I. Pendahuluan: Samudera Makna Malam Kemuliaan
Surah Al-Qadr, yang terletak pada urutan ke-97 dalam mushaf Utsmani, merupakan surah Makkiyah menurut mayoritas ulama tafsir, meskipun sebagian kecil berpendapat ia diturunkan di Madinah. Terlepas dari perbedaan lokasi, konsensus keilmuan menetapkan bahwa surah ini berbicara mengenai salah satu mukjizat terbesar Islam: Malam Kemuliaan (Lailatul Qadr) dan permulaan pewahyuan Al-Qur'an.
Ayat pembuka surah ini, إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (Innā anzalnāhu fī lailatil-qadr), bukan sekadar sebuah kalimat deklaratif, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang mengandung implikasi teologis, kosmologis, dan praktis yang tak terhingga. Ayat ini menghubungkan tiga entitas agung: Keagungan Dzat (Kami/Allah), Keagungan Pesan (Al-Qur'an), dan Keagungan Waktu (Lailatul Qadr).
Visualisasi Malam Kemuliaan, momen turunnya Al-Qur'an.
Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surah)
Meskipun tidak ada riwayat tunggal yang eksplisit dan kuat mengenai sebab turunnya Surah Al-Qadr secara keseluruhan, banyak ulama menukil riwayat yang menjelaskan konteks keutamaan malam ini. Salah satu riwayat yang sering disebutkan dalam kitab tafsir adalah kisah mengenai seorang mujahid Bani Israil yang berjuang di jalan Allah selama seribu bulan berturut-turut. Para sahabat merasa iri (dalam konteks positif) terhadap pahala yang luar biasa ini. Maka, Allah menurunkan surah ini untuk menegaskan bahwa umat Nabi Muhammad ﷺ, meskipun memiliki usia yang lebih pendek, diberikan satu malam yang setara, bahkan lebih mulia, dari ibadah seribu bulan (83 tahun 4 bulan) yang dilakukan tanpa henti. Ini adalah penghormatan tertinggi bagi umat ini.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ merasa khawatir ketika melihat usia umatnya yang lebih pendek dibandingkan umat terdahulu, yang dapat mengurangi kesempatan mereka untuk beramal shalih. Sebagai kompensasi dan anugerah, Allah memberikan Lailatul Qadr.
II. Tafsir Mendalam Ayat Pertama: Innā Anzalnāhu fī Lailatil-Qadr
Terjemah: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan.
A. Analisis Lafazh: إِنَّا أَنزَلْنَاهُ (Innā Anzalnāhu)
1. Makna 'Innā' (Sesungguhnya Kami)
Kata ganti 'Innā' (Kami) dalam konteks ini adalah sighah al-'azhamah (bentuk keagungan), digunakan oleh Allah untuk menunjukkan kekuasaan, kebesaran, dan keesaan-Nya dalam melakukan perbuatan besar. Penggunaan 'Kami' menegaskan bahwa pewahyuan Al-Qur'an adalah urusan mutlak dan utama dari Dzat Yang Maha Tinggi, bukan melalui perantaraan kekuatan lain yang setara.
2. Makna 'Anzalnāhu' (Kami telah menurunkannya)
Kata kerja 'Anzala' (menurunkan) berbeda dengan 'Nazzala' (menurunkan secara bertahap). Penggunaan kata 'Anzalnāhu' dalam ayat ini merujuk pada penetapan dan penurunan secara sekaligus. Ini memunculkan perdebatan dan kesimpulan penting mengenai proses pewahyuan:
A. Penurunan Global (Jumlatul-Inzāl): Mayoritas ulama dan mufasir, termasuk Ibnu Abbas, menetapkan bahwa 'Anzalnāhu' merujuk pada penurunan Al-Qur'an secara keseluruhan, dari Lauhul Mahfuzh (Papan yang Terpelihara) ke Baitul Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit dunia (langit terdekat). Peristiwa ini terjadi pada satu malam: Lailatul Qadr. Ini menunjukkan bahwa seluruh Al-Qur'an telah ditetapkan dan diletakkan di langit dunia, siap untuk diwahyukan.
