Surat At Tin, surat ke-95 dalam Al-Qur'an, dibuka dengan sumpah Allah SWT atas dua buah yang memiliki nilai simbolis tinggi: buah tin dan zaitun. Ayat-ayat awal surat ini sarat akan makna dan menjadi landasan penting dalam memahami penciptaan manusia serta takdirnya. Salah satu ayat yang paling menonjol dan sering menjadi bahan perenungan adalah ayat ketiga.
Dalam tradisi Arab dan kajian Al-Qur'an, sumpah yang digunakan Allah SWT dalam firman-Nya bukanlah sumpah kosong. Sumpah tersebut selalu mengandung hikmah dan penekanan pada sesuatu yang memiliki kedudukan penting. Buah tin dan zaitun dipