Surat Pendek Tabbat Yada (Al-Masad): Tafsir Komprehensif dan Pelajaran Kehancuran

Ilustrasi Tangan Hancur dan Api
Gambar: Representasi abstrak kehancuran (Tabbat Yada) dan api neraka (Lahab).

Alt Text: Ilustrasi dua tangan yang retak di tengah kobaran api, melambangkan kehancuran yang dijanjikan dalam Surah Al-Masad.

I. Pendahuluan: Identitas dan Keistimewaan Surah Al-Masad

Surah Al-Masad, yang lebih dikenal secara populer melalui frasa pembukanya, *Tabbat Yada Abi Lahab*, adalah salah satu surah terpendek namun paling dramatis dalam Al-Qur’an. Terletak pada juz ke-30, ia merupakan surah ke-111 dalam susunan mushaf Utsmani. Surah ini diklasifikasikan sebagai surah Makkiyah, yang berarti ia diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah, ketika tekanan, penindasan, dan permusuhan dari kaum Quraisy berada di puncaknya. Keistimewaan Surah Al-Masad terletak pada sifatnya yang sangat personal dan prediktif, secara spesifik mengutuk salah satu penentang terberat Nabi, yaitu paman beliau sendiri, Abu Lahab, dan istrinya, Ummu Jamil.

Penamaan surah ini bervariasi. Ia disebut Al-Masad (Tali yang Dipintal) merujuk pada ayat terakhir yang menggambarkan nasib istri Abu Lahab, yang lehernya akan dilingkari tali dari sabut api neraka. Selain itu, surah ini juga sering disebut Surah Abi Lahab, karena fokus utamanya adalah penghinaan dan kutukan abadi terhadap tokoh tersebut. Frasa *Tabbat Yada*, yang secara harfiah berarti "celakalah kedua tangan," menjadi kunci pembuka yang menetapkan nada penghakiman ilahi yang keras dan tegas, sebuah proklamasi yang mengguncang tatanan sosial di Mekkah kala itu.

Dalam konteks teologis, Surah Al-Masad adalah bukti nyata kenabian Muhammad ﷺ. Surah ini diturunkan sebelum Abu Lahab wafat. Karena surah ini secara definitif menyatakan bahwa Abu Lahab dan istrinya tidak akan pernah beriman dan pasti akan masuk neraka, mereka memiliki kesempatan untuk menyangkal kenabian Muhammad ﷺ hanya dengan mengucapkan syahadat. Namun, hingga akhir hayatnya, Abu Lahab tetap dalam kekufuran, menggenapi ramalan Ilahi yang tercantum dalam lima ayat pendek ini. Ini menunjukkan kepastian takdir yang telah ditetapkan bagi mereka yang memilih jalur penentangan mutlak terhadap kebenaran.

1.1 Kedudukan Surah dalam Periodisasi Makkiyah

Periode Makkiyah ditandai dengan fokus pada tauhid, hari kebangkitan (akhirat), dan kisah-kisah nabi terdahulu untuk menguatkan hati Rasulullah dan para pengikut awal. Surah Al-Masad, meskipun pendek, berfungsi sebagai respons langsung dan tegas terhadap perlakuan buruk. Berbeda dengan banyak surah Makkiyah yang menggunakan narasi umum, surah ini bersifat langsung dan menunjuk nama. Ini bukan hanya hukuman, tetapi juga penghiburan bagi Nabi bahwa meskipun musuhnya adalah kerabat dekat yang seharusnya melindungi beliau, takdir Ilahi akan menghancurkan mereka yang memerangi kebenaran dengan tangan dan lidah mereka.

Surah ini datang pada masa-masa genting ketika perlindungan suku (ashabiyah) sangat penting di Mekkah. Sebagai paman, Abu Lahab seharusnya menjadi pelindung Nabi. Namun, tindakannya yang secara terbuka memusuhi dan menghina keponakannya sendiri merusak sistem perlindungan suku tersebut. Dengan Surah Al-Masad, Allah SWT seolah mengambil alih peran perlindungan tersebut, memberikan ancaman yang jauh lebih besar dan abadi daripada ancaman suku mana pun.

II. Asbabun Nuzul: Pemicu Turunnya Wahyu

Pemahaman mendalam terhadap Surah Al-Masad tidak mungkin dicapai tanpa merenungkan latar belakang spesifik turunnya surah ini (Asbabun Nuzul). Kisah ini adalah salah satu yang paling terkenal dalam sejarah Islam awal, menandai titik balik penting dalam dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekkah. Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi untuk menyampaikan dakwah secara terang-terangan kepada kaumnya melalui firman-Nya, "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat" (QS. Asy-Syu'ara: 214), Rasulullah ﷺ naik ke Bukit Safa.