B. Penurunan Parsial (Tanjīm): Setelah penurunan global ini, Al-Qur'an kemudian diwahyukan kepada Nabi Muhammad ﷺ secara berangsur-angsur (menggunakan kata Nazzala, seperti pada Surah Al-Isra' [17]: 106) selama 23 tahun. Lailatul Qadr adalah titik tolak dari seluruh proses wahyu.
C. Kata Ganti 'Hū' (nya): Meskipun objek yang diturunkan (Al-Qur'an) tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat ini, penggunaan kata ganti 'Hū' yang merujuk padanya menunjukkan bahwa keagungan Al-Qur'an sudah sangat dikenal dan tidak perlu disebutkan lagi. Ini adalah teknik sastra dalam bahasa Arab untuk menunjukkan kemuliaan objek yang sedang dibicarakan.
B. Analisis Lafazh: فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (fī Lailatil-Qadr)
1. Makna Lailah (Malam)
Malam (Lailah) secara umum dalam Islam sering dikaitkan dengan waktu ketenangan, kontemplasi, dan ibadah yang mendalam, berbeda dengan kesibukan siang hari. Namun, malam ini bukanlah malam biasa; ia adalah wadah waktu yang dipilih Allah untuk peristiwa terbesar dalam sejarah manusia.
2. Makna Al-Qadr (Kemuliaan/Ketentuan)
Istilah 'Al-Qadr' (الْقَدْرِ) memiliki setidaknya tiga makna utama dalam konteks tafsir, dan para mufasir sering menggabungkan ketiganya untuk memberikan makna yang komprehensif:
Lailatul Qadr dinamakan malam kemuliaan karena nilainya yang agung di sisi Allah. Ibadah di malam ini mendatangkan kemuliaan dan pahala yang berlipat ganda, jauh melampaui waktu lainnya. Seorang mukmin yang beribadah di malam ini ditinggikan derajatnya (قدره).
II. Penetapan/Penentuan (At-Taqdīr):Pada malam ini, segala ketetapan (takdir) yang akan terjadi pada tahun yang akan datang —rezeki, ajal, bencana, nasib— diuraikan dan ditetapkan dari Lauhul Mahfuzh kepada malaikat-malaikat yang bertugas (sebagaimana akan dijelaskan pada Ayat 4). Ibnu Katsir menekankan aspek ini, bahwa pada malam inilah segala urusan dipilah dan diputuskan secara terperinci.
III. Kesempitan (Adh-Dhīq):Sebagian kecil ulama mengaitkan Qadr dengan makna kesempitan. Ini merujuk pada bumi yang menjadi sempit pada malam itu karena begitu banyaknya malaikat yang turun (Tanazzalul-Malā’ikatu), memenuhi setiap ruang di muka bumi hingga fajar.
Kesimpulannya, malam ini adalah malam penentuan takdir tahunan, yang memiliki kemuliaan yang sangat agung di sisi Allah, dan merupakan malam turunnya wahyu yang paling mulia.
C. Implikasi Filosofis Ayat 1
Jika Allah memilih malam ini untuk menempatkan seluruh Al-Qur'an di langit dunia, itu berarti malam tersebut adalah poros waktu kosmik. Ini adalah penekanan bahwa petunjuk ilahi (Al-Qur'an) adalah prioritas tertinggi dalam alam semesta. Pemilihan waktu spesifik ini mengajarkan bahwa dalam ibadah, kualitas waktu jauh lebih penting daripada kuantitas belaka. Nilai spiritual satu malam ini melampaui waktu yang sangat panjang.
Kajian mendalam tentang konsep 'Anzala' dan 'Nazzala' adalah kunci untuk memahami konsistensi pewahyuan. Para ulama Ushuluddin telah bersepakat bahwa hikmah penurunan Al-Qur'an secara bertahap kepada Nabi adalah untuk menguatkan hati beliau, menyesuaikan hukum dengan perkembangan masyarakat, dan memudahkan penghafalan serta pemahaman bagi umatnya. Namun, Surah Al-Qadr menekankan awal mula yang simultan dan agung di langit, menegaskan kebenaran tunggalnya sejak awal penciptaan.
