yang Berkobar), juga dikenal sebagai Surat Al-Masad (Tali dari Sabut), merupakan salah satu surat yang paling unik dan mendalam dalam Al-Qur’an. Ia ditempatkan di juz ke-30, atau lazim disebut sebagai Juz ‘Amma, dan berada pada urutan ke-111 dari 114 surat yang termuat dalam mushaf. Kedudukan surat ini dalam konteks wahyu-wahyu awal sangat penting, mengingat ia secara spesifik diturunkan sebagai respons langsung terhadap penentangan yang dilakukan oleh salah seorang kerabat dekat Nabi Muhammad ﷺ.
Pertanyaan mendasar yang sering muncul, terutama bagi mereka yang ingin memahami struktur dasar Al-Qur’an, adalah mengenai komposisi surat ini. Surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang sangat ringkas namun padat makna, menjadikannya sebuah mukjizat kenabian yang bersifat profetik. Surat ini diturunkan di Makkah (Makkiyah) pada masa-masa awal dakwah, sebuah periode di mana Rasulullah ﷺ menghadapi tantangan dan intimidasi yang luar biasa dari kaum Quraisy, terutama dari kelompok yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Kekuatan utama Surat Al-Lahab tidak hanya terletak pada isinya yang tegas, tetapi juga pada kejelasannya yang profetik. Ia meramalkan secara definitif nasib buruk yang akan menimpa tokoh sentral penentang Islam di masa itu. Untuk memahami kedalaman ramalan dan ketegasan ilahi ini, kita perlu mengkaji secara terperinci struktur ayatnya, konteks sejarah penurunannya (Asbabun Nuzul), dan analisis linguistiknya.
Kajian ini akan membongkar setiap komponen dari Surat Al-Lahab, menguraikan bagaimana surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang menjadi bukti nyata kekuasaan Allah dan kebenaran risalah kenabian. Struktur ringkas ini menyimpan pelajaran abadi tentang konsekuensi dari permusuhan terhadap kebenaran dan kepastian azab bagi mereka yang menentang agama Allah dengan penuh kesombongan dan kekuasaan duniawi.
Surat Al-Lahab terdiri dari 5 Ayat
Untuk menjawab pertanyaan utama secara eksplisit, Surat Al-Lahab (سورة المسد) secara universal diakui oleh para ulama dan ahli qira’at terdiri dari lima (5) ayat. Struktur yang ringkas ini memuat satu narasi lengkap, mulai dari doa kehancuran, penyebutan sebab kehancuran (harta tidak berguna), ramalan azab api, hingga penyebutan sekutu utama dalam permusuhan (istrinya), dan penegasan hukuman di akhirat.
Setiap ayat dalam surat ini terjalin erat, membangun sebuah vonis ilahi yang ditujukan kepada Abu Lahab dan istrinya, Ummu Jamil. Berikut adalah struktur dasar yang harus dipahami:
Fokus pada kehancuran usaha dan diri Abu Lahab. Menggunakan ungkapan yang kuat, yaitu 'kedua tangannya', yang sering kali melambangkan kekuatan, usaha, dan kekuasaan.
Menjelaskan bahwa kekayaan dan status sosial yang dibanggakan Abu Lahab tidak akan mampu menyelamatkannya dari hukuman Allah.
Prediksi pasti mengenai azab yang akan menimpa dirinya, dengan penekanan kata 'Lahab' (api yang bergejolak), yang secara harfiah merujuk pada namanya sendiri.
Mengkhususkan hukuman terhadap istrinya, Ummu Jamil, yang dikenal sebagai penyebar fitnah dan pembawa kayu bakar (simbol keburukan dan perpecahan).
Penegasan jenis hukuman bagi istrinya, sebuah gambaran yang mengerikan tentang belenggu neraka dari sabut atau tali.
Kelimanya membentuk satu kesatuan retorika yang sempurna, membuktikan bahwa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang tidak dapat dipisahkan, dirancang untuk memberikan peringatan yang cepat, langsung, dan sangat pribadi kepada penentang utama dakwah Nabi di Makkah.
