Ketika kita berbicara mengenai kitab suci Al-Qur'an, setiap surat memiliki keunikan dan kedalaman tersendiri. Salah satu surat yang seringkali menjadi perhatian adalah Surah At-Tin. Namun, pernahkah kita merenungkan apa yang "mendahului" pemahaman kita tentang Surah At-Tin, baik dari sisi kronologis penurunan wahyu maupun dari segi tema dan pesan yang terkandung? Artikel ini akan membawa kita menyelami "surat sebelum surat At-Tin", sebuah eksplorasi yang lebih mendalam terhadap konteks turunnya, serta makna universal yang coba diangkat oleh surah yang sangat kaya ini.
Surah At-Tin adalah surah Makkiyah, yang berarti diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Periode Mekah dikenal sebagai masa-masa awal dakwah Islam, di mana tantangan dan penolakan dari kaum musyrikin sangatlah kuat. Pesan-pesan yang diturunkan pada periode ini umumnya bersifat akidah, penegasan keesaan Allah, hari kebangkitan, dan peringatan akan azab bagi yang ingkar. Surah At-Tin, meskipun singkat, memuat pesan yang sangat mendasar mengenai penciptaan manusia, kenabian, dan keadilan ilahi.
Menarik untuk dicatat bahwa Surah At-Tin berada di urutan ke-95 dalam mushaf Al-Qur'an. Namun, dalam urutan kronologis penurunan, ia termasuk surat yang turun relatif belakangan di periode Mekah, setelah surat-surat yang lebih panjang dan berfokus pada akidah dasar. Konteks inilah yang memberikan nuansa tersendiri pada pembahasannya. Pesan-pesan di dalamnya seolah menjadi penguat dan penegasan kembali terhadap nilai-nilai fundamental yang telah disampaikan sebelumnya. "Surat sebelum surat At-Tin" dalam pengertian ini bisa jadi adalah surah-surah yang telah membentuk dasar pemahaman umat Islam mengenai Allah, penciptaan, dan tujuan hidup.
Ayat pertama Surah At-Tin, "Demi buah tin dan zaitun," adalah pembuka yang sangat menarik. Sumpah Allah dengan dua buah ini bukan sekadar ungkapan keindahan alam, melainkan mengandung makna simbolis yang dalam. Buah tin dan zaitun dikenal memiliki khasiat kesehatan yang luar biasa, menjadi sumber nutrisi penting, dan tumbuh di tanah yang subur. Para ulama menafsirkan bahwa sumpah ini bisa jadi merujuk pada tempat-tempat istimewa seperti Baitul Maqdis (tempat diutusnya banyak nabi) atau bisa juga merujuk pada keistimewaan kedua buah tersebut sebagai simbol kesuburan dan keberkahan.
Dalam konteks "surat sebelum surat At-Tin", sumpah ini dapat dipahami sebagai penegasan bahwa Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, termasuk buah-buahan yang berlimpah manfaat ini, adalah Zat Yang Maha Kuasa. Hal ini sejalan dengan pesan-pesan di surah-surah Makkiyah awal yang terus menerus mengingatkan tentang kekuasaan Allah sebagai pencipta alam semesta. Sumpah ini memberikan landasan kuat untuk ayat selanjutnya yang berbicara tentang penciptaan manusia.
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. At-Tin: 4). Ayat ini adalah inti dari pesan Surah At-Tin. Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam fisik dan akal yang paling sempurna. Namun, kesempurnaan ini memiliki konsekuensi.
Sebelum ayat ini, surah-surah seperti Ar-Rahman telah memaparkan keindahan dan kemurahan Allah dalam menciptakan manusia, mengajarinya berbicara, dan memberinya akal. Surah Al-Alaq, yang merupakan surah pertama turun, juga berbicara tentang penciptaan manusia dari segumpal darah. Kontras antara penciptaan yang mulia dengan potensi manusia untuk berbuat zalim dan ingkar menjadi tema yang kuat dalam Surah At-Tin. "Surat sebelum surat At-Tin" yang membahas tentang penciptaan dan pemberian karunia menjadi prolog yang pas untuk penegasan bahwa manusia yang diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk ini memiliki tanggung jawab besar.
Namun, Allah juga mengingatkan, "Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh..." (QS. At-Tin: 5-6). Ini adalah titik krusial dalam surah ini. Kesempurnaan penciptaan akan berujung pada kehinaan jika manusia tidak memanfaatkan karunia tersebut dengan beriman dan beramal saleh.
Pesan ini sangat relevan dengan konteks dakwah di Mekah. Banyak kaum musyrikin yang telah dikaruniai akal dan kesempatan untuk beriman, justru memilih kekufuran dan kesombongan. Surah-surah Makkiyah lain seperti Surah Al-Kafirun, Surah Al-Jatsiyah, dan Surah Al-Mukminun seringkali membahas tentang perdebatan antara kebenaran dan kebatilan, serta konsekuensi dari pilihan tersebut. Surah At-Tin datang untuk menegaskan kembali bahwa balasan dari Allah itu pasti, adil, dan tidak akan tertukar. Siapa yang memilih jalan kebaikan akan mendapatkan kebaikan, dan siapa yang memilih jalan keburukan akan mendapatkan kehinaan.
Surah At-Tin ditutup dengan pertanyaan retoris, "Bukankah Allah Hakim yang paling adil?" (QS. At-Tin: 8). Pertanyaan ini memperkuat seluruh pesan yang telah disampaikan. Allah adalah hakim yang Maha Adil, yang akan membalas setiap perbuatan, sekecil apapun itu.
Dalam rentang surat-surat Makkiyah, penekanan pada keadilan Allah dan hari pembalasan adalah tema yang berulang. Surah-surah seperti Al-Qiyamah dan Al-Infitar secara gamblang menggambarkan kengerian hari perhitungan. Surah At-Tin datang untuk menyimpulkan dan menguatkan keyakinan tersebut, menjadikan sumpah atas buah tin dan zaitun sebagai saksi atas kesempurnaan penciptaan manusia yang memiliki potensi kebaikan dan keburukan, serta janji pasti akan adanya pembalasan adil dari Sang Pencipta.
Memahami "surat sebelum surat At-Tin" bukan berarti mengabaikan urutan mushaf, melainkan memperkaya perspektif kita tentang bagaimana Al-Qur'an diturunkan secara bertahap, membentuk pemahaman umat secara progresif. Surah At-Tin, dengan pesannya yang padat dan universal, berdiri sebagai pengingat abadi akan fitrah manusia, tanggung jawabnya, dan keadilan ilahi yang tak terbantahkan.