Perbandingan dalam Tafsir Klasik: Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib berpendapat bahwa kemuliaan Lailatul Qadr terkait erat dengan kekalnya kemuliaan Al-Qur'an itu sendiri. Jika Al-Qur'an yang diturunkan di malam itu adalah kalam Allah yang mulia, maka wadah penurunannya (malam) secara otomatis terangkat derajatnya. Beliau juga memperluas makna Takdir (penentuan) sebagai pengungkapan hikmah-hikmah ilahiah yang tersembunyi, yang pada malam itu diserahkan kepada para malaikat untuk pelaksanaan di bumi.
Lebih lanjut, konsep bahwa wahyu turun dari Lauh Mahfuzh ke langit dunia merupakan penampakan kekuasaan Allah yang menunjukkan bahwa segala sesuatu telah tertulis, namun pada saat yang sama, mekanisme pelaksanaan takdir tahunan diberikan melalui perantaraan malaikat pada malam tersebut, memberikan dimensi interaktif antara takdir umum (qadha) dan takdir tahunan (qadr).
Dalam konteks leksikal Arab, kata Qadr sering dihubungkan dengan kekuasaan. Ini berarti malam tersebut juga dapat diartikan sebagai Lailatul Qudrah (Malam Kekuatan), yang menunjukkan bahwa pada malam itu, kekuatan spiritual, kekuatan doa, dan kekuatan rahmat Allah dimanifestasikan secara maksimal bagi hamba-hamba-Nya yang beribadah. Kekuatan takdir yang dijalankan malaikat juga merupakan manifestasi dari kekuasaan ilahi yang tak terbatas.
III. Tafsir Ayat Kedua dan Ketiga: Keagungan Waktu yang Melampaui Masa
Ayat 2: Mempertanyakan untuk Mengagungkan
Terjemah: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Ayat ini menggunakan gaya bahasa retoris yang sangat kuat (istifham ta'ajjubiy). Dalam Al-Qur'an, ketika Allah menggunakan frasa "Wa mā adrāka" (Dan tahukah kamu...), ia selalu diikuti dengan penjelasan tentang keagungan hal tersebut. Pertanyaan ini berfungsi untuk menarik perhatian pembaca dan pendengar, menekankan bahwa hakikat dan nilai Lailatul Qadr berada di luar batas pemahaman dan imajinasi manusia biasa.
Menurut banyak ahli tafsir, penggunaan kalimat tanya ini mengisyaratkan bahwa meskipun manusia dapat mengetahui kapan malam itu terjadi, hakikat dan besarnya pahala yang tersembunyi di dalamnya hanya diketahui sepenuhnya oleh Allah. Ini menciptakan kerinduan dan dorongan bagi mukmin untuk mencari malam itu dengan sungguh-sungguh.
Ayat 3: Nilai Seribu Bulan
Terjemah: Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
1. Konsep "Lebih Baik" (Khairun)
Kata 'Khairun' (lebih baik) di sini berarti melebihi dalam segala aspek: pahala, keberkahan, pengampunan dosa, dan kemurahan rahmat. Keunggulan ini bersifat mutlak. Para ulama sepakat bahwa ibadah wajib atau sunnah yang dilakukan pada malam itu jauh melampaui ibadah yang dilakukan selama seribu bulan (setara 83 tahun 4 bulan) di malam-malam biasa.
2. Makna "Alfi Syahr" (Seribu Bulan)
Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa seribu bulan? Para mufasir memberikan beberapa interpretasi yang melengkapi:
Keutamaan yang dijanjikan ini mengubah paradigma ibadah. Seorang mukmin yang berhasil menghidupkan Lailatul Qadr selama, katakanlah, 40 tahun masa dewasanya, ia telah mengumpulkan pahala yang setara dengan ribuan tahun ibadah tak terputus. Ini menunjukkan kemurahan dan keadilan ilahi; kesempatan untuk mengejar ketertinggalan pahala adalah terbuka lebar.
Analisis Kontemplatif terhadap Seribu Bulan
Ibadah yang dimaksud di sini meliputi shalat malam (qiyamul lail), membaca Al-Qur'an, berzikir, berdoa, dan muhasabah (introspeksi). Kelebihan Lailatul Qadr tidak hanya terletak pada penggandaan pahala, tetapi juga pada kondisi spiritual yang tercipta. Malam itu adalah puncak spiritual tahunan, di mana hati manusia paling dekat dengan Allah, dan penghalang antara hamba dan Rabb terasa menipis. Inilah mengapa malam ini secara spiritual 'lebih baik'—bukan hanya karena aritmatika pahala, tetapi karena kedekatan hubungan yang terjalin.
Tafsir Ruhul Ma'ani oleh Alusi menyebutkan bahwa kemuliaan ini datang dari keberkahan waktu, yaitu momen ketika takdir diatur. Ketika takdir baik diturunkan, peluang untuk mendapatkan limpahan kebaikan di waktu tersebut menjadi maksimal. Oleh karena itu, ibadah yang dilakukan saat 'pintu langit' terbuka lebar ini menghasilkan dampak spiritual yang permanen dan menyeluruh dalam kehidupan seorang hamba.
IV. Tafsir Ayat Keempat: Turunnya Malaikat dan Penentuan Urusan
Terjemah: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan.
A. Fenomena Turunnya Para Malaikat (Tanazzalul-Malā’ikatu)
Kata kerja 'Tanazzalu' (تَنَزَّلُ) dalam bentuk fi'il mudhari' (kata kerja present/future) menunjukkan kontinuitas dan kelimpahan. Artinya, para malaikat turun secara berbondong-bondong, terus-menerus, dan dalam jumlah yang sangat besar. Ibnu Katsir menukil hadis yang menyebutkan bahwa pada malam itu, jumlah malaikat di bumi jauh lebih banyak daripada jumlah kerikil di seluruh bumi. Kedatangan mereka bukan hanya sekadar kunjungan, melainkan untuk melaksanakan tugas penting.
1. Tugas Para Malaikat
Malaikat turun membawa rahmat, keberkahan, dan ketenangan (Salām). Mereka juga ditugaskan untuk mengawasi dan menyaksikan ibadah para mukmin. Sebagian mufasir menyebutkan bahwa malaikat-malaikat ini akan mendoakan ampunan bagi setiap hamba yang berdiri (shalat) dan berzikir di malam itu.
B. Identitas Ar-Rūḥ (Ruh)
Yang menarik dari ayat ini adalah penyebutan 'Ar-Rūḥ' (وَالرُّوحُ) secara terpisah dari 'Al-Malā’ikatu' (malaikat-malaikat). Ini menunjukkan status khusus dari Ar-Ruh. Ada tiga pandangan utama mengenai identitas Ar-Ruh:
Kehadiran Jibril di Malam Qadr sangat signifikan karena ia adalah perantara wahyu. Turunnya Jibril di malam ini mengingatkan kembali pada peran awalnya dalam menyampaikan Al-Qur'an, dan ia terus menjadi perantara dalam menyampaikan urusan dan takdir ilahi tahunan.
C. Pengaturan Segala Urusan (Min Kulli Amr)
Frasa بِإِذْنِ رَبِّهِم (dengan izin Tuhan mereka) menegaskan bahwa segala aktivitas malaikat di malam ini berada di bawah otoritas dan perintah mutlak Allah. Mereka tidak bertindak mandiri.
Adapun مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (untuk mengatur segala urusan), ini merujuk pada penetapan takdir tahunan (At-Taqdīr As-Sanawī). Pada Lailatul Qadr, ketetapan yang sudah ada di Lauh Mahfuzh dipindahkan ke catatan malaikat untuk dieksekusi selama tahun yang akan datang. Urusan-urusan yang diatur meliputi:
- Rezeki: Penetapan jumlah rezeki bagi setiap makhluk.
- Ajal: Penetapan siapa yang hidup dan siapa yang meninggal.
- Bencana dan Keamanan: Ketentuan mengenai peristiwa besar, musibah, atau keamanan.
- Haji dan Ibadah: Penetapan siapa yang akan melaksanakan haji atau umrah.
