Terjemahan Al-Qur'an: Menjembatani Kalam Ilahi dan Pemahaman Umat Manusia

I. Pendahuluan: Keniscayaan dan Kompleksitas Penerjemahan

Al-Qur'an, sebagai wahyu terakhir Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, merupakan sumber utama syariat dan petunjuk hidup bagi seluruh umat Islam. Keuniversalan pesan Al-Qur'an menuntut pesan tersebut dapat diakses dan dipahami oleh berbagai bangsa dan budaya yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Inilah yang melahirkan keniscayaan sejarah penerjemahan Al-Qur'an.

Penerjemahan teks suci ini, bagaimanapun, bukanlah proses linguistik biasa. Ia melibatkan transfer bukan hanya kata dan sintaksis, tetapi juga makna teologis, konteks historis, dan keindahan retorika yang dikenal sebagai *I'jaz al-Qur'an* (kemukjizatan Al-Qur'an). Oleh karena itu, penerjemahan Al-Qur'an selalu disertai dengan tingkat kehati-hatian teologis yang tinggi, membedakannya dari penerjemahan karya sastra atau ilmiah biasa.

Secara terminologi, perlu dibedakan antara tiga konsep utama: *Tafsir* (penjelasan mendalam mengenai makna), *Ta'wil* (penafsiran yang cenderung metaforis atau esoteris), dan *Tarjamah* (terjemahan, pemindahan makna dari satu bahasa ke bahasa lain). Terjemahan Al-Qur'an pada dasarnya merupakan produk dari *Tafsir*; mustahil menerjemahkan kata-kata Al-Qur'an tanpa terlebih dahulu menafsirkannya.

Konsekuensi Teologis Terhadap Teks Asli

Umat Islam memiliki konsensus bahwa status ketuhanan hanya melekat pada lafaz Al-Qur'an yang asli (Arab). Terjemahan, walau seakurat apa pun, hanyalah interpretasi manusia terhadap makna dan tidak pernah bisa menggantikan lafaz aslinya dalam konteks ibadah ritual, seperti salat. Kesadaran ini membentuk batasan fundamental dalam semua upaya penerjemahan, di mana hasil terjemahan harus selalu diperlakukan sebagai 'terjemahan makna' (*Tarjamah Ma'nawiyyah*) dan bukan 'Al-Qur'an itu sendiri'.

Simbol Transfer Bahasa Al-Qur'an ARAB GLOBAL Jembatan Makna (Tarjamah)

Alt Text: Simbolis transfer makna dari teks Arab ke bahasa global, diwakili oleh dua lingkaran yang dihubungkan oleh garis panah.

II. Tantangan Linguistik dan Retorika dalam Penerjemahan

Teks Al-Qur'an dikenal memiliki kedalaman linguistik yang tak tertandingi. Para penerjemah dihadapkan pada serangkaian tantangan yang sulit diatasi, bahkan oleh para ahli bahasa Arab sekalipun. Mengabaikan tantangan ini berpotensi menghasilkan terjemahan yang menyesatkan secara teologis atau dangkal secara makna.

1. Multisemantik dan Konteks (Polysemy dan Asbabun Nuzul)

Banyak kata kunci dalam Al-Qur'an memiliki spektrum makna yang luas (multisemantik). Misalnya, kata *Hidayah* tidak hanya berarti petunjuk, tetapi juga bisa merujuk pada bimbingan umum, rahmat, atau jalan yang benar. Kata *Dhalala* tidak selalu berarti kesesatan total, tetapi bisa berarti ‘kekeliruan’ atau ‘kehilangan arah sementara’ tergantung konteks ayat. Penerjemah harus memilih makna yang paling tepat berdasarkan: (a) konteks internal ayat tersebut; (b) konteks ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya (*Siyāq*); dan (c) sebab-sebab turunnya ayat (*Asbabun Nuzul*).

Tantangan ini menjadi akut ketika sebuah kata memiliki makna leksikal (kamus) dan makna terminologis (syar'i) yang berbeda, seperti kata *Salat* atau *Zakat*. Penerjemah harus memutuskan apakah akan menggunakan transliterasi atau mencoba mencari padanan makna yang hampir mustahil untuk ditemukan secara penuh dalam bahasa target.

