Sholat adalah tiang agama, dan pembacaan Al-Qur'an di dalamnya merupakan salah satu rukun utama yang menjadikannya sah. Selain Surah Al-Fatihah yang wajib dibaca pada setiap rakaat, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk menambahkan surah atau ayat-ayat lain, khususnya surah-surah pendek yang terletak pada bagian akhir Al-Qur'an (Juz Amma).
Kekuatan dan kemuliaan surah-surah pendek ini seringkali jauh melampaui ukurannya. Memahaminya bukan hanya memenuhi syarat sah sholat, tetapi juga memperkaya pengalaman spiritual, mengubah gerakan fisik menjadi dialog mendalam dengan Sang Pencipta. Artikel ini akan mengupas tuntas hikmah, tafsir, dan implikasi fikih dari surah-surah pendek pilihan yang paling sering kita lantunkan dalam sholat.
Sebelum membahas tafsir, penting untuk memahami posisi pembacaan surah tambahan dalam kerangka fikih sholat.
Para ulama sepakat bahwa pembacaan Surah Al-Fatihah adalah rukun (wajib) pada setiap rakaat sholat. Namun, pembacaan surah atau ayat tambahan setelah Al-Fatihah memiliki hukum sunnah, bukan wajib. Meninggalkannya tidak membatalkan sholat, namun mengurangi pahala dan kesempurnaan sholat.
Mayoritas umat Islam menggunakan surah-surah pendek dari Juz Amma (Juz 30) karena kemudahan hafalan, ringkasnya lafazh, namun padatnya makna. Surah-surah ini umumnya mengandung prinsip dasar tauhid, ancaman bagi kaum kafir, atau narasi historis singkat yang kuat. Pilihan ini juga membantu jamaah yang beragam tingkat hafalannya.
Disunnahkan untuk membaca surah sesuai urutan Mushaf (Tartib Mushafi), atau surah yang lebih pendek berada di rakaat kedua. Misalnya, membaca Surah Al-A’la di rakaat pertama dan Surah Al-Ghasyiyah di rakaat kedua, atau Al-Kafirun kemudian Al-Ikhlas. Para ulama memakruhkan (tidak menyukai) membaca surah dengan urutan terbalik, meskipun sholatnya tetap sah.
Bagian ini akan mengurai tafsir dari surah-surah yang paling sering digunakan, menelaah setiap kata dan menghubungkannya dengan kekhusyukan dalam sholat.
Surah ini memiliki keutamaan luar biasa, setara dengan sepertiga Al-Qur'an. Ia adalah deklarasi Tauhid (keesaan) yang paling lugas, tanpa kompromi, dan mutlak.
Ayat 1: قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa.)
Kata Ahad (Esa) di sini sangat spesifik. Berbeda dengan Wahid yang berarti satu dalam hitungan, Ahad memiliki makna keesaan mutlak yang menolak adanya duplikasi, pembagian, atau persekutuan. Allah adalah satu dalam Zat-Nya, satu dalam Sifat-sifat-Nya, dan satu dalam perbuatan-perbuatan-Nya (Rububiyyah). Ketika kita mengucapkan ini dalam sholat, kita menolak segala bentuk politheisme, trinitas, atau penyekutuan.
Ayat 2: ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.)
As-Samad adalah nama agung yang mengandung beberapa makna simultan:
Saat berdiri dalam sholat, pengakuan kita terhadap As-Samad berarti kita menyerahkan seluruh urusan, harapan, dan ketakutan kita hanya kepada-Nya.
Ayat 3: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.)
Ini adalah penolakan tegas terhadap kepercayaan Nasrani dan Yahudi, serta keyakinan Arab jahiliyah yang menganggap malaikat sebagai "putri-putri Allah."
Ayat 4: وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ (dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.)
Kata Kufuw berarti setara, sebanding, atau tandingan. Ayat ini menutup setiap celah bagi perbandingan. Tidak ada makhluk, sekuat apapun, secerdas apapun, yang dapat menyamai Allah dalam Zat, Sifat, Kekuatan, atau kekuasaan-Nya. Dialah Yang Mutlak, dan segala sesuatu selain Dia adalah relatif dan terbatas.
Membaca Al-Ikhlas dalam sholat berfungsi sebagai penguatan iman harian. Ini adalah pengulangan sumpah kesetiaan bahwa hati kita hanya tertuju pada satu Tuhan. Ketika kita mengucapkan surah ini, kita sedang memurnikan niat, memastikan sholat kita adalah khalis (murni) bagi Allah.
Surah Al-Falaq dan An-Nas dikenal sebagai Al-Mu'awwidzatain (Dua Surah Pelindung). Keduanya adalah senjata spiritual utama, dan sangat dianjurkan dibaca sebelum tidur atau setelah sholat.
Ayat 1: قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلْفَلَقِ (Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh.)
Al-Falaq secara literal berarti 'subuh' atau 'fajar,' yakni waktu pecahnya kegelapan malam oleh cahaya. Namun, secara tafsir, ia juga dapat berarti 'segala sesuatu yang terbelah dan diciptakan,' seperti biji-bijian, benih, atau bahkan neraka. Dengan memohon perlindungan kepada Rabbil Falaq, kita memohon perlindungan kepada Allah, Yang Maha Kuasa mengeluarkan terang dari gelap, kehidupan dari kematian, dan kemudahan dari kesulitan.
Ayat 2: مِن شَرِّ مَا خَلَقَ (dari kejahatan makhluk-Nya.)
Ini adalah permintaan perlindungan yang bersifat menyeluruh (general), mencakup semua kejahatan yang ditimbulkan oleh segala ciptaan-Nya: manusia, jin, binatang buas, bencana alam, bahkan kejahatan yang mungkin timbul dari diri kita sendiri.
Ayat 3: وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.)
Ghasyiq adalah malam yang gelap pekat. Kejahatan seringkali bersembunyi di bawah kegelapan (waqab), karena malam adalah waktu di mana binatang buas keluar, kejahatan dilakukan secara rahasia, dan kekuatan sihir/syaitan memuncak. Ini mengajarkan kita bahwa perlindungan dari kegelapan (baik fisik maupun spiritual) hanya datang dari Allah.
Ayat 4: وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِى ٱلْعُقَدِ (dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.)
Ayat ini secara spesifik menyebut sihir, yang dulunya sering dipraktikkan oleh para penyihir wanita yang mengikat tali dan meniupkannya (meludahkannya) sebagai mantra. Ini adalah pengakuan akan adanya realitas sihir dan kebutuhan mutlak kita untuk memohon perlindungan Ilahi dari segala jenis manipulasi gaib yang merusak.
Ayat 5: وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia mendengki.)
Dengki (hasad) adalah penyakit hati yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan kerugian fisik dan spiritual, bahkan hanya melalui pandangan mata (ain). Dengki di sini dikaitkan dengan tindakan ketika kedengkian itu telah diwujudkan. Surah ini menekankan bahwa sumber kejahatan terbesar bukanlah setan semata, tetapi juga hati manusia yang dirasuki iri hati dan dengki.
Jika Al-Falaq berfokus pada kejahatan dari luar (sihir, dengki, kegelapan), An-Nas berfokus pada kejahatan internal, terutama godaan dan bisikan yang dilemparkan ke dalam hati manusia.
Surah ini dibuka dengan menyebut tiga sifat agung Allah yang berhubungan langsung dengan manusia. Ini adalah strategi persuasif: kita memohon perlindungan kepada Zat yang memiliki otoritas tertinggi atas kita.
Ayat 4: مِن شَرِّ ٱلْوَسْوَاسِ ٱلْخَنَّاسِ (Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi.)
Sasaran utama perlindungan adalah Al-Waswas Al-Khannas. Al-Waswas adalah pembisik kejahatan. Al-Khannas berarti yang bersembunyi atau mundur. Sifat ini sangat penting: syaitan adalah pembisik yang selalu mundur dan bersembunyi ketika manusia mengingat Allah. Ini adalah kelemahan syaitan. Ketika kita membaca surah ini dalam sholat, kita sedang mengaktifkan ingatan kepada Allah, memaksa syaitan untuk bersembunyi.