Ayat ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadr adalah malam yang sangat aktif secara spiritual dan kosmik. Seluruh alam semesta bergerak untuk melaksanakan ketetapan Allah. Inilah yang seharusnya memicu semangat ibadah, karena pada malam inilah catatan takdir kita diperbaharui. Dengan beribadah, kita berharap agar catatan takdir tahunan kita diisi dengan kebaikan, ampunan, dan kemuliaan.
Pelebaran Tafsir tentang Takdir Tahunan
Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam Fathul Bari, menjelaskan bahwa penetapan takdir pada Lailatul Qadr adalah rincian dari takdir umum (Qadha') yang telah ditetapkan di Lauh Mahfuzh sejak azali. Allah Maha Mengetahui segalanya, namun penetapan ini adalah manifestasi operasional dari pengetahuan tersebut. Ini adalah proses administrasi ilahi, di mana malaikat pencatat dan pelaksana menerima mandat rinci untuk setahun ke depan. Ini juga menjadi bukti keterkaitan erat antara dimensi spiritual (malaikat) dan dimensi material (kejadian di bumi).
Malam ini juga menjadi penentu apakah seseorang akan diberi kesempatan untuk bertemu Ramadan berikutnya atau tidak. Oleh karena itu, semakin mendekati akhir Ramadan, semakin tinggi intensitas ibadah seorang mukmin, karena ia sedang berinteraksi langsung dengan momen penetapan takdir ilahi.
V. Tafsir Ayat Kelima: Kesejahteraan Hingga Terbit Fajar
Terjemah: Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
A. Makna Kesejahteraan (Salām)
Kata 'Salām' (سَلَامٌ) memiliki makna yang sangat luas, meliputi kedamaian, keselamatan, dan rahmat. Malam Qadr disebut 'Salām' karena beberapa alasan utama:
1. Keselamatan dari Siksa
Malam ini adalah jaminan keselamatan dari segala bentuk keburukan dan kejahatan. Bagi orang-orang yang beribadah, malam ini adalah pintu menuju pengampunan dosa, yang otomatis menyelamatkan mereka dari siksa api neraka di akhirat.
2. Kedamaian dan Ketenangan Hati
Kondisi atmosfer di malam itu sangat tenang dan damai. Malaikat turun membawa kedamaian, sehingga hati orang-orang yang beribadah merasakan ketenangan luar biasa yang tidak didapatkan di malam-malam lain. Malam ini bebas dari gangguan setan dan kejahatan.
3. Salam dari Malaikat
Dikatakan bahwa para malaikat menyampaikan salam (doa keselamatan) kepada para mukmin yang sedang khusyuk beribadah, sebagaimana dijelaskan oleh Mujahid dan Qatadah, ulama dari kalangan Tabi'in.
4. Malam yang Bebas dari Bahaya
Pada malam itu, menurut beberapa penafsiran, iblis tidak memiliki kekuatan untuk mengganggu atau menyakiti hamba Allah, dan malam itu aman dari penyakit dan bencana.
B. Durasi Kesejahteraan (Hattā Maṭla'il-Fajr)
Kesejahteraan ini berlangsung mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar (matla'il fajr). Ini memberikan batas waktu yang jelas bagi umat Islam untuk memaksimalkan ibadah mereka. Setelah fajar terbit, Lailatul Qadr berakhir, dan seluruh kemuliaan, rahmat, dan aktivitas malaikat yang melimpah itu berhenti.
Penegasan durasi ini juga merupakan dorongan untuk I'tikaf (berdiam diri di masjid) dan Qiyamul Lail (shalat malam) yang dilakukan secara intensif hingga waktu Subuh. Tidak cukup hanya beribadah beberapa jam di awal malam; keberkahan Lailatul Qadr yang paling puncak mencakup waktu menjelang fajar.
Analisis Kesejahteraan Global
Jika Ayat 4 berbicara tentang Takdir (penetapan), maka Ayat 5 berbicara tentang hasilnya, yaitu kedamaian. Penetapan ilahi, meskipun mencakup hal-hal yang tidak menyenangkan, secara keseluruhan adalah manifestasi dari keadilan dan hikmah Allah, yang pada dasarnya membawa kedamaian bagi orang-orang beriman yang berserah diri.