Untuk memahami mengapa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang begitu eksplisit dan keras, kita harus kembali pada konteks penurunannya. Menurut riwayat Imam Bukhari dan Muslim, surat ini diturunkan setelah Nabi Muhammad ﷺ menerima perintah untuk berdakwah secara terang-terangan. Beliau naik ke bukit Shafa dan memanggil seluruh suku Quraisy.
Ketika Nabi bertanya apakah mereka akan percaya jika beliau memberitahu adanya musuh yang akan menyerang dari balik bukit, mereka menjawab, "Ya." Nabi kemudian bersabda, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian tentang azab yang pedih."
Mendengar pernyataan ini, paman Nabi, Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, yang dikenal sebagai Abu Lahab (Bapak Api), berdiri dan berkata dengan kasar: "Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?" (Tabban lak! Alihaadza jama’tana?).
Abu Lahab adalah paman Nabi, tetapi dia adalah salah satu musuh paling kejam dan paling keras kepala. Ironisnya, nama panggilannya, Abu Lahab, yang berarti 'Bapak Api', secara profetik dihubungkan dengan takdirnya sendiri. Seketika setelah ucapan cemoohan dan kutukan dari Abu Lahab itulah, wahyu ilahi turun sebagai respons langsung yang menanggapi kutukan Abu Lahab dengan kutukan yang lebih keras dan definitif: 'Tabbat yada Abi Lahab' (Binasalah kedua tangan Abu Lahab).
Respons ilahi ini menegaskan bahwa penentangan terhadap kebenaran, bahkan jika datang dari kerabat terdekat, tidak akan ditoleransi dan akan berujung pada kehancuran total di dunia dan akhirat. Lima ayat ini menjadi saksi bisu atas kepastian hukuman Allah.
Kini, mari kita telaah secara rinci setiap ayat yang membentuk Surah Al-Lahab. Analisis ini mencakup aspek tafsir, linguistik, dan implikasi teologis dari setiap bagian. Memahami detail ini akan memperkuat pemahaman bahwa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang penuh dengan retorika ilahi yang menakjubkan.
Terjemah Makna: Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
Kajian Linguistik (Tabbat dan Tabb): Kata 'Tabbat' adalah bentuk lampau (past tense) yang dalam konteks Arab sering digunakan untuk menunjukkan kepastian dan ketetapan, seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi. 'Yada' berarti 'kedua tangan'. Dalam bahasa Arab, menyebut 'tangan' (atau kedua tangan) seringkali merupakan metafora untuk seluruh usaha, kekuasaan, dan perbuatan seseorang. Ketika Allah mengatakan 'Binasalah kedua tangan Abu Lahab', itu berarti seluruh upayanya untuk menghalangi dakwah Nabi akan sia-sia dan seluruh dirinya akan ditimpa kehancuran.
Bagian kedua, 'Wa Tabb', menegaskan kembali kehancuran tersebut. Beberapa mufassir menafsirkan 'Tabbat' sebagai doa kehancuran di dunia (kehancuran usahanya), sementara 'Wa Tabb' sebagai kepastian kehancuran di akhirat. Pengulangan ini (Tabbat... Wa Tabb) dalam satu kalimat merupakan teknik retorika (balaghah) yang disebut *ta’kid* (penegasan), memperkuat vonis ilahi bahwa kehancuran Abu Lahab adalah mutlak dan tak terhindarkan. Hal ini menanggapi langsung ucapan Abu Lahab yang mengutuk Nabi: "Tabban lak!"
Implikasi Profetik: Ayat ini adalah salah satu mukjizat terjelas dalam Al-Qur’an. Surat ini turun ketika Abu Lahab masih hidup dan memiliki semua kesempatan untuk menjadi Muslim dan membuktikan Al-Qur’an salah. Namun, ia tidak pernah melakukannya. Ia meninggal dalam keadaan kafir, yang membuktikan kebenaran ramalan yang termaktub dalam ayat pertama dari surat yang terdiri dari ayat yang telah menetapkan nasibnya.
Terjemah Makna: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan.
