Suroh Alfil (Surah Gajah) adalah salah satu surah terpendek namun paling monumental dalam Al-Qur'an. Terdiri dari hanya lima ayat, surah ini menceritakan sebuah peristiwa sejarah yang luar biasa, dikenal sebagai Tahun Gajah, yang terjadi tepat sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini bukan sekadar anekdot sejarah; ia adalah mukjizat, penanda zaman, dan deklarasi tegas mengenai perlindungan Ilahi terhadap Rumah Suci (Ka’bah) dan pesan monoteisme.
Penempatan surah ini, yang umumnya disepakati sebagai periode awal Makkiyah, menunjukkan fokus utamanya: penguatan iman di tengah penindasan. Bagi umat Islam awal di Makkah, kisah tentang kehancuran Abraha dan pasukannya menjadi bukti nyata bahwa kekuatan material dan kesombongan manusia tidak akan pernah mampu mengalahkan Kehendak Tuhan. Suroh Alfil berfungsi sebagai fondasi teologis yang mengajarkan tentang kekuasaan mutlak Allah SWT atas segala bentuk arogansi, sekaligus menegaskan status Makkah sebagai pusat spiritual yang dijaga oleh Zat Yang Maha Agung.
Dalam analisis yang mendalam ini, kita akan mengupas tuntas Suroh Alfil, mulai dari konteks historis yang mendalam, analisis linguistik, hingga implikasi spiritual dan pelajaran yang relevan bagi kehidupan kontemporer. Kisah ini menyimpan lapisan hikmah yang jauh melampaui narasi sederhana tentang sekelompok gajah dan burung-burung kecil.
Suroh Alfil adalah surah ke-105 dalam susunan mushaf Al-Qur’an. Berikut adalah teks dan terjemahan dasar yang menjadi pijakan seluruh diskusi tafsir:
Terjemah (Kementerian Agama RI):
Untuk memahami kekuatan Suroh Alfil, kita harus menyelam jauh ke dalam konteks sejarah yang dikenal sebagai Tahun Gajah, sebuah peristiwa yang secara universal diterima sebagai tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini terjadi di semenanjung Arab, namun akar masalahnya terentang hingga ke Imperium Aksum (Abyssinia/Ethiopia) di seberang Laut Merah.
Pemimpin pasukan gajah adalah Abraha al-Ashram, seorang gubernur Kristen dari Yaman yang diangkat oleh Raja Aksum. Yaman pada saat itu merupakan wilayah penting karena mengendalikan jalur perdagangan rempah-rempah yang vital. Abraha dikenal sebagai sosok yang ambisius dan haus kekuasaan. Meskipun ia awalnya hanya merupakan bawahan, ia berhasil memberontak dan mengukuhkan dirinya sebagai penguasa independen di Yaman.
Motivasi utama Abraha bukanlah semata-mata penaklukan teritorial Makkah, melainkan dominasi ekonomi dan agama. Ia menyadari bahwa Makkah, dengan Ka’bah sebagai pusat ziarah spiritual, menarik karavan dan kekayaan dari seluruh Jazirah Arab. Untuk mengalihkan arus ziarah dan perdagangan dari Makkah ke wilayahnya, Abraha membangun sebuah katedral megah di Sana'a yang disebut Al-Qulays.
Pembangunan Al-Qulays adalah upaya Abraha untuk menciptakan alternatif spiritual bagi Ka’bah. Dalam pandangannya, jika ia berhasil memusatkan ibadah di Sana'a, kekuasaan ekonomi dan politiknya akan tak tertandingi di Semenanjung Arab.
Ketika mendengar bahwa Ka’bah masih menjadi pusat ziarah utama dan bahkan ada laporan tentang tindakan pelecehan yang dilakukan oleh suku-suku Arab terhadap katedralnya, kemarahan Abraha mencapai puncaknya. Ia bersumpah akan merobohkan Ka’bah, batu demi batu, untuk menghapus pusat spiritual pesaingnya itu selamanya. Inilah yang mendorongnya untuk mengumpulkan pasukan besar, termasuk gajah-gajah perang, yang belum pernah dilihat oleh orang Arab sebelumnya—simbol kekuatan militer dan teknologi tertinggi pada masa itu.
Pasukan Abraha bergerak ke utara, melewati lembah-lembah. Perjalanan ini dipenuhi dengan intimidasi dan perampasan. Mereka menjarah harta benda suku-suku yang mereka temui. Ketika mereka mencapai pinggiran Makkah, yang dikenal sebagai Al-Mughammas, mereka mengambil ratusan unta milik penduduk Makkah, termasuk dua ratus unta milik pemimpin Quraisy, Abdul Muttalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad SAW.
Penduduk Makkah, yang menyadari skala ancaman, berada dalam ketakutan yang mendalam. Makkah adalah kota kecil, tanpa benteng militer yang signifikan, dan pasukannya tidak sebanding dengan kekuatan gajah dan tentara terlatih Abraha. Daripada mencoba melawan secara militer yang pasti berakhir dengan kehancuran total, Abdul Muttalib mengambil keputusan monumental: mundur dan menyerahkan perlindungan Ka’bah kepada Pemiliknya.
Abraha terkejut ketika Abdul Muttalib datang untuk menemuinya. Ia menyangka pemimpin Makkah itu akan memohon agar kotanya tidak dihancurkan. Namun, Abdul Muttalib hanya meminta pengembalian untanya yang dicuri. Ketika Abraha bertanya mengapa ia tidak memohon Ka’bah diselamatkan, jawaban Abdul Muttalib menjadi kunci teologis Suroh Alfil:
"Aku adalah pemilik unta-unta ini, dan Rumah itu (Ka'bah) memiliki Pemilik yang akan melindunginya."
Jawaban ini mencerminkan konsep Tauhid yang terpendam di tengah paganisme Quraisy saat itu—keyakinan mendasar bahwa ada kekuatan yang lebih besar dan bahwa Rumah Suci ini bukanlah milik manusia, melainkan milik Tuhan semesta alam. Setelah mendapatkan untanya, Abdul Muttalib kembali ke Makkah dan memerintahkan penduduk untuk mengungsi ke bukit-bukit di sekitar kota, meninggalkan Ka’bah tanpa pertahanan manusia, sebagai bentuk penyerahan total kepada Kehendak Ilahi.
Ilustrasi Gajah yang Berhenti di Depan Ka'bah dan Burung Ababil.
Pada pagi hari penyerangan yang direncanakan, Abraha memerintahkan gajahnya, Mahmud, untuk bergerak menuju Ka’bah. Namun, hal yang tidak terduga terjadi. Setiap kali diarahkan ke Makkah, gajah itu berlutut dan menolak bergerak maju. Ketika diarahkan ke arah lain (Yaman atau timur), gajah itu bangkit dan berjalan normal. Hal ini menunjukkan tanda pertama dari perlindungan Ilahi yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia.
Tepat pada saat pasukan kebingungan dengan perlawanan gajah, datanglah fenomena kedua: munculnya kawanan besar burung-burung dari laut, yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai tayran ababil (burung-burung yang berbondong-bondong atau berkelompok). Setiap burung membawa tiga batu kecil: satu di paruhnya dan dua di cakar kakinya. Batu-batu ini, meskipun kecil, memiliki daya hancur yang luar biasa.
Batu-batu (sijjil) dilemparkan tepat mengenai tentara. Kisah-kisah tafsir menyebutkan bahwa batu-batu itu menembus helm, tubuh, dan gajah, menyebabkan penyakit mengerikan yang membuat kulit melepuh dan terkelupas, mirip dengan penyakit cacar yang ganas. Dalam waktu singkat, seluruh pasukan hancur berantakan, dan Abraha sendiri dikabarkan meninggal dalam perjalanan mundur yang penuh penderitaan. Makkah terselamatkan tanpa campur tangan militer manusia.
