Surat Al-Masad, yang sering kali disebut dengan nama permulaannya, "Tabbat Yadā" (atau kadang kala juga disebut Surat Lahab), merupakan salah satu surat yang paling pendek dan paling tegas dalam Al-Qur'an. Surat ini menempati urutan ke-111 dalam mushaf, berada di penghujung Juz Amma, dan tergolong sebagai surat Makkiyyah. Penurunannya terjadi pada fase-fase awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ, di mana pertentangan dan permusuhan dari kerabat terdekat beliau mencapai puncaknya.
Keunikan fundamental dari surat ini terletak pada sifatnya yang sangat spesifik dan personal. Berbeda dengan surat-surat Makkiyyah lainnya yang umumnya berbicara tentang tauhid, hari kebangkitan, atau kisah nabi-nabi terdahulu secara umum, Surat Tabbat Yadā secara langsung menyebut dan mengutuk salah satu individu yang paling vokal dalam menentang Islam: paman Nabi sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muttalib, yang dikenal dengan julukan Abu Lahab. Surat ini bukan hanya sekadar teguran, melainkan sebuah nubuat profetik yang mengikat takdir Abu Lahab di dunia dan akhirat.
Surat ini memiliki peran krusial dalam sejarah Islam awal. Ia menandai titik balik di mana hubungan kekeluargaan tidak lagi dapat menjadi pelindung bagi kebenaran. Bahkan ikatan darah yang paling dekat pun, jika digunakan untuk menghalangi risalah Allah, akan menghadapi kutukan dan kehancuran. Analisis mendalam terhadap setiap kata dalam surat yang hanya terdiri dari lima ayat ini membuka tabir makna yang berlapis, dari keajaiban linguistik hingga kepastian hukum ilahi yang tak terelakkan.
Di kalangan ulama tafsir, surat ini dikenal dengan beberapa nama, yang semuanya merujuk pada elemen kunci dalam ayat-ayatnya. Nama yang paling populer adalah Surat Al-Masad, yang merujuk pada tali sabut atau tali dari serat kasar yang disebutkan di ayat terakhir. Nama lainnya adalah Surat Abu Lahab, diambil dari tokoh sentral yang menjadi subjek kutukan, dan Surat Tabbat Yadā, diambil dari frase pembuka yang sarat makna penghancuran dan kerugian. Setiap penamaan ini menawarkan sudut pandang yang berbeda dalam memahami esensi surat tersebut—baik fokus pada subjeknya, kata kerja yang melambangkan penghukuman, atau metafora hukuman akhiratnya.
Surat Al-Masad berfungsi sebagai penutup dari serangkaian surat pendek yang menyoroti konflik antara kebenaran dan kebatilan di Mekkah. Ia berada setelah Surat An-Nasr (Kemenangan) dan sebelum Surat Al-Ikhlas. Meskipun urutan ini dalam mushaf mungkin tidak persis sama dengan urutan penurunannya, penempatan ini menekankan kontras: bagi Nabi Muhammad, ada kepastian kemenangan (An-Nasr), sementara bagi musuh-musuhnya yang keras kepala, ada kepastian kerugian dan kutukan (Al-Masad).
Konteks historis penurunan surat ini adalah salah satu yang paling dramatis dalam sirah nabawiyah. Diriwayatkan bahwa setelah turunnya perintah Allah untuk menyampaikan dakwah secara terang-terangan (QS. Asy-Syu'ara: 214), Nabi Muhammad ﷺ naik ke Bukit Safa di Mekkah. Beliau memanggil suku-suku Quraisy, kabilah demi kabilah, dengan peringatan yang serius. Ketika semua suku telah berkumpul, beliau bertanya, "Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitahu bahwa di lembah sana ada pasukan berkuda yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan memercayaiku?" Mereka menjawab serempak, "Ya, kami belum pernah mendengar engkau berdusta."
Kemudian, Nabi ﷺ menyatakan, "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya azab yang pedih." Pada saat inilah, paman beliau, Abu Lahab, berdiri dan berkata dengan nada mencemooh dan penuh amarah: "Celakalah engkau! Apakah hanya karena ini engkau mengumpulkan kami?" (Atau dalam riwayat lain, ia mengambil batu dan berniat melemparkannya). Kata-kata inilah, yang diterjemahkan sebagai celaan dan penghinaan publik terhadap misi kenabian, yang memicu turunnya wahyu yang sangat keras ini dari langit. Wahyu itu menggarisbawahi: kutukan yang Abu Lahab ucapkan kepada Nabi Muhammad berbalik menimpa dirinya sendiri.
Untuk mencapai pemahaman komprehensif, kita harus membedah setiap frasa, mempertimbangkan akar linguistiknya, dan melihat bagaimana para mufassir agung memahami struktur yang ringkas namun padat ini.
(Celakalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan celaka!)