2.1 Peristiwa di Bukit Safa

Nabi Muhammad ﷺ memanggil semua kabilah Quraisy—termasuk Bani Hasyim, Bani Abdul Muthalib, dan Bani Zuhrah—dengan menggunakan cara tradisional untuk mengumpulkan massa dalam keadaan darurat, yaitu berseru dari puncak bukit. Ketika orang-orang berkumpul, beliau bertanya, “Bagaimana pendapat kalian jika aku mengatakan bahwa di balik bukit ini ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?” Mereka menjawab serentak, “Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta.”

Setelah mendapatkan pengakuan atas kejujurannya yang tak tercela (Al-Amin), Nabi ﷺ kemudian menyatakan, “Sesungguhnya aku adalah seorang pemberi peringatan bagi kalian akan adanya azab yang pedih.” Inilah momen dakwah terbuka pertama yang bersifat umum. Semua yang hadir terdiam, tetapi Abu Lahab bin Abdul Muthalib, paman kandung Nabi, segera maju dan melontarkan kata-kata yang penuh permusuhan. Dalam riwayat yang sahih, ia berseru: “Celakalah engkau (Muhammad)! Apakah hanya karena ini engkau mengumpulkan kami?”

Tindakan Abu Lahab ini bukan hanya penolakan, tetapi juga penghinaan publik yang bertujuan merusak otoritas kenabian tepat pada saat deklarasi publik pertama. Respon spontan dan agresif ini menunjukkan kedalaman kebencian dan permusuhan yang ia miliki terhadap keponakannya, bukan karena faktor personal semata, tetapi karena ancaman tauhid terhadap sistem paganisme dan kekuasaan klan yang ia anut.

2.2 Respon Ilahi: Celakalah Kedua Tangan Abu Lahab

Segera setelah pernyataan penghinaan Abu Lahab, Surah Al-Masad diturunkan sebagai jawaban langsung dari langit, membuka dengan mengembalikan kutukan itu kepada sumbernya: *Tabbat yada Abi Lahab* (Celakalah kedua tangan Abu Lahab). Ini adalah salah satu contoh paling jelas dalam Al-Qur’an di mana wahyu berfungsi sebagai pertahanan langsung terhadap musuh Nabi dan sebagai penegasan kebenaran Ilahi yang tak tertandingi.

Penting untuk dicatat bahwa Abu Lahab, bernama asli Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, adalah satu-satunya individu yang disebutkan secara eksplisit dan dikutuk dalam Al-Qur’an, selain Firaun dan tokoh-tokoh historis yang dikenal. Fakta bahwa ia adalah kerabat Nabi menambah dimensi tragis pada kisah ini, menunjukkan bahwa ikatan darah tidak akan menyelamatkan seseorang dari murka Allah jika mereka secara aktif memilih kekufuran dan permusuhan.

Permusuhan Abu Lahab melampaui ucapan. Ia secara konsisten mengecilkan hati orang-orang yang ingin mendengarkan Nabi, mengikuti Nabi ke pasar-pasar dan pertemuan, dan berteriak, “Jangan dengarkan dia! Dia adalah pembohong!” Tindakannya dan tindakan istrinya, Ummu Jamil (Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan), menunjukkan kampanye terorganisir untuk merusak reputasi Nabi Muhammad ﷺ dan menghalangi dakwah beliau.

III. Tafsir Ayat Per Ayat: Analisis Linguistik dan Teologis

Surah ini, meskipun hanya terdiri dari lima ayat, penuh dengan makna linguistik yang padat dan konsekuensi teologis yang mendalam. Setiap kata dipilih dengan cermat untuk memberikan dampak maksimal.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ayat 1: Celakalah Kedua Tangan Abu Lahab

تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ

Terjemahan: Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar celaka dia!

Analisis Kata ‘Tabbat’ dan ‘Yada’

Kata kunci di sini adalah تَبَّتْ (Tabbat). Secara harfiah, ‘tabb’ berarti kerugian, kegagalan, kebinasaan, atau kehancuran. Dalam konteks ayat ini, ini adalah doa kutukan dari Allah (atau perintah) yang menetapkan kehancuran. Kata ini menggambarkan kerugian total, baik di dunia maupun di akhirat.

يَدَآ (Yada) berarti ‘kedua tangan.’ Mengapa Allah menyebut spesifik ‘kedua tangan’? Tangan adalah simbol dari tindakan, usaha, kerja keras, dan kekuatan. Abu Lahab menggunakan tangannya untuk melempar batu, untuk memberi isyarat penolakan, dan untuk menyakiti Nabi. Dengan mengutuk tangannya, Al-Qur’an mengutuk seluruh upaya dan hasil kerja kerasnya yang diarahkan untuk memerangi Islam. Kutukan ini mencakup semua yang ia peroleh (kekayaan dan status).

Bagian kedua ayat, وَتَبَّ (wa tabb), yang berarti “dan benar-benar celaka dia,” berfungsi sebagai penguat. Setelah mengutuk tindakannya (tangannya), Allah mengutuk dirinya secara keseluruhan. Sebagian ulama tafsir (misalnya Al-Qurtubi) menafsirkan *Tabbat* yang pertama sebagai kutukan yang terjadi (di dunia), dan *wa tabb* yang kedua sebagai penegasan bahwa kutukan tersebut telah selesai dan pasti terjadi, yaitu di akhirat.

Makna Ganda: Ayat ini juga berfungsi sebagai jawaban retoris terhadap ucapan Abu Lahab di Bukit Safa. Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk mengembalikan kutukan yang dilontarkan oleh pamannya. Jika Abu Lahab berkata, "Celakalah engkau," Allah menjawab, "Celakalah dia (Abu Lahab)."

Ayat 2: Kekayaan dan Anaknya Tak Berguna

مَآ أَغْنٰى عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ

Terjemahan: Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa (keturunan) yang ia usahakan.

Analisis Kata ‘Ma Kasaba’

Ayat ini menyangkal dua sumber utama kebanggaan dan kekuasaan seseorang di Mekkah kuno: harta (kekayaan) dan keturunan (dukungan klan). Abu Lahab adalah orang kaya dan memiliki banyak anak laki-laki yang menjadi kekuatannya.

مَالُهُۥ (Maluhu): Hartanya. Harta yang sangat ia banggakan dan yang mungkin ia gunakan untuk menentang Islam (misalnya, membayar orang untuk menghina Nabi).

وَمَا كَسَبَ (Wa ma kasaba): Dan apa yang ia usahakan. Mayoritas mufassir menafsirkan ‘ma kasaba’ di sini sebagai keturunan, terutama anak laki-laki, karena anak adalah hasil usaha (kasab) dan investasi terbesar seorang Arab. Anak-anaknya, yang seharusnya menjadi pelindungnya di dunia, tidak akan mampu menyelamatkannya dari azab Allah.

Penolakan tegas ini adalah pelajaran teologis yang esensial: di hadapan kekuasaan Ilahi, kekayaan materi dan dukungan sosial/klan tidak memiliki nilai penyelamat sedikit pun. Kehancuran (tabb) adalah total, mencakup aspek fisik, material, dan sosial.

Ayat 3: Neraka yang Berapi-api

سَيَصْلٰى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ

Terjemahan: Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (Lahab).

Pengejawantahan ‘Lahab’

Ayat ini tidak hanya mengancamnya dengan api neraka, tetapi menggunakan permainan kata yang sangat kuat. Nama Abu Lahab berarti “Ayah Api” atau “Ayah Jilatan Api,” yang diberikan kepadanya karena wajahnya yang rupawan dan berkilauan (seperti nyala api) atau sifatnya yang berapi-api.

Allah SWT berfirman bahwa ia akan memasuki نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (Naran dzata lahab), yaitu “api yang memiliki nyala api.” Ini adalah hukuman yang sangat pas (poetic justice): Ayah Api akan dimasukkan ke dalam Api itu sendiri. Namanya akan menjadi deskripsi abadi dari azabnya. Huruf ‘س’ (sa) pada سَيَصْلٰى (sayasla) menunjukkan janji azab di masa depan (akhirat) yang pasti akan terjadi.

Ayat 4: Istri Abu Lahab

وَامْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ

Terjemahan: Dan (demikian pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

Peran Ummu Jamil

Surah ini menegaskan bahwa hukuman tersebut tidak hanya berlaku bagi Abu Lahab, tetapi juga istrinya, Ummu Jamil (Arwa binti Harb). Ia dikenal sebagai حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (Hammalatal-Hatab), ‘pembawa kayu bakar.’

Penafsiran frasa ini memiliki dua makna utama:

  1. Makna Literal: Ia membawa duri, ranting, atau kayu bakar dan meletakkannya di jalan yang dilalui Nabi Muhammad ﷺ pada malam hari untuk menyakiti beliau dan menghalangi langkahnya.
  2. Makna Metaforis (Penyebar Fitnah): Di kalangan Arab, ‘membawa kayu bakar’ adalah kiasan untuk menyebar fitnah, permusuhan, dan hasutan. Ummu Jamil terkenal karena lidahnya yang tajam, menghasut orang lain untuk menentang Nabi, dan menyebarkan kebohongan (namimah) di antara suku-suku. Karena dia menyulut api fitnah di dunia, dia akan dihukum dengan membawa kayu bakar api neraka di akhirat.

Ayat ini menunjukkan prinsip keadilan Ilahi bahwa pihak yang bersekongkol dalam permusuhan dan kekufuran akan berbagi hukuman, tanpa memandang status sosial mereka.

Ayat 5: Hukuman untuk Ummu Jamil

فِى جِيدِهَا حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ

Terjemahan: Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal (dari api neraka).

Makna ‘Masad’

Ayat terakhir menjelaskan detail azab bagi Ummu Jamil. Lehernya akan dilingkari oleh حَبْلٌ مِّن مَّسَدٍ (Hablun mim Masad)—tali dari sabut yang dipintal.

‘Masad’ adalah tali kasar yang dibuat dari serat pohon kurma atau palem. Di dunia, Ummu Jamil mungkin mengenakan kalung yang mahal, melambangkan kekayaan dan status. Namun, di akhirat, kalung kemewahan itu akan digantikan oleh tali kasar nan panas yang terbuat dari api neraka, mengikat lehernya saat dia membawa beban kayu bakar, sebagai hukuman yang sesuai atas kesombongan dan kejahatannya.

Surah ini diakhiri dengan gambaran yang mengerikan dan spesifik tentang nasib kedua pasangan tersebut, memberikan peringatan yang jelas dan gamblang kepada setiap penentang kebenaran.

IV. Bukti Kenabian: Prediksi yang Terpenuhi

Salah satu aspek terkuat dari Surah Al-Masad adalah fungsinya sebagai *mu’jizat* (mukjizat) yang bersifat profetik. Surah ini memberikan kepastian mutlak tentang nasib abadi Abu Lahab dan istrinya: mereka akan mati dalam keadaan kufur dan akan dimasukkan ke dalam neraka.

4.1 Tantangan yang Jelas

Ketika surah ini diturunkan, Abu Lahab dan istrinya masih hidup dan sangat aktif dalam menentang Islam. Surah tersebut berfungsi sebagai tantangan terbuka. Jika Abu Lahab ingin membuktikan bahwa Muhammad ﷺ berbohong, ia hanya perlu menyatakan keimanannya (bahkan jika itu hanya pura-pura). Namun, ia tidak melakukannya.

Seandainya Abu Lahab berpura-pura masuk Islam, Surah Al-Masad akan terbantahkan. Namun, takdir Ilahi yang terkandung dalam Surah ini begitu pasti sehingga Abu Lahab tidak diberi izin oleh Allah untuk beriman, bahkan sebagai kepura-puraan. Ia tetap menolak hingga akhir hidupnya, wafat sekitar seminggu setelah Pertempuran Badar, akibat penyakit busuk yang mematikan dan menjijikkan (disebut *ad-’adasah*), yang membuat orang-orang menjauhinya, bahkan anak-anaknya.

Kematian Abu Lahab dalam kehinaan dan kekufuran adalah penggenapan yang sempurna dari janji *Tabbat* (kehancuran) dan *sayasla naran* (ia akan masuk api), menjadikannya argumen kuat bagi para pengikut awal tentang keabsahan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad ﷺ.

4.2 Detail Kehancuran: Studi tentang *Tabb*

Untuk memahami kedalaman kutukan ini, kita harus menyelami secara rinci konsep *Tabb*. Dalam bahasa Arab, *tabb* adalah kehancuran yang total dan menyeluruh, seringkali dikaitkan dengan kerugian yang tidak dapat diperbaiki. Para ahli linguistik menempatkan kata ini sebagai salah satu bentuk kutukan terkeras dalam kosa kata Al-Qur’an.

4.2.1 Analisis Morfologi

Kata *Tabbat* (bentuk lampau) menunjukkan bahwa kehancuran itu sudah merupakan fakta yang ditetapkan, meskipun individu yang bersangkutan masih hidup. Ini adalah bentuk retorika yang dikenal sebagai ‘penggunaan masa lampau untuk menunjukkan kepastian masa depan.’ Kehancurannya sudah pasti, seolah-olah sudah terjadi.

4.2.2 Tangan sebagai Simbol Aksi

Mengutuk tangan bukan hanya mengutuk upaya fisik. Tangan juga mewakili perjanjian (bai’ah), pengambilan keputusan, dan pemberian sedekah. Dalam kasus Abu Lahab, tangannya adalah alat yang ia gunakan untuk membatalkan perlindungan kekerabatan, dan alat yang ia gunakan untuk merusak dakwah Nabi. Kutukan *Tabbat yada* berarti: usahanya hampa, tindakannya gagal, dan perjanjiannya tidak bernilai.

Penegasan kembali *wa tabb* (dan dia benar-benar celaka) menambah dimensi permanen. Ini bukan hanya celaka sementara di dunia, tetapi celaka yang mengikat jiwanya menuju neraka. Kehancuran harta (*ma kasab*) dan keturunan (yang seringkali merupakan perpanjangan dari tangan seseorang dalam masyarakat Arab) melengkapi skenario kehancuran totalitas eksistensi Abu Lahab.

V. Konsekuensi Kekufuran dan Pelajaran Abadi

Surah Al-Masad, meskipun berfokus pada individu tertentu, membawa pelajaran universal dan abadi bagi umat manusia mengenai konsekuensi dari penentangan yang keras kepala terhadap kebenaran yang jelas.

5.1 Kekerabatan Tidak Menjamin Keselamatan

Pelajaran terpenting dari Surah ini adalah bahwa hubungan darah, kekayaan, atau status sosial tidak akan memberikan perlindungan di hadapan keadilan Ilahi. Abu Lahab adalah paman Nabi, bagian dari keluarga terhormat, dan orang kaya di Mekkah. Namun, ketika ia memilih kekufuran dan permusuhan yang aktif, ia kehilangan segala jaminan. Ini menguatkan prinsip dalam Islam: keselamatan hanya didasarkan pada iman dan amal saleh, bukan pada ikatan silsilah.

Hubungan personal yang dimiliki Nabi Muhammad ﷺ dengan pamannya menjadikan ujian ini sangat sulit. Surah ini mengajarkan Nabi dan umatnya bahwa musuh terbesar bisa datang dari lingkaran terdekat. Ini adalah ujian keimanan dan keikhlasan yang mutlak: bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya harus melebihi cinta kepada keluarga dan klan, jika keluarga itu memilih jalan permusuhan.

5.2 Bahaya Lidah dan Fitnah (Hammalatal-Hatab)

Kisah Ummu Jamil menekankan bahaya fitnah dan lidah yang jahat. Menyebarkan permusuhan dan kebohongan (*namimah* atau membawa kayu bakar) dianggap sebagai dosa besar yang memiliki hukuman yang setara dengan kekufuran suaminya. Tindakannya melengkapi kejahatan Abu Lahab; sementara Abu Lahab menggunakan kekuasaan dan tangannya, Ummu Jamil menggunakan lidahnya untuk menyulut api permusuhan di antara masyarakat.

Dalam konteks modern, ‘membawa kayu bakar’ dapat diartikan sebagai menyebarkan berita palsu, memfitnah, atau melakukan kampanye disinformasi untuk merusak reputasi pembawa kebenaran. Peringatan dalam ayat ini relevan bagi siapa pun yang menggunakan media (lidah, tulisan, atau platform digital) untuk menyulut perpecahan dan permusuhan terhadap nilai-nilai kebenaran Ilahi.

5.3 Konsep ‘Lahab’ dan Keadilan yang Sempurna

Penggunaan nama ‘Abu Lahab’ (Ayah Api) dalam kaitannya dengan ‘Naran dzata Lahab’ (Api yang bergejolak) menegaskan prinsip *jaza’ min jinsil ‘amal* (balasan sesuai dengan jenis perbuatan). Hukuman yang diterima oleh keduanya sangat sesuai dengan kejahatan mereka:

Keadilan Ilahi adalah adil dan spesifik, memastikan bahwa setiap perbuatan buruk akan dibalas dengan hukuman yang setimpal dan bahkan memiliki resonansi simbolis dengan kejahatan yang dilakukan.

VI. Analisis Linguistik Lanjutan dan Retorika Al-Qur'an

Tingkat kedalaman linguistik dalam Surah Al-Masad adalah salah satu alasan mengapa surah ini memiliki dampak psikologis dan teologis yang begitu besar pada masyarakat Arab. Struktur pendek ini penuh dengan keindahan retoris (balaghah).

