Surat Al-Qadr (Arab: سورة القدر, Surah ke-97 dalam mushaf Utsmani) merupakan salah satu surat yang paling agung dalam Al-Qur'an. Ia terdiri dari lima ayat yang singkat namun padat, mengkhususkan diri membahas satu malam yang nilainya melebihi seribu bulan: Laylatul Qadr (Malam Kemuliaan).
Pertanyaan mengenai klasifikasi surat ini—apakah ia termasuk golongan surat Makkiyah atau Madaniyah—adalah kunci untuk memahami konteks historis dan fokus utama wahyu. Para ulama tafsir dan ilmu Al-Qur'an telah merumuskan kaidah-kaidah ketat untuk penggolongan ini, dan konsensus mayoritas merupakan pedoman yang sangat kuat.
Menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama, Surat Al-Qadr termasuk golongan Surat Makkiyah.
Penggolongan ini didasarkan pada kriteria kronologis, yang menyatakan bahwa surat Makkiyah adalah surat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebelum peristiwa Hijrah dari Makkah ke Madinah, terlepas dari lokasi geografis spesifik penurunannya. Fokus Makkiyah cenderung pada aspek akidah (tauhid), hari akhir, kisah nabi-nabi terdahulu, dan penetapan fondasi keimanan.
Untuk menguatkan mengapa Al-Qadr dikategorikan Makkiyah, kita harus memahami tiga kaidah utama yang digunakan para ulama:
Meskipun ada beberapa riwayat minoritas yang menyebut Al-Qadr Madaniyah (misalnya, riwayat dari Ibnu Abbas), hal ini biasanya ditolak karena konteks dan gaya bahasa surat tersebut sangat identik dengan surat-surat yang diturunkan di Makkah pada fase dakwah awal. Fokus utama surat ini adalah memperkenalkan keagungan wahyu yang baru diturunkan, yang merupakan tema sentral di Makkah.
Untuk mengapresiasi kedudukan surat Makkiyah ini, kita harus menyelami setiap ayatnya. Surat Al-Qadr adalah manifestasi langsung dari kemuliaan Al-Qur'an dan waktu penurunannya.
(Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan.)
Kata kunci di sini adalah اَنْزَلْنٰهُ (Anzalnahu), yang secara harfiah berarti "Kami menurunkannya." Kata ganti 'hu' (nya) merujuk pada Al-Qur'an, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. Keindahan retorika ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah sesuatu yang begitu masyhur dan dikenal agung sehingga tidak perlu disebutkan namanya.
Para ulama, seperti Imam At-Tabari, menjelaskan bahwa "menurunkan" di sini merujuk pada permulaan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ, yaitu di Gua Hira. Namun, interpretasi yang lebih kuat, didukung oleh Ibnu Abbas, menyatakan bahwa penurunan ini adalah penurunan Al-Qur'an secara total dari Lauhul Mahfuzh (Arsip Abadi) ke Baytul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia. Dari langit dunia inilah, Jibril kemudian menurunkannya secara berangsur-angsur kepada Nabi selama 23 tahun. Dengan demikian, ayat pertama ini merayakan peristiwa kosmik yang maha penting: transfer terakhir wahyu ilahi.
(Dan tahukah kamu apakah Malam Kemuliaan itu?)
Gaya bahasa ini, yang sering ditemukan dalam surat-surat Makkiyah, disebut istifham ta'jibi (pertanyaan retoris yang mengandung kekaguman). Frasa "Wama Adraka" berfungsi untuk menarik perhatian pendengar pada keagungan dan misteri subjek yang akan datang. Ini adalah cara Allah ﷻ mempersiapkan hati dan pikiran manusia untuk menerima deskripsi luar biasa tentang malam tersebut. Malam ini bukanlah malam biasa; ia adalah rahasia ilahi yang hanya dapat diungkapkan melalui wahyu, jauh melampaui jangkauan akal manusia biasa.
(Malam Kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.)
Ini adalah jantung dari surat tersebut. Seribu bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan—kurang lebih umur rata-rata manusia. Ayat ini menyampaikan bahwa beribadah dalam satu malam ini setara, atau bahkan melampaui, ibadah seumur hidup. Kata خَيْرٌ مِّنْ (Khayrum Min) tidak berarti "sama dengan," melainkan "lebih baik dari" atau "melampaui." Ini menegaskan bahwa nilai (Qadr) dari ibadah di malam ini memiliki penguatan (multiplikator) yang tidak terbatas.
Para Mufassirin mendiskusikan latar belakang perbandingan ini. Beberapa riwayat (seperti yang dicatat dalam Tafsir Al-Baghawi) menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah menceritakan tentang seorang laki-laki dari Bani Israil yang berperang di jalan Allah selama seribu bulan tanpa henti. Mendengar kisah ini, para sahabat merasa kecil hati karena umur mereka yang pendek. Maka, Allah menurunkan ayat ini, memberikan karunia yang memungkinkan umat Nabi Muhammad ﷺ mencapai pahala yang luar biasa dalam waktu yang singkat.
(Pada malam itu turun para malaikat dan Rūh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan.)
Ayat ini menggambarkan hiruk pikuk surgawi yang terjadi di bumi. تَنَزَّلُ (Tanazzalu) adalah bentuk kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang berulang dan berkelanjutan, menyiratkan bahwa ini terjadi setiap Laylatul Qadr, bukan hanya pada saat Al-Qur'an pertama kali diturunkan.
(Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.)
Malam ini adalah malam سَلٰمٌ (Salam), Kedamaian atau Kesejahteraan. Ada tiga interpretasi utama tentang makna "Salam" di sini:
Kedamaian ini berlangsung terus menerus sampai terbit fajar. Ini menandakan batas waktu kemuliaan malam tersebut, dan juga menjadi petunjuk fisik bagi mereka yang mencari tanda-tanda Laylatul Qadr, di mana fajar pada pagi harinya sering digambarkan bersinar lembut tanpa sinar terik.
Sebagian besar kekuatan Surat Al-Qadr, yang menegaskan klasifikasinya sebagai Makkiyah (berfokus pada akidah dasar dan keagungan Allah), terletak pada makna kata kunci itu sendiri: Al-Qadr (القدر). Kata ini berasal dari akar kata Arab yang kaya, yang dapat diuraikan menjadi setidaknya tiga makna signifikan yang semuanya relevan dengan malam tersebut.
Ini adalah interpretasi yang paling umum. Dalam konteks ini, Laylatul Qadr berarti "Malam Ketetapan." Sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, pada malam ini, Allah ﷻ menetapkan dan memindahkan ketetapan tahunan (rezeki, ajal, nasib) dari Lauhul Mahfuzh ke catatan malaikat yang bertanggung jawab. Meskipun ketetapan abadi sudah ditulis, malam ini adalah malam implementasi dan rincian operasional untuk tahun yang akan datang. Proses penulisan dan pengesahan ini menunjukkan otoritas mutlak Allah atas waktu dan peristiwa, sebuah tema sentral dari akidah Makkiyah.
Ketetapan ini bukan sekadar pencatatan pasif; ia adalah pengaturan aktif oleh para malaikat (seperti yang ditunjukkan dalam Ayat 4). Hal ini membawa implikasi teologis yang sangat besar, menekankan bahwa segala sesuatu di alam semesta bergerak sesuai dengan rencana ilahi yang telah dirinci dalam malam yang suci ini. Pengulangan tema ketetapan ini, yang menghubungkan waktu di bumi dengan proses di langit, adalah ciri khas dari surat-surat yang menanamkan rasa keimanan mendalam kepada hal yang gaib.
Dalam bahasa Arab, kata qadr juga dapat berarti nilai, kemuliaan, atau kehormatan. Oleh karena itu, Laylatul Qadr diterjemahkan sebagai "Malam Kemuliaan." Malam ini dimuliakan karena tiga alasan utama yang memperkuat statusnya sebagai wahyu Makkiyah:
Interpretasi ini menekankan aspek spiritual dan pahala, yang sangat penting dalam membangun motivasi keimanan di Makkah, di mana komunitas Muslim masih kecil dan perlu dikuatkan secara internal.
Meskipun jarang digunakan, qadr juga dapat berarti sempit atau sesak (misalnya, dalam QS. Al-Fajr: 16, yang berkaitan dengan rezeki yang disempitkan). Dalam konteks Laylatul Qadr, makna ini merujuk pada kesempitan bumi karena banyaknya malaikat yang turun. Para malaikat memenuhi setiap celah dan ruang di bumi hingga bumi terasa "sesak" oleh kehadiran mereka yang mulia.
Ketiga makna ini—Ketetapan, Kemuliaan, dan Kesempitan—secara sinergis menjelaskan mengapa malam ini begitu unik dan patut dicari. Penggunaan kata yang kaya makna ini adalah ciri khas gaya bahasa Al-Qur'an pada periode Makkiyah, yang mengandalkan keindahan linguistik untuk menyampaikan pesan teologis yang mendalam.
Meskipun tidak ada riwayat tunggal yang disepakati secara mutlak sebagai sebab turunnya (Asbabun Nuzul) Surah Al-Qadr, terdapat satu riwayat populer yang paling sering dikutip oleh para mufassir seperti Mujahid, yang memberikan konteks mengapa malam ini memiliki nilai seperti seribu bulan.
Riwayat tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ menceritakan kepada para sahabat mengenai empat orang Bani Israil yang dikenal sangat rajin beribadah. Mereka adalah Ayyub, Zakariya, Hizqil, dan Yūsyā' (anak Nun). Keempatnya beribadah selama 80 tahun, tidak pernah maksiat walau sekejap mata. Para sahabat terkesan dan merasa bahwa mereka tidak mungkin mencapai level ibadah selama itu karena umur umat Muhammad ﷺ jauh lebih pendek. Sebagai penghiburan dan anugerah, Allah ﷻ menurunkan Surat Al-Qadr, memberikan umat ini kesempatan untuk melampaui ibadah 80 tahun (sekitar 1000 bulan) hanya dalam satu malam saja. Ini adalah rahmat besar yang sesuai dengan tema Al-Qur'an Makkiyah: penegasan rahmat dan kekuasaan Allah yang mutlak.
Penekanan pada kisah umat terdahulu (Bani Israil) dalam Asbabun Nuzul juga merupakan karakteristik dari surat-surat Makkiyah, yang sering menggunakan narasi historis untuk memperkuat kebenaran risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Memahami klasifikasi Makkiyah sangat krusial karena menentukan bagaimana kita menafsirkan teks. Surat Al-Qadr adalah Makkiyah karena:
Oleh karena itu, meskipun Laylatul Qadr dikaitkan erat dengan ibadah (yang sering kali menjadi subjek Madaniyah), inti dari surat ini adalah perayaan keagungan wahyu dan kekuasaan Allah, menjadikannya pondasi Makkiyah yang sangat kuat.
Surat Al-Qadr tidak secara eksplisit menyebutkan bulan Ramadhan. Namun, ayat pertama, "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al-Qur'an] pada Malam Kemuliaan," harus dibaca bersamaan dengan Surat Al-Baqarah ayat 185:
(Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an...)
Penggabungan kedua ayat ini menghasilkan pemahaman yang disepakati secara universal: Laylatul Qadr pasti terjadi pada bulan Ramadhan. Penafsiran ini menegaskan koherensi ilahi antara ayat-ayat Makkiyah (yang fokus pada kemuliaan wahyu) dan ayat-ayat Madaniyah (yang fokus pada hukum dan waktu pelaksanaan, yaitu puasa Ramadhan).
Meskipun surat ini Makkiyah, dampak praktisnya (Madaniyah) sangat besar, yaitu pencarian malam tersebut. Allah ﷻ menyembunyikan waktu pastinya untuk mendorong umat Islam beribadah dengan sungguh-sungguh sepanjang malam-malam terakhir Ramadhan.
Menurut banyak hadis sahih, malam ini terdapat pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil (21, 23, 25, 27, dan 29). Kebijaksanaan penyembunyian ini sendiri adalah ajaran teologis mendalam: Allah ingin ibadah kita didorong oleh kerinduan dan usaha, bukan sekadar penentuan waktu yang pasti.
Ayat keempat, yang menjelaskan tentang penurunan malaikat dan Ar-Rūh, adalah salah satu elemen Makkiyah yang paling kuat, sebab ia mengundang pendengarnya untuk merenungkan realitas gaib yang jauh di atas dunia fisik. Proses ini melambangkan:
Kedalaman spiritual yang terkandung dalam lima ayat ini menunjukkan mengapa Surah Al-Qadr begitu penting. Ia adalah surat yang menjembatani akidah dasar (Makkiyah) dengan puncak praktik spiritual (terjadi di Ramadhan, yang diatur dalam Madaniyah).