Ayat 5 & 6: ٱلَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُورِ ٱلنَّاسِ (مِنَ ٱلْجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ) (yang membisikkan ke dalam dada manusia, dari golongan jin dan manusia.)
Bisikan syaitan tidak hanya datang dari bangsa jin, tetapi juga dari manusia yang memiliki sifat syaitan—manusia yang meracuni pikiran orang lain dengan keraguan, hasutan, atau ajakan maksiat. Tempat bisikan itu adalah Sudur (dada/hati), yaitu pusat emosi, kehendak, dan keyakinan spiritual. Perlindungan yang kita minta adalah perlindungan pada pusat spiritual kita, agar tidak goyah oleh bisikan internal maupun eksternal.
Surah ini adalah deklarasi tegas pemisahan antara ibadah tauhid dan segala bentuk kemusyrikan. Meskipun sering dibaca sebagai respons historis kepada kaum kafir Mekah, maknanya tetap abadi sebagai pemurnian akidah.
Surah ini unik karena pengulangan penegasan ibadah. Pengulangan ini (ayat 2, 3, 4, 5) menekankan pemisahan total dalam hal ibadah dan keyakinan. Beberapa ulama tafsir menjelaskan bahwa pengulangan tersebut mencakup:
Ayat 6: لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ (Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.)
Ini adalah kesimpulan yang mengandung toleransi dalam interaksi sosial, namun ketegasan mutlak dalam masalah akidah. Meskipun ada toleransi dalam bermasyarakat, tidak ada kompromi dalam hal ibadah dan ketuhanan. Ketika kita membaca surah ini dalam sholat, kita menegaskan kembali komitmen kita bahwa ibadah sholat ini, secara khusus, adalah murni milik Allah, tidak tercampur dengan motif atau keyakinan lain.
Surah Al-Kafirun sangat dianjurkan dibaca di rakaat pertama, disusul Al-Ikhlas di rakaat kedua, dalam sholat Sunnah Fajar atau Maghrib, karena kedua surah ini mengandung dasar keislaman (penolakan syirik dan penegasan Tauhid).
Surah An-Nasr sering disebut sebagai surah perpisahan bagi Nabi Muhammad ﷺ, menandai selesainya misi beliau dengan penaklukan Mekah (Fathu Makkah) dan masuknya manusia berbondong-bondong ke dalam Islam.
Ayat 1 & 2: Visi Kemenangan
Ayat ini berbicara tentang Nashrullah (pertolongan Allah) dan Al-Fath (kemenangan). Secara historis, ini merujuk pada pembebasan Mekah. Namun, secara spiritual, setiap Muslim dapat menganggapnya sebagai janji Allah untuk memberikan pertolongan dalam perjuangan pribadi melawan hawa nafsu dan syaitan.
Ayat 3: Respon yang Tepat (Tiga Perintah)
Ini adalah inti surah. Ketika keberhasilan atau anugerah datang, manusia diperintahkan untuk melakukan tiga hal, yang semuanya relevan dengan sholat:
Membaca An-Nasr dalam sholat adalah pengingat bahwa tujuan hidup bukan sekadar mencapai kemenangan duniawi, tetapi bagaimana kita merespon kemenangan itu—dengan rendah hati (tasbih) dan pengakuan dosa (istighfar).
Surah terpendek dalam Al-Qur'an, namun sarat makna. Ia diwahyukan sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ di tengah ejekan dan fitnah dari kaum Quraisy, khususnya setelah meninggalnya putra beliau.
Ayat 1: إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ (Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar.)
Al-Kautsar berarti ‘kebaikan yang banyak dan melimpah.’ Tafsiran utamanya merujuk pada telaga di surga yang dijanjikan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Namun, secara umum ia mencakup kenabian, Al-Qur'an, jumlah umat yang besar, dan keutamaan di dunia dan akhirat. Ini adalah janji kemurahan total dari Allah.