Kekuatan Suroh Alfil terletak pada ringkasnya namun padatnya bahasa, menunjukkan i’jaz (kemukjizatan) Al-Qur’an. Mari kita telaah setiap kata kunci dan struktur retorisnya.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (Alam tara kayfa fa’ala Rabbuka bi-ashābil-fīl)
Alam tara (أَلَمْ تَرَ): Secara harfiah berarti "Tidakkah kamu melihat?" Ini adalah pertanyaan retoris negatif yang bermaksud penegasan. Namun, bagi Nabi Muhammad SAW yang lahir di tahun yang sama dengan peristiwa itu, ‘melihat’ di sini tidak selalu berarti melihat dengan mata fisik. Dalam konteks bahasa Arab Al-Qur’an, ‘melihat’ (ra’ā) sering berarti mengetahui, menyadari, atau merenungkan. Ini menegaskan bahwa peristiwa itu begitu terkenal dan dampaknya begitu besar, sehingga Nabi dan semua orang Makkah sudah mengetahui faktanya secara pasti. Pertanyaan ini menarik perhatian pendengar pada suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah.
Kayfa fa’ala (كَيْفَ فَعَلَ): “Bagaimana Tuhanmu berbuat.” Penekanan diletakkan pada ‘bagaimana’ (kayfa), menunjukkan keunikan metode hukuman Ilahi. Allah tidak menggunakan tentara, badai, atau gempa bumi, melainkan cara yang paling tidak terduga—melalui makhluk yang paling lemah, burung kecil.
Rabbuka (رَبُّكَ): “Tuhanmu.” Penggunaan kata ‘Rabb’ (Tuhan yang memelihara dan mendidik) yang disandingkan dengan kata ganti orang kedua ‘ka’ (mu), menunjukkan hubungan khusus antara Allah dan Nabi-Nya, serta memberi jaminan bahwa Allah yang sama juga adalah Pelindung komunitas Mukmin.
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (Alam yaj’al kaidahum fī taḍlīl)
Kaidahum (كَيْدَهُمْ): “Tipu daya mereka.” Kata kaid merujuk pada rencana jahat atau makar yang disusun dengan kecerdasan dan perhitungan. Ini mengakui bahwa Abraha memiliki rencana yang matang secara militer dan strategis. Namun, tipu daya itu dikalahkan bukan oleh kekuatan yang setara, melainkan oleh intervensi yang mengubah seluruh rencana menjadi kekalahan.
Fī taḍlīl (فِي تَضْلِيلٍ): “Menjadi sia-sia/tersesat.” Akar kata *ḍalala* berarti tersesat atau melenceng dari tujuan. Al-Qur’an menyatakan bahwa seluruh rencana, yang disusun dengan perhitungan manusia, diarahkan ke jalan yang salah oleh Allah, sehingga tujuan mereka menghancurkan Ka’bah sama sekali tidak tercapai, dan malah berbalik menghancurkan mereka sendiri. Kehancuran tersebut menjadi bukti nyata bahwa rencana manusia, betapapun megah, rapuh di hadapan takdir Ilahi.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ * تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ (Wa arsala ‘alayhim ṭayran abābīl * tarmīhim biḥijāratim min sijīl)
Ṭayran abābīl (طَيْرًا أَبَابِيلَ): “Burung-burung Ababil.” Kata abābīl tidak memiliki bentuk tunggal yang jelas dalam kamus standar, yang menunjukkan bahwa ia berfungsi sebagai kata keterangan yang berarti berkelompok, berbondong-bondong, atau datang dari berbagai penjuru secara beruntun. Ini menekankan kuantitas yang luar biasa dari burung-burung tersebut, bukan jenisnya. Penekanannya adalah pada kekuatan kolektif yang dikirim oleh Allah.
Ilustrasi Burung Ababil menjatuhkan Batu Sijjil.
Biḥijāratim min sijīl (بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ): “Dengan batu-batu dari Sijjil.” Kata sijjil adalah salah satu kata yang paling diperdebatkan dalam tafsir. Secara umum, para mufasir sepakat bahwa sijjil merujuk pada batu yang keras seperti batu dan memiliki sifat tanah yang terbakar, atau seperti tembikar keras (mirip dengan yang disebutkan dalam kisah Nabi Luth AS). Ini menunjukkan bahwa batu-batu itu bukanlah batu biasa; mereka memiliki kualitas panas atau kepadatan yang mematikan. Mereka dilemparkan dengan ketepatan yang luar biasa, menunjukkan kendali sempurna dari Yang Maha Kuasa.
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (Fa ja’alahum ka’aṣfim ma’kūl)
Ka’aṣfim ma’kūl (كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ): “Seperti dedaunan/jerami yang dimakan (ulat/binatang).” Asf adalah sisa-sisa batang tanaman atau daun yang telah dipanen dan ditinggalkan. Ketika disandingkan dengan ma’kūl (dimakan), maknanya menjadi kehancuran total. Bayangkan jerami atau daun yang telah dikunyah dan dimuntahkan atau dihancurkan oleh ulat—tidak ada lagi bentuk atau manfaat yang tersisa.
Perumpamaan ini adalah puncak balaghah (retorika). Pasukan Abraha adalah kekuatan terbesar di Arab; mereka hadir dengan gajah, lambang kegagahan dan kebesaran. Namun, Allah mereduksi mereka menjadi sisa-sisa yang tidak berarti, sampah organik yang telah dihancurkan oleh makhluk yang paling hina (ulat atau burung kecil). Ini adalah kontras dramatis antara arogansi kekuatan dan kehinaan kehancuran yang ditimpakan oleh Allah.
Para mufasir sepakat bahwa dua ayat pertama berfungsi sebagai pembuka dan penegasan. Imam At-Tabari menekankan bahwa pertanyaan retoris di awal surah adalah untuk menunjukkan keajaiban yang tak terbantahkan. Peristiwa ini sangat baru dan luar biasa sehingga hanya dapat dijelaskan sebagai intervensi Tuhan.
Bagi Al-Qurtubi, kisah ini adalah pendahuluan bagi kenabian. Allah membersihkan Makkah dari ancaman terbesar sebelum menurunkannya wahyu di sana. Ini menciptakan suasana keagungan dan perlindungan Ilahi di lokasi tempat risalah akan dimulai. Jika Allah tidak melindungi Ka’bah, orang-orang Arab akan beranggapan bahwa tidak ada kekuatan spiritual yang layak diikuti.
Sayyid Qutb, dalam Fi Zilalil Qur’an, melihat ayat 2 sebagai penekanan pada sifat makar Abraha yang berasal dari kesombongan (istilah modern: Imperialisme Agama). Al-Qur'an menunjukkan bahwa kecerdasan strategis (kaid) yang digunakan untuk menentang tempat ibadah suci pasti akan digagalkan oleh kecerdasan dan kekuatan Yang Maha Tahu. Kegagalan ini melampaui kekalahan militer; itu adalah kegagalan moral dan spiritual.
Meskipun makna harfiahnya adalah ‘berbondong-bondong’, ada spekulasi mengenai jenis burung tersebut. Beberapa riwayat menyebutkan burung-burung itu berasal dari laut dan tidak dikenal oleh orang Arab. Mufasir modern seperti Hamka (dalam Tafsir Al-Azhar) cenderung fokus pada makna non-spesifik abābīl, yaitu bahwa yang penting adalah jumlah dan tujuan mereka, bukan klasifikasi biologisnya. Allah memilih makhluk yang paling sederhana untuk menghancurkan yang paling kuat, menekankan kelemahan mutlak manusia.
Ibn Kathir, merujuk pada beberapa riwayat sahabat, menjelaskan bahwa batu sijjil itu seukuran kacang Arab (buncis) atau biji-bijian. Meskipun kecil, efeknya mematikan. Ada tiga pandangan utama tentang Sijjil:
Terlepas dari komposisi pastinya, fungsi sijjil adalah sebagai alat hukuman Ilahi yang mematikan dan tidak dapat diatasi oleh perisai atau baju besi manapun. Kehancuran yang ditimbulkan oleh batu-batu ini begitu total sehingga tubuh mereka mengalami penyakit yang melumatkan daging dari tulang, sebuah deskripsi yang kengeriannya telah dicatat dalam sejarah Arab.