Untuk melengkapi pembahasan mengenai surat Makkiyah yang agung ini, penting untuk meninjau bagaimana para ulama tafsir klasik dan kontemporer mengembangkan pemahaman kita terhadap surat ini. Konsensus mereka memperkuat interpretasi mayoritas dan memberikan kedalaman yang luar biasa.
Dalam Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, At-Tabari menegaskan bahwa Al-Qadr adalah Malam Ketetapan. Ia memberikan perhatian khusus pada perdebatan tentang makna Anzalnahu (Ayat 1). At-Tabari cenderung mendukung riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Al-Qur'an diturunkan sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke langit dunia pada malam itu, menekankan bahwa ini adalah tindakan ilahi yang memuliakan waktu tersebut.
Ia juga membahas secara ekstensif makna "Khayrum min alfi shahr" (lebih baik dari seribu bulan). At-Tabari mencatat bahwa ini adalah perbandingan nyata, bukan hiperbola, yang menunjukkan bahwa nilai amal ibadah di malam itu benar-benar melebihi nilai ibadah selama 83 tahun 4 bulan. Fokusnya pada literalisme ini menguatkan ajaran Makkiyah tentang kekuasaan dan kemurahan mutlak Allah ﷻ yang tidak terbatasi oleh logika manusia.
Al-Qurtubi, dalam Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, menempatkan penekanan yang lebih besar pada aspek hukum (yang secara ironis menguatkan mengapa surat itu sendiri bukan surat hukum/Madaniyah, tetapi memiliki konsekuensi hukum). Ia membahas tanda-tanda Laylatul Qadr secara rinci, termasuk hadis-hadis yang menjelaskan malam itu sebagai malam yang tenang, cerah, tidak terlalu panas atau dingin, dan fajar esok harinya tidak memiliki sinar yang menyilaukan.
Al-Qurtubi juga secara tegas membahas mengapa malam itu dinamakan Qadr. Dia menyebutkan ketiga makna (Ketetapan, Kemuliaan, Kesempitan), menunjukkan kekayaan linguistik Al-Qur'an yang memungkinkan interpretasi berlapis. Penggunaan linguistik yang canggih ini adalah ciri khas surat-surat awal Makkiyah yang bertujuan menantang retorika puitis kaum Quraisy.
Sayyid Qutb, dalam Fi Zilalil Qur'an, memberikan tafsiran yang lebih bernuansa spiritual dan gerakan. Ia melihat Surat Al-Qadr sebagai sebuah simfoni kosmik. Ketika Allah ﷻ berfirman Tanazzalul Malaikatu war Ruhu, Qutb menggambarkan momen tersebut sebagai kontak langsung antara dimensi surgawi dan duniawi. Ini adalah titik di mana energi ilahi memancar ke bumi, membawa kedamaian total (Salamun) yang bertahan hingga terbitnya fajar. Pandangan Qutb ini menguatkan sentimen Makkiyah yang menekankan hubungan vertikal antara manusia dan Penciptanya, sebelum fokus beralih ke hukum horizontal (Madaniyah).
Kembali pada Ayat 4, fokus pada Ar-Rūh (Jibril) adalah elemen teologis yang sangat kaya dan membutuhkan pendalaman lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan eksplorasi menyeluruh.
Mengapa Jibril disebutkan terpisah dari malaikat, padahal dia adalah pemimpin para malaikat? Para ulama tafsir memberikan dua alasan utama:
Penjelasan rinci mengenai peran malaikat dan Ar-Rūh ini, termasuk aktivitas mereka di malam tersebut (pengaturan segala urusan/Min Kulli Amrin), adalah penguat kuat klasifikasi Makkiyah, karena ia secara eksklusif membahas isu-isu akidah, iman kepada hal gaib, dan hierarki surgawi.
Konsep "lebih baik dari seribu bulan" (خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍ) adalah pusat gravitasi dari Surah Al-Qadr. Angka seribu (ألف) dalam bahasa Arab sering digunakan bukan hanya sebagai nilai kuantitas yang tepat tetapi juga sebagai representasi dari jumlah yang sangat besar, tak terhingga, atau puncak dari kelimpahan. Namun, dalam konteks ini, ulama sepakat bahwa ia merujuk pada periode waktu 83 tahun 4 bulan, yang hampir setara dengan satu siklus hidup manusia normal.