6.1 Pengulangan dan Penekanan (Tabbat... wa Tabb)

Pengulangan kata ‘tabb’ pada ayat pertama adalah contoh *tawkid* (penekanan). Pengulangan ini menghilangkan segala keraguan mengenai kepastian kehancuran Abu Lahab. Ini bukan sekadar kutukan harapan, melainkan pernyataan kepastian yang tegas.

6.2 Kualitas Suara (Saut) dalam Pilihan Kata

Pilihan huruf dan suara dalam kata-kata seperti *Tabbat*, *Lahab*, dan *Masad* memiliki kualitas suara yang keras dan tajam, mencerminkan sifat Surah yang menghakimi dan keras. Kata *Masad*, misalnya, memiliki suara yang kasar, yang sangat cocok untuk menggambarkan tali kasar yang terbuat dari sabut api neraka, berbeda dengan kelembutan yang mungkin diharapkan dari deskripsi perhiasan.

6.3 Implikasi Gramatikal dari *Ma Kasaba*

Perdebatan di kalangan mufassirin mengenai *wa ma kasaba* (dan apa yang ia usahakan) adalah subjek yang sangat kaya. Meskipun tafsir dominan merujuk pada keturunan, secara gramatikal, *ma* (apa) juga bisa mencakup tindakan buruk, dosa, atau usaha kekufuran yang ia kumpulkan sepanjang hidupnya. Dalam konteks ini, seluruh ‘tabungan’ perbuatan duniawi Abu Lahab, baik dalam bentuk materi maupun non-materi, dinyatakan tidak bernilai dan tidak menyelamatkan.

Ayat ini berfungsi sebagai antitesis terhadap konsep *syafa'ah* (pertolongan/perantaraan). Di dunia, Abu Lahab mungkin mengira kekayaan dan kedudukannya akan memberinya kekebalan atau pertolongan. Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada yang akan memberikan pertolongan kepadanya dari api neraka yang telah ditentukan baginya.

6.4 Bahasa Penghinaan (Hija’)

Surah Al-Masad sering dianggap sebagai salah satu contoh *hija’* (puisi celaan) yang paling tajam dalam Al-Qur’an, namun ia adalah celaan Ilahi, bukan celaan manusia. Ia menggunakan bahasa yang sangat personal dan menghina, yang merupakan respons setimpal terhadap penghinaan yang dilakukan Abu Lahab terhadap Rasulullah ﷺ. Dengan menyebut nama dan mengutuk tindakan fisik mereka (tangan, pembawa kayu bakar, leher yang terikat), Surah ini menceritakan kisah kehancuran yang total dan personal.

VII. Konteks Sosial dan Dampak Pada Era Awal Islam

Dampak Surah Al-Masad jauh melampaui kutukan terhadap satu individu; ia memiliki implikasi besar terhadap dinamika sosial di Mekkah pada periode awal dakwah.

7.1 Runtuhnya Sistem Perlindungan Kabilah

Di Mekkah, sistem kabilah dan perlindungan suku adalah satu-satunya mekanisme keamanan. Ketika Abu Lahab, sebagai paman Nabi, secara terbuka memusuhi Muhammad ﷺ, hal itu mengirimkan sinyal kepada seluruh Quraisy bahwa Muhammad tidak lagi dilindungi oleh keluarganya sendiri—setidaknya tidak oleh Abu Lahab.

Namun, Surah Al-Masad menantang sistem ini. Dengan mengutuk Abu Lahab dari sumber tertinggi (Allah SWT), Surah ini secara efektif mengumumkan bahwa perlindungan Ilahi jauh lebih unggul dan akan menghancurkan bahkan pelindung kabilah terdekat jika mereka menjadi musuh kebenaran. Ini memberikan kepercayaan diri yang besar bagi para sahabat yang lemah, yang menyaksikan bahwa klan besar pun tidak luput dari penghakiman.

7.2 Respon Ummu Jamil Terhadap Wahyu

Setelah Surah ini diturunkan, Ummu Jamil menjadi sangat marah. Dikisahkan bahwa ia mendatangi Ka’bah dengan membawa segenggam batu, mencari Nabi Muhammad ﷺ sambil berkata, "Jika aku menemukan Muhammad, akan kulempar dia dengan batu ini. Dia telah mencelaku dan memanggilku Ummu Hatab (Ibu Kayu Bakar)."

