Menyingkap Kronologi Wahyu: Penentuan Urutan Surah Al-Qadr

Sebuah Kajian Komprehensif Mengenai Tartib Nuzuli (Urutan Pewahyuan) dalam Ilmu-ilmu Al-Qur'an

Simbol Turunnya Wahyu di Malam Kemuliaan الروح

Ilustrasi visual tentang turunnya wahyu dan Malaikat (Ar-Ruh) pada Malam Kemuliaan.

Studi mengenai urutan pewahyuan Al-Qur’an (Tartib Nuzuli) merupakan salah satu bidang yang paling penting dan kompleks dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an (Ulumul Qur’an). Berbeda dengan urutan penulisan dalam mushaf standar yang kita kenal hari ini (Tartib Mushafi), urutan nuzul memberikan kita pemahaman kontekstual dan evolusioner tentang bagaimana risalah Islam disampaikan, mulai dari tauhid dasar hingga syariat yang terperinci. Memahami kronologi ini sangat penting, terutama ketika kita membahas surah-surah yang pendek dan padat makna, seperti Surah Al-Qadr (Surah ke-97).

Surah Al-Qadr, yang secara harfiah berarti 'Kemuliaan' atau 'Penetapan', adalah inti dari pembahasan mengenai Laylatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Karena kandungan isinya yang mendalam tentang awal mula penurunan Al-Qur’an, timbul pertanyaan mendasar di kalangan para mufasir: Tepatnya, Surah Al-Qadr diturunkan sesudah surat apa dalam rangkaian kronologi wahyu?

I. Landasan Metode Penentuan Urutan Pewahyuan (Tartib Nuzuli)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami bahwa penentuan urutan nuzul bukanlah perkara yang mudah. Tidak ada riwayat tunggal yang eksplisit dari Nabi Muhammad ﷺ yang menyusun daftar surah secara berurutan dari 1 hingga 114 berdasarkan waktu turunnya. Urutan ini disusun oleh para ulama Ulumul Qur’an, seperti Imam As-Suyuti dalam kitab monumentalnya, *Al-Itqan fi Ulumil Qur’an*, dan ulama kontemporer seperti Az-Zarkasyi dalam *Al-Burhan*, berdasarkan beberapa metode kunci:

A. Keterangan Sahabat dan Tabi'in

Metode utama adalah mengumpulkan riwayat (Asbabun Nuzul) dari para Sahabat Nabi dan Tabi’in. Riwayat ini seringkali menyebutkan peristiwa spesifik yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat atau surah, yang secara tidak langsung memberikan petunjuk waktu. Misalnya, jika Surah A diturunkan sebelum Perang Badar, dan Surah B diturunkan setelah Perang Uhud, maka B pasti lebih muda dari A.

B. Analisis Gaya Bahasa (Makkiyah dan Madaniyah)

Surah-surah Makkiyah (diturunkan sebelum hijrah) umumnya memiliki ciri khas: pendek, membahas tauhid, kebangkitan, hari kiamat, dan bernada keras, serta seringkali mengandung sumpah-sumpah. Surah Al-Qadr, dengan bahasanya yang pendek, puitis, dan fokus pada kebesaran wahyu, jelas termasuk kategori Makkiyah.

C. Kesesuaian Tema dan Isi

Para ulama juga melihat kesamaan tema. Seringkali, surah-surah yang membahas tema serupa diturunkan dalam periode waktu yang berdekatan untuk memperkuat pesan tertentu sebelum beralih ke topik lain.

II. Jawaban Krusial: Surah Al-Qadr (97) Diturunkan Sesudah Surat Apa?

Dalam daftar kronologi pewahyuan yang paling diakui, khususnya yang disusun oleh Imam As-Suyuti (berdasarkan riwayat Jabir bin Zaid dan lainnya), Surah Al-Qadr memiliki posisi yang cukup awal dalam rangkaian surah-surah Makkiyah awal, namun ia tidak termasuk lima surah pertama.

Berdasarkan kronologi mayoritas ulama dan riwayat yang paling kuat, Surah Al-Qadr (Surah ke-97 dalam mushaf) diturunkan sesudah Surah At-Tin (Surah ke-95) dan sebelum Surah Asy-Syams (Surah ke-91), atau, dalam hitungan As-Suyuti, ia sering ditempatkan setelah Surah Abasa (80).