Kata kunci dalam ayat ini adalah تَبَّتْ (Tabbat), yang merupakan bentuk fi’il madhi (kata kerja lampau) dari kata dasar tabba (تَبَّ). Makna leksikalnya sangat kuat, melampaui sekadar "celaka" atau "rugi." Ia membawa konotasi kehancuran total, kegagalan fatal, kerugian abadi, dan terputusnya segala kebaikan. Dalam konteks sumpah atau doa, 'Tabbat' adalah kutukan yang menyatakan kepastian nasib buruk.
Penggunaan kata kerja lampau (past tense) di sini sangat signifikan dari sudut pandang retorika Al-Qur'an. Meskipun ini adalah sebuah nubuat tentang nasib masa depan Abu Lahab, ia diungkapkan seolah-olah kehancuran itu sudah terjadi. Ini menunjukkan kepastian absolut dari ketetapan ilahi; azab itu begitu pasti adanya, seolah-olah ia telah terealisasi di masa lalu. Ini adalah salah satu bentuk i’jaz (keajaiban) linguistik Al-Qur'an.
يَدَآ (Yadā) adalah bentuk dual dari yadun (tangan). Secara harfiah, ini berarti "kedua tangan." Namun, dalam idiom Arab, "tangan" sering digunakan untuk melambangkan daya, kekuatan, usaha, hasil kerja, dan kekuasaan seseorang. Oleh karena itu, ‘Tabbat Yadā’ dapat diinterpretasikan sebagai: celakalah segala daya dan upaya Abu Lahab, sia-sialah semua tindakannya, dan celakalah seluruh kekuasaannya yang digunakan untuk menentang Rasulullah ﷺ.
Penyebutan "kedua tangan" juga mungkin merujuk pada insiden di Bukit Safa, di mana Abu Lahab secara fisik menggunakan tangannya untuk mengancam atau mencela Nabi. Namun, makna tafsir yang lebih luas menegaskan bahwa semua harta benda, semua rencana, dan semua pengaruh Abu Lahab akan hancur lebur.
Julukan أَبِي لَهَبٍ (Abī Lahab), yang secara harfiah berarti "Ayah Api" atau "Pemilik Api yang Menyala-nyala," bukanlah nama lahirnya (nama aslinya adalah Abdul Uzza). Nama ini diberikan karena wajahnya yang tampan dan bersinar kemerahan, atau karena kecenderungannya terhadap kemarahan yang membara. Yang menakjubkan adalah bagaimana Allah menggunakan julukan duniawinya yang indah itu sebagai metafora profetik untuk hukuman akhiratnya. Julukan yang merujuk pada api duniawi kini merujuk pada api neraka yang akan ia masuki.
Ayat pertama ditutup dengan pengulangan, وَتَبَّۙ (wa Tabb). Setelah menyatakan kutukan terhadap tangannya (usahanya), Allah mengulangi kutukan tersebut secara umum untuk dirinya sebagai pribadi. Pengulangan ini berfungsi sebagai penekanan yang luar biasa: bukan hanya usahanya yang celaka, tetapi dia sebagai individu, beserta seluruh wujud dan nasibnya, benar-benar celaka. Beberapa mufassir menafsirkan Tabbat yang pertama sebagai doa atau kutukan (berita tentang nasib buruk), sementara wa Tabb yang kedua sebagai realisasi atau penegasan bahwa kutukan itu telah terjadi (berita tentang kepastian nasib buruk di akhirat).
Pengulangan ini, yang dikenal sebagai ta'kid (penegasan) dalam ilmu balaghah, menunjukkan bahwa kehancuran Abu Lahab bukanlah kemungkinan, melainkan sebuah kepastian yang dua kali ditekankan oleh otoritas ilahi. Ini adalah salah satu contoh paling kuat tentang retorika ancaman dalam Al-Qur'an.
(Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan (kasab).)
Ayat kedua ini menjelaskan mengapa kehancuran (Tabbat) itu terjadi: karena tidak ada satu pun sumber daya yang dimilikinya yang mampu melindunginya dari murka Allah. Frasa مَآ اَغْنٰى عَنْهُ (Mā Aghnā ‘Anhu), yang berarti "tidak memberikan manfaat sedikit pun," menolak secara mutlak kemampuan harta dan usaha untuk menjadi penebus dosa di hadapan keadilan Tuhan.
Abu Lahab dikenal sebagai orang yang kaya raya, memiliki kedudukan sosial yang tinggi, dan pengaruh yang besar di kalangan Quraisy. Di mata masyarakat Mekkah, kekayaan adalah tolok ukur kehormatan dan kekuatan. Ayat ini menghancurkan ilusi tersebut, menegaskan bahwa kekayaan, sebanyak apa pun, akan menjadi tidak berarti ketika berhadapan dengan keputusan ilahi. Harta yang dia banggakan dan gunakan untuk menyokong penentangannya terhadap Islam kini menjadi beban yang sia-sia.
Penafsiran terhadap frasa وَمَا كَسَبَۗ (wa Mā Kasab) memiliki spektrum yang luas dan mendalam. Secara umum, 'Kasab' merujuk pada apa yang diperoleh, diusahakan, atau dihasilkan. Ini bisa meliputi:
Inti dari ayat kedua ini adalah penghancuran total atas semua aset fisik dan non-fisik yang menjadi sandaran hidup Abu Lahab. Segalanya yang ia kumpulkan untuk melawan kebenaran akan menjadi debu yang tidak berguna.
(Kelak dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Lahab). )
Ayat ketiga adalah puncak dari kutukan tersebut, mengalihkan fokus dari kehancuran duniawi (Tabbat) ke hukuman akhirat yang pasti. Kata سَيَصْلٰى (Sayaṣlā) adalah kata kerja masa depan yang diperkuat oleh huruf ‘Sa’ (س), yang menunjukkan kepastian yang akan datang tanpa keraguan sedikit pun. Dia pasti akan merasakan panasnya.
Frasa نَارًا ذَاتَ لَهَبٍۙ (Nāran Żāta Lahab), api yang memiliki lahab, merupakan penamaan yang sengaja dipilih dan sangat puitis. Ini adalah permainan kata yang menakjubkan (pun) yang menghubungkan julukan duniawi Abu Lahab (Ayah Api) dengan takdir abadi yang ia hadapi (Api yang Sesungguhnya). Abu Lahab bangga dengan julukannya yang merujuk pada kecerahan wajah, namun Allah mengabadikannya dalam deskripsi neraka yang paling ganas dan berkobar-kobar.
Api neraka digambarkan bukan hanya sebagai 'api' (Nār), tetapi 'api yang memiliki lahab', yaitu api yang meluap, memerah, dan berkobar-kobar hebat. Metafora ini memberikan gambaran yang jelas bahwa azab yang menantinya setara, jika tidak melebihi, dari julukan yang ia sandang. Julukan "Lahab" yang dulu memberinya kehormatan, kini menjadi cap abadi yang melekat pada penderitaan kekal.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini memberikan bukti kenabian yang sangat kuat (prophecy). Karena surat ini turun saat Abu Lahab masih hidup, ia memiliki kesempatan untuk membuktikan Al-Qur'an salah. Seandainya dia berpura-pura masuk Islam, atau bahkan hanya mengatakan kalimat syahadat, nubuat ini akan gugur. Namun, Abu Lahab meninggal dalam keadaan kafir, mengkonfirmasi kebenatan mutlak dari setiap kata dalam Surat Al-Masad ini. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa surat ini adalah mukjizat, karena ia tidak hanya meramalkan kematian, tetapi meramalkan kondisi spiritual saat kematian.
(Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).)
Hukuman dalam surat ini tidak berhenti pada Abu Lahab, tetapi meluas kepada istrinya, Ummu Jamil (nama aslinya Arwa binti Harb, saudara perempuan Abu Sufyan), karena ia adalah mitra yang aktif dalam permusuhan terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Ummu Jamil dikenal sebagai wanita yang fasih dan keras kepala, serta sangat memusuhi Islam. Dia bekerja sama dengan suaminya dalam menyakiti dan menyebarkan desas-desus buruk (fitnah) tentang Nabi ﷺ. Ketika Nabi mulai berdakwah, Ummu Jamil adalah salah satu yang paling aktif dalam kampanye kotor untuk merusak reputasi beliau.
Julukan حَمَّالَةَ الْحَطَبِۗ (Ḥammālatal Ḥaṭab), yang berarti "pembawa kayu bakar," memiliki dua penafsiran utama yang keduanya relevan dan saling melengkapi:
Dalam tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, disebutkan bahwa Ummu Jamil sering kali menaburkan duri dan kotoran di jalan yang biasa dilalui Nabi ﷺ untuk menyakiti beliau. Jika penafsiran ini benar, maka julukan "pembawa kayu bakar" juga merujuk pada bahan-bahan kasar yang dibawanya (kayu, duri, kotoran) untuk menyakiti secara fisik, mencerminkan hukuman di akhirat di mana ia akan membawa tali sabut yang kasar.
(Di lehernya ada tali dari sabut.)
Ayat penutup ini merinci bagaimana Ummu Jamil akan memikul beban hukuman tersebut, memberikan gambaran yang sangat visual dan menghinakan.
Kata جِيْدِهَا (Jīdihā) berarti leher. Penyebutan leher sangat penting karena di dunia, Ummu Jamil adalah wanita bangsawan yang kemungkinan besar selalu mengenakan kalung mewah atau perhiasan berharga, yang melambangkan status dan kekayaan. Di akhirat, perhiasan tersebut akan digantikan dengan sesuatu yang paling kasar dan menghinakan.
حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ (Ḥablum Mim Masad) adalah tali yang terbuat dari masad, yaitu serat kasar dari pohon kurma atau serat besi yang dipintal dengan kasar. Tali ini melambangkan kekerasan, kekasaran, dan penderitaan. Metafora ini adalah puncak dari penghinaan ilahi:
Ayat kelima ini menyimpulkan takdir tragis Ummu Jamil: ia akan menjadi buruh neraka, memikul beban kehancurannya sendiri, yang diikatkan dengan tali yang paling rendah dan kasar, sebagai balasan atas fitnah yang ia sebarkan.