Mari kita telaah mengapa perbandingan ini penting dalam konteks Makkiyah:
Surat Al-Qadr, sebagai surat Makkiyah, diturunkan pada saat Muslimin masih minoritas dan menghadapi tekanan. Pesan utama Al-Qur'an pada fase ini adalah optimisme dan penegasan bahwa ibadah mereka tidak sia-sia. Dengan memberikan nilai ibadah yang setara dengan seribu bulan, Allah ﷻ menghilangkan keputusasaan yang mungkin dirasakan umat Islam awal karena pendeknya umur mereka dibandingkan dengan umat terdahulu yang panjang umurnya.
Jika kita menafsirkan angka "seribu" sebagai perumpamaan dari "banyak sekali," maka makna ayat tersebut menjadi: "Ibadah pada malam itu lebih baik daripada ibadah seumur hidup yang panjang, yang hanya dapat dijangkau oleh umat terdahulu." Karunia ini adalah bukti kemurahan khusus Allah kepada umat Muhammad ﷺ, sebuah tema yang dominan dalam penegasan identitas keimanan awal (Makkiyah).
Setiap jam di Laylatul Qadr memiliki nilai yang luar biasa. Jika satu malam (sekitar 12 jam) setara dengan 1000 bulan (sekitar 30.000 malam), maka secara kasar, satu jam di Laylatul Qadr memiliki nilai setara dengan kurang lebih 2.500 malam biasa. Perhitungan ini, meskipun hanyalah perbandingan matematis untuk membantu pemahaman, menegaskan keajaiban waktu yang disampaikan oleh surat Makkiyah ini.
Secara keseluruhan, eksplorasi mendalam terhadap Surat Al-Qadr, yang membahas tema-tema akidah seperti penurunan wahyu, kekuasaan takdir, intervensi malaikat, dan penegasan nilai spiritual ibadah, menempatkannya secara kokoh dalam golongan Surat Makkiyah.
Surat ini adalah masterpice retorika yang menggunakan bahasa yang ringkas, puitis, dan penuh kejutan (Wama Adraka) untuk membangkitkan kekaguman terhadap wahyu Ilahi di tengah masyarakat Makkah yang awalnya menentang. Lima ayat ini bukan hanya deskripsi tentang satu malam, melainkan deklarasi teologis tentang otoritas, rahmat, dan rencana abadi Allah ﷻ, yang diresmikan melalui penurunan Kitab Suci yang menjadi pedoman hidup umat manusia.
Maka, kesimpulan akhirnya tetap konsisten: Surat Al-Qadr, Surah ke-97, adalah Surat Makkiyah berdasarkan kriteria kronologis, tematis, dan gaya bahasanya yang terfokus pada fondasi akidah Islam.
Untuk memahami sepenuhnya keunikan Surat Al-Qadr sebagai surat Makkiyah yang memberikan karunia luar biasa, kita harus terus merenungkan implikasi dari nilai seribu bulan tersebut. Keutamaan ini tidak hanya berlaku untuk umat Islam, tetapi juga menjadi bukti universal atas keadilan dan rahmat Allah. Meskipun umat lain diberi umur yang panjang, umat Nabi Muhammad ﷺ diberi 'kualitas waktu' yang tak tertandingi.
Konsep seribu bulan mengajarkan kita bahwa dalam Islam, kualitas ibadah jauh lebih penting daripada kuantitas. Seorang mukmin yang ikhlas dan fokus beribadah dalam Laylatul Qadr, meskipun hanya beberapa jam, dapat melampaui pahala yang diperoleh dari ibadah yang dilakukan tanpa kehadiran hati selama bertahun-tahun. Ini adalah ajakan untuk meningkatkan khusyuk dan ikhlas, yang merupakan inti dari dakwah Makkiyah.
Pengulangan dan penekanan pada keagungan angka 1000 ini juga berfungsi sebagai dorongan psikologis yang kuat. Pada masa-masa sulit di Makkah, di mana Muslimin merasa terasing, janji pahala yang melimpah ini berfungsi sebagai obat penenang, memperkuat keyakinan mereka bahwa pengorbanan mereka dihargai secara luar biasa oleh Allah ﷻ.
Karena Laylatul Qadr adalah Malam Ketetapan (Qadar), ia secara alami memunculkan pertanyaan teologis mendasar mengenai takdir. Para ulama menjelaskan bahwa meskipun ketetapan umum sudah ditulis, Laylatul Qadr adalah malam di mana takdir tahunan diumumkan, dan yang terpenting, ia adalah malam di mana doa sangat diijabah.
Ini menciptakan hubungan dinamis antara takdir dan usaha: mukmin berusaha (ikhtiar) menghidupkan malam tersebut dengan doa dan ibadah, dan melalui permohonan tulusnya, ia berharap agar ketetapan takdirnya untuk tahun mendatang (yang diumumkan oleh malaikat) menjadi yang terbaik. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam hal takdir, ada ruang bagi hamba untuk memohon perubahan melalui doa yang dikabulkan pada waktu yang mulia ini.
Untuk memperjelas tema Makkiyah ini, Surat Al-Qadr seringkali dibandingkan dengan Surat Ad-Dukhan (44), khususnya Ayat 3:
(Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi...)
Ulama sepakat bahwa laylatun mubarakah (malam yang diberkahi) dalam Surah Ad-Dukhan dan Laylatul Qadr dalam Surah Al-Qadr merujuk pada malam yang sama. Namun, Surah Ad-Dukhan, yang juga Makkiyah, fokus pada tema peringatan (tentang azab dan kiamat), menggunakan konteks malam itu untuk memperingatkan kaum musyrikin.
Sebaliknya, Surah Al-Qadr menggunakan konteks malam itu untuk menekankan anugerah (pahala 1000 bulan) dan kedamaian (Salamun hiya), sebuah pendekatan yang lebih menghibur dan menguatkan para mukmin awal, sekaligus memperingatkan para penentang tentang betapa dahsyatnya wahyu yang sedang mereka tolak.
Hubungan tematik yang erat antara kedua surat Makkiyah ini semakin memperkuat kesimpulan klasifikasi Al-Qadr, karena ia berbagi ciri-ciri kebahasaan dan teologis yang sama dengan surat-surat yang diturunkan sebelum hijrah.
Penutup surat yang berbunyi سَلٰمٌۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (Sejahteralah ia sampai terbit fajar) adalah penegasan final akan keunikan Laylatul Qadr. Kedamaian ini bukan hanya ketenangan fisik, tetapi adalah kedamaian holistik yang menyelimuti seluruh eksistensi.
Para ulama tafsir menekankan bahwa pada malam itu, bahkan bagi mereka yang tertidur, jika niatnya adalah untuk menghidupkan malam itu, mereka tetap berada dalam lingkungan salam. Ini adalah pembebasan sementara dari semua gejolak duniawi, sejalan dengan tujuan surat Makkiyah untuk memberikan ketenangan batin di tengah badai penganiayaan yang dihadapi di Makkah.
Kesempurnaan Kedamaian ini mencakup:
Penjelasan yang begitu mendalam dan multi-layered mengenai fenomena kosmik dan spiritual yang terjadi di Laylatul Qadr adalah bukti nyata bahwa Surah Al-Qadr adalah wahyu Makkiyah yang berfokus pada pembangunan fondasi keimanan yang kokoh, sebelum umat Islam dihadapkan pada tantangan pengaturan sosial dan hukum di Madinah.
Penekanan berulang pada keagungan, ketetapan, kemuliaan, dan kedamaian yang melampaui batas logika manusia—semua elemen inti dari pesan Makkiyah—mengukuhkan jawaban: Surat Al-Qadr adalah golongan Surat Makkiyah.
***
Surat Al-Qadr, meskipun pendek, menunjukkan puncak dari I'jaz (kemukjizatan) retorika Al-Qur'an, yang menjadi senjata utama Nabi ﷺ dalam dakwah Makkiyah. Struktur lima ayat ini dirancang sedemikian rupa untuk membangun ketegangan dan mencapai klimaks teologis.
Ayat pertama (اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ) menggunakan kata kerja lampau (perfect tense) untuk menekankan kepastian dan penyelesaian tindakan. 'Kami telah menurunkannya' menunjukkan bahwa ini adalah keputusan yang sudah final dari Kekuasaan Ilahi, dan bukan sekadar rencana. Penggunaan kata ganti 'Kami' (Na) adalah bentuk pluralis agung yang mengacu pada Allah, menekankan otoritas tunggal dalam peristiwa kosmik ini.