Namun, jika kita mengikuti urutan kronologis yang paling ketat dan diterima secara luas, Surah Al-Qadr (97) menempati urutan ke-25 atau ke-26 dari total 114 surah. Jawaban yang paling sering dikemukakan, yang menempatkannya sebelum banyak surah-surah Makkiyah awal lainnya, adalah:

Posisi Kronologis Menurut Daftar Standar (Pasca Surah At-Tin)

Dalam daftar yang digunakan oleh banyak peneliti kontemporer, yang mengadaptasi pekerjaan Imam Az-Zarkasyi dan As-Suyuti, Surah Al-Qadr (97) seringkali didahului oleh Surah At-Tin (95).

  1. Surah yang diturunkan sebelum Al-Qadr: **Surah At-Tin (95)**.
  2. Surah Al-Qadr (97)
  3. Surah yang diturunkan setelah Al-Qadr: **Surah Al-Ashr (103)** atau **Surah Al-Bayyinah (98)** (tergantung riwayatnya).

Analisis Urutan Nuzul: Dari At-Tin ke Al-Qadr

Penempatan Surah Al-Qadr setelah Surah At-Tin dianggap logis secara tematik karena kedua surah ini sama-sama Makkiyah murni yang fokus pada landasan keimanan, kemuliaan manusia, dan janji hari pembalasan. At-Tin membuka dengan sumpah atas tempat-tempat mulia, sedangkan Al-Qadr memuncak dengan penyebutan malam termulia di mana wahyu dimulai. Transisi ini menunjukkan perkembangan argumentasi keimanan di fase awal Makkah.

III. Konteks Khilaf dan Riwayat Lain (Surah Abasa)

Penting untuk dicatat adanya *khilaf* (perbedaan pendapat) yang wajar dalam penentuan urutan nuzul, karena ia didasarkan pada ijtihad ulama dan pengumpulan riwayat yang berbeda-beda validitasnya. Riwayat dari Jabir bin Zaid yang dicatat oleh As-Suyuti, misalnya, menempatkan Surah Al-Qadr (97) pada urutan ke-25, di mana ia datang setelah Surah Abasa (80).

Mengapa Abasa Menjadi Kandidat?

Surah Abasa, yang juga Makkiyah, berisi teguran keras kepada Nabi ﷺ mengenai prioritas dakwah. Jika Al-Qadr turun setelah Abasa, ini menandakan bahwa setelah mengatasi isu-isu dakwah internal (fokus pada orang kaya versus orang miskin, seperti pada Abasa), wahyu kemudian bergeser untuk menguatkan kembali sumber kekuatan utama dakwah itu sendiri: Al-Qur’an dan Malam Kemuliaan.

Meskipun terjadi perbedaan minor dalam penomoran persisnya, konsensusnya adalah bahwa Al-Qadr diturunkan di awal periode Makkiyah, lama sebelum hijrah ke Madinah, menancapkan pemahaman akan kemuliaan sumber ajaran (Al-Qur’an) di saat komunitas Muslim masih lemah dan terintimidasi.

IV. Tafsir Mendalam Surah Al-Qadr: Mengapa Ia Begitu Dini?

Kandungan Surah Al-Qadr menjelaskan mengapa ia harus diturunkan relatif dini dalam periode Makkiyah. Surah ini bertindak sebagai fondasi teologis dan spiritual yang menguatkan hati Rasulullah dan para Sahabat bahwa risalah yang mereka bawa adalah istimewa, mulia, dan berasal dari sumber ilahi yang tak tertandingi.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
(Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada Laylatul Qadr.)

A. Ayat Pertama: Konfirmasi Sumber Ilahi

Ayat ini adalah deklarasi paling tegas tentang asal-usul Al-Qur'an. Kata kerja *Anzalnahu* (Kami telah menurunkannya) menggunakan bentuk *inzal* (menurunkan secara keseluruhan/sekaligus), yang merujuk pada turunnya Al-Qur'an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia (Baitul Izzah) pada satu malam yang mulia, sebelum kemudian diturunkan secara bertahap (tanzil) kepada Nabi Muhammad ﷺ selama 23 tahun.

Pada fase Makkah awal, Nabi ﷺ menghadapi tuduhan bahwa Al-Qur’an adalah sihir, puisi, atau karangan pribadinya. Deklarasi di awal Al-Qadr ini menghantam tuduhan tersebut dengan memberikan konfirmasi kosmik tentang kemuliaan wahyu. Dengan demikian, penempatannya setelah surah yang bersifat teguran (seperti Abasa) atau surah yang bersifat ancaman (seperti At-Tin yang memuat janji pembalasan) berfungsi sebagai penguatan bahwa fondasi ajaran yang dibawa adalah murni kebenaran dari Allah SWT.

B. Ayat Kedua dan Ketiga: Definisi Malam Kemuliaan

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3)

Pernyataan retoris "Tahukah kamu apakah Laylatul Qadr itu?" meningkatkan rasa penasaran dan kemuliaan malam tersebut. Kemudian ditegaskan bahwa malam itu "lebih baik dari seribu bulan." Seribu bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan, yang hampir menyamai usia rata-rata manusia. Ini berarti bahwa amal ibadah di malam itu memiliki nilai keabadian dan melebihi akumulasi amal seumur hidup.

Konsep Laylatul Qadr yang diturunkan di Makkah memiliki fungsi strategis. Ia memberikan harapan besar bagi komunitas yang teraniaya. Ketika Sahabat-sahabat merasa bahwa hidup mereka mungkin singkat dan perjuangan mereka berat, janji kemuliaan amal yang berlipat ganda pada satu malam adalah sumber motivasi spiritual yang tak terbatas, mengikat mereka pada konsep ibadah yang melampaui waktu duniawi.

C. Ayat Keempat dan Kelima: Turunnya Malaikat dan Kedamaian

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

Ayat-ayat penutup ini menggambarkan adegan kosmik: para malaikat dan Ar-Ruh (yaitu Jibril, atau ruh yang agung) turun ke bumi. Ini adalah manifestasi nyata dari hubungan langit dan bumi yang terjalin erat pada malam itu. Kehadiran makhluk-makhluk suci ini menegaskan kemahakudusan malam tersebut.

Kata Salām (kedamaian) bukan hanya berarti ketenangan fisik, tetapi juga kedamaian spiritual, aman dari segala keburukan dan kejahatan. Seluruh malam adalah waktu penetapan takdir (Qadr), dan penuh dengan keselamatan hingga terbitnya fajar. Di Makkah, di tengah kekerasan dan penolakan, Surah Al-Qadr menjanjikan oasis kedamaian ilahi yang bersifat sementara namun tak ternilai harganya, menjamin bahwa perjuangan mereka diawasi dan didukung oleh pasukan langit.

V. Hubungan Tematik dengan Surah-surah Kronologis Terdahulu

Jika kita menerima bahwa Surah Al-Qadr diturunkan setelah Surah At-Tin (95) dan mungkin juga setelah Surah Al-Alaq (96) - meskipun Al-Alaq adalah yang pertama secara mutlak, hubungan tematik menjadi sangat jelas. Penentuan urutan nuzul selalu mempertimbangkan jalinan tema di fase tertentu.

A. Surah Al-Alaq (96): Titik Nol Wahyu

Surah Al-Alaq (Iqra’) adalah surah pertama yang turun. Ia membahas perintah membaca, asal usul manusia (segumpal darah), dan ancaman bagi yang menghalangi kebenaran. Al-Alaq menetapkan ‘apa’ yang harus dilakukan (membaca/belajar) dan ‘bagaimana’ manusia dicipta.

B. Surah Al-Qadr (97): Menjelaskan Kapan dan Mengapa

Jika Al-Alaq membahas 'apa' dan 'siapa' (pencipta), maka Al-Qadr turun untuk menjelaskan 'kapan' dan 'betapa mulianya' peristiwa wahyu itu. Al-Qadr tidak membahas konten wahyu, melainkan menjustifikasi kemuliaan wadah waktu di mana Al-Qur'an pertama kali diturunkan. Ini adalah penegasan kembali sumber dan waktu agung bagi risalah yang baru dimulai.

Dengan demikian, Al-Qadr berfungsi sebagai sanad (otoritas) kosmik bagi Al-Alaq. Setelah Nabi menerima beban kenabian melalui Al-Alaq dan beberapa surah awal lainnya, Al-Qadr datang untuk memberikan pengakuan atas keagungan malam itu sendiri, menguatkan bahwa peristiwa ini bukan kejadian biasa, melainkan telah direncanakan di Lauhul Mahfuzh.

C. Surah At-Tin (95) dalam Konteks Kronologis

Surah At-Tin, meskipun nomornya lebih rendah di mushaf, seringkali dianggap turun sebelum Al-Qadr. At-Tin bersumpah atas keindahan ciptaan (Tin, Zaitun, Thur Sinai, Makkah) dan menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (ahsanit taqwim), lalu merosotkan mereka ke serendah-rendahnya kecuali yang beriman. Fokusnya adalah pada *kemuliaan manusia*.

Transisi dari At-Tin ke Al-Qadr adalah transisi dari kemuliaan makhluk (manusia) menuju kemuliaan firman (Al-Qur’an) dan kemuliaan waktu (Laylatul Qadr). Ini adalah kesinambungan logis: manusia yang diciptakan sempurna layak menerima wahyu yang sempurna, yang diturunkan pada malam yang sempurna.

VI. Perbedaan Tartib Nuzuli dan Tartib Mushafi: Analisis Komprehensif

Untuk memahami mengapa Surah Al-Qadr yang bernomor 97 di mushaf bisa berada di urutan ke-25 dalam kronologi, kita perlu membedakan dua jenis urutan Al-Qur’an:

A. Tartib Mushafi (Urutan Standar Utsmani)

Ini adalah urutan surah sebagaimana yang kita lihat di Al-Qur’an fisik, dimulai dari Al-Fatihah, diakhiri An-Nas. Urutan ini ditetapkan berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad ﷺ kepada para penulis wahyu (kuttab al-wahyi) dan dikonsolidasikan pada masa Khalifah Utsman bin Affan (Mushaf Utsmani). Urutan ini bersifat *tauqifi* (ditetapkan secara ilahi) namun tidak mencerminkan kronologi waktu turunnya.

B. Tartib Nuzuli (Urutan Pewahyuan)

Ini adalah urutan kronologis, sebagaimana wahyu itu turun dari tahun ke tahun selama 23 tahun. Surah Makkiyah mendominasi bagian awal daftar ini, diikuti oleh Surah Madaniyah.

Pentingnya Pemisahan Tartib

Pemindahan Surah Al-Qadr (97) ke bagian akhir Mushaf Utsmani, jauh dari Al-Alaq (96), menunjukkan bahwa penempatan surah dalam Mushaf lebih didasarkan pada kesamaan panjang surah dan kesesuaian tematik, bukan pada urutan sejarah. Kedua surah (Al-Alaq dan Al-Qadr), meskipun berbicara tentang awal wahyu, dipisahkan dalam Mushaf. Namun, dalam kronologi nuzul, mereka berdekatan.

Para ulama seperti Dr. Subhi As-Shalih menekankan bahwa walaupun urutan mushaf tidak kronologis, penyusunannya tetap mengandung hikmah yang mendalam, seringkali menghubungkan surah berdasarkan bunyi, kata kunci, atau penutup surah sebelumnya dengan pembuka surah berikutnya.

VII. Konsekuensi Teologis dari Kronologi Dini Al-Qadr

Penempatan Surah Al-Qadr di masa-masa awal dakwah (setelah At-Tin atau Abasa) memiliki implikasi teologis dan psikologis yang signifikan bagi perkembangan komunitas Muslim Makkah.

A. Penekanan pada Kemuliaan Internal

Di Makkah, umat Islam tidak memiliki kekuatan politik, ekonomi, atau militer. Keimanan mereka harus dipertahankan oleh sumber kekuatan internal. Surah Al-Qadr memberikan sumber kekuatan ini dengan mengalihkan fokus dari kekejaman Quraisy kepada keagungan malam Laylatul Qadr, sebuah peristiwa yang melampaui segala kesulitan duniawi. Ini mengajarkan bahwa nilai seorang mukmin tidak terletak pada harta atau kedudukan, tetapi pada hubungannya dengan wahyu.

B. Laylatul Qadr sebagai Titik Balik Waktu

Penjelasan tentang Laylatul Qadr yang diturunkan dini menunjukkan bahwa Allah ingin segera menanamkan keyakinan bahwa seluruh waktu adalah milik-Nya, dan Ia dapat melipatgandakan pahala sesuka-Nya. Ini adalah jaminan spiritual: meskipun perjuangan membutuhkan waktu lama (seperti 1000 bulan), hasilnya dapat dicapai dalam satu malam ibadah yang tulus.

C. Peran Ar-Ruh (Jibril) dan Penetapan Takdir

Ayat keempat menyebutkan turunnya Malaikat dan Ar-Ruh (Jibril) untuk mengurus segala urusan (min kulli amr). Ini menunjukkan bahwa Laylatul Qadr adalah malam penetapan (Qadr). Di Makkah, ketika takdir masa depan komunitas Muslim tampak suram di mata manusia, penetapan ilahi pada malam Laylatul Qadr menjamin bahwa hasil akhir ada di tangan Allah, bukan di tangan para penentang. Ini adalah penghiburan dan penegasan bahwa rencana Allah pasti akan terwujud, meskipun melalui jalan yang sulit dan panjang.

VIII. Analisis Khusus: Mengapa Al-Qadr Tidak Turun Paling Awal?

Meskipun Al-Qadr membahas awal mula wahyu, ia tidak termasuk surah yang pertama kali turun. Urutan lima surah pertama yang umumnya disepakati adalah:

  1. Al-Alaq (ayat 1-5)
  2. Al-Qalam
  3. Al-Muzammil
  4. Al-Mudassir
  5. Al-Fatihah (pendapat kuat)

Surah-surah yang turun paling awal ini bersifat instruktif dan panggilan untuk bertindak (misalnya, "Bangunlah dan berilah peringatan!" dalam Al-Mudassir, atau "Bacalah!" dalam Al-Alaq). Mereka bersifat praktis, mempersiapkan Nabi Muhammad ﷺ untuk tugas kenabian.