2. I'jaz dan Balaghah (Retorika dan Kemukjizatan)

Aspek *I'jaz* (kemukjizatan) Al-Qur'an sering kali terletak pada susunan kata dan struktur kalimatnya (*Balaghah* atau retorika tinggi). Beberapa elemen retoris yang hilang total dalam terjemahan meliputi:

Karena hilangnya unsur retoris ini, terjemahan Al-Qur'an selalu disebut sebagai ‘terjemahan makna’ dan bukan ‘terjemahan teks’, mengakui adanya dimensi estetika dan keindahan yang tidak dapat dipindahkan.

3. Struktur Gramatikal dan Pronoun

Bahasa Arab Al-Qur'an sangat bergantung pada struktur tata bahasa (terutama *I'rab* atau harakat akhir kata) untuk menentukan fungsi subjek, objek, dan hubungan antara kata-kata. Selain itu, sistem kata ganti (pronoun) dalam bahasa Arab sangat spesifik, membedakan antara tunggal, ganda, dan jamak, serta maskulin dan feminin. Banyak bahasa modern, termasuk Bahasa Indonesia, tidak memiliki pembedaan ganda (*dual*) ini, memaksa penerjemah memilih ‘jamak’ atau menambahkan keterangan, yang menambah bobot kalimat dan mengurangi kelancaran teks.

Lebih jauh, ada fenomena *Al-Mujmal wa Al-Mubayyan* (Yang Ringkas dan Yang Dijelaskan). Al-Qur'an sering memberikan perintah secara ringkas (Mujmal) — misalnya, ‘Tegakkanlah salat’—tanpa menjelaskan detail tata cara (Mubayyan). Detail ini disediakan oleh sunnah dan hadis. Penerjemah harus berhati-hati agar tidak memasukkan detail sunnah ke dalam terjemahan teks Al-Qur'an itu sendiri, menjaga integritas batas antara Wahyu dan Penjelasan Nabi.

III. Sejarah Pergerakan Penerjemahan Al-Qur'an

Sejarah penerjemahan Al-Qur'an adalah kisah tentang bagaimana ajaran Islam berinteraksi dengan dunia luar, sebuah sejarah yang panjang dan berliku, dimulai sejak masa-masa awal penyebaran Islam.

1. Periode Awal (Abad Ke-7 hingga Ke-10 M)

Pada awalnya, terdapat keengganan teologis yang kuat di kalangan ulama untuk menerjemahkan Al-Qur'an secara penuh. Mereka khawatir terjemahan akan disalahpahami sebagai Teks Ilahi yang setara dengan aslinya. Namun, kebutuhan umat non-Arab, terutama setelah penaklukan, mendesak munculnya upaya terjemahan parsial atau interlinear.

Salah satu kisah yang sering dikutip adalah Salman Al-Farisi, seorang sahabat Persia, yang konon menerjemahkan Surah Al-Fatihah ke dalam bahasa Persia atas permintaan komunitas Persia yang baru memeluk Islam, agar mereka bisa melaksanakan salat. Upaya ini bersifat fungsional dan terpaksa.

Terjemahan penuh pertama yang terdokumentasi secara substansial diyakini adalah terjemahan ke dalam bahasa Persia, kemungkinan oleh ulama dari Khurasan pada abad ke-9 atau ke-10 M. Terjemahan ini seringkali berupa teks interlinear atau diakhiri dengan *Tafsir* singkat.

2. Abad Pertengahan: Barat dan Orientalis

Di Eropa, motivasi penerjemahan Al-Qur'an sangat berbeda. Terjemahan pertama ke dalam bahasa Latin dilakukan oleh Robertus Ketenensis pada tahun 1143 M atas permintaan Peter the Venerable. Terjemahan ini, yang dikenal sebagai *Lex Mahumet pseudoprophetae*, memiliki tujuan apologetis dan polemis—yakni, untuk memahami dan kemudian membantah Islam. Terjemahan Latin ini menjadi sumber utama bagi semua terjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa-bahasa Eropa selama beberapa abad.

Terjemahan-terjemahan awal ini sering kali tidak akurat dan bias. Namun, ia menandai titik penting di mana Al-Qur'an mulai dipelajari (atau diserang) oleh para sarjana non-Muslim, meletakkan dasar bagi studi Orientalisme di kemudian hari.

3. Era Modern dan Kebangkitan Muslim (Abad Ke-19 dan Ke-20)

Abad ke-19 melihat gelombang baru penerjemahan yang didorong oleh tiga faktor: bangkitnya gerakan Da'wah, meningkatnya kolonialisme Eropa, dan munculnya pers/media cetak modern.

4. Perkembangan Terjemahan di Nusantara

Di Indonesia (Nusantara), penerjemahan awalnya dilakukan melalui sistem *pegon* atau terjemahan interlinear yang sangat harfiah. Salah satu yang paling awal adalah terjemahan dari Abdul Rauf Singkel (abad ke-17). Dalam konteks modern, tonggak sejarah penting adalah:

  1. Terjemahan Lintas Bahasa: Banyak ulama awal di Nusantara menggunakan terjemahan Urdu atau Arab-Melayu sebelum beralih ke terjemahan langsung ke dalam Bahasa Indonesia modern.
  2. Terjemahan Resmi Pemerintah (Kemenag): Upaya sistematis dimulai pada tahun 1960-an oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Proyek ini memiliki dampak kultural dan pendidikan yang masif, karena dicetak dan didistribusikan secara luas, sering kali menjadi terjemahan standar di masjid dan sekolah.
  3. Terjemahan Individual/Institusi: Munculnya karya-karya tafsir dan terjemahan oleh tokoh-tokoh besar seperti Hamka (Tafsir Al-Azhar) dan kemudian Quraish Shihab (Tafsir Al-Misbah), yang menyediakan terjemahan yang lebih kaya konteks dan nuansa bahasa Indonesia yang lebih baik.

Terjemahan Kemenag, yang telah direvisi berkali-kali (1989, 2002, 2019), mencerminkan upaya kolektif untuk terus memperbaiki keakurasian linguistik dan memastikan terjemahan tersebut relevan dengan perkembangan kontemporer Bahasa Indonesia.

Proses Tafsir dan Tarjamah ARAB TAFSIR BAHASA

Alt Text: Diagram yang menunjukkan transfer dari kitab berbahasa Arab melalui proses tafsir (kaca pembesar) ke kitab berbahasa target.

IV. Pilihan Metodologi Penerjemahan: Harfiah vs. Ma'nawiyyah

Dalam ilmu penerjemahan, terutama teks suci, terdapat perdebatan klasik mengenai metode yang harus digunakan. Untuk Al-Qur'an, debat ini berkisar antara terjemahan harfiah (*literal*) dan terjemahan makna (*sense-for-sense* atau *Tafsiriyyah*).

1. Tarjamah Harfiyyah (Terjemahan Harfiah/Formal Equivalence)

Pendekatan ini berusaha mempertahankan sebanyak mungkin struktur kalimat, urutan kata, dan korespondensi leksikal dari bahasa sumber (Arab) ke bahasa target (Indonesia). Keunggulannya adalah menjaga fidelitas terhadap bentuk asli.

Namun, dalam konteks Al-Qur'an, terjemahan harfiah memiliki kekurangan fatal. Karena perbedaan mendasar dalam struktur sintaksis dan retorika antara bahasa Arab dan bahasa target, terjemahan harfiah sering kali menghasilkan kalimat yang canggung, tidak dapat dipahami, atau, yang lebih buruk, secara tidak sengaja mengubah makna teologis. Misalnya, jika diterjemahkan secara harfiah, idiom Arab mungkin kehilangan sama sekali maksud aslinya dalam Bahasa Indonesia.

2. Tarjamah Ma'nawiyyah (Terjemahan Makna/Dynamic Equivalence)

Pendekatan ini, yang didukung mayoritas ulama kontemporer, berfokus pada penyampaian makna pesan asli dengan cara yang paling alami dan mudah dipahami dalam bahasa target. Tujuannya adalah memastikan bahwa pembaca target memahami maksud ayat sebagaimana dipahami oleh pembaca Arab awal, meskipun struktur kalimat harus diubah secara radikal.

Terjemahan makna inilah yang sering disebut sebagai *terjemahan tafsiriyah* (terjemahan yang didasarkan pada tafsir). Penerjemah tidak hanya mengalihkan kata, tetapi juga hasil interpretasi ulama. Terjemahan Kemenag di Indonesia, misalnya, secara eksplisit menggunakan pendekatan tafsiriyah, yang dicirikan dengan penggunaan tanda kurung atau catatan kaki untuk menjelaskan kata-kata yang maknanya luas.

Kesimpulan metodologi adalah: Terjemahan Al-Qur'an harus selalu berupa kombinasi yang seimbang, di mana fidelitas pada makna teologis (Ma'nawiyyah) harus didahulukan, sementara struktur teks asli (Harfiyyah) dipertahankan sejauh tidak mengorbankan kejelasan dan akurasi teologis.

3. Peran Tafsir dalam Proses Penerjemahan

Penerjemahan Al-Qur'an secara de facto adalah penafsiran yang diekspresikan dalam bahasa lain. Tidak ada terjemahan yang benar-benar netral. Setiap penerjemah harus membuat pilihan interpretatif, yang dipengaruhi oleh mazhab teologis, madzhab fikih, dan latar belakang budayanya. Sebagai contoh:

Oleh karena itu, penerjemah harus konsisten menggunakan satu sumber tafsir atau setidaknya menjelaskan landasan interpretatif mereka. Hal ini mendasari mengapa terjemahan resmi seperti yang dikeluarkan oleh pemerintah seringkali melibatkan tim ulama yang mewakili spektrum pandangan utama dalam Islam.

4. Kriteria Evaluasi Kualitas Terjemahan

Untuk menilai seberapa baik sebuah terjemahan, para ahli menetapkan beberapa kriteria utama:

  1. Akurasi Teologis (Fidelity): Apakah terjemahan tersebut secara tepat merefleksikan doktrin Islam yang diterima, atau apakah ia memasukkan bias atau penafsiran yang menyimpang?
  2. Keterbacaan (Readability) dan Kelancaran: Apakah terjemahan mengalir secara alami dalam bahasa target, atau terasa kaku dan dipaksakan? Untuk konteks Indonesia, apakah ia menggunakan ejaan dan tata bahasa yang baku?
  3. Kesesuaian Konteks: Apakah penerjemah berhasil merefleksikan konteks historis ayat (*Asbabun Nuzul*) atau makna metaforis tanpa menjadi terlalu literal?
  4. Konsistensi Terminologis: Apakah istilah-istilah kunci (misalnya, *kafir*, *munafik*, *taqwa*) diterjemahkan secara konsisten di seluruh teks, atau apakah maknanya berubah-ubah tanpa alasan yang jelas?

Kualitas terjemahan yang ideal adalah yang mencapai keseimbangan optimal antara akurasi makna (Fidelity) dan kemudahan pemahaman (Accessibility) bagi pembaca awam, sekaligus mempertahankan kehormatan dan keindahan pesan Ilahi.

V. Dinamika Penerjemahan Al-Qur'an di Indonesia

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah terjemahan yang kaya. Terjemahan di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai alat studi, tetapi juga sebagai alat dakwah dan pemersatu bangsa, mengingat keragaman dialek dan bahasa daerah.

1. Terjemahan Standar Kementerian Agama (Kemenag)

Terjemahan Al-Qur'an Standar (TAS) yang diterbitkan oleh Kemenag adalah produk kolektif yang mencerminkan pandangan mayoritas ulama Indonesia. Proyek ini dimulai sebagai upaya nasional untuk menyediakan teks suci yang dapat diakses, seragam, dan bebas dari interpretasi ekstrem.

TAS Kemenag melalui proses yang ketat, melibatkan tim ahli tafsir, ahli bahasa Arab, dan ahli Bahasa Indonesia. Setiap revisi (seperti revisi tahun 2019) bertujuan untuk mengatasi isu-isu kontemporer dan meningkatkan kualitas Bahasa Indonesia, termasuk penggunaan istilah yang lebih kontekstual dan netral gender jika memungkinkan, tanpa mengubah makna dasar syar’i.

Karakteristik utama TAS Kemenag adalah bahwa ia bersifat *Tafsiriyyah* yang sangat jelas. Setiap terjemahan dilengkapi dengan penjelasan singkat di dalam tanda kurung, memastikan pembaca memahami konteks yang diperlukan. Tujuannya adalah membatasi ruang kesalahpahaman bagi pembaca awam.

2. Perbandingan dengan Karya Tafsir Individual

Di samping terjemahan resmi, karya-karya tafsir individual memberikan nuansa yang lebih mendalam dan spesifik. Dua contoh utama adalah:

Perbedaan antara terjemahan resmi (yang cenderung konservatif dan kolektif) dan tafsir individual (yang lebih personal dan kontekstual) memberikan kekayaan interpretatif bagi Muslim Indonesia, memungkinkan mereka memilih sumber yang paling sesuai dengan kebutuhan studi mereka.

3. Tantangan Bahasa Indonesia dan Kontinuitas Revisi

Bahasa Indonesia terus berkembang. Kata-kata yang baku pada tahun 1960-an mungkin terasa kuno atau bahkan berubah maknanya pada tahun ini. Ini menuntut Kemenag untuk melakukan revisi berkala. Tantangan utama meliputi:

  1. Padanan Kata Sifat: Mencari padanan untuk sifat-sifat Allah yang tidak memiliki terjemahan harfiah yang memadai (misalnya, *Al-Quddus*).
  2. Isu Gender: Menghadapi kritikan kontemporer mengenai bagaimana terjemahan merepresentasikan ayat-ayat tentang peran perempuan dan laki-laki. Penerjemah harus memilih kata yang netral namun tidak menyimpang dari maksud syar'i.
  3. Kata Pinjaman: Menentukan kapan harus menggunakan kata serapan (misalnya, ‘syahid’) dan kapan harus menggunakan padanan bahasa Indonesia (misalnya, ‘saksi’ atau ‘gugur’).

Proses revisi yang berkesinambungan ini menegaskan bahwa terjemahan adalah upaya yang hidup dan terus menerus, tidak pernah mencapai finalitas karena ia terikat pada bahasa manusia yang selalu berubah.

VI. Isu-Isu Kontemporer dan Masa Depan Penerjemahan

Era digital dan globalisasi membawa tantangan baru bagi penerjemahan Al-Qur'an, memaksa para ahli untuk beradaptasi dengan teknologi baru dan sensitivitas sosial yang meningkat.

1. Terjemahan Digital dan Otomatis (Machine Translation)

Munculnya aplikasi dan situs web yang menawarkan terjemahan instan (seperti Google Translate) menghadirkan bahaya serius. Karena Al-Qur'an sangat bergantung pada konteks (*siyāq*), struktur harfiah, dan penafsiran ulama, terjemahan mesin seringkali gagal total dalam menangkap nuansa ini.

Sebagai contoh, mesin mungkin menerjemahkan kata *fitnah* sebagai 'gosip' atau 'tuduhan', padahal dalam konteks tertentu (misalnya, Al-Anfal: 25), ia bermakna 'ujian', 'cobaan', atau bahkan 'permusuhan'. Keterbatasan ini mengharuskan para pengembang aplikasi Al-Qur'an untuk selalu menggunakan terjemahan yang telah diverifikasi oleh ulama, bukan mengandalkan algoritma. Meskipun demikian, teknologi membantu dalam hal aksesibilitas, memungkinkan pencarian kata kunci dan perbandingan terjemahan secara instan.

2. Isu Sensitivitas Ayat dan Kontekstualisasi

Di era di mana Islam sering menjadi sorotan global, terjemahan ayat-ayat tertentu, terutama yang berkaitan dengan peperangan, hubungan antaragama, dan hukuman, menjadi sangat sensitif. Terjemahan yang buruk atau literal tanpa konteks dapat disalahgunakan untuk membenarkan tindakan ekstremis atau memperburuk kesalahpahaman antarumat beragama.

Para penerjemah kontemporer semakin menyadari perlunya kontekstualisasi yang eksplisit. Ketika menerjemahkan ayat-ayat Jihad, misalnya, mereka harus memastikan bahwa terjemahan tersebut mencerminkan konsensus ulama yang membedakan antara Jihad sebagai perjuangan internal dan Jihad sebagai peperangan yang diatur oleh hukum syariah yang ketat dan terbatas.

Tuntutan akan kejelasan dan konteks ini telah melahirkan tren baru: terjemahan yang didampingi oleh penjelasan kontekstual yang sangat singkat, yang bertujuan bukan untuk menjadi tafsir penuh, tetapi untuk mencegah pembaca awam salah menafsirkan niat asli ayat tersebut.

3. Penerjemahan dalam Bahasa Minoritas

Upaya penerjemahan terus diperluas ke bahasa-bahasa minoritas dan bahasa suku di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (misalnya, bahasa Jawa, Sunda, Batak). Tujuan ini adalah untuk mendekatkan pesan Al-Qur'an kepada komunitas lokal yang mungkin kesulitan memahami bahasa Indonesia baku. Proyek-proyek ini menghadapi tantangan unik dalam mencari padanan istilah teologis yang mungkin tidak ada dalam kosakata lokal, seringkali harus meminjam istilah Arab atau menciptakan neologisme yang diterima oleh komunitas tersebut.

4. Masa Depan Terjemahan dan Tafsir Tematik

Ke depan, penerjemahan Al-Qur'an kemungkinan akan bergerak semakin jauh dari format terjemahan ayat per ayat. Kita melihat peningkatan pada proyek-proyek yang dikenal sebagai Tafsir Tematik (*Tafsir Mawdhu'i*). Dalam konteks ini, penerjemah tidak hanya fokus pada satu ayat, tetapi mengumpulkan semua ayat yang berbicara tentang satu topik (misalnya, lingkungan, etika bisnis, hak anak) dan kemudian menyajikan terjemahan maknanya secara terpadu.

Pendekatan tematik ini sangat bermanfaat dalam dunia modern, di mana orang mencari jawaban atas isu-isu kontemporer yang melampaui batas-batas surah atau juz. Ini adalah evolusi alami dari terjemahan, yang mengakui bahwa makna terbesar Al-Qur'an terungkap melalui hubungan antarayatnya, bukan hanya ayat secara individu.

Untuk menyimpulkan, terjemahan Al-Qur'an adalah disiplin ilmu yang suci dan kompleks. Ia adalah upaya abadi untuk merealisasikan pesan universal Islam di tengah keragaman linguistik dan budaya. Setiap terjemahan adalah hasil kerja keras linguistik dan kehati-hatian teologis, sebuah jembatan yang menghubungkan Kalam Ilahi yang kekal dengan pemahaman manusia yang temporal dan terbatas. Upaya ini akan terus berlanjut, seiring dengan evolusi bahasa dan peningkatan kebutuhan umat manusia akan petunjuk yang jelas.

VII. Aspek Linguistik Arab Klasik yang Sulit Ditransfer

Untuk memahami kompleksitas penerjemahan, kita harus menyelami beberapa fitur khas Bahasa Arab Al-Qur'an yang hampir mustahil diterjemahkan tanpa penjelasan panjang lebar. Fitur-fitur ini adalah kunci untuk memahami mengapa terjemahan harfiah selalu gagal.

1. Sistem Akar Tiga Huruf (Jidhr)

Bahasa Arab didasarkan pada sistem akar tiga konsonan (*Jidhr*). Dari satu akar (misalnya, K-T-B), dapat dibentuk puluhan kata dengan makna terkait: *kitāb* (buku), *kātib* (penulis), *maktab* (kantor/meja), *yaktubu* (dia menulis), *kutub* (jamak buku), dan sebagainya. Al-Qur'an memanfaatkan sistem akar ini untuk menciptakan jalinan makna yang padat dan saling terkait.

Ketika menerjemahkan, makna-makna yang berakar dari satu sumber linguistik ini terpisah dan diterjemahkan menjadi kata-kata yang sama sekali berbeda dalam bahasa target. Misalnya, terjemahan dari akar *Q-W-L* (berkata) mungkin menghasilkan 'berkata', 'ucapan', 'janji', 'doktrin', tergantung konteksnya, dan pembaca non-Arab kehilangan koneksi leksikal antara kata-kata tersebut. Koneksi ini sangat penting dalam memahami koherensi naratif dan tematik dalam Al-Qur'an.

2. Preposisi dan Fleksibilitas Makna

Dalam bahasa Arab, preposisi (*huruf jar*) sangat vital dan sering kali mengubah makna verbanya secara drastis. Sebuah kata kerja dasar yang dikombinasikan dengan preposisi yang berbeda dapat memiliki arti yang sama sekali baru, jauh dari makna literalnya. Contohnya, verba *rafa’a* (mengangkat). Jika diikuti preposisi *ilā*, bisa berarti mengangkat benda ke atas. Namun, jika diikuti preposisi lain dalam konteks tertentu, maknanya bisa berubah menjadi 'meninggikan derajat' atau 'menghilangkan hambatan'.