Ayat kedua (وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ) adalah jeda dramatis. Pertanyaan retoris ini bertujuan untuk meremehkan kemampuan manusia untuk memahami keagungan malam tersebut tanpa bantuan wahyu. Gaya ini sering muncul dalam surat-surat Makkiyah pendek (seperti Al-Qari'ah: 'Mal qari'ah? wa maa adraaka mal qari'ah?'), yang dimaksudkan untuk mengguncang keangkuhan para penentang di Makkah dan menanamkan rasa hormat terhadap pesan ilahi.
Ayat 3 dan 4 memberikan jawaban atas pertanyaan retoris tersebut, tetapi dengan cara yang melampaui ekspektasi. Perbandingan "lebih baik dari seribu bulan" adalah hiperbola yang memiliki makna harfiah—suatu konsep yang menuntut keyakinan akidah yang mendalam. Kemudian, penggambaran turunnya malaikat dan Ar-Rūh (Ayat 4) memberikan rincian visual tentang aktivitas kosmik, mengubah malam itu dari sekadar waktu menjadi sebuah peristiwa, sebuah ciri khas yang digunakan untuk memvisualisasikan hal gaib dalam teks-teks Makkiyah.
Penutup (سَلٰمٌۛ هِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ) menyimpulkan dengan kata 'Salam', yang bukan hanya deskripsi, tetapi juga janji dan penegasan. Penggunaan kata benda (Salamun) sebagai predikat di awal kalimat memberikan penekanan yang mutlak: malam itu sepenuhnya adalah Kedamaian. Struktur linguistik yang kuat ini, yang didukung oleh rima yang harmonis, menunjukkan kesatuan pesan akidah yang disampaikan melalui gaya bahasa yang tak tertandingi.
Meskipun Surat Al-Qadr diklasifikasikan sebagai Makkiyah (akidah), dampaknya terhadap praktik (fiqh) sangatlah besar. Surat ini berfungsi sebagai fondasi teologis yang membenarkan praktik ibadah spesifik yang datang kemudian (Madaniyah), yaitu i'tikaf dan qiyamul layl (salat malam) di bulan Ramadhan.
Pencarian Laylatul Qadr dalam sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah pelaksanaan praktis dari janji yang diungkapkan dalam surat Makkiyah ini. Tradisi Nabi Muhammad ﷺ untuk mengencangkan ikat pinggang, menjauhi istri-istri beliau, dan membangunkan keluarganya selama sepuluh malam terakhir adalah respons langsung terhadap keagungan yang diungkapkan oleh Surat Al-Qadr. Ini adalah bukti bahwa akidah (yang ditanamkan di Makkah) harus diterjemahkan menjadi tindakan dan ibadah yang luar biasa (yang dilakukan di Madinah dan seterusnya).
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, jika ia mengetahui malam itu adalah Laylatul Qadr, doa apa yang harus ia ucapkan. Beliau menjawab, "Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku." Doa yang fokus pada pengampunan (Al-'Afw) ini sangat relevan dengan tema Makkiyah, di mana pengampunan dosa adalah langkah pertama menuju penyucian akidah dan Tauhid murni.
Keseluruhan pesan yang disampaikan oleh Surat Al-Qadr adalah undangan abadi kepada umat manusia untuk menghargai momen penurunan wahyu ilahi, merenungkan kekuasaan Allah yang mengatur takdir, dan mencari rahmat serta pengampunan yang nilainya melampaui usia rata-rata manusia. Inilah hakikat dari kemuliaan yang diwariskan oleh surat Makkiyah ini.
***
Mengakhiri pembahasan yang mendalam ini, penting untuk menegaskan kembali bahwa dalam studi ilmu Al-Qur'an (Ulumul Qur'an), klasifikasi Surat Al-Qadr sebagai Makkiyah bukanlah sekadar catatan historis, melainkan kunci untuk membuka lapisan makna teologisnya. Ia mewakili masa pembentukan iman, di mana setiap ayat berfungsi sebagai penguatan akidah dan janji rahmat yang tak terhingga dari Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, sebuah janji yang terus berulang setiap tahun hingga akhir zaman.