Perumpamaan ka’aṣfim ma’kūl (seperti dedaunan yang dimakan) memiliki resonansi yang dalam. Ini bukan hanya tentang kematian, tetapi tentang penghinaan terhadap kekuatan. Pasukan yang mengendarai gajah, simbol keagungan militer, direduksi menjadi sampah yang tidak berguna. Fakhruddin Ar-Razi menyoroti bahwa kehancuran ini melambangkan akhir dari segala keangkuhan duniawi.
Penghancuran ini menegaskan konsep rububiyah (ketuhanan dalam penciptaan dan pemeliharaan). Allah tidak hanya menciptakan semesta, tetapi juga aktif melindungi apa yang Dia kehendaki. Peristiwa Tahun Gajah mengajarkan Quraisy, dan seluruh umat manusia, bahwa Makkah bukanlah kota yang dilindungi oleh berhala atau suku, tetapi oleh Allah Yang Maha Esa. Ini menyiapkan hati masyarakat untuk menerima Tauhid murni yang akan dibawa oleh Nabi yang lahir di tahun yang sama.
Kisah Abdul Muttalib meninggalkan Ka’bah dan pergi ke bukit-bukit adalah pelajaran tertinggi tentang tawakkal. Beliau menyadari batasan kekuatan manusia dan menyerahkan urusan kepada Allah. Ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi ancaman yang melampaui kemampuan kita, upaya terbaik adalah menempatkan kepercayaan mutlak pada Sang Pencipta. Suroh Alfil mengingatkan kita bahwa pertolongan dapat datang dari sumber yang paling tidak terduga, asalkan hati kita lurus dalam Tauhid.
Abraha mewakili tirani yang didasarkan pada kekuatan militer dan kesombongan spiritual. Kisah ini menjadi peringatan bagi setiap penguasa atau individu yang menggunakan kekayaan, kekuasaan, atau teknologi untuk menindas atau melanggar hak-hak suci. Pesan inti surah ini adalah bahwa tidak ada benteng yang dapat melindungi seorang tiran dari keadilan Ilahi. Semakin besar keangkuhan seseorang, semakin total kehinaan yang akan menimpanya. Ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup di dunia ini adalah mencari keridhaan Allah, bukan mengumpulkan kemuliaan yang fana.
Peristiwa Tahun Gajah secara definitif menetapkan Makkah sebagai Tanah Suci yang tak tersentuh (Haram). Perlindungan yang diberikan oleh Allah pada Ka’bah membuktikan statusnya sebagai Baitullah (Rumah Allah). Ini adalah proklamasi kenabian yang mendahului kenabian itu sendiri. Ka’bah dilindungi dari penindasan Kristen (Aksumite) sebagai persiapan untuk pemurniannya dari paganisme di tangan Nabi Muhammad SAW kelak. Peristiwa ini memberi Quraisy keunggulan spiritual dan politik di mata suku-suku Arab lainnya, yang kemudian memudahkan penerimaan pesan Islam ketika tiba saatnya.
Tahun Gajah dijadikan titik tolak kalender tak resmi di Jazirah Arab selama beberapa dekade. Ini menunjukkan betapa mengakar dan tak terlupakan peristiwa tersebut dalam kesadaran kolektif masyarakat. Kelahiran Nabi SAW pada tahun yang sama menghubungkan risalah beliau secara langsung dengan mukjizat proteksi Ilahi ini, menegaskan bahwa beliau adalah Rahmat yang diturunkan setelah peringatan keras (hukuman Abraha).
Meskipun kisah Abraha terjadi berabad-abad yang lalu, pelajaran dari Suroh Alfil tetap relevan, bahkan lebih mendesak di dunia modern yang didominasi oleh teknologi dan kekuatan ekonomi yang masif. Kita dapat menerapkan hikmah surah ini dalam konteks pribadi, sosial, dan global.