Penerjemah harus mengidentifikasi nuansa preposisional ini, yang sering kali tidak dapat dipertahankan dalam bahasa Indonesia tanpa menjadi verbose. Jika penerjemah mengabaikan perubahan makna yang disebabkan oleh preposisi, terjemahan akan menjadi hambar dan tidak akurat. Kompleksitas ini menunjukkan bahwa penerjemah harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang *Nahw* (gramatika) dan *Sarf* (morfologi) Arab, melebihi sekadar mengetahui arti kamus.

3. Sumpah dan Penekanan Retoris (*Qasam*)

Al-Qur'an sering menggunakan sumpah (*Qasam*) sebagai alat retoris yang kuat untuk menarik perhatian dan menekankan kebenaran pernyataan yang akan disampaikan. Sumpah biasanya dimulai dengan huruf *waw* (wa) yang berfungsi sebagai preposisi 'demi', diikuti oleh objek sumpah, seperti ‘Demi waktu Dhuha’ (*Waḍ-ḍuḥā*). Objek sumpah ini sering kali adalah fenomena alam (bintang, malam, fajar) yang menyoroti tanda-tanda kebesaran Allah.

Dalam terjemahan, mempertahankan struktur sumpah ini (misalnya, 'Demi Matahari') kadang-kadang terasa asing atau terlalu puitis bagi pembaca modern non-Arab, yang terbiasa dengan bahasa yang lebih lugas. Namun, menghapus sumpah tersebut akan menghilangkan intensitas retorisnya. Penerjemah harus berjuang untuk mempertahankan penekanan emosional tersebut sambil menjaga kejelasan.

VIII. Kontroversi Teologis dan Terjemahan

Proses penerjemahan tidak pernah bebas dari kontroversi, terutama ketika menyentuh isu-isu doktrinal yang sensitif dalam sejarah Islam.

1. Isu Kekekalan Al-Qur'an (*Khalqul Qur'an*)

Meskipun kontroversi mengenai apakah Al-Qur'an itu kekal (*Qadim*) atau diciptakan (*Makhluq*) sebagian besar berakhir di abad pertengahan, dampaknya tetap terasa dalam penerjemahan. Jika terjemahan dianggap setara dengan aslinya, hal itu akan melanggar konsensus Sunni bahwa hanya lafaz Arab yang memiliki status kekal (Kalamullah). Oleh karena itu, penerjemahan yang terlalu percaya diri dalam mengklaim telah menangkap 'esensi' ilahi sering dicurigai.

Kontroversi ini menegaskan kembali mengapa para penerjemah harus selalu menyertakan disclaimer yang menyatakan bahwa terjemahan hanyalah upaya manusiawi untuk mendekati makna, dan bahwa hanya teks Arab asli yang harus dijadikan rujukan primer.

2. Terjemahan Ayat-Ayat Eschatological (Hari Akhir)

Ayat-ayat yang menggambarkan Surga dan Neraka sering kali menggunakan bahasa yang sangat metaforis dan hiperbolis. Tantangannya adalah menentukan seberapa literal terjemahan harus disampaikan.

Misalnya, penggambaran kenikmatan Surga. Terjemahan yang terlalu harfiah (seperti buah-buahan atau sungai) mungkin gagal menyampaikan makna spiritual dan kesempurnaan yang dimaksudkan. Di sisi lain, terjemahan yang terlalu diinterpretasikan (seperti 'kebahagiaan abadi' alih-alih 'sungai madu') mungkin dianggap mereduksi wahyu. Ulama modern cenderung memilih terjemahan yang literal, tetapi dengan catatan kaki yang menjelaskan bahwa sifat kenikmatan tersebut melampaui pemahaman duniawi.

3. Terjemahan Istilah *Kafir* dan *Jihad*

Dalam ranah hubungan antaragama, penerjemahan istilah *Kafir* (secara harfiah ‘orang yang menutup kebenaran’) adalah sumber perdebatan. Dalam beberapa terjemahan lama, ia diterjemahkan secara langsung sebagai ‘orang kafir’ atau ‘infidel’ (tidak beriman), yang dapat membawa konotasi pejoratif dan permusuhan yang tidak selalu dimaksudkan dalam konteks ayat tertentu.

Penerjemah modern sering memilih frasa yang lebih netral atau deskriptif, seperti ‘orang-orang yang mengingkari kebenaran’ atau ‘orang yang menutup diri dari iman’, untuk menekankan bahwa istilah tersebut adalah deskripsi teologis status seseorang di hadapan Allah, bukan label sosial yang mendorong pengucilan.