Diriwayatkan bahwa ketika Ummu Jamil datang ke Ka’bah, Nabi Muhammad ﷺ sedang duduk bersama Abu Bakar. Meskipun Ummu Jamil berdiri sangat dekat, Allah membutakan pandangannya terhadap Nabi. Ia hanya melihat Abu Bakar dan bertanya, "Wahai Abu Bakar, di mana temanmu? Aku dengar dia mengejekku." Abu Bakar menjawab, "Dia tidak mengejekmu." Ummu Jamil kemudian pergi dengan rasa frustrasi. Peristiwa ini, yang dicatat dalam riwayat, menambah dimensi mukjizat: Surah Al-Masad bukan hanya kutukan yang bersifat prediktif, tetapi juga wahyu yang disertai perlindungan fisik seketika bagi Rasulullah ﷺ.

7.3 Keteladanan dalam Kepastian Janji Allah

Kepastian hukuman dalam Surah ini menjadi sumber ketenangan dan kesabaran bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat yang menghadapi penindasan. Mereka tahu bahwa penderitaan mereka di dunia akan dibalas, dan hukuman bagi para penindas mereka adalah suatu kepastian yang tidak dapat dihindari, bahkan bagi paman Nabi yang berkuasa.

Surah ini mengajarkan bahwa kekuasaan manusia dan kesombongan duniawi hanyalah ilusi. Kehancuran (tabb) adalah nasib yang pasti bagi mereka yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, dan ikatan kekerabatan mereka untuk menentang utusan Allah.

VIII. Perspektif Tafsir Kontemporer: Abu Lahab Abad Ini

Sementara Surah Al-Masad diturunkan untuk Abu Lahab dan Ummu Jamil secara spesifik, para ulama kontemporer sepakat bahwa pelajaran di dalamnya memiliki relevansi universal yang melampaui konteks sejarah Mekkah. Setiap orang yang menunjukkan karakteristik Abu Lahab dan istrinya secara metaforis dapat dianggap berada di bawah bayang-bayang kutukan yang serupa.

8.1 Musuh Kebenaran dari Lingkaran Terdekat

Di setiap zaman, ada ‘Abu Lahab’ yang baru. Ini adalah orang-orang yang, meskipun secara lahiriah dekat dengan nilai-nilai agama atau memiliki hubungan dengan komunitas orang beriman, menggunakan posisi dan pengaruh mereka untuk menentang, merusak, atau menyebarkan permusuhan terhadap ajaran yang benar.

Metafora ‘Abu Lahab’ menunjuk pada kemunafikan dan permusuhan yang datang dari internal. Ini adalah peringatan bagi komunitas Muslim bahwa ancaman bisa datang dari dalam, dari mereka yang memiliki akses dan pengetahuan, tetapi memilih untuk memerangi kebenaran karena kesombongan, kecemburuan, atau keinginan mempertahankan status quo yang bertentangan dengan ajaran Ilahi.

8.2 Kekuatan Materi Versus Nilai Abadi

Ayat kedua, *Maa aghna anhu maaluhu wa ma kasab* (Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang ia usahakan), adalah peringatan keras terhadap materialisme. Di era modern, di mana kekayaan, kekuasaan, dan popularitas dianggap sebagai standar kesuksesan tertinggi, Al-Masad mengingatkan bahwa semua itu akan sia-sia di hadapan hari penghakiman. Jika kekayaan digunakan untuk menindas atau menjauhkan diri dari kebenaran, ia justru akan menjadi bahan bakar bagi api kehancuran.

Dalam tafsir sosiologis, Abu Lahab mewakili kekuatan tiranis yang menggabungkan kekayaan dan otoritas untuk tujuan yang jahat. Surah ini memberikan harapan kepada mereka yang lemah dan miskin bahwa pada akhirnya, moral dan kebenaran akan menang atas kekuatan material yang zalim.

8.3 Media Sosial sebagai ‘Kayu Bakar’ Baru

Peran Ummu Jamil sebagai *Hammalatal-Hatab* dapat diinterpretasikan ulang dalam konteks komunikasi modern. Jika dia adalah penyebar fitnah dari mulut ke mulut, Ummu Jamil modern adalah mereka yang menggunakan platform media sosial, internet, atau media massa untuk menyebarkan kebencian, *hoax* (berita bohong), dan fitnah yang merusak integritas dan reputasi orang-orang yang berusaha menegakkan keadilan dan kebenaran.

Mereka yang aktif menyalakan api permusuhan di ruang publik, tanpa dasar kebenaran, secara efektif mengulangi kejahatan Ummu Jamil. Hukuman yang dijanjikan dalam ayat terakhir—tali Masad di leher—menggambarkan belenggu kehancuran yang tak terhindarkan bagi siapa pun yang menggunakan anugerah komunikasi mereka untuk menghancurkan, bukan membangun.