Saat ini, gajah-gajah Abraha mungkin berbentuk senjata nuklir, kekayaan korporasi global, atau algoritma media sosial yang dominan. Dunia cenderung tunduk pada kekuatan yang terlihat. Suroh Alfil mengajarkan kita untuk tidak terintimidasi oleh manifestasi kekuatan material ini. Seorang mukmin harus selalu menyadari bahwa di balik layar kekuatan duniawi, ada tangan Tuhan yang jauh lebih kuat yang dapat membalikkan keadaan kapan saja.
Dalam konteks pribadi, ini berarti kita tidak boleh membiarkan rasa takut terhadap atasan, sistem yang menindas, atau kesulitan finansial mengalahkan keyakinan kita pada pertolongan Allah. Kita didorong untuk melakukan upaya terbaik (ikhtiar) dan kemudian menaruh harapan sepenuhnya pada Allah (tawakkal), meniru penyerahan diri total Abdul Muttalib.
Tujuan Abraha adalah merusak pusat spiritual dan menggantikannya dengan proyek kebanggaannya sendiri (Al-Qulays). Dalam kehidupan kontemporer, ‘Al-Qulays’ dapat diartikan sebagai segala bentuk materialisme atau ideologi sekuler yang berusaha menggantikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan. Ketika godaan duniawi atau tren masyarakat modern mencoba mengalihkan fokus kita dari ibadah murni menuju pengejaran harta yang kosong, kita harus mengingat bahwa upaya tersebut akan berakhir sia-sia (fī taḍlīl), seperti tipu daya Abraha.
Peristiwa ini adalah ujian bagi Makkah. Mereka harus memilih antara perlawanan sia-sia yang berdarah atau penyerahan diri yang bermartabat. Allah menguji kesetiaan mereka sebelum mengirimkan pertolongan. Hal ini mengajarkan bahwa pertolongan Ilahi seringkali didahului oleh fase kesabaran (sabr) dan penyerahan diri (taslim). Kemenangan tidak datang hanya melalui kekuatan fisik, tetapi melalui keteguhan hati dalam menghadapi musuh yang tampak tak terkalahkan.
Kisah Ababil, burung-burung kecil, adalah manifestasi prinsip Ilahi bahwa Allah tidak terikat pada sebab-akibat yang biasa. Dia bisa saja mengirim malaikat, gempa bumi, atau badai, tetapi Dia memilih burung dan batu kecil untuk membuktikan bahwa yang penting adalah Kehendak-Nya, bukan alatnya. Ini mematahkan logika kekuatan manusia secara total.
Suroh Alfil, dengan hanya lima ayatnya, berdiri sebagai salah satu pilar fundamental dalam teologi Islam yang berbicara tentang kekuatan mutlak Allah, keadilan-Nya, dan perlindungan-Nya terhadap Rumah Suci. Ia adalah kisah yang mempersiapkan panggung bagi kedatangan Islam, menegaskan bahwa Makkah telah ditetapkan sebagai pusat risalah sejak awal.
Dari pertanyaan retoris yang menggugah, deskripsi yang ringkas namun eksplosif tentang kehancuran, hingga perumpamaan visual yang memilukan tentang keruntuhan kesombongan, Suroh Alfil memberikan pelajaran abadi: bahwa kekuatan manusia, betapapun besar dan terorganisir, akan selalu menjadi debu di hadapan Kehendak Ilahi.
Bagi pembacanya, surah ini menanamkan optimisme yang tak tergoyahkan. Bahkan ketika kita dikepung oleh ‘gajah-gajah’ zaman modern, kita diingatkan bahwa Allah, Pelindung Ka’bah dan Pelindung orang-orang beriman, memiliki cara-Nya yang tak terduga (Ababil dan Sijjil) untuk mengubah rencana jahat menjadi kehancuran total (ka’aṣfim ma’kūl). Iman sejati dimulai dari kesadaran bahwa kita hanya hamba yang lemah, dan hanya melalui penyerahan diri (tawakkal) kepada Allah, Sang Rabbul ‘Alamin, kita dapat menemukan perlindungan dan kemenangan sejati.
