Terjemah dan Tafsir Mendalam Surat Al-Lail (Malam)

Menggali Hikmah Dualitas Kehidupan Berdasarkan 21 Ayat Penuh Makna


Pengantar Mengenal Surat Al-Lail

Surat Al-Lail, yang berarti 'Malam', adalah surat ke-92 dalam mushaf Al-Qur'an dan termasuk dalam kelompok surat Makkiyah, yang diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Surat ini terdiri dari 21 ayat pendek namun padat, secara tematik menempatkan dirinya sebagai salah satu surat di Juz Amma yang memberikan penekanan kuat pada dualitas fundamental dalam eksistensi manusia: usaha dan balasan, kegelapan dan cahaya, pemberian dan penahanan.

Penamaan surat ini diambil dari sumpah pembukaannya, yaitu pada ayat pertama: 'Wal-Laili idzā yaghsyā' (Demi malam apabila menutupi). Penggunaan sumpah ini tidak hanya berfungsi sebagai gaya bahasa retoris yang memukau, tetapi juga untuk menarik perhatian pendengar kepada kekuasaan Allah SWT yang menjelma dalam pergantian siklus alam yang teratur. Malam, dalam konteks ini, sering melambangkan ketenangan, misteri, dan khususnya, waktu untuk beramal shalih yang tersembunyi dari pandangan manusia.

Inti sari dari Surat Al-Lail adalah klasifikasi manusia menjadi dua golongan utama berdasarkan amal dan niat mereka: golongan yang memberi dan bertakwa, dan golongan yang kikir dan merasa cukup. Al-Qur'an dengan tegas menyatakan bahwa jalan hidup yang dipilih oleh manusia, baik itu jalan kemudahan atau jalan kesulitan, akan disesuaikan dengan kemudahan dalam beramal yang Allah siapkan baginya.

Secara historis, surat ini diyakini sebagian ulama terkait dengan perbandingan antara Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang dikenal kedermawanannya dalam membebaskan budak-budak Muslim yang lemah, dan seorang pria Quraisy yang kikir yang menolak berderma. Perbedaan karakter ini menjadi lensa utama untuk memahami janji Allah: bagi mereka yang berderma di jalan kebenaran, Allah akan memudahkannya menuju jalan kemudahan dan kebahagiaan abadi.

Ilustrasi Kontras Malam dan Siang Ilustrasi sederhana menunjukkan kontras antara malam yang gelap dan siang yang bercahaya, merepresentasikan dualitas dalam Surat Al-Lail. Malam (Al-Lail) Siang (An-Nahar)

Terjemah dan Analisis Rinci Setiap Ayat

Ayat 1: Wal-Laili idzā yaghsyā

وَٱلَّيْلِ إِذَا يَغْشَىٰ

Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).

Analisis: Allah bersumpah dengan malam ketika ia 'menutupi'. Kata yaghsyā (menutupi) menunjukkan penyerbuan malam yang total dan menyeluruh terhadap siang. Sumpah ini menggarisbawahi kekuasaan Allah dalam menciptakan kontras dan keteraturan. Malam sering kali menjadi simbol ujian bagi hamba-hamba-Nya, yaitu waktu di mana ibadah dilakukan dengan keikhlasan yang lebih besar, jauh dari pandangan manusia.

Ayat 2: Wan-Nahāri idzā tajallā

وَٱلنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّىٰ

Dan demi siang apabila terang benderang.

Analisis: Kontras langsung dengan ayat pertama. Siang (An-Nahār) ketika ia 'terang benderang' (tajallā). Jika malam melambangkan ketenangan, siang melambangkan aktivitas, usaha, dan manifestasi. Sumpah ganda ini, menurut para mufasir, menyiapkan pikiran pembaca untuk menerima konsep dualitas dalam amal dan balasan.

Ayat 3: Wa mā khalaqal-dzakara wal-unṡā

وَمَا خَلَقَ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰ

Dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan.

Analisis: Sumpah ketiga melibatkan penciptaan manusia, khususnya dualitas jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). Ini adalah dualitas tertinggi dalam kehidupan sosial, yang menjadi dasar bagi keberlangsungan hidup dan pembentukan masyarakat. Beberapa ulama tafsir, seperti Mujahid, menafsirkan mā khalaqa (apa yang diciptakan) sebagai sumpah atas Dzat Yang Maha Pencipta itu sendiri. Ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini diciptakan dalam bentuk pasangan, termasuk amal perbuatan dan balasannya.

Penting untuk dicatat bahwa sumpah-sumpah ini — malam dan siang, laki-laki dan perempuan — berfungsi sebagai saksi atas kebenaran yang akan diungkapkan pada ayat berikutnya, yaitu mengenai perbedaan usaha dan nasib manusia.

Ayat 4: Inna sa'yakum la-syattā

إِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتَّىٰ

Sungguh usaha kamu adalah beraneka ragam.

Analisis: Ini adalah jawaban dari semua sumpah di atas. Kata sa'yakum berarti 'usaha, upaya, atau kerja keras' manusia, sementara la-syattā berarti 'beraneka ragam, berbeda-beda, atau terpisah'. Allah menyatakan bahwa semua manusia, meskipun hidup dalam satu alam semesta yang diatur oleh dualitas teratur (malam/siang), memiliki tujuan dan arah usaha yang sangat berbeda. Beberapa berusaha menuju kebaikan, dan yang lain menuju keburukan. Ayat ini menjadi jembatan menuju klasifikasi dua kelompok manusia yang akan dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya.

Konsep la-syattā ini sangat mendalam. Ia tidak hanya merujuk pada jenis pekerjaan fisik, tetapi lebih pada orientasi moral dan spiritual. Apakah usaha itu diarahkan untuk mencari keridhaan Allah atau hanya kenikmatan duniawi semata? Perbedaan orientasi inilah yang menentukan kemudahan atau kesulitan hidup yang akan dialami.


Ayat 5: Fa ammā man a'ṭā wattaqā

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.

Analisis: Ayat ini memperkenalkan kelompok pertama, yang memilih jalan kebaikan. Kriteria pertama adalah a'ṭā (memberi, berderma). Ini mencakup sedekah, zakat, nafkah, dan segala bentuk pengeluaran harta di jalan Allah. Namun, sifat memberi ini harus dibarengi dengan kriteria kedua: wattaqā (bertakwa). Takwa di sini berarti menjaga diri dari larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya, yang mencerminkan keikhlasan dalam memberi. Memberi tanpa takwa mungkin hanya riya' (pamer), tetapi memberi yang sejati lahir dari ketakutan dan harapan kepada Allah.

Syaikh As-Sa'di menjelaskan bahwa a'ṭā menunjukkan kedermawanan dalam hal material dan spiritual. Kedermawanan material adalah memberi harta, sedangkan kedermawanan spiritual adalah mengorbankan waktu, tenaga, dan perasaan demi kebaikan. Ini adalah pondasi bagi jalan kemudahan.

Ayat 6: Wa ṣaddaqā bil-ḥusnā

وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ

Dan membenarkan (adanya) balasan yang terbaik (Al-Husna).

Analisis: Kriteria ketiga bagi golongan pertama adalah ṣaddaqā bil-ḥusnā (membenarkan balasan terbaik). Para mufasir memiliki pandangan berbeda tentang makna Al-Husnā:

  1. Surga: Mayoritas mufasir menafsirkan Al-Husna sebagai Surga, yang merupakan balasan terbaik bagi orang-orang yang beriman.
  2. Kalimat Tauhid (La Ilaha Illallah): Membenarkan inti dari keimanan.
  3. Janji Allah: Percaya sepenuhnya bahwa apa pun yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beramal saleh adalah benar adanya.

Kepercayaan penuh terhadap balasan ini menjadi pendorong utama seseorang untuk berkorban dan berderma, bahkan ketika tidak ada keuntungan duniawi yang terlihat. Ia adalah keyakinan yang mengalahkan keraguan dan kebakhilan.

Ayat 7: Fa sanuyassiruhū lil-yusrā

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ

Maka Kami akan memudahkan baginya jalan kemudahan (Yusra).

Analisis: Ini adalah janji agung bagi golongan pertama. Allah akan memudahkan mereka menuju Al-Yusrā (kemudahan). Kemudahan di sini mencakup beberapa aspek:

Ayat ini mengajarkan bahwa balasan dimulai sejak di dunia. Barangsiapa yang berusaha menuju kebaikan, Allah akan membimbing dan memudahkannya; jalan kemudahan bukanlah jalan tanpa cobaan, melainkan jalan di mana hati dimudahkan untuk menerima cobaan tersebut dengan sabar dan rida.

Ayat 8: Wa ammā man bakhila wastaghnā

وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ

Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup.

Analisis: Ayat ini memperkenalkan golongan kedua, yang memilih jalan keburukan. Kriteria pertama adalah bakhila (kikir, menahan harta). Ini adalah kebalikan dari a'ṭā. Kikir tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga menutup pintu kebaikan bagi dirinya sendiri. Kriteria kedua adalah wastaghnā (merasa dirinya cukup). Ini adalah sikap arogan, merasa tidak membutuhkan Allah atau balasan-Nya, baik karena kekayaan duniawi atau karena kesombongan ilmu.

Sikap istighnā ini adalah akar dari kekufuran. Ketika seseorang merasa sudah cukup dan tidak memerlukan bimbingan ilahi atau janji akhirat, ia akan berhenti beramal dan cenderung menahan hak orang lain, mengira hartanya akan kekal dan melindunginya.

Kedalaman analisis pada ayat ini harus mencakup bahaya sifat kikir. Kikir adalah manifestasi dari kecintaan berlebihan terhadap dunia. Rasulullah SAW memperingatkan bahwa kikir merusak umat-umat sebelum kita, mendorong mereka pada kezaliman dan pertumpahan darah.

Ayat 9: Wa kadzdzabā bil-ḥusnā

وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ

Serta mendustakan adanya balasan yang terbaik (Al-Husna).

Analisis: Ini adalah kebalikan dari ayat 6. Golongan ini menolak atau meragukan Al-Husnā (Surga, Janji Allah, kebenaran tauhid). Keraguan atau penolakan terhadap kebenaran akhirat ini merupakan akibat logis dari kebakhilan dan arogansi. Jika seseorang tidak percaya pada balasan yang kekal, mengapa ia harus mengorbankan hartanya yang fana?

Penolakan terhadap janji ilahi ini menutup pintu hati mereka dari petunjuk. Mereka menilai segalanya berdasarkan keuntungan duniawi semata, tanpa mempertimbangkan dimensi spiritual.

Ayat 10: Fa sanuyassiruhū lil-'usrā

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ

Maka Kami akan memudahkan baginya jalan kesulitan (Usra).

Analisis: Ini adalah hukuman bagi golongan kedua. Allah akan memudahkan mereka menuju Al-'Usrā (kesulitan). Ini adalah balasan yang adil: karena mereka memilih jalan yang sulit (yaitu kebakhilan dan pendustaan) di dunia, Allah semakin memantapkan mereka pada jalan tersebut. Kesulitan (Al-'Usrā) di sini tidak hanya merujuk pada kesulitan hidup material, tetapi yang lebih parah adalah kesulitan spiritual:

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak memaksa siapapun, tetapi ketika seseorang telah jelas memilih jalannya, Allah akan memfasilitasi pilihan tersebut. Jika ia memilih Neraka, Allah akan memudahkannya menuju perbuatan yang mengarah ke sana, sebagai bentuk keadilan Ilahi.

Ilustrasi Timbangan Amal Sebuah timbangan menunjukkan kontras antara amalan baik (memberi) yang memimpin ke atas dan amalan buruk (kikir) yang menarik ke bawah. Kikir & Sombong Memberi & Takwa

Ayat 11: Wa mā yughnī 'anhū māluhū idzā taraddā

وَمَا يُغْنِي عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰ

Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah jatuh (ke dalam Neraka).

Analisis: Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi mereka yang merasa cukup dengan kekayaan dunia. Kata māluhū (hartanya) dan yughnī 'anhū (memberi manfaat padanya) ditekankan. Ketika seseorang jatuh (taraddā) ke dalam jurang kebinasaan (Neraka), harta yang ia kumpulkan dengan susah payah dan ia tahan dari jalan Allah tidak akan memberinya manfaat sedikit pun. Ini adalah penolakan mutlak terhadap nilai material di akhirat.

Tafsir mengenai taraddā mencakup dua makna utama: mati, atau jatuh ke dalam api Neraka. Dalam kedua kasus, harta dunia menjadi tidak relevan. Ayat ini seharusnya mendorong introspeksi: apakah kita menghimpun harta untuk dunia yang akan ditinggalkan, atau menginvestasikannya untuk akhirat yang kekal?


Ayat 12: Inna 'alainā lal-hudā

إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ

Sesungguhnya kewajiban Kami hanyalah memberi petunjuk.

Analisis: Setelah menjelaskan dua jalan yang berbeda, Allah menegaskan bahwa Dia telah menunjukkan kedua jalan tersebut dengan jelas. Al-Hudā (petunjuk) telah disampaikan melalui para Nabi dan Kitab suci. Allah tidak pernah meninggalkan manusia tanpa panduan. Tugas Allah adalah memberikan petunjuk yang jelas, sementara tugas manusia adalah memilih dan mengikuti petunjuk tersebut. Ayat ini menolak segala alasan bahwa manusia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Para ulama juga menafsirkan ayat ini sebagai penetapan hak Allah untuk memimpin manusia. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk umum (*hidayatul irsyād*) yang terbuka bagi semua orang, meskipun petunjuk khusus (*hidayatul taufīq*) hanya diberikan kepada mereka yang berkehendak menuju kebaikan.

Ayat 13: Wa inna lanā lal-ākhirata wal-ūlā

وَإِنَّ لَنَا لَلْآخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ

Dan sesungguhnya milik Kami-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.

Analisis: Ayat ini memperkuat otoritas Ilahi. Karena Allah menguasai dunia (Al-Ūlā) dan akhirat (Al-Ākhirāh), maka janji dan ancaman-Nya mutlak benar. Orang kikir dan pendusta yang merasa cukup di dunia (Ayat 8) diingatkan bahwa kekuasaan sejati tidak terletak pada harta fana mereka, melainkan pada Allah yang memiliki dimensi waktu dan ruang sepenuhnya. Pengakuan atas kepemilikan Allah atas keduanya menghilangkan keraguan akan kemampuan Allah memberikan balasan di akhirat.

Ayat 14: Fa andzartukum nāran taladhdhā

فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ

Maka Kami memperingatkan kamu dengan api yang menyala-nyala (Neraka).

Analisis: Setelah penjelasan yang lembut dan logis tentang dualitas, surat ini beralih ke peringatan yang keras. Nāran taladhdhā berarti 'api yang bergejolak dan menyala hebat'. Ini adalah penggambaran Neraka yang intens dan menakutkan, ditujukan kepada mereka yang memilih jalan kesulitan. Peringatan ini adalah bagian dari kasih sayang Allah, memberikan kesempatan bagi manusia untuk bertaubat sebelum terlambat.

Ayat 15: Lā yaṣlāhā illal-asyqā

لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى

Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka (Al-Asyqā).

Analisis: Siapakah Al-Asyqā (orang yang paling celaka)? Tafsir klasik sepakat bahwa ini merujuk pada orang-orang yang menolak kebenaran secara total. Mereka adalah orang-orang yang telah dijelaskan sebelumnya: kikir, sombong, dan mendustakan hari akhir (Ayat 8-9). Kata 'paling celaka' menunjukkan tingkatan keburukan dan penolakan yang ekstrem. Ini adalah mereka yang tahu kebenaran namun memilih jalur kemaksiatan dan pendustaan.

Ayat 16: Al-ladzī kadzdzabā wa tawallā

ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ

Yaitu orang yang mendustakan dan berpaling.

Analisis: Ayat ini menjelaskan sifat dari Al-Asyqā. Kadzdzabā (mendustakan) merujuk pada pendustaan hati terhadap ajaran Rasul dan janji akhirat. Tawallā (berpaling) merujuk pada tindakan fisik, yaitu menolak untuk mempraktikkan ketaatan dan menjauhi peringatan. Sifat celaka ini adalah kombinasi dari kekufuran internal (hati) dan penolakan eksternal (perbuatan).

Ayat 17: Wa sayujannabuhal-atqā

وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى

Dan akan dijauhkan darinya (Neraka) orang yang paling bertakwa (Al-Atqā).

Analisis: Ini adalah kebalikan mutlak dari ayat 15. Neraka akan dijauhkan dari Al-Atqā (orang yang paling bertakwa). Jika Al-Asyqā adalah yang paling celaka, Al-Atqā adalah yang paling mulia di sisi Allah. Mereka adalah golongan pertama yang dijelaskan di awal surat (memberi, bertakwa, membenarkan). Ini adalah janji keselamatan dan kemudahan yang mencapai puncaknya di akhirat.

Ayat 18: Al-ladzī yu'tī mālahū yatazakkā

ٱلَّذِي يُؤْتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ

Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan dirinya.

Analisis: Ayat ini menjelaskan ciri utama Al-Atqā. Mereka menafkahkan harta bukan untuk pujian atau keuntungan duniawi, melainkan yatazakkā (untuk membersihkan diri, menyucikan jiwa). Harta adalah ujian; kedermawanan adalah proses penyucian dari sifat kikir dan kecintaan dunia. Tindakan ini memurnikan niat dan menguatkan takwa. Dalam konteks sejarah, banyak ulama meyakini bahwa ayat-ayat ini (17-21) diturunkan secara khusus mengenai Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang menghabiskan hartanya untuk membebaskan budak-budak demi Allah.

Ayat 19: Wa mā li-aḥadin 'indahū min ni'matin tujzā

وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ

Padahal tidak ada seseorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalas.

Analisis: Ayat ini membahas motivasi murni di balik kedermawanan Al-Atqā. Mereka memberi bukan karena membalas budi atau utang jasa (ni'matin tujzā), tetapi murni karena mencari wajah Allah. Jika seseorang memberi untuk membalas kebaikan masa lalu, itu adalah transaksi sosial yang normal; tetapi memberi tanpa mengharapkan balasan jasa adalah bukti keikhlasan tertinggi.

Ayat ini adalah poin klimaks dalam menjelaskan makna takwa sejati. Kedermawanan yang tulus adalah yang dilakukan tanpa motivasi timbal balik duniawi.

Ayat 20: Illab-tighā'a wajhi rabbihil-a'lā

إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ

Tetapi (dia memberikan itu) hanya semata-mata mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi.

Analisis: Ayat ini secara eksplisit menegaskan niat utama dari Al-Atqā: ibtighā'a wajhi rabbihil-a'lā (mencari wajah Tuhannya Yang Mahatinggi). Ini adalah definisi keikhlasan (*Ikhlas*). Tujuan utama dari setiap amal adalah mencapai keridhaan Allah, yang pada akhirnya akan menghasilkan pahala yang jauh melampaui segala harta atau pujian duniawi. Fokus pada 'Wajah Tuhan' melambangkan pencarian tertinggi, yaitu perjumpaan dengan Allah dan Surga Firdaus.

Ayat 21: Wa la-sawfa yarḍā

وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

Dan kelak dia benar-benar akan mendapatkan kepuasan.

Analisis: Ini adalah penutup yang indah dan janji pamungkas. Yarḍā berarti 'merasa puas' atau 'senang'. Kepuasan ini adalah balasan abadi di Surga. Kata la-sawfa (pasti kelak) memberikan penegasan yang kuat mengenai kepastian janji ini. Kepuasan tertinggi ini mencakup kesenangan fisik dan spiritual di Surga, dan yang terpenting, keridhaan Allah atas hamba-Nya. Jika di dunia mereka telah dimudahkan jalannya (Al-Yusrā), di akhirat mereka akan mendapatkan kepuasan abadi.


Refleksi Teologis dan Implikasi Hukum Surah Al-Lail

Konsep Dualitas dan Pilihan Bebas

Surat Al-Lail, dengan sumpah pembukanya, membangun fondasi teologis yang kuat mengenai prinsip dualitas (pasangan) dalam penciptaan. Malam dan siang, laki-laki dan perempuan, semuanya memiliki pasangan. Hal ini mencerminkan dualitas terbesar dalam kehidupan moral: pilihan antara kebaikan dan keburukan. Allah SWT tidak menciptakan manusia dalam ruang hampa moral; sebaliknya, Dia menciptakan lingkungan yang seimbang dan kemudian menegaskan bahwa meskipun alam semesta teratur, usaha manusia (sa'yakum) adalah beraneka ragam.

Ayat 4, Inna sa'yakum la-syattā, secara implisit mengakui konsep kehendak bebas manusia. Meskipun Allah mengetahui hasil akhirnya, manusia diberikan kebebasan untuk memilih jalan mereka. Dualitas ini berfungsi sebagai cermin. Mereka yang memilih memberi dan bertakwa akan dimudahkan. Mereka yang memilih kikir dan mendustakan akan dimudahkan menuju kesulitan. Kemudahan dan kesulitan ini bukan hanya takdir, tetapi juga hasil dari akumulasi pilihan yang dibuat oleh individu itu sendiri.

Dalam konteks teologi, surat ini menunjukkan bahwa taufiq (kemudahan untuk beramal) adalah balasan atas niat baik dan tindakan awal yang positif. Jika seseorang menunjukkan inisiatif (memberi dan bertakwa), Allah akan mendukung inisiatif tersebut dengan memberikan kemudahan dalam beramal saleh. Sebaliknya, sikap kikir (bakhila) adalah hukuman spiritual, di mana Allah membiarkan hati hamba tersebut semakin kaku dan sulit menerima hidayah.

Pentingnya Ikhlas dan Pembersihan Jiwa

Ayat 18 hingga 20 menempatkan fokus utama pada Ikhlas. Kedermawanan tertinggi bukanlah tentang seberapa banyak yang diberikan, melainkan mengapa ia diberikan. Orang yang paling bertakwa (Al-Atqā) adalah mereka yang memberi yatāzakkā (untuk menyucikan diri) dan ibtighā'a wajhi rabbihil-a'lā (mencari wajah Allah semata).

Sikap ini kontras tajam dengan motivasi materialistik. Dalam pandangan Al-Lail, kedermawanan adalah alat pemurnian (tazkiyah) jiwa, membersihkannya dari penyakit kebakhilan, riya', dan ketergantungan pada dunia. Tanpa niat yang murni ini, amal sebesar apa pun dapat jatuh ke dalam kategori Al-'Usrā (kesulitan), karena tidak didasarkan pada fondasi keimanan yang kokoh terhadap Al-Husnā (balasan terbaik).

Jika kita membedah makna yutī māluhu yatazakkā, kita menemukan bahwa proses pembersihan ini bersifat timbal balik. Pemberian itu menyucikan harta dari hak orang lain (seperti zakat), sekaligus menyucikan jiwa dari penyakit hati. Ini menunjukkan bahwa ibadah maliyah (ibadah harta) memiliki dampak spiritual yang setara dengan ibadah badaniyah (ibadah fisik) seperti shalat.

Konsekuensi Jangka Panjang dari Kebakhilan

Surat Al-Lail memberikan peringatan keras bahwa kebakhilan dan arogansi (bakhila wastaghna) memiliki konsekuensi yang jauh melampaui kerugian finansial. Kebakhilan diibaratkan sebagai sebuah penyakit spiritual yang menyebabkan seseorang mendustakan kebenaran (kadzdzabā bil-ḥusnā). Ini menciptakan siklus negatif: penolakan hati memicu kikir, dan kikir semakin memantapkan penolakan hati.

Harta yang dikumpulkan dengan kebakhilan disebut tidak akan bermanfaat idzā taraddā (ketika ia jatuh). Ini adalah pernyataan tegas bahwa pada hari akhir, tidak ada kekuatan lobi, kekuasaan, atau kekayaan yang dapat membeli keselamatan. Hanya amal yang diwarnai takwa dan keikhlasan yang akan menjadi mata uang yang diterima. Peringatan tentang nāran taladhdhā (api yang menyala-nyala) bagi Al-Asyqā berfungsi untuk mengarahkan kembali fokus manusia dari kekayaan fana menuju investasi spiritual abadi.