Surat Al-Masad sering kali disebut sebagai salah satu mukjizat kenabian yang paling jelas dan terang. Keajaiban ini tidak terletak pada keindahan bahasanya semata, tetapi pada prediksinya yang sangat spesifik dan tak terbantahkan mengenai nasib Abu Lahab.
Surat ini turun pada masa awal dakwah, saat Abu Lahab masih hidup dan memiliki kekuatan penuh. Ayat-ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Abu Lahab akan masuk neraka (Sayaṣlā Nāran Żāta Lahab). Hal ini hanya mungkin terjadi jika dua syarat terpenuhi: pertama, dia harus mati sebelum bertobat, dan kedua, dia harus mati sebagai seorang kafir yang menolak Islam.
Jika Abu Lahab pada suatu titik, bahkan lima menit sebelum kematiannya, menyatakan keislamannya (meskipun hanya untuk tujuan politik atau untuk menyangkal klaim Al-Qur'an), maka nubuat ini akan menjadi salah. Namun, sejarah mencatat bahwa Abu Lahab tidak pernah menerima Islam. Ia meninggal dalam keadaan terhina sekitar tujuh hari setelah Perang Badar, menderita penyakit menular yang menyebabkan pembusukan (disebut Adasa), dan tidak ada seorang pun, bahkan keluarganya, yang berani mendekatinya karena takut tertular. Kematiannya yang terisolasi dan hina adalah konfirmasi telak dari kutukan Tabbat Yadā.
Surat ini adalah sebuah tantangan terbuka. Selama bertahun-tahun setelah penurunannya, Abu Lahab tahu persis apa yang dinubuatkan tentang dirinya. Dia bisa saja mencari jalan keluar. Dia bisa saja berkata, "Saya masuk Islam," bahkan jika itu hanya pura-pura di depan umum, untuk mempermalukan Muhammad. Tetapi dia tidak pernah melakukannya. Keangkuhan dan kebenciannya begitu besar sehingga ia lebih memilih menentang kebenaran dan memenuhi nubuat tersebut, daripada menerima Islam hanya untuk menggugurkan klaim kenabian.
Ketegasan ramalan ini, dan ketepatan pemenuhannya di tengah pengawasan publik yang ketat di Mekkah, memberikan bukti konkret bagi para sahabat dan generasi berikutnya bahwa Al-Qur'an adalah firman Tuhan yang Maha Mengetahui masa depan, bukan karangan manusia.
Surat ini menggunakan retorika kutukan yang tidak tertandingi. Tidak ada nabi lain yang tercatat mengutuk kerabatnya sendiri dengan nama yang begitu spesifik, apalagi mengabadikan kutukan tersebut dalam kitab suci. Ini menekankan bahwa kebenaran agama berada di atas ikatan kekeluargaan. Dalam bahasa Arab, kutukan ini sangat menohok karena menyerang kehormatan, harta, dan keturunan (Kasab) secara bersamaan.
Kombinasi antara Tabbat (kehancuran usaha), Mā Kasab (kegagalan keturunan), dan Żāta Lahab (takdir api) menciptakan rantai kehancuran yang sempurna, yang mencakup dimensi duniawi, personal, dan eskatologis.
Meskipun surat ini ditujukan kepada individu, Abu Lahab dalam konteks tafsir menjadi simbol universal dari pemimpin yang menggunakan kekuasaan, kekayaan, dan ikatan keluarga (dzawu al-qurbā) untuk menindas kebenaran. Setiap individu atau kelompok yang secara aktif dan terang-terangan menentang dakwah akan menghadapi konsekuensi yang sama secara spiritual, bahkan jika manifestasi fisiknya berbeda.
Kehancuran Abu Lahab berfungsi sebagai peringatan keras: oposisi terhadap kenabian, terutama yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya mendukung, akan mendatangkan hukuman yang spesifik dan memalukan.
Surat Al-Masad, meskipun pendek, adalah mahakarya retorika yang menggunakan teknik linguistik Arab klasik (Balaghah) untuk memaksimalkan dampak emosional dan teologisnya.
Seperti yang telah disinggung, penggunaan kata kerja lampau untuk mengacu pada peristiwa masa depan adalah i'jaz (keajaiban) yang luar biasa. Dalam bahasa Arab, ini disebut tahqiq al-waqi' (merealisasikan peristiwa). Dengan menyatakan kehancuran sebagai fakta yang sudah terjadi, Al-Qur'an menghilangkan segala keraguan mengenai kepastian hukuman tersebut, memberikan kepastian mutlak kepada Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya di tengah-tengah tekanan.
Penggunaan nama Abu Lahab yang disandingkan dengan Nāran Żāta Lahab adalah contoh sempurna dari Jinas (kesamaan bunyi dengan perbedaan makna), yang secara khusus di sini adalah Jinas Tām (jinas sempurna) atau Isti’āra (metafora). Nama panggilan Abu Lahab di dunia (cahaya/api) disamakan dengan takdirnya di akhirat (api neraka). Efeknya sangat kuat: nama yang ia banggakan menjadi pengingat abadi akan siksaan yang menantinya. Ini adalah cemoohan yang abadi yang diabadikan dalam teks suci.
Penyebutan "kedua tangan" (Yadā) bukan hanya presisi anatomi, tetapi penekanan simbolis. Tangan kanan sering dikaitkan dengan perbuatan baik (berkah) dan tangan kiri dengan perbuatan buruk (cela). Dengan mengutuk kedua tangan secara keseluruhan, Al-Qur'an menyatakan bahwa seluruh spektrum daya dan upaya Abu Lahab, baik yang ia anggap baik maupun buruk, semuanya telah dilaknat dan tidak akan menghasilkan manfaat sedikit pun di hadapan Tuhan.
Kata Masad adalah Isim Mashdar yang berarti sumber tali, biasanya tali sabut yang kasar. Penempatan kata ini di akhir surat, setelah deskripsi api neraka, memberikan sentuhan yang sangat sinematik dan menghinakan. Tali sabut (Masad) berlawanan total dengan kemewahan sutra dan emas yang biasanya dikenakan bangsawan Quraisy. Kontras ini adalah penghinaan visual yang menggarisbawahi kejatuhan status Ummu Jamil dari bangsawan Mekkah menjadi buruh neraka yang terikat oleh serat kasar.
Surat ini dibangun di atas tiga lapisan penolakan yang saling memperkuat:
Struktur ini memastikan bahwa tidak ada satu pun aspek dari kehidupan atau identitas Abu Lahab yang luput dari kehancuran dan kutukan ilahi. Ini adalah pemusnahan total terhadap eksistensi seorang penentang risalah.
Hukuman yang diberikan kepada Ummu Jamil juga menunjukkan konsistensi. Karena ia menggunakan lidahnya untuk menyulut api permusuhan (sebagai pembawa kayu bakar/fitnah), ia dihukum dengan api neraka dan harus memanggul bahan bakar tersebut (kayu bakar) dengan tali yang kasar, yang melambangkan beratnya dosa-dosa fitnahnya. Hukuman ini sebanding (Qiyas) dengan kejahatan yang dilakukannya.
Maka, Surat Tabbat Yadā bukan hanya sebuah ancaman, melainkan sebuah pertunjukan retorika yang menunjukkan bahwa setiap kata yang dipilih Al-Qur'an memiliki resonansi yang mendalam, menghubungkan tindakan di dunia (fitnah, penentangan) dengan konsekuensi spesifik dan visual di akhirat (api, tali sabut).
Meskipun surat ini sangat spesifik terhadap Abu Lahab dan Ummu Jamil, ajaran yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan fundamental bagi pemahaman Islam tentang keadilan dan hubungan kemanusiaan.
Pelajaran terpenting adalah penegasan bahwa ikatan keimanan (aqidah) harus didahulukan daripada ikatan kekeluargaan (nasab). Abu Lahab adalah paman Nabi, salah satu kerabat terdekat yang seharusnya menjadi pelindung utama beliau. Namun, penolakan kerasnya menempatkannya di sisi musuh Allah. Surat ini mengajarkan bahwa permusuhan terhadap kebenaran akan menghapuskan semua hak istimewa yang diberikan oleh hubungan duniawi, termasuk hubungan kekerabatan yang suci.
Ayat kedua menegaskan kembali konsep tauhid dalam kepemilikan. Harta, jabatan, dan pengaruh sosial (yang dilambangkan dengan Māluhū wa Mā Kasab) tidak memiliki nilai sedikit pun di hadapan keputusan Ilahi. Kekuatan duniawi hanya sementara dan rapuh, dan tidak akan dapat menyelamatkan seseorang dari azab yang telah ditetapkan. Ini adalah peringatan bagi setiap orang beriman agar tidak menggantungkan diri pada kekayaan sebagai sumber keamanan utama.
Hukuman yang dijabarkan bagi Abu Lahab dan istrinya adalah contoh sempurna dari konsep Jazā’an Wifāqan (balasan yang setimpal). Abu Lahab yang bangga dengan "Api"nya akan dimasukkan ke dalam Api yang nyata (Lahab). Ummu Jamil yang membawa "kayu bakar" (fitnah) di dunia akan membawa kayu bakar hukuman di akhirat. Konsep ini menekankan keadilan ilahi; hukuman disesuaikan dan dicerminkan oleh kejahatan yang dilakukan.
Penyebutan Ummu Jamil sebagai Ḥammālatal Ḥaṭab (pembawa kayu bakar/penyebar fitnah) memberikan pelajaran abadi tentang bahaya lisan. Fitnah, gosip, dan penyebaran berita bohong dianggap sebagai kejahatan yang begitu serius sehingga pelakunya layak mendapat hukuman spesifik yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Ini menyoroti bahwa merusak reputasi dan memecah belah komunitas adalah kejahatan yang konsekuensinya seberat dosa syirik dan kekufuran dalam konteks tertentu.
Pelajaran yang paling mendasar adalah kepastian janji Allah, baik janji surga maupun ancaman neraka. Karena nubuat tentang Abu Lahab terpenuhi dengan sangat akurat, ini memberikan keyakinan penuh kepada umat Islam bahwa janji-janji lain dalam Al-Qur'an mengenai Hari Kebangkitan, Surga, dan Neraka juga akan terpenuhi dengan kepastian yang sama mutlaknya. Surat ini berfungsi sebagai mikrokosmos dari keseluruhan keyakinan eskatologis Islam.
Secara ringkas, Surat Al-Masad adalah mercusuar keadilan: ia memisahkan kebenaran dari kebatilan, bahkan ketika kebatilan itu dilindungi oleh ikatan darah. Ia menegaskan bahwa pada akhirnya, tak seorang pun dapat luput dari hisab (perhitungan) atas perbuatan mereka, dan hukuman bagi para penentang risalah adalah kehinaan total di dunia dan azab yang kekal di akhirat.
Surat Al-Masad sering dipelajari dalam kaitannya dengan surat-surat pendek lainnya, terutama yang menggambarkan hukuman bagi penentang kebenaran atau yang menegaskan otoritas Allah.
Surat Al-Kautsar (Surat ke-108) turun sebagai penenang bagi Nabi Muhammad ﷺ ketika musuh-musuhnya (termasuk Abu Lahab) mencela beliau dengan julukan 'Al-Abtar' (yang terputus keturunannya). Dalam Al-Kautsar, Allah menjanjikan karunia melimpah (Kautsar) dan menegaskan bahwa justru musuh Nabi-lah yang akan terputus (Inna shāni’aka huwal abtar). Surat Tabbat Yadā adalah realisasi dari janji ini. Al-Kautsar memberikan janji positif (pahala yang melimpah), sementara Al-Masad memberikan penegasan hukuman (kehancuran Abu Lahab) kepada musuh yang sama. Keduanya berfungsi sebagai penghibur bagi Nabi, menjamin bahwa beliau akan menang dan musuhnya akan celaka.
Penyebutan tali (Masad) di ayat terakhir memiliki resonansi dengan gambaran hukuman di neraka yang disebutkan di bagian Al-Qur'an lainnya. Dalam Surat Al-Haqqah dan surat-surat lain, orang-orang kafir digambarkan dibelenggu oleh rantai dan belenggu. Tali Masad yang kasar dan keras adalah gambaran yang sangat visual tentang bagaimana belenggu hukuman neraka akan dirasakan oleh Ummu Jamil, mengingatkan pada rantai-rantai besi yang disebut dalam ayat-ayat lain.
Meskipun surat ini tidak dimulai dengan sumpah formal (seperti Waṭṭīni wa Az-Zaitūn), nuansa sumpah sudah terkandung dalam kata ‘Tabbat’. Kata ini adalah kutukan yang setara dengan sumpah, memberikan kekuatan penegasan yang sama. Ini menegaskan bahwa Allah tidak perlu bersumpah demi ciptaan-Nya untuk menegaskan kehancuran yang telah ditetapkan bagi orang yang menentang secara langsung risalah-Nya; kutukan itu sendiri sudah cukup sebagai penetapan takdir.
Kisah tentang turunnya Surat Al-Masad memiliki dampak sosial dan politik yang sangat besar di Mekkah. Ia bukan hanya masalah teologis, tetapi juga pertarungan kekuasaan di jantung klan Quraisy.
Abu Lahab adalah paman Nabi dan secara struktural adalah salah satu pemimpin Bani Hasyim, klan yang secara tradisional bertanggung jawab melindungi Nabi ﷺ. Ketika Abdul Muttalib meninggal, Abu Thalib menjadi pelindung utama. Namun, Abu Lahab, karena kebenciannya yang mendalam terhadap ajaran Islam, justru memutus ikatan perlindungan ini. Penentangannya sangat berbahaya karena ia adalah bagian dari lingkaran dalam keluarga. Ketika surat ini turun, itu adalah deklarasi publik bahwa bahkan perlindungan klan Bani Hasyim tidak dapat menyelamatkan seseorang dari kehancuran ilahi jika ia menolak kebenaran.
Diriwayatkan bahwa ketika Ummu Jamil mendengar ayat-ayat ini, terutama julukan "Ḥammālatal Ḥaṭab," ia menjadi sangat marah. Ia pergi mencari Nabi Muhammad ﷺ dengan membawa batu besar di tangannya, bersumpah untuk menghancurkan Nabi. Ketika ia tiba di Ka’bah, di sana ada Abu Bakar dan Nabi Muhammad ﷺ. Namun, Allah membutakan matanya sehingga ia hanya melihat Abu Bakar. Ia bertanya, "Wahai Abu Bakar, di mana temanmu itu? Aku dengar dia mengutukku. Demi Allah, jika aku menemukannya, akan kupukul mulutnya dengan batu ini. Demi syair, kami akan menolak dia dan agamanya."