Begitu pula dengan *Jihad*. Terjemahan yang hanya mencantumkan ‘perang suci’ adalah kesalahan interpretatif yang serius. Terjemahan yang akurat harus mencerminkan makna yang lebih luas dari 'perjuangan keras' (termasuk perjuangan spiritual, moral, dan sosial), serta menempatkan konteks 'pertempuran bersenjata' dalam batas-batas yang ditentukan oleh fikih.

IX. Penerjemahan Komparatif dan Studi Lintas Bahasa

Masa depan studi Al-Qur'an memerlukan pendekatan komparatif, di mana terjemahan tidak dilihat dalam isolasi, tetapi dibandingkan di berbagai bahasa untuk mengungkap nuansa interpretatif yang berbeda.

1. Membandingkan Terjemahan Bahasa Indonesia dan Inggris

Membandingkan terjemahan Indonesia (misalnya Kemenag) dengan terjemahan Inggris (misalnya Yusuf Ali atau Sahih International) dapat mengungkapkan perbedaan dalam preferensi teologis atau budaya:

Perbedaan ini menunjukkan bahwa penerjemahan adalah adaptasi budaya. Terjemahan Indonesia harus bernegosiasi dengan Bahasa Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Melayu, sementara terjemahan Inggris harus bersaing dengan tradisi Kristen dan filosofis Barat.

2. Integrasi Multimedia dan Teks Suci

Di masa depan, terjemahan Al-Qur'an tidak lagi hanya berupa buku cetak. Integrasi multimedia (audio resitasi, video penjelasan, interaktifitas) menjadi norma. Aplikasi modern memungkinkan pengguna untuk mendengar ayat Arab, membaca terjemahan, dan segera mengakses tafsir atau *asbabun nuzul* hanya dengan satu sentuhan.

Tantangan yang muncul adalah memastikan sinkronisasi antara resitasi audio dan terjemahan tertulis. Karena struktur kalimat Arab dan Indonesia berbeda, terjemahan seringkali lebih panjang atau lebih pendek dari durasi pembacaan, yang bisa mengganggu pengalaman belajar, terutama bagi mereka yang mencoba mengikuti arti sambil mendengarkan.

3. Peran Ulama Linguistik Kontemporer

Proyek terjemahan di masa depan menuntut kerjasama yang erat antara dua jenis ulama: *Ulama Syar’i* (ahli hukum dan teologi Islam) dan *Ulama Linguistik* (ahli bahasa Arab klasik dan bahasa target). Seringkali, kegagalan terjemahan terjadi karena salah satu pihak mendominasi. Jika ahli Syar’i dominan, terjemahan mungkin akurat secara teologis tetapi buruk secara linguistik. Jika ahli bahasa dominan, terjemahan mungkin mengalir tetapi dangkal secara doktrinal.

Oleh karena itu, institusi seperti Pusat Kajian Al-Qur'an (Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Kemenag) harus terus menjadi wadah multidisiplin, memastikan bahwa setiap revisi dan proyek baru memiliki legitimasi syar’i dan kualitas bahasa yang tinggi.

Intinya, terjemahan Al-Qur'an adalah refleksi dari vitalitas intelektual umat Islam. Selama umat masih mencari pemahaman yang lebih dalam tentang kalam Ilahi, selama itu pula upaya penerjemahan dan penafsiran akan terus diperbarui dan diperbaiki, melayani setiap generasi dengan bahasa yang paling relevan dan kontekstual bagi mereka.

X. Penutup

Penerjemahan Al-Qur'an adalah cerminan dari semangat Islam yang universal dan inklusif. Proses ini, yang sarat dengan tantangan linguistik dan kehati-hatian teologis, memastikan bahwa petunjuk ilahi tidak terbatas hanya pada penutur bahasa Arab, tetapi dapat dijangkau oleh setiap jiwa yang mencari kebenaran, di mana pun mereka berada.

Upaya yang telah berlangsung selama lebih dari seribu tahun ini adalah bukti nyata dari komitmen umat Islam untuk melestarikan dan menyebarkan pesan keadilan, rahmat, dan kedamaian yang terkandung dalam Kitab Suci mereka.

🏠 Homepage