Surat At-Tin, surat ke-95 dalam Al-Qur'an, dikenal dengan ayat-ayatnya yang ringkas namun sarat makna. Ayat keempat dari surat ini, khususnya, telah menjadi fokus perenungan bagi banyak ulama dan kaum Muslimin sepanjang zaman. Ayat tersebut berbunyi:
(Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.)
Ayat ini merupakan sebuah pernyataan tegas dan penuh keagungan dari Allah SWT mengenai bagaimana Dia menciptakan manusia. Kata "At-Tin" sendiri merujuk pada buah tin, dan "Zaitun" merujuk pada buah zaitun, dua buah yang dikenal kaya akan khasiat dan sering dikaitkan dengan kesehatan serta kebaikan. Sumpah Allah dengan kedua buah ini, serta dengan Bukit Sinai dan Negeri Mekah yang aman, menunjukkan betapa pentingnya pesan yang akan disampaikan, yaitu tentang penciptaan manusia.
Frasa "أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ" (ahsani taqwim) adalah inti dari ayat ini. "Ahsani" berarti "terbaik" atau "paling indah", sementara "taqwim" berarti "bentuk", "struktur", "proporsi", atau "penyempurnaan". Jadi, makna ayat ini secara harfiah adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk fisik dan spiritual yang paling sempurna dan indah. Ini bukan sekadar pujian semata, melainkan sebuah pengakuan atas desain ilahi yang luar biasa dalam penciptaan manusia.
Mari kita telaah lebih dalam apa saja yang terkandung dalam kesempurnaan penciptaan ini. Dari segi fisik, manusia dianugerahi organ-organ tubuh yang sangat fungsional dan terorganisir dengan presisi. Tangan dengan jemari yang memungkinkan kita memegang, menulis, dan menciptakan. Kaki yang memungkinkan kita berjalan dan menjelajahi dunia. Mata yang memberikan kemampuan melihat keindahan alam semesta. Telinga untuk mendengar. Hidung untuk mencium aroma. Otak yang merupakan pusat kendali dari segala aktivitas fisik dan mental, dengan kapasitas belajar dan berpikir yang tak tertandingi. Semua ini dirancang dengan proporsi yang tepat, sehingga manusia dapat menjalani kehidupannya dengan optimal.
Namun, kesempurnaan ini tidak hanya terbatas pada aspek fisik. Dalam "taqwim" juga terkandung aspek spiritual dan intelektual. Manusia diciptakan dengan akal budi untuk membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Manusia memiliki kemampuan untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan membentuk peradaban. Manusia juga dianugerahi fitrah untuk mengenal Tuhannya dan memiliki potensi spiritual yang mendalam. Kemampuan untuk merasakan cinta, kasih sayang, empati, dan keadilan juga merupakan bagian dari kesempurnaan ciptaan-Nya.
Pernyataan ini juga mengandung implikasi penting. Jika Allah telah menciptakan kita dalam bentuk yang sebaik-baiknya, maka kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan menggunakan anugerah ini dengan baik. Tubuh kita adalah amanah yang harus dijaga kesehatannya. Akal kita adalah sarana untuk mencari ilmu dan kebenaran. Hati kita adalah tempat bersemayamnya keimanan dan kebajikan. Menggunakan kesempurnaan ini untuk keburukan atau menyia-nyiakannya adalah sebuah pengingkaran terhadap karunia ilahi.
Lebih lanjut, ayat ini bisa menjadi sumber kekuatan dan optimisme. Di tengah berbagai tantangan dan kekurangan yang mungkin kita rasakan dalam hidup, pengingat bahwa kita diciptakan dalam kesempurnaan seharusnya memotivasi kita untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Ini mengajarkan kita untuk tidak meremehkan potensi diri, karena potensi itu telah ditanamkan sejak awal penciptaan kita.
Renungan terhadap Surat At-Tin ayat 4 mengajak kita untuk melihat diri sendiri dan seluruh ciptaan dengan kacamata penuh penghargaan. Setiap detail dalam tubuh manusia, setiap kemampuan mental, setiap potensi spiritual adalah bukti kebesaran Sang Pencipta. Menyadari hal ini adalah langkah awal untuk bersyukur, menggunakan anugerah tersebut di jalan yang benar, dan mengarahkan diri untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesempurnaan moral dan spiritual yang mendekatkan diri kepada-Nya.
Memahami ayat ini bukan hanya sekadar pengetahuan teoritis, melainkan sebuah ajakan untuk introspeksi dan transformasi diri. Bagaimana kita memanfaatkan keunggulan fisik kita? Bagaimana kita mengasah akal budi kita? Bagaimana kita memelihara kesucian hati dan spiritualitas kita? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan mencerminkan sejauh mana kita memahami dan mengamalkan makna mendalam dari "ahsani taqwim" yang telah dianugerahkan kepada kita.