Kajian Tafsir (Harta dan Usaha): Abu Lahab adalah orang yang kaya raya dan memiliki status sosial yang tinggi di Makkah. Kekayaan dan status seringkali dianggap sebagai benteng pertahanan terakhir bagi para penentang kebenaran. Ayat kedua ini menghancurkan ilusi tersebut. Allah menegaskan bahwa semua harta benda (maluhu) yang ia kumpulkan, dan semua hasil usahanya (ma kasab) termasuk anak-anaknya atau pengaruhnya, tidak akan mampu menyelamatkannya dari azab ilahi.
Sebagian ulama menafsirkan 'Ma kasab' (apa yang ia usahakan) sebagai anak-anaknya, karena dalam tradisi Arab, anak laki-laki sering disebut sebagai 'kasb' (hasil usaha) ayahnya. Abu Lahab memiliki beberapa putra yang juga menentang Nabi. Ayat ini secara implisit menyatakan bahwa ikatan darah, kekayaan, maupun dukungan keturunan tidak akan dapat menjadi penebus dosa ketika menghadapi keadilan Tuhan. Ayat ini mempertegas bahwa keberhasilan duniawi Abu Lahab adalah fana, dan surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang menjamin kegagalan total bagi musuh Allah.
Terjemah Makna: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (berkobar-kobar).
Kajian Retorika (Lahab): Ayat ini adalah inti dari surat tersebut dan mengandung permainan kata yang sangat kuat (paronomasia). 'Sayasla' (kelak dia akan masuk) menggunakan huruf 'Sa' (س) di awal, yang dalam tata bahasa Arab menunjukkan masa depan yang dekat dan pasti. Api neraka yang akan dimasukinya digambarkan sebagai 'Narun Dzata Lahab' (api yang memiliki Lahab/kobaran).
Ini adalah pembalasan yang sempurna. Abu Lahab (Bapak Api) akan dibakar dalam Lahab (Api yang berkobar). Nama panggilannya, yang mungkin ia banggakan, kini menjadi deskripsi akurat dari tempat tinggal abadinya. Retorika ini menunjukkan keadilan dan kekuasaan Allah dalam menetapkan nasib seseorang, menggunakan identitas orang itu sendiri sebagai hukuman. Ini adalah puncak ketegasan dari surat yang terdiri dari ayat yang secara harfiah menghukum namanya.
Perluasan analisis mengenai istilah 'Lahab' membawa kita pada pemahaman kedahsyatan api neraka. Lahab tidak hanya merujuk pada api biasa, tetapi kobaran yang murni, kuat, dan intens. Ini menekankan bahwa azab yang menanti Abu Lahab bukanlah hukuman ringan, melainkan siksaan yang bersifat abadi dan membakar hingga ke sumsum.
Terjemah Makna: Dan (juga) istrinya, pembawa kayu bakar.
Kajian Metaforis (Pembawa Kayu Bakar): Ayat ini memperkenalkan tokoh kedua dalam permusuhan ini, yaitu istri Abu Lahab, Ummu Jamil (Arwa binti Harb). Ia adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Kejahatannya tidak kalah serius dari suaminya.
Frasa 'Hammalatal Hatab' (pembawa kayu bakar) ditafsirkan dalam dua makna utama oleh para ulama:
Dalam konteks akhirat, ada juga tafsir yang menyebutkan bahwa Ummu Jamil akan menjadi pembawa kayu bakar neraka yang digunakan untuk membakar suaminya sendiri, atau api itu akan berasal dari apa yang dia bawa. Ayat ini menunjukkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran sering kali merupakan kolaborasi jahat antara pasangan, dan hukuman juga akan menimpa keduanya secara spesifik. Ayat ini memperkaya pemahaman mengapa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang menjangkau seluruh keluarga penentang.
Kejahatan Ummu Jamil berpusat pada upaya psikologis untuk merusak reputasi Nabi dan menyebarkan kebohongan, sementara Abu Lahab fokus pada penentangan fisik dan ekonomi. Keduanya melengkapi spektrum permusuhan, dan Al-Qur’an menghukum peran masing-masing dengan keadilan sempurna. Analisis ini menunjukkan betapa detailnya lima ayat ini dalam mendeskripsikan kejahatan dan hukuman yang setimpal.
Terjemah Makna: Di lehernya ada tali dari sabut (atau tali yang dipilin).
Kajian Simbolis (Tali dari Sabut): Ayat penutup ini merangkum hukuman yang akan diterima Ummu Jamil. 'Fi jidiha' berarti 'di lehernya', dan 'Hablun min Masad' adalah 'tali yang terbuat dari sabut kelapa yang dipilin atau dari serat yang kasar'.
Tali dari sabut adalah tali yang kasar dan berkualitas rendah, namun dalam konteks neraka, tali ini akan menjadi belenggu yang sangat menyakitkan. Ini adalah kontras yang tajam dan ironis. Ummu Jamil dikenal suka memakai perhiasan mahal, termasuk kalung yang indah, yang konon pernah ia jual untuk mendanai permusuhannya terhadap Islam. Allah menjanjikan kalung yang berbeda baginya: tali sabut neraka.
Beberapa mufassir juga melihat ini sebagai hukuman yang sesuai dengan perbuatannya (pembawa kayu bakar). Ketika seseorang membawa beban berat (kayu bakar), mereka sering mengikat tali di kepala atau leher mereka untuk membantu mengangkatnya. Jadi, hukuman ini sejalan dengan jenis pekerjaannya di dunia—yaitu memikul beban fitnah dan dosa—dan kini ia memikul beban azabnya sendiri di neraka, terikat oleh tali kasar tersebut. Ayat penutup ini memperkuat pesan bahwa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang memberikan hukuman spesifik dan simbolis bagi setiap pelaku kejahatan.
Selain struktur ayatnya yang ringkas, Surat Al-Lahab adalah pelajaran teologis yang kaya. Kelima ayat ini memberikan kepastian mutlak mengenai kenabian Muhammad ﷺ dan sifat keadilan Allah yang tidak pandang bulu.
Aspek paling penting dari surat yang terdiri dari lima ayat ini adalah sifatnya yang profetik. Surat ini turun di Makkah. Surat ini secara definitif menyatakan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka. Jika Abu Lahab pada saat itu, dalam sisa hidupnya, mengucapkan syahadat (bahkan tanpa meyakininya), maka ramalan Al-Qur’an akan terbukti salah, dan seluruh pondasi Islam akan runtuh.
Namun, Abu Lahab tidak pernah masuk Islam. Ia meninggal dunia dalam kondisi kafir. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi, karena hanya Allah Yang Maha Tahu yang dapat meramalkan nasib akhir seseorang yang masih hidup dengan kepastian mutlak. Ini adalah bukti nyata (I'jaz) dari wahyu yang diberikan kepada Rasulullah ﷺ.
Surat Al-Lahab mempertegas bahwa ikatan duniawi—kekuatan, harta, dan hubungan keluarga—tidak berarti apa-apa di hadapan keadilan ilahi. Abu Lahab adalah paman Nabi, figur keluarga yang sangat dekat dalam struktur sosial Makkah. Namun, status kekerabatan ini tidak memberikan perlindungan sedikit pun. Surat yang terdiri dari ayat-ayat pendek ini menghapuskan konsep nepotisme spiritual.
Pesan ini universal: keimanan dan ketakwaan adalah satu-satunya mata uang yang berlaku di hadapan Allah. Siapa pun yang menentang kebenaran akan menerima konsekuensinya, terlepas dari status atau silsilahnya. Ini adalah fondasi teologi Islam tentang tanggung jawab individu.
Meskipun surat ini ditujukan kepada individu spesifik, maknanya meluas. Setiap orang yang menunjukkan kesombongan, menentang kebenaran secara aktif, dan menggunakan kekayaan atau pengaruhnya untuk menghalangi jalan Allah, berada di bawah ancaman yang serupa dengan yang dialami oleh Abu Lahab. Nama Abu Lahab menjadi arketipe (prototipe) bagi setiap musuh Islam yang menggunakan permusuhan pribadi untuk melawan risalah ilahi.
Ketegasan dan kecepatan respons ilahi dalam surat ini memberikan penghiburan besar bagi kaum Muslimin Makkah yang lemah pada saat itu. Ini meyakinkan mereka bahwa, meskipun mereka minoritas dan tertindas, hukuman bagi penindas mereka adalah pasti dan telah diputuskan oleh Yang Maha Kuasa.
