Surat At Tin, surat ke-95 dalam Al-Qur'an, adalah permata yang sarat makna. Dengan hanya empat ayat, surat ini telah menjadi sumber inspirasi dan perenungan mendalam bagi umat Islam. Salah satu ayat yang paling sering menjadi fokus kajian adalah ayat ketiga, yang berbunyi:
"Demi (negeri) tempat tinggal Ibrahim."
Dalam terjemahan ini, kita akan membahas secara mendalam mengenai makna ayat ketiga dari Surat At Tin, yang merujuk pada "negeri tempat tinggal Ibrahim." Ayat ini seringkali diartikan merujuk kepada Mekkah Al-Mukarramah, tempat di mana Nabi Ibrahim 'alaihissalam, bapak para nabi, dilahirkan dan memiliki peran sentral dalam pembangunan Ka'bah. Namun, penafsiran lebih luas juga mencakup arti sumpah Allah SWT kepada negeri-negeri yang disucikan dan diberkahi, yang memiliki signifikansi historis dan spiritual yang luar biasa bagi peradaban manusia.
Surat At Tin dibuka dengan sumpah Allah SWT terhadap dua buah yang sangat dikenal, yaitu buah tin dan buah zaitun. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna spesifik dari buah tin dan zaitun. Ada yang berpendapat bahwa keduanya adalah buah-buahan yang secara harfiah dikenal. Pendapat lain mengartikan tin dan zaitun sebagai representasi dari dua nabi besar, yaitu Nabi Nuh dan Nabi Musa, atau bahkan dua tempat suci yang penting, yaitu Syam (yang kaya akan zaitun) dan Hijaz (yang tumbuh tin).
Setelah sumpah dengan tin dan zaitun, Allah SWT melanjutkan dengan sumpah "Wa at-Tour" (dan demi bukit Thursina), yang merujuk pada gunung tempat Nabi Musa 'alaihissalam menerima wahyu. Kemudian, Allah SWT bersumpah dengan "Wa haadzal baladil amin" (dan demi negeri yang aman ini). Ayat inilah yang menarik perhatian kita, yaitu ayat ketiga yang kami terjemahkan sebagai "Demi (negeri) tempat tinggal Ibrahim." Terdapat perbedaan penafsiran mengenai "baladil amin" ini. Mayoritas menafsirkannya sebagai kota Mekkah Al-Mukarramah, tempat Nabi Ibrahim mendirikan Ka'bah dan di mana beliau berdiam serta berdakwah. Ada pula yang menafsirkannya secara umum sebagai setiap negeri yang aman dan terjamin keamanannya oleh Allah SWT.
Mengapa Allah SWT bersumpah dengan negeri tempat tinggal Nabi Ibrahim? Hal ini menunjukkan betapa agungnya tempat tersebut dan betapa pentingnya peran Nabi Ibrahim di dalamnya. Mekkah Al-Mukarramah, sebagai tempat Nabi Ibrahim berjuang dalam ketaatan kepada Allah SWT, membangun Ka'bah yang menjadi kiblat umat Islam, dan mendidik keluarganya dalam tauhid, memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Sumpah ini menegaskan kebesaran sejarah dan spiritualitas yang terkandung di dalamnya.
Lebih dari sekadar lokasi geografis, sumpah ini juga menyiratkan janji Allah SWT untuk menjaga dan memberkahi tempat-tempat yang memiliki kaitan erat dengan perjuangan para nabi dalam menegakkan kebenaran. Ini adalah pengingat bagi kita bahwa sejarah keagamaan kita kaya akan kisah-kisah luar biasa yang menjadi pondasi keyakinan kita saat ini. Keamanan dan kedamaian yang dirasakan di negeri-negeri tersebut bukanlah kebetulan, melainkan anugerah dan penjagaan ilahi.
Setelah bersumpah dengan berbagai hal yang memiliki nilai agung, Allah SWT kemudian berfirman dalam ayat keempat: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS At Tin: 4). Kaitan antara ayat ketiga dan keempat ini sangatlah kuat. Sumpah-sumpah tersebut menjadi penegasan betapa agungnya ciptaan Allah, yaitu manusia, yang diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna.
Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik bukan hanya secara fisik, tetapi juga memiliki potensi akal, spiritualitas, dan kehendak bebas. Allah membekali manusia dengan kemampuan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, antara ketaatan dan kedurhakan. Bentuk terbaik ini juga bermakna bahwa manusia memiliki kapasitas untuk mencapai derajat kesempurnaan spiritual yang tinggi melalui ketaatan kepada Allah, sebagaimana yang dicontohkan oleh para nabi dan rasul, termasuk Nabi Ibrahim.
Perenungan terhadap terjemahan Surat At Tin ayat 3 mengingatkan kita untuk selalu menghargai sejarah perjuangan para nabi, menjaga kesucian tempat-tempat yang memiliki nilai spiritual, dan yang terpenting, menyadari betapa berharganya diri kita sebagai manusia yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Ini adalah panggilan untuk memanfaatkan potensi yang diberikan Allah untuk berbuat baik, menegakkan kebenaran, dan senantiasa kembali kepada-Nya dengan penuh kerendahan hati.