IX. Mendalami Konsep Kehancuran dan Keadilan Ilahi

Untuk mencapai pemahaman yang menyeluruh tentang Surah Al-Masad, kita perlu menghabiskan waktu untuk merenungkan kedalaman konsep keadilan dan murka Ilahi yang jarang ditampilkan secara sedramatis ini dalam Al-Qur'an. Surah ini adalah salah satu dari sedikit kasus di mana penghakiman di dunia (melalui prediksi) dan di akhirat (melalui janji neraka) digabungkan menjadi satu.

9.1 Kehinaan di Dunia dan Akhirat

Kematian Abu Lahab di dunia merupakan penghinaan yang luar biasa. Ia mati karena penyakit menular yang membuat keluarganya sendiri jijik dan meninggalkannya. Tubuhnya harus didorong menggunakan air ke lubang tanpa ritual pemakaman yang layak. Ini adalah antitesis dari kemuliaan yang ia cari. Allah memastikan bahwa hukuman *Tabbat* dimulai di dunia, sebagai tanda bagi semua orang Mekkah bahwa kekuasaan telah dicabut dari dirinya.

Kehinaan ini diperkuat oleh hukuman akhirat, *Naran dzata lahab*. Ini menunjukkan bahwa kehancuran spiritual dan fisik bersifat berlapis. Meskipun hukuman duniawi selesai, hukuman abadi (akibat kekufuran) akan menunggunya.

9.2 Retorika Tangan dan Kebutaan Hati

Kembali ke *Tabbat yada*. Dalam retorika Arab, mengutuk ‘tangan’ seringkali berarti mengutuk seluruh pribadi dalam kaitannya dengan tindakan. Namun, di sini ada makna spiritual yang lebih dalam. Abu Lahab secara fisik hadir dan menyaksikan mukjizat dan moralitas Nabi Muhammad ﷺ, tetapi tangannya (tindakannya) menolak. Tangannya menjadi simbol kebutaan hati, karena ia menolak untuk menggunakan tangannya (otoritasnya) untuk mendukung kebenaran, melainkan menggunakannya untuk menindas.

Para penafsir menekankan bahwa kutukan ini ditujukan kepada orang-orang yang memilih untuk menutup mata terhadap kebenaran meskipun bukti-bukti jelas berada di depan mereka. Abu Lahab adalah saksi hidup keponakannya, Al-Amin (Yang Terpercaya), tetapi memilih untuk memanggilnya pembohong. Kehancuran tangannya adalah hukuman bagi penolakan sadar tersebut.

9.3 Simbolisme Sabut (Masad)

Pemilihan kata ‘Masad’ (sabut) sangat spesifik. Sabut adalah bahan paling kasar, murah, dan umum yang digunakan untuk membuat tali oleh orang-orang miskin. Bagi Ummu Jamil, wanita bangsawan yang kemungkinan memakai perhiasan mahal, digambarkan terikat oleh tali sabut adalah penghinaan sosial yang luar biasa. Di akhirat, tali sabut ini tidak hanya kasar, tetapi terbuat dari api.

Ini adalah pengingat bahwa semua simbol kekayaan duniawi akan dilepas di akhirat, dan hanya perbuatan yang dibawa. Bagi Ummu Jamil, perhiasannya yang dulu menjadi simbol status akan digantikan oleh tali kekalahan yang terbuat dari bahan yang paling ia remehkan di dunia ini, tetapi kini membelenggunya dengan api.

Kisah Surah Al-Masad adalah narasi teologis yang lengkap tentang konsekuensi memilih permusuhan di atas kekerabatan, kesombongan di atas kerendahan hati, dan kekufuran di atas kebenaran. Ini adalah janji yang pasti dari Allah SWT bahwa tidak ada usaha (kasab) yang ditujukan untuk menentang kebenaran yang akan berhasil, dan kehancuran total (tabb) adalah nasib akhir mereka.

Surah ini berfungsi sebagai sumber kekuatan abadi bagi para pembela kebenaran di seluruh dunia, menegaskan bahwa pada akhirnya, kekuatan musuh-musuh kebenaran, meskipun mereka memiliki kekayaan dan status, adalah fana dan ditakdirkan untuk kehancuran.

Demikianlah kedalaman tafsir dari Surah Al-Masad, yang meskipun singkat, memuat janji abadi tentang keadilan Ilahi dan kehancuran bagi setiap penentang yang memilih permusuhan dan kekufuran secara terang-terangan. Pelajaran ini tetap relevan, mengingatkan setiap individu akan pentingnya memilih jalan keimanan dan menjauhkan diri dari kesombongan yang mengarah pada malapetaka abadi.

🏠 Homepage