Ayat 2: فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ (Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.)
Ayat ini adalah perintah konkret setelah anugerah diberikan. Sebagai respons terhadap karunia yang melimpah (Al-Kautsar), kita diperintahkan untuk beribadah dan berkorban.
Pesan intinya: Semakin besar nikmat yang Allah berikan, semakin besar pula kewajiban ibadah dan pengorbanan kita.
Ayat 3: إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلْأَبْتَرُ (Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.)
As-Syaani’ adalah pembenci, dan Al-Abtar berarti terputus (tanpa keturunan, tanpa keberkahan, terputus dari kebaikan). Ayat ini menenangkan hati Nabi ﷺ bahwa musuh-musuh yang mengejeknya sebagai 'Abtar' (karena beliau tidak memiliki putra yang hidup) justru merekalah yang akan terputus dari kebaikan sejati.
Saat kita membaca Al-Kautsar dalam sholat, kita sedang memperbarui rasa syukur kita, mengakui nikmat Allah yang tak terhingga, dan memperkuat komitmen kita untuk beribadah murni demi Dia.
Selain surah di atas, beberapa surah lain dari Juz Amma memiliki keutamaan khusus dan sering digunakan untuk menambah kekayaan makna dalam sholat.
Surah ini sangat penting karena mengupas tuntas hipokrisi dalam ibadah, menghubungkan ibadah ritual (sholat) dengan akhlak sosial.
Surah Al-Ma'un memberikan definisi "mendustakan agama" (yukadzdzibu bid-din) bukan hanya melalui keyakinan, tetapi melalui tindakan nyata: perlakuan buruk terhadap anak yatim dan kelalaian terhadap orang miskin. Inti dari surah ini adalah peringatan keras bagi orang yang melakukan sholat tapi mengabaikan dimensi sosialnya.
Ayat 5: ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (orang-orang yang lalai dari sholatnya)
Lalai di sini bukan berarti lupa jumlah rakaat sesekali, tetapi lalai dari esensi, waktu, atau syarat-syarat sholat. Mereka menunda sholat hingga hampir habis waktunya, atau mengerjakannya tanpa kekhusyukan dan pemahaman, hanya sekadar gerakan tanpa ruh.
Ayat 6 & 7: Riya’ dan Menahan Kebaikan
Riya’ adalah puncak dari sholat tanpa ketulusan. Mereka sholat hanya agar dilihat dan dipuji orang. Terakhir, mereka enggan meminjamkan barang-barang kecil yang berguna (al-Ma’un), menunjukkan kekikiran yang ekstrem bahkan dalam hal sepele.
Membaca Al-Ma'un dalam sholat mengingatkan kita bahwa sholat harus memengaruhi karakter. Sholat yang diterima harus mampu mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Sering dibaca berpasangan dengan Surah Al-Fil. Surah Quraisy berfokus pada anugerah ekonomi dan keamanan yang Allah berikan kepada suku Quraisy, menuntut respons berupa ibadah.
Ayat 1 & 2: Anugerah Perjalanan Dagang
Suku Quraisy dianugerahi stabilitas unik yang memungkinkan mereka melakukan perjalanan dagang (rihlatasy-syita’i wash-shaif) ke Yaman (musim dingin) dan Syam (musim panas). Perjalanan ini tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perlindungan Ilahi dan penghormatan suku-suku lain terhadap status mereka sebagai penjaga Ka'bah.
Ayat 3 & 4: Perintah Ibadah
Karena Allah telah memenuhi dua kebutuhan fundamental manusia—makanan (terbebas dari lapar) dan keamanan (terbebas dari rasa takut)—maka respons yang wajib adalah ibadah. Rabb Hādzal Bayt (Tuhan Pemilik Rumah Ini) secara khusus merujuk pada Ka'bah, menegaskan bahwa kemuliaan mereka berasal dari Allah, bukan dari diri mereka sendiri.