Al-Qadr, yang membahas glorifikasi waktu dan peristiwa itu sendiri, berfungsi sebagai refleksi dan penegasan. Ia datang beberapa saat setelah Nabi dan para Sahabat mulai terbiasa dengan ritme wahyu dan mulai menghadapi perlawanan keras. Setelah perintah untuk membaca dan peringatan dikeluarkan, barulah Allah merincikan betapa mulianya sumber kekuatan yang mendasari semua perintah tersebut.

Jika Al-Qadr diturunkan terlalu awal, maknanya mungkin belum dapat diserap sepenuhnya. Penurunannya setelah surah-surah dasar Makkiyah (seperti Al-Abasa atau At-Tin, yang fokus pada akhlak dan tauhid) memungkinkan umat Islam memahami kemuliaan malam tersebut dalam konteks perjuangan yang sudah mereka jalani.

IX. Perluasan Topik: Kaitan Al-Qadr dengan Surah Al-Bayyinah (98)

Dalam urutan mushaf, Al-Qadr (97) diikuti langsung oleh Al-Bayyinah (98). Meskipun urutan ini adalah mushaf, para ulama sering melihat kaitan tematik yang kuat, yang mungkin juga mencerminkan kedekatan dalam kronologi nuzul menurut beberapa pandangan.

Surah Al-Bayyinah (Bukti Nyata) membahas tentang orang-orang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan musyrikin yang tidak akan berhenti dalam kekafiran mereka sampai datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu Rasulullah yang membacakan lembaran-lembaran yang suci.

Kaitannya dengan Al-Qadr sangat kuat:

  1. Al-Qadr: Menetapkan bahwa Al-Qur'an diturunkan pada malam yang mulia, menekankan sumbernya.
  2. Al-Bayyinah: Menjelaskan dampak dan tujuan dari penurunan Al-Qur'an, yaitu sebagai bukti (Bayyinah) bagi umat manusia, yang seharusnya mampu memisahkan kebenaran dari kebatilan.

Jika Surah Al-Qadr menggarisbawahi keagungan peristiwa pewahyuan, maka Surah Al-Bayyinah menggarisbawahi urgensi pesan yang dibawa oleh wahyu itu sendiri, menciptakan kesinambungan pesan dari penetapan ilahi hingga aplikasi di tengah masyarakat yang terpecah belah.

X. Diskusi Filosofis: Makna Qadr (Penetapan) dalam Surah Al-Qadr

Nama surah, Al-Qadr, memiliki dua makna utama yang relevan:

  1. Kemuliaan (Syaraf): Malam yang mulia dan agung.
  2. Penetapan (Taqdir): Malam di mana urusan takdir tahunan ditentukan atau dirinci dari Lauhul Mahfuzh ke catatan malaikat.

Para mufasir menekankan bahwa kedua makna ini saling terkait. Malam Laylatul Qadr menjadi mulia karena pada malam itu Al-Qur’an diturunkan (kemuliaan), dan pada malam itu pula Allah menentukan urusan (penetapan) makhluk untuk tahun yang akan datang. Dalam konteks Makkiyah, penetapan ini menjadi sangat penting.

Peran Taqdir dalam Masa Kesusahan

Pada saat kaum Muslimin Makkah merasa tidak berdaya, konsep bahwa segala sesuatu, bahkan penderitaan mereka, berada dalam ketetapan Ilahi (Qadr), memberikan ketenangan batin. Keyakinan bahwa ketetapan takdir tertinggi adalah bersumber dari Allah, dan bahwa penetapan itu terjadi pada malam yang penuh berkah ini, menguatkan bahwa kesabaran mereka pasti memiliki imbalan yang sudah ditetapkan secara ilahi.

Kajian mendalam tentang kronologi Surah Al-Qadr ini menegaskan bahwa setiap surah, terlepas dari posisinya dalam mushaf, ditempatkan pada waktu yang sempurna dalam rangkaian pewahyuan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, teologis, dan psikologis Rasulullah ﷺ dan komunitasnya yang sedang tumbuh. Al-Qadr datang sebagai penegasan bahwa perjuangan mereka memiliki sandaran yang kokoh: firman Allah yang turun pada malam yang lebih baik dari seluruh perjalanan hidup mereka.

🏠 Homepage