Keagungan yang diuraikan dalam lima ayat ini memastikan bahwa Laylatul Qadr akan terus menjadi puncak spiritual tahunan, hari raya bagi jiwa, yang keberadaannya diperkenalkan melalui keindahan retorika dan kedalaman makna khas wahyu periode Makkah.
Konsep ‘Barakah’ (keberkahan) adalah tema lain yang sangat dominan dalam Surat Al-Qadr, yang secara implisit mengaitkannya dengan Surat Ad-Dukhan yang menyebutnya ‘malam yang diberkahi’ (Laylatun Mubarakah). Barakah dalam konteks Laylatul Qadr memiliki tiga dimensi yang saling terkait, yang semuanya merupakan janji Makkiyah: peningkatan, kebaikan abadi, dan kemantapan ilahi.
Ini adalah dimensi yang paling eksplisit. Seribu bulan adalah standar kuantitatif, namun 'khayrun min' (lebih baik dari) menunjukkan bahwa keberkahan waktu tersebut adalah kualitatif. Keberkahan waktu di sini berarti bahwa sedikit waktu (satu malam) mampu menghasilkan hasil yang jauh lebih besar daripada waktu yang banyak (seribu bulan). Ini adalah mukjizat matematis dan spiritual yang hanya dapat diwujudkan melalui Kekuatan Allah. Tema ini, penekanan pada mukjizat, sangat khas dari surat-surat Makkiyah yang ditujukan untuk meyakinkan kaum yang skeptis.
Ibadah yang dilakukan pada malam itu diberkahi. Artinya, meskipun kita melakukan ibadah yang sama persis (misalnya, membaca Al-Qur'an, salat, atau berzikir), dampaknya pada jiwa dan timbangan amal jauh lebih besar. Barakah ini memastikan bahwa usaha spiritual hamba diinvestasikan dalam waktu yang paling subur di kalender Islam. Penafsiran para ulama menunjukkan bahwa Barakah ini juga mencakup pengabulan doa secara istimewa, sebuah karunia yang sangat dibutuhkan oleh komunitas mukmin awal di Makkah.
Ayat terakhir yang menjanjikan "Salam" hingga terbit fajar adalah manifestasi Barakah dalam bentuk ketenangan dan perlindungan. Kedamaian ini bukan sekadar absennya konflik, tetapi merupakan kehadiran aktif dari rahmat Allah. Seorang hamba yang menghabiskan malam itu dalam ibadah berada dalam perlindungan dan ketenangan total. Barakah ini adalah jaminan spiritual yang memberikan ketahanan psikologis dan emosional, sangat sesuai dengan konteks Makkiyah di mana Muslimin sering menghadapi tekanan dan ancaman.
Dengan menguraikan lapisan-lapisan keberkahan ini, jelas bahwa Surat Al-Qadr adalah salah satu teks fondasional yang menanamkan harapan dan keyakinan mutlak pada keutamaan ilahi, ciri utama dari golongan surat Makkiyah.
Pemahaman ini tidak hanya menjawab pertanyaan klasifikasi surat Al-Qadr sebagai Makkiyah, tetapi juga memberikan perspektif yang kaya mengenai mengapa Allah memilih untuk mengabadikan malam ini dalam Al-Qur'an, memberikan umat ini anugerah yang tak terhingga dalam batas waktu yang singkat.
***
Mengimani dan menghidupkan Laylatul Qadr, yang diuraikan dalam surat Makkiyah ini, memiliki konsekuensi teologis dan praktis yang mendalam bagi seorang mukmin. Surat Al-Qadr bukan hanya tentang sebuah malam di bulan Ramadhan; ia adalah pengingat konstan akan nilai waktu dan peluang yang diberikan oleh Allah ﷻ.
Surat Al-Qadr mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah sebuah ujian yang dinamis, di mana Allah ﷻ telah menyediakan titik balik (Laylatul Qadr) yang mampu mengompensasi kelemahan dan keterbatasan manusia. Keindahan surat Makkiyah ini terletak pada kesederhanaan bahasanya yang menyalurkan kompleksitas teologis terbesar—bukti yang tak terbantahkan akan kemukjizatan Al-Qur'an.
Dengan demikian, Surah Al-Qadr adalah Surat Makkiyah yang mengagungkan waktu, wahyu, malaikat, dan takdir, meletakkan fondasi yang kokoh bagi seluruh bangunan Islam.