Sebagian mufasir menekankan bahwa sifat istaghna (merasa cukup) merupakan penghalang terbesar bagi hidayah. Seseorang yang merasa sudah lengkap, sudah tahu, dan tidak butuh petunjuk agama akan menolak bimbingan Ilahi. Allah, sesuai janji-Nya, akan memudahkannya ke jalan kesulitan, karena ia telah secara proaktif memilih jalan tersebut dengan kesombongan.

Kaitannya dengan Surah Sebelumnya dan Sesudahnya

Surat Al-Lail berada dalam serial surat-surat Makkiyah yang pendek di Juz Amma, yang semuanya memiliki benang merah: penekanan pada Tauhid, Hari Kiamat, dan moralitas dasar. Al-Lail sering kali dilihat sebagai pelengkap Surah Al-Fajr (Fajar) yang membahas kehancuran umat-umat terdahulu akibat kezaliman dan kecintaan terhadap harta, dan Surah Adh-Dhuha (Waktu Dhuha) yang memberikan penghiburan kepada Nabi Muhammad SAW mengenai janji akhirat yang lebih baik.

Dalam konteks ini, Al-Lail memberikan petunjuk praktis tentang bagaimana menjalani kehidupan dualitas ini: dengan memberi dan bertakwa. Surat ini juga sangat erat kaitannya dengan Surah Al-'Asr, yang menyatakan bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Al-Lail memberikan contoh konkret dari 'amal saleh' tersebut, yaitu kedermawanan yang didasari takwa.

Pelajaran Kehidupan Kontemporer

Meskipun diturunkan pada era Mekah, pesan Surat Al-Lail tetap relevan di zaman modern, terutama dalam masyarakat yang didominasi oleh kapitalisme dan materialisme. Ayat-ayat ini memberikan kritik mendalam terhadap mentalitas kikir dan akumulasi kekayaan tanpa tujuan spiritual (bakhila wastaghnā). Surat ini mengajarkan bahwa kekayaan seharusnya berfungsi sebagai jembatan menuju penyucian jiwa dan keridaan Allah, bukan sebagai tujuan akhir yang menyebabkan arogansi dan pengabaian terhadap hak-hak orang lain.

Bagi setiap Muslim, Al-Lail adalah panggilan untuk menguji niat dalam setiap pengeluaran. Apakah pemberian kita didasari oleh keinginan tulus untuk mencari wajah Allah (Ayat 20), ataukah hanya untuk memenuhi norma sosial dan menghindari kritik? Surat ini mengajarkan bahwa kemudahan sejati (Al-Yusrā) tidak didapatkan dari harta yang menumpuk, tetapi dari jiwa yang lapang dan tangan yang ringan dalam memberi.

Rangkuman Filosofi Balasan (Jazā')

Surat Al-Lail merangkum filosofi balasan Ilahi dengan adagium yang kuat: Balasan adalah dari jenis perbuatan itu sendiri (Al-Jazā’ min jinsi al-'Amal). Karena golongan pertama memilih jalan kedermawanan, Allah memudahkannya (yassiruhu lil-yusra). Karena golongan kedua memilih jalan kikir dan kesulitan, Allah memantapkan mereka pada kesulitan (yassiruhu lil-'usra).

Ini bukan berarti Allah menciptakan kesulitan bagi mereka yang ingin berbuat baik, melainkan bahwa ketika hati seseorang telah sepenuhnya condong pada keburukan (pendustaan dan kikir), Allah tidak akan memaksakan hidayah kepadanya. Hidayah (Al-Hudā) telah tersedia, dan pilihan di tangan manusia. Konsep ini menyeimbangkan antara keadilan Allah dan tanggung jawab moral manusia.

Surat Al-Lail berdiri sebagai salah satu pilar pengajaran moral dan teologis dalam Al-Qur'an, memberikan harapan yang besar bagi orang-orang yang berjuang di jalan takwa, sekaligus memberikan peringatan yang jelas bagi mereka yang memilih jalan kebakhilan dan kesombongan. Akhirnya, seluruh 21 ayat ini mengarahkan pandangan kita kembali kepada pemilik segala sesuatu, yaitu Allah SWT, yang memiliki dunia dan akhirat, dan yang menjanjikan kepuasan abadi bagi hamba-hamba-Nya yang paling bertakwa.

🏠 Homepage