Simbolisasi 'Narun Dzata Lahab'
Keindahan retorika surat yang terdiri dari lima ayat ini semakin terlihat melalui penggunaan kontras dan ironi yang mendalam. Para ahli Balaghah (retorika Arab) mengagumi bagaimana surat ini mencapai klimaks emosional dan teologis melalui pilihan kata yang cermat.
Abu Lahab bergantung pada status dan hartanya. Ironi terjadi ketika Allah memastikan bahwa semua yang ia kumpulkan ('Ma kasab') akan menjadi sia-sia. Di Makkah, kekayaan adalah segalanya; Surat Al-Lahab menjadikannya tidak berarti. Kontras antara kemegahan duniawi Abu Lahab dan kehinaan totalnya di akhirat menjadi pesan sentral. Poin ini diperluas: bukan hanya harta yang tidak berguna, tetapi juga kedudukan klan (Hasyim) yang selama ini menjadi tameng baginya.
Harta benda seringkali menjadi penghalang bagi orang sombong untuk menerima kebenaran. Mereka berpikir bahwa jika mereka menerima Islam, mereka akan kehilangan kekayaan atau status mereka. Ayat ini menyingkap bahwa dengan menolak kebenaran, mereka kehilangan segalanya, bahkan hal-hal yang mereka coba lindungi dengan kekayaan tersebut.
Ini adalah ironi terbesar. Abu Lahab, 'Bapak Api', adalah nama yang diberikan kepadanya karena wajahnya yang tampan dan bersinar (seperti kobaran api). Nama ini, yang mungkin ia terima sebagai pujian, kini diubah oleh Al-Qur’an menjadi label hukuman. Ia akan masuk ke dalam 'Dzata Lahab' (Api yang berkobar-kobar). Nama yang seharusnya mulia menjadi identitas azab. Penggunaan nama pribadi ini menunjukkan betapa personalnya vonis ini, sebuah pertanda kekuatan ilahi yang mendominasi setiap aspek kehidupan, bahkan penamaan.
Ketepatan linguistik semacam ini hanya dapat datang dari sumber ilahi, yang mampu memutarbalikkan makna simbolis sebuah nama menjadi kenyataan azab yang sebenarnya. Keunggulan ini adalah bagian tak terpisahkan dari mengapa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang sangat kuat.
Kontras yang menimpa Ummu Jamil sangat menghantam. Di dunia, ia adalah wanita Quraisy terhormat yang gemar perhiasan dan kalung mahal. Di akhirat, 'kalungnya' akan menjadi 'Hablun min Masad', tali kasar dari sabut. Ini adalah penggantian yang menghina: dari perhiasan kemuliaan menjadi belenggu kehinaan.
Kontras ini mencerminkan hukum pembalasan (qisas) dalam bentuk simbolis. Karena ia menggunakan status dan kekayaannya untuk melawan Rasulullah ﷺ (bahkan sampai menjual perhiasannya untuk tujuan tersebut, menurut beberapa riwayat), maka ia dihukum dengan simbol kehinaan yang berkebalikan dengan perhiasan yang ia cintai. Rangkaian kontras ini memastikan bahwa pesan dari surat yang terdiri dari lima ayat ini tertanam kuat dalam pikiran pendengarnya.
Mengingat pentingnya tiga ayat pertama sebagai fokus utama hukuman terhadap Abu Lahab, perluasan tafsir dan makna linguistik harus dilakukan untuk menghargai kedalaman surah ini.
Kata kerja 'Tabba' (تَبَّ) memiliki akar kata yang berarti rugi, gagal, binasa, atau putus asa. Penggunaan bentuk lampau ('Tabbat') pada awal surat ini tidak hanya menunjukkan doa, tetapi juga pernyataan nasib yang sudah final. Bandingkan dengan ungkapan doa lainnya dalam Al-Qur’an. Di sini, kepastiannya begitu tinggi sehingga azab itu dianggap sudah terjadi.