Kejadian ini, di mana ia tidak mampu melihat Nabi yang duduk di sebelahnya, sering ditafsirkan sebagai mukjizat perlindungan yang diberikan Allah, dan sekaligus penegasan bahwa kegelapan batinnya (kekafiran) menghalanginya untuk melihat kebenaran yang nyata di hadapannya.
Kematian Abu Lahab adalah penutup yang sempurna bagi nubuat ini. Ketika kaum Quraisy dikalahkan secara telak dalam Perang Badar, kabar kekalahan ini membuat Abu Lahab sangat tertekan dan sakit hati. Beberapa hari kemudian, ia menderita penyakit Adasa (semacam bisul ganas atau wabah), yang dianggap sangat menular oleh masyarakat Arab. Karena ketakutan akan penularan, tidak ada seorang pun, bahkan anak-anaknya, yang berani mendekatinya. Setelah ia meninggal, jasadnya dibiarkan selama beberapa hari hingga mulai membusuk. Akhirnya, jasadnya didorong ke dalam lubang menggunakan tongkat panjang, tanpa ritual pemakaman yang layak bagi seorang bangsawan Quraisy.
Kematiannya yang terisolasi dan terhina ini adalah manifestasi duniawi yang konkret dari kutukan "Tabbat" (kehancuran dan kerugian total), jauh sebelum ia memasuki api neraka yang dijanjikan.
Surat Tabbat Yadā tidak hanya relevan sebagai dokumen sejarah, tetapi juga sebagai panduan spiritual bagi mukmin kontemporer di era informasi yang penuh fitnah dan kesesatan.
Di era modern, "harta dan apa yang diusahakan" (Māluhū wa Mā Kasab) bisa diartikan sebagai status media sosial, pengaruh politik, atau kekayaan digital. Surat ini mengingatkan bahwa semua platform dan kekayaan ini adalah sia-sia jika digunakan untuk menentang kebenaran atau menyebarkan kebencian dan kebohongan. Seorang mukmin harus senantiasa mengevaluasi apakah kekuatan yang ia miliki (tangan/usaha) digunakan untuk mendukung kebenaran atau menghancurkannya.
Ummu Jamil, si "pembawa kayu bakar," adalah prototipe dari penyebar fitnah. Di tengah banjir informasi dan disinformasi, peringatan ini semakin mendesak. Seseorang yang terlibat dalam penyebaran kebencian, gosip, atau fitnah di media digital hari ini secara spiritual menempatkan dirinya dalam peran Ummu Jamil. Konsekuensinya adalah tali sabut (Masad) di leher mereka, yaitu beban dosa yang akan menyeret mereka ke api neraka.
Bagi setiap Muslim, kesetiaan utama haruslah kepada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, melebihi kesetiaan kepada keluarga, klan, atau kepentingan pribadi. Ketika terjadi konflik antara kebenaran dan ikatan darah, kisah Abu Lahab menjadi panduan tegas: pilihlah kebenaran, karena ikatan duniawi tidak akan menyelamatkan dari azab Allah.
Pada akhirnya, Surat Al-Masad adalah cerminan janji Allah kepada Rasul-Nya dan kepada semua pengikut kebenaran: bahwa meskipun musuh-musuh tampak kuat dan berkuasa, kehancuran dan kerugian abadi adalah takdir pasti bagi mereka yang secara aktif menentang dan merendahkan agama Allah.
Para ulama tafsir klasik seperti Imam Ar-Razi, Imam Al-Qurtubi, dan Ibnu Katsir memberikan penjelasan yang sangat kaya yang memperkuat makna surat ini, terutama mengenai kejelasan nubuat dan balasan yang setimpal.
Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (Kunci-Kunci Ghaib) sangat menekankan aspek logis dari nubuat tersebut. Ar-Razi berpendapat bahwa fakta bahwa Abu Lahab hidup selama bertahun-tahun setelah wahyu ini turun tanpa pernah masuk Islam, meskipun ia tahu bahwa satu kalimat syahadat akan meruntuhkan klaim kenabian Muhammad, adalah bukti dari kehendak Allah yang mutlak. Menurut Ar-Razi, surat ini bukan hanya ramalan tentang kematiannya sebagai kafir, tetapi juga penegasan bahwa Allah telah mengetahui sejak awal bahwa Abu Lahab tidak akan pernah diberi hidayah karena kekerasan hatinya yang ekstrem.
Ar-Razi juga mendalami makna ‘Yadā’ sebagai kekuasaan yang digunakan untuk menyakiti. Ia berpendapat bahwa ketika seseorang menggunakan seluruh kekuatannya untuk tujuan yang jahat, maka seluruh kekuatannya itu haruslah dikutuk, dan itulah sebabnya Allah mengutuk ‘kedua tangan’ dan bukan hanya satu tangan.