Penghayatan Suroh Alfil mendorong setiap Muslim untuk hidup dengan keberanian moral, menolak tunduk pada tirani, dan selalu mengingat bahwa kemuliaan sejati tidak ditemukan dalam harta atau kekuasaan, tetapi dalam kesadaran akan Kebesaran Tuhan yang memelihara semesta alam.
Peristiwa Tahun Gajah ini bukan hanya sejarah, tetapi juga janji yang terus berlaku: *Alam tara kayfa fa’ala Rabbuka*—Tidakkah engkau lihat bagaimana Tuhanmu berbuat? Pertanyaan itu adalah seruan untuk selalu merenungkan campur tangan Ilahi dalam kehidupan kita dan dalam sejarah dunia.
Kehancuran Abraha memiliki konsekuensi yang mendalam bagi ekonomi dan tatanan sosial Jazirah Arab. Sebelum peristiwa ini, Yaman di bawah Abraha merupakan kekuatan regional yang mengancam jalur perdagangan Makkah. Setelah kehancuran pasukan gajah, ancaman ini hilang sepenuhnya. Hal ini menciptakan apa yang dikenal sebagai ‘Ilaf Quraisy’—keamanan dan kedamaian perdagangan (yang dibahas dalam Suroh Quraisy, surah berikutnya).
Suku Quraisy memperoleh prestise yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dianggap sebagai ‘Ahlullah’ (Keluarga Allah) atau ‘Jiranullah’ (Tetangga Allah) karena mereka adalah satu-satunya komunitas yang dilindungi secara supernatural dari kekuatan militer terbesar pada masa itu. Status ini memberikan mereka kekebalan virtual dalam perjalanan dagang mereka ke utara (Syam/Syria) dan selatan (Yaman). Orang-orang Arab lainnya merasa wajib menghormati Quraisy dan Makkah, bukan karena kekuatan militer Quraisy, melainkan karena mereka menyaksikan secara langsung keajaiban perlindungan Ilahi.
Kondisi keamanan dan dominasi ini sangat penting karena menciptakan lingkungan yang stabil dan relatif aman bagi Nabi Muhammad SAW untuk tumbuh dan kemudian memulai misinya. Allah tidak hanya melindungi Rumah-Nya, tetapi juga menciptakan kondisi politik yang paling ideal untuk benih risalah terakhir-Nya untuk ditanamkan.
Para ilmuwan Muslim modern kadang menginterpretasikan sijjil tidak hanya sebagai batu tanah liat yang terbakar, tetapi sebagai materi yang membawa penyakit mematikan. Deskripsi kehancuran pasukannya yang seperti daun yang dimakan ulat sering dikaitkan dengan penyakit menular seperti cacar atau campak yang menyebar cepat. Dalam penafsiran ini, burung-burung (Ababil) mungkin berfungsi sebagai pembawa patogen yang sangat mematikan, yang dampaknya diperparah oleh kengerian psikologis insiden tersebut. Walaupun tafsir utama tetap berpegang pada ‘batu’, interpretasi ini memperluas makna hukuman Ilahi ke ranah biologi dan epidemiologi, menunjukkan bahwa kekuatan Allah bisa bekerja melalui mekanisme yang paling kecil dan tak terlihat.
Ironisnya, meskipun Quraisy menyaksikan mukjizat yang membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pelindung Ka’bah, sebagian besar dari mereka terus menyembah berhala. Ini memperlihatkan kesulitan manusia untuk meninggalkan tradisi paganisme, bahkan di hadapan bukti yang paling jelas. Namun, peristiwa ini tetap menjadi ‘Hujjah’ (argumen yang kuat) yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW bertahun-tahun kemudian: Mengapa kalian takut pada berhala yang kalian pahat sendiri, sementara kalian menyaksikan Tuhan yang melindungi Rumah ini dari Abraha?
Suroh Alfil adalah babak pembuka yang keras. Ia mengakhiri era dominasi kekuatan material dan menandai dimulainya era kenabian, yang berpusat pada pesan Tauhid, yang kekuatannya jauh melampaui gajah dan pasukan manapun.