Jika 'Yada' adalah tangan, maka ini merujuk pada segala aktivitas fisik dan rencana jahatnya. Apa rencana jahat Abu Lahab? Ia mengikuti Nabi di pasar-pasar, mencemoohnya, dan memperingatkan orang asing untuk tidak mendengarkan dakwahnya, mengatakan bahwa Nabi adalah orang gila atau pembohong. Semua upaya ini, yang dilakukan dengan kedua tangannya—kekuatan fisiknya dan kekayaan yang ia keluarkan—dinyatakan batal dan binasa. Tidak ada satu pun usahanya yang berhasil menghentikan penyebaran Islam.
Perdebatan tafsir mengenai 'Ma Kasab' sangat menarik. Tafsir yang paling kuat menyebutkannya sebagai anak-anak. Jika kita menerima tafsir ini, pesan yang disampaikan sangat menghancurkan bagi budaya Arab saat itu. Anak laki-laki adalah sumber kekuatan klan dan jaminan masa depan.
Abu Lahab pernah berkata, “Aku akan melindungi diriku dari Muhammad dengan anak-anakku dan hartaku.” Ayat 2 datang untuk menolak klaim ini. Allah berkata, “Bahkan kekuatan keluarga dan keturunanmu (Ma Kasab) tidak akan menyelamatkanmu.” Ini bukan hanya hukuman terhadap individu, tetapi penghinaan total terhadap sistem nilai kesukuan yang menganggap keturunan lebih penting dari segalanya.
Surat Al-Lahab, yang terdiri dari lima ayat ini, menunjukkan bahwa ikatan ideologi (tauhid) jauh lebih kuat daripada ikatan darah. Ini adalah pesan revolusioner di Makkah.
Ketiga ayat ini mengikuti alur logis yang sempurna, membangun kasus hukuman terhadap Abu Lahab:
Transisi dari kehancuran duniawi (Tabbat) ke ketidakbergunaan harta benda, dan kemudian ke kepastian azab neraka (Sayasla Narun), menunjukkan sebuah progres dari kutukan di dunia hingga penempatan definitif di akhirat. Setiap bagian dari surat yang terdiri dari ayat-ayat pendek ini memperkuat klaim sebelumnya, menciptakan sebuah pernyataan yang tidak dapat diganggu gugat.
Simbolisasi Tali dari Sabut (Masad)
Dua ayat terakhir memberikan perhatian khusus kepada Ummu Jamil, menegaskan bahwa hukuman ilahi mencakup semua pihak yang terlibat dalam permusuhan terhadap Nabi.
Ummu Jamil bukanlah hanya seorang istri yang mendukung suaminya. Dia adalah pelaku kejahatan aktif, menggunakan lidahnya dan status sosialnya untuk menyebarkan kebohongan dan gosip (namimah) tentang Nabi Muhammad ﷺ. Penyebaran fitnah ini sangat berbahaya karena ia merusak reputasi Nabi di kalangan Quraisy, menghalangi orang-orang dari mendengarkan dakwah dengan pikiran terbuka.
Tafsir mengenai ‘pembawa kayu bakar’ sebagai penyebar fitnah adalah tafsir yang paling kuat karena sesuai dengan keahliannya. Fitnah diibaratkan sebagai kayu bakar yang menyulut api permusuhan di antara manusia. Karena ia menyalakan api fitnah di dunia, ia akan dihukum dengan api neraka dan belenggu yang kasar.
Kedudukan Ummu Jamil sebagai saudara perempuan Abu Sufyan (sebelum Abu Sufyan masuk Islam) juga menunjukkan bahwa meskipun ia berasal dari klan yang kuat, kekuatan klan tidak menyelamatkannya. Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatannya. Surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang menjamin hukuman setimpal untuk kejahatan lisan (fitnah).
Pilihan kata 'Masad' (sabut) di ayat terakhir sangat spesifik dan menghadirkan citra kehinaan. Sabut adalah material yang paling kasar dan termurah. Belenggu di neraka dibuat dari material yang paling menyiksa, tetapi digambarkan dengan nama material yang paling rendah statusnya di dunia.