Dalam sholat, membaca Quraisy mengingatkan kita bahwa segala fasilitas dan kenyamanan hidup—baik ekonomi, kesehatan, maupun keamanan—adalah nikmat yang harus direspons dengan ibadah yang tulus, bukan dengan kesombongan dan kelalaian.
Surah ini menceritakan kisah pasukan bergajah (Pasukan Abrahah) yang dihancurkan sebelum mencapai Ka'bah. Kisah ini berfungsi sebagai pembuktian historis keagungan Allah dan perlindungan-Nya terhadap Rumah Suci.
Kisah ini terjadi sesaat sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Pasukan besar pimpinan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka'bah adalah simbol kekuatan militer dan keangkuhan duniawi. Penghancuran mereka oleh hal yang paling kecil (burung dan batu kecil) menunjukkan bahwa kekuatan manusia tidak berarti apa-apa di hadapan kehendak Ilahi.
Kaitannya dengan Sholat: Ketika kita membaca Al-Fil, kita mengingat bahwa Ka'bah (kiblat sholat kita) dilindungi oleh kekuasaan yang tak tertandingi. Ini memperkuat keyakinan bahwa Allah mampu menolong hamba-Nya dari ancaman terbesar, asalkan kita berpihak pada kebenaran dan kesucian ibadah.
Surah ini mengecam dua penyakit sosial utama yang merusak hati dan komunitas: pencelaan (ghibah/namimah) dan kecintaan berlebihan pada harta.
Humazah dan Lumazah: Keduanya merujuk pada kebiasaan mencela orang lain, baik secara fisik (Humazah, dengan isyarat mata atau bibir) maupun secara lisan (Lumazah, dengan ghibah atau mengumpat). Ini adalah penyakit yang merusak persatuan umat.
Azab Huthamah: Hukuman yang dijanjikan adalah Al-Huthamah (yang menghancurkan). Ciri khas api ini adalah membakar dari luar hingga menembus ke dalam hati (tattholi’u ‘alal af-idah). Ini adalah balasan yang adil, karena dosa yang dilakukan—yaitu riya, keserakahan, dan mencela—semuanya berasal dari penyakit hati.
Ketika surah ini dibaca dalam sholat, kita diajak untuk introspeksi. Sholat harus membersihkan hati dari kecenderungan mencela dan keterikatan pada harta dunia. Kita memohon agar hati kita terhindar dari api Huthamah.
Memahami tafsir dari surah-surah pendek ini adalah langkah awal. Langkah selanjutnya adalah mengintegrasikannya dalam praktik sholat sehari-hari untuk mencapai kekhusyukan sejati.
Kekhusyukan (khushu’) adalah ruh sholat. Dengan memahami makna surah, kita bisa mencapai kekhusyukan yang lebih mendalam:
Sunnah menganjurkan variasi dalam bacaan surah, bukan hanya karena aspek fikihnya, tetapi juga untuk menjaga kesegaran spiritual. Jika kita selalu membaca surah yang sama (misalnya, hanya Al-Ikhlas dan An-Nas), hati kita cenderung menjadi rutinitas dan beku terhadap maknanya. Dengan memvariasikan surah pendek, setiap sholat menjadi kesempatan baru untuk merenungkan bagian baru dari kalam Allah.
Dalam sholat sunnah, atau bahkan sholat fardhu (meski kurang disukai), diperbolehkan mengulang surah yang sama di rakaat pertama dan kedua, atau bahkan mengulang Al-Ikhlas. Namun, dalam konteks mencapai kesempurnaan dan mengikuti sunnah yang paling utama, variasi lebih diutamakan, terutama dalam dua rakaat pertama.
Terkait urutan, jika seseorang membaca surah yang lebih pendek di rakaat pertama dan yang lebih panjang di rakaat kedua, sholatnya tetap sah, namun itu dianggap khilaful aula (menyalahi yang utama) karena bertentangan dengan kebiasaan umum Nabi ﷺ.
Surah-surah pendek ini, terutama sepuluh surah terakhir, sangat padat karena berfungsi sebagai inti ringkas dari pesan seluruh Al-Qur'an. Mereka menguatkan tiga pilar akidah mendasar bagi seorang Muslim:
Surah Al-Ikhlas, Al-Kafirun, dan An-Nasr berfokus pada Tauhid. Sholat adalah manifestasi tertinggi dari Tauhid. Setiap kali kita rukuk dan sujud, kita menolak segala bentuk kekuasaan lain, mengesakan Allah. Membaca surah-surah ini memastikan bahwa ibadah kita tidak bercampur dengan syirik kecil (riya') maupun syirik besar.
Surah seperti Al-Kautsar dan An-Nasr menguatkan risalah Nabi Muhammad ﷺ. Surah Al-Kautsar adalah dukungan Ilahi kepada beliau, sementara An-Nasr adalah penanda keberhasilan misi beliau. Membaca ini dalam sholat adalah pengakuan akan kebenaran utusan Allah dan kesempurnaan ajaran yang dibawa melalui beliau.
Banyak surah pendek, seperti Al-Humazah dan Al-Ma'un, berbicara tentang azab (Huthamah, Wail) dan balasan bagi mereka yang ingkar atau munafik. Ini memposisikan sholat sebagai jembatan menuju akhirat. Sholat bukan hanya kewajiban, tetapi investasi kita di hari pembalasan, sebagaimana Allah memperingatkan bahwa celakalah orang yang lalai dari sholatnya.
Penguasaan surat pendek dalam sholat harus melampaui hafalan fonetik. Ia harus menjadi fondasi mental yang kokoh. Sebagai contoh aplikasi mendalam:
Ketika seorang Muslim berdiri tegak setelah ruku’ dan bangkit dari sujud pertama di rakaat kedua, ia membaca Surah Al-Fatihah, lalu diikuti Al-Ikhlas. Pada momen itu:
"Qul Huwallahu Ahad..." (Katakanlah Dia Allah, Yang Maha Esa). Hati menegaskan: "Tiada Tuhan bagiku kecuali Engkau. Tujuan sholat ini, setiap gerakan dan kata-katanya, adalah semata-mata untuk Mengesakan-Mu."
"Allahush-Shomad..." (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu). Pikiran mengingat seluruh masalah dan kebutuhan yang dihadapi hari itu. Pikiran menyerahkan seluruh beban: "Ya Allah, Engkaulah satu-satunya tempat aku memohon perlindungan dan pertolongan dari semua kekhawatiran dan urusanku."
"Lam Yalid Walam Yuulad..." (Dia tiada beranak dan tiada diperanakkan). Ada pemurnian total dari segala bayangan ketidaksempurnaan atau keterbatasan Ilahi. Allah itu Maha Sempurna dan Mandiri.
"Walam Yakullahu Kufuwan Ahad..." (Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia). Pikiran dan hati mencapai puncak ketundukan, menyadari bahwa tidak ada yang bisa dibandingkan dengan keagungan-Nya. Lalu ia melanjutkan dengan ruku' dan sujud dalam kepasrahan mutlak.
Inilah yang dimaksud dengan sholat yang hidup, di mana setiap kata memiliki bobot makna dan berfungsi sebagai penguatan akidah, bukan sekadar pelafalan yang kosong.
Mencapai kekhusyukan dan kesempurnaan dalam sholat adalah perjalanan seumur hidup. Dengan menginvestasikan waktu untuk memahami surah-surah pendek yang dibaca berulang kali—surah yang menjadi santapan spiritual kita minimal 17 kali sehari—kita sedang memelihara taman iman di dalam hati.
Surat-surat pendek ini, meskipun ringkas, adalah mukjizat bahasa dan makna. Mereka adalah tiang-tiang penopang akidah yang, jika dibaca dengan pemahaman dan ketulusan, mampu mengubah sholat yang tadinya hanya kewajiban fisik menjadi mi’raj ruhani yang sebenarnya.
Semoga Allah Ta'ala menerima amal ibadah kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang sholatnya memberikan ketenangan dan mencegah dari perbuatan keji dan munkar.