Dalam konteks modern, konsep 'Salām' (kedamaian) pada Lailatul Qadr adalah pengingat bahwa Islam adalah agama yang mengutamakan kedamaian batin. Di tengah hiruk pikuk dunia, malam itu menawarkan oasis spiritual, sebuah waktu di mana jiwa dapat beristirahat dalam ketenangan ibadah dan kepastian ampunan.
Kesejahteraan vs. Perjuangan
Kontradiksi yang mungkin muncul (mengapa malam yang penuh perjuangan ibadah disebut malam damai?) dijawab oleh para sufi. Perjuangan melawan hawa nafsu dan keletihan fisik dalam ibadah adalah perjuangan yang paling damai, karena ia menghasilkan kedamaian abadi di akhirat. Rasa lelah karena shalat malam di Lailatul Qadr adalah lelah yang mendatangkan kemuliaan (Qadr) dan ketenangan (Salām).
VI. Fikih dan Praktik Pencarian Lailatul Qadr
Surah Al-Qadr memberikan landasan teologis, namun hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ memberikan panduan praktis mengenai kapan dan bagaimana malam ini harus dicari. Konsensus ulama menetapkan bahwa Lailatul Qadr terjadi pada bulan Ramadan, khususnya di sepuluh malam terakhir, dan sangat kuat kemungkinannya jatuh pada malam ganjil.
A. Penentuan Waktu yang Paling Kuat
Meskipun Allah menyembunyikan waktu pasti Lailatul Qadr (hikmahnya agar manusia beribadah maksimal di setiap malam), Nabi Muhammad ﷺ memberikan petunjuk yang kuat:
- Sepuluh Malam Terakhir: Rasulullah ﷺ bersabda: "Carilah Lailatul Qadr di sepuluh malam terakhir bulan Ramadan." (HR. Bukhari dan Muslim). Intensitas ibadah beliau pada periode ini meningkat drastis.
- Malam Ganjil: Beliau juga bersabda: "Carilah ia pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir Ramadan." Malam ganjil yang dimaksud adalah malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29.
- Keutamaan Malam Ke-27: Walaupun ulama berbeda pendapat, mayoritas umat Islam, berdasarkan beberapa riwayat dhaif dan tafsir sahabat, cenderung mengutamakan malam ke-27. Namun, pandangan yang paling benar secara Sunnah adalah mencari di seluruh malam ganjil, dan tidak membatasi pada satu malam saja.
B. Amalan Utama di Malam Kemuliaan
Untuk menghidupkan malam yang lebih baik dari seribu bulan, seorang mukmin harus fokus pada amalan-amalan berikut, yang merujuk pada prinsip-prinsip Qiyamul Lail (menghidupkan malam):
1. Qiyamul Lail (Shalat Malam)
Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang melaksanakan Qiyam (shalat) pada Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari). Shalat tarawih, tahajud, dan shalat sunnah lainnya harus dilakukan dengan khusyuk dan panjang. Mengingat janji pengampunan dosa (maghfirah), Qiyamul Lail adalah amalan sentral.
2. I'tikaf (Berdiam Diri di Masjid)
I'tikaf di sepuluh hari terakhir adalah Sunnah Muakkadah (dianjurkan) yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. I'tikaf adalah pengasingan diri sementara dari urusan dunia untuk fokus sepenuhnya pada ibadah dan kontemplasi. Ini adalah cara paling efektif untuk memastikan bahwa seseorang bertemu dengan Lailatul Qadr.
3. Memperbanyak Doa Khusus
Aisyah radhiyallahu 'anha bertanya kepada Nabi ﷺ, doa apa yang harus diucapkan jika ia mengetahui Lailatul Qadr. Beliau mengajarkan doa yang sangat agung:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Terjemah: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau mencintai pemaafan, maka ampunilah aku.
Doa ini menekankan aspek 'Afw (pemaafan) yang lebih tinggi dari Maghfirah (ampunan). Maghfirah berarti Allah menutupi dosa, sementara 'Afw berarti Allah menghapus dosa sepenuhnya dari catatan, seolah-olah dosa itu tidak pernah ada. Mengingat bahwa malam ini adalah malam penetapan takdir, memohon penghapusan dosa adalah kunci utama untuk mendapatkan Salām (kesejahteraan).
4. Tilawah Al-Qur'an dan Zikir
Mengingat surah ini berpusat pada penurunan Al-Qur'an (Innā Anzalnāhu), membaca, merenungkan (tadabbur), dan menghafal Al-Qur'an di malam ini memiliki keutamaan yang sangat besar, menghubungkan kita langsung dengan sebab kemuliaan malam tersebut.
C. Tanda-tanda Lailatul Qadr
Meskipun tujuan utamanya adalah beribadah tanpa menunggu tanda, beberapa hadis dan riwayat ulama menyebutkan ciri-ciri yang mungkin muncul pada malam itu:
- Udara terasa sangat tenang, tidak terlalu panas atau terlalu dingin.
- Malam itu terasa terang benderang, namun tidak memancarkan cahaya yang menyengat (seperti malam yang penuh cahaya rembulan).
- Pagi hari setelah malam itu, matahari terbit tanpa sinar yang menyengat, seperti nampan tanpa pancaran yang tajam.
- Hati seorang mukmin yang menghidupkannya akan merasakan ketenangan dan kekhusyukan yang luar biasa (ini adalah tanda spiritual yang paling penting).
VII. Penutup: Integrasi Wahyu dan Amal
Surah Al-Qadr, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, adalah sebuah ringkasan teologis tentang nilai waktu, keagungan wahyu, dan kemurahan ilahi. Ayat pertama ('Innā Anzalnāhu') menetapkan keagungan Al-Qur'an. Ayat kedua dan ketiga menegaskan keunikan waktu (lebih baik dari seribu bulan). Ayat keempat menjelaskan mekanisme ilahi (turunnya malaikat dan penetapan takdir). Dan ayat kelima menjanjikan hasil dari semua ini: kedamaian abadi ('Salāmun hiya').
Kajian yang begitu mendalam dan menyeluruh mengenai setiap lafazh dalam surah ini—dari makna Anzala hingga implikasi Alfi Syahr—hanyalah upaya kecil untuk menyentuh keluasan samudera ilmu yang terkandung dalam Al-Qur'an. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya membaca, tetapi untuk menghidupkan, merenungkan, dan mengamalkan pesan ini dalam ibadah yang kualitatif, terutama di sepuluh malam terakhir Ramadan.
Lailatul Qadr bukan sekadar hadiah; ia adalah ujian terhadap kesungguhan. Siapa yang mencari dengan sungguh-sungguh, beribadah dengan ikhlas karena iman dan mengharap balasan, niscaya akan mendapatkan pengampunan dan kemuliaan tak terhingga, menjadikannya salah satu malam paling transformatif dalam sejarah spiritual seorang mukmin.
Konsekuensi Keimanan Terhadap Surah Al-Qadr
Mengimani Surah Al-Qadr secara paripurna memiliki konsekuensi praktis yang mendalam. Hal ini menuntut seorang mukmin untuk tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah, meskipun ia merasa usianya pendek atau amalnya sedikit. Kemurahan satu malam ini menutupi segala kekurangan masa lalu, asalkan ibadah dilakukan dengan keikhlasan yang murni.
Pemahaman bahwa malaikat turun untuk mengatur segala urusan juga menanamkan keyakinan (tauhid) bahwa seluruh kekuatan dan pengaturan alam semesta berada di bawah kendali Allah. Kita beribadah di malam itu bukan untuk mengubah takdir umum (Qadha') yang tidak berubah, melainkan untuk memastikan bahwa takdir tahunan (Qadr) yang kita dapatkan adalah yang terbaik, penuh ampunan, dan penuh kedamaian. Kesejahteraan ('Salām') yang dijanjikan pada malam itu adalah jembatan menuju kesejahteraan abadi di sisi Allah.
Dengan demikian, Surah Al-Qadr adalah salah satu surah yang paling memotivasi dalam Al-Qur'an, menantang kita untuk berinvestasi spiritual dalam waktu yang singkat, namun memberikan keuntungan yang melampaui batas waktu dan logika duniawi. Ini adalah hikmah terbesar di balik firman agung: Innā anzalnāhu fī lailatil-qadr.