Kenapa leher? Leher (jīd) adalah tempat perhiasan dan simbol kemuliaan. Hukuman ditempatkan di tempat kehormatan di dunia untuk menimbulkan rasa malu dan siksaan yang mendalam. Ummu Jamil akan memanggul tali sabut ini sebagai ganti dari kalung mutiara yang ia kenakan di dunia, sebuah pertukaran yang memperjelas nilai sejati dari kekayaan duniawi di mata Allah.
Kelima ayat ini menyimpulkan vonis bagi pasangan Abu Lahab dan Ummu Jamil dengan detail yang mengejutkan, dari kehancuran usaha mereka hingga azab neraka yang spesifik bagi mereka berdua. Rincian ini memastikan bahwa surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang merupakan manifestasi keadilan ilahi yang total.
Surat Al-Lahab, meskipun hanya terdiri dari lima ayat yang ringkas, memiliki posisi yang sangat penting dalam Al-Qur’an. Ia diletakkan berdekatan dengan surat-surat Makkiyah awal lainnya yang fokus pada dasar-dasar tauhid dan ancaman hari kiamat.
Penempatan surat ini di Juz ‘Amma (Juz 30) di antara surat-surat Makkiyah yang pendek, seperti Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas, menunjukkan fokusnya pada prinsip fundamental: kesetiaan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Sementara surat-surat lain berbicara tentang konsep umum neraka, Surat Al-Lahab memberikan contoh nyata hukuman yang menimpa musuh-musuh terdekat dan paling pribadi Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam fase awal dakwah, kaum Muslimin sangat membutuhkan kepastian. Mereka diintimidasi oleh orang-orang kuat seperti Abu Lahab. Surat ini datang sebagai jaminan ilahi bahwa kekuatan duniawi mereka (harta dan klan) tidak akan dapat mengalahkan kebenaran. Ini memberikan ketenangan psikologis dan teologis bagi komunitas Muslim awal.
Sebagai penutup, penting untuk mengingat kembali struktur dasar surat ini. Surat Al-Lahab terdiri dari ayat yang memiliki kesinambungan logis dan retorika yang sempurna:
Setiap ayat adalah batu bata yang membangun sebuah narasi kepastian azab, menjadikannya salah satu peringatan terkuat dan paling spesifik dalam Al-Qur’an. Surat ini mengajarkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran akan selalu berujung pada kerugian total, baik di dunia maupun di akhirat. Kekuatan dari surat yang terdiri dari lima ayat ini adalah bukti abadi akan kebenaran risalah Nabi Muhammad ﷺ.
Kajian yang mendalam ini, mencakup analisis linguistik, historis, dan teologis dari setiap kata kunci, menegaskan bahwa Surat Al-Lahab bukan sekadar kutukan pribadi, melainkan sebuah manifestasi dari keadilan universal Allah yang menggunakan kasus spesifik untuk memberikan pelajaran abadi bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Pemahaman terhadap setiap ayatnya memberikan apresiasi yang lebih besar terhadap kekayaan dan kedalaman Al-Qur’an, bahkan dalam surat-suratnya yang paling pendek.
Meskipun Surat Al-Lahab secara historis ditujukan kepada Abu Lahab dan istrinya, pesan yang terkandung dalam surat yang terdiri dari ayat yang spesifik ini tetap relevan dan memiliki implikasi mendalam bagi kehidupan modern, terutama mengenai bahaya kesombongan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penyebaran fitnah.
Di era modern, godaan terbesar bagi banyak orang adalah kekayaan dan status sosial. Seperti Abu Lahab, banyak pemimpin atau figur publik yang menggunakan sumber daya finansial dan pengaruh mereka untuk menentang nilai-nilai kebenaran, keadilan, atau ajaran agama. Ayat kedua, 'Ma Aghna Anhu Maluhu Wa Ma Kasab' (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan), adalah pengingat yang keras.
Pelajaran kontemporernya adalah bahwa kekayaan bukanlah jaminan keselamatan spiritual. Faktanya, bagi orang yang sombong, kekayaan seringkali menjadi penghalang (hijab) antara dirinya dan kebenaran. Surat Al-Lahab memperingatkan bahwa pada Hari Penghakiman, semua gelar, saham, aset, dan jaringan sosial yang dibanggakan akan lenyap. Kegagalan Abu Lahab adalah contoh universal bagi setiap individu yang menukarkan kebahagiaan abadi dengan kesenangan dan kekuasaan fana di dunia.
Sejauh mana seseorang hari ini menganggap harta sebagai penyelamatnya? Di mana pun ada penindasan yang didanai oleh kekayaan atau kekuasaan, Surat Al-Lahab berdiri sebagai vonis yang menunggu. Pesan ini harus dipahami secara menyeluruh ketika kita mengkaji mengapa surat Al-Lahab terdiri dari lima ayat yang sangat tajam.
Ayat keempat dan kelima, yang menargetkan Ummu Jamil, memiliki resonansi yang luar biasa kuat di zaman informasi dan media sosial. Jika Ummu Jamil di zamannya adalah 'pembawa kayu bakar' yang menyebarkan fitnah secara lisan, maka hari ini, penyebar berita palsu (hoaks), gosip, dan hasutan di media digital adalah 'Hammalatal Hatab' kontemporer.
Penyebaran fitnah melalui platform digital memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dan cepat daripada yang bisa dilakukan Ummu Jamil di pasar Makkah. Surat ini memberikan peringatan keras kepada mereka yang menggunakan lisan atau jari mereka (yang juga dapat ditafsirkan sebagai 'yad' atau tangan) untuk menyulut api permusuhan dan kebohongan di tengah masyarakat. Hukuman tali sabut (Masad) mengingatkan bahwa setiap fitnah yang dilemparkan ke orang lain adalah beban yang akan dipertanggungjawabkan di leher pelakunya sendiri di akhirat.
Oleh karena itu, lima ayat ini berfungsi sebagai etika komunikasi ilahi. Mereka menuntut tanggung jawab penuh atas setiap kata yang diucapkan atau ditulis yang bertujuan untuk merusak reputasi orang lain atau menghalangi jalan kebenaran.
Pelajaran terpenting dari seluruh surat ini adalah kepastian keadilan. Al-Qur’an tidak pernah menjanjikan bahwa orang baik akan terhindar dari kesulitan di dunia, tetapi ia menjamin bahwa kejahatan dan penentangan terhadap kebenaran tidak akan pernah menang pada akhirnya. Hukuman yang dijanjikan dalam Surat Al-Lahab adalah definitif.
Bagi orang-orang beriman yang hidup di tengah tantangan dan penindasan, surat ini berfungsi sebagai sumber kekuatan. Mereka diyakinkan bahwa mereka tidak perlu membalas dendam secara pribadi; Allah sendiri yang mengambil alih hukuman terhadap musuh-musuh kebenaran. Ini adalah demonstrasi bahwa Yang Maha Kuasa tidak akan mengabaikan penentangan terhadap ajaran-Nya, meskipun itu dilakukan oleh kerabat terdekat Nabi-Nya.
Keseluruhan surat yang terdiri dari ayat yang telah dianalisis secara mendalam ini, menyajikan model teologis yang sempurna mengenai konsekuensi kejahatan dan kepastian pembalasan di Hari Akhir.
Setelah melakukan kajian mendalam terhadap latar belakang historis, analisis linguistik, dan tafsir retorika, kita dapat menyimpulkan dengan tegas dan pasti bahwa Surat Al-Lahab terdiri dari lima (5) ayat yang merupakan unit naratif yang sempurna dan profetik.
Masing-masing dari lima ayat ini memberikan kontribusi yang krusial terhadap pesan utama: kehancuran total bagi mereka yang menentang kebenaran karena kesombongan, kekayaan, atau kekuasaan, dan kepastian azab yang spesifik dan ironis bagi mereka.
Surat Al-Lahab adalah monumen kebenaran ilahi, yang menegaskan bahwa kekerabatan tidak dapat menggantikan keimanan, harta tidak dapat membeli keselamatan, dan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya hanya akan berujung pada kerugian dan api yang berkobar-kobar—sebuah nasib yang sudah terukir bahkan sebelum pelakunya meninggal dunia.
Semoga kajian ini menambah pemahaman kita akan kekayaan makna yang terkandung dalam setiap jengkal Al-Qur’an.