Imam Al-Qurtubi fokus pada deskripsi penderitaan Ummu Jamil, khususnya pada Ḥablum Mim Masad. Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penyebutan "tali sabut" adalah gambaran yang sangat visual tentang kehinaan. Tali tersebut tidak hanya kasar tetapi juga melambangkan cara orang yang dihukum diseret atau dipaksa bekerja keras. Dalam tafsirnya, Ummu Jamil akan memanggul kayu bakar yang sangat berat, dan tali masad itu akan menghunjam ke lehernya, memberikan rasa sakit yang terus-menerus—penghinaan bagi seorang wanita yang dulunya bangga dan berhias.
Al-Qurtubi juga menegaskan bahwa hukuman bagi Ummu Jamil ini adalah bukti bahwa tidak ada pengecualian dalam keadilan Allah; baik laki-laki maupun perempuan, suami maupun istri, jika bersatu dalam kebatilan, akan bersatu pula dalam hukuman.
Ibnu Katsir sangat mengandalkan riwayat-riwayat (Hadis) untuk menguatkan Asbabun Nuzul, khususnya kisah Bukit Safa. Menurut Ibnu Katsir, ketersinggungan Abu Lahab begitu hebat dan penghinaannya begitu publik sehingga membutuhkan respons ilahi yang setara. Penegasan ‘wa Tabb’ kedua adalah reaksi langsung terhadap celaan Abu Lahab, "Celakalah engkau!" (Tabban Laka). Allah menjawab kutukan tersebut dengan mengembalikannya kepada Abu Lahab sendiri, dua kali lebih kuat. Ibnu Katsir memastikan bahwa konteks sejarah adalah kunci untuk memahami urgensi dan ketegasan bahasa dalam surat ini.
Untuk mencapai kedalaman yang sepadan dengan studi ini, perlu dikaji lebih jauh implikasi sosial-ekonomi dari frasa "Mā Kasab," melampaui sekadar anak atau kekayaan yang diperoleh.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, Kasab (apa yang diusahakan) juga mencakup reputasi yang dibangun melalui kemurahan hati, keberanian, dan keberhasilan dalam memimpin klan. Reputasi ini adalah warisan non-fisik yang paling berharga. Ayat ini menyatakan bahwa semua yang Abu Lahab usahakan untuk membangun nama baiknya—semua pujian yang pernah ia terima, semua pengaruh yang ia kumpulkan—tidak akan memberinya manfaat. Sebaliknya, namanya diabadikan dalam kutukan yang dibaca hingga akhir zaman.
Sebagai seorang saudagar Quraisy, Abu Lahab pasti memiliki jaringan dagang dan utang budi yang luas. Dalam krisis, pedagang mengandalkan jaringan ini untuk perlindungan finansial. Ayat 2 menghancurkan keyakinan bahwa jaringan sosial-ekonomi ini bisa menjadi penyelamat. Ketika azab ilahi datang, semua hubungan dagang dan pertemanan (yang merupakan bagian dari ‘Kasab’) akan terputus dan tidak berguna.
Frasa Mā Aghnā ‘Anhu Māluhū wa Mā Kasab adalah penegasan teologis bahwa kekafiran dan permusuhan terhadap Allah menghasilkan totalitas kerugian—kerugian harta, kerugian keturunan, kerugian reputasi, dan kerugian jiwa di akhirat. Ayat ini memberikan pelajaran yang sangat keras mengenai fana’ (ketidakabadian) dunia dan kekalnya keputusan Tuhan.
Surat Tabbat Yadā, atau Al-Masad, adalah salah satu teks Al-Qur'an yang paling pedih, tegas, dan sarat makna. Dengan hanya lima ayat, ia merangkum keadilan ilahi, menunjukkan mukjizat kenabian yang tak terbantahkan, dan memberikan pelajaran abadi mengenai keutamaan kebenaran di atas segala-galanya.
Dari kehancuran usaha (Tabbat Yadā) hingga ketidakberdayaan harta (Māluhū wa Mā Kasab), dan dari kepastian azab api (Żāta Lahab) hingga kehinaan bagi penyebar fitnah (Ḥammālatal Ḥaṭab), setiap kata dalam surat ini adalah peringatan keras. Ia adalah pengingat bahwa tidak peduli seberapa tinggi kedudukan seseorang, atau seberapa besar kekayaan yang dimilikinya, jika ia menolak risalah ilahi, takdirnya adalah kerugian yang kekal dan kehinaan yang abadi.
Warisan Surat Al-Masad adalah penegasan bahwa kepastian janji Allah bersifat absolut. Abu Lahab, sang Paman Api, menjadi monumen kekal dalam sejarah sebagai simbol kegagalan total dari penentang kebenaran. Ceritanya, diabadikan dalam lafaz surat tabbat yadā latin, terus dibaca oleh miliaran orang di seluruh dunia, sebagai kesaksian hidup akan kekuatan wahyu dan keadilan ilahi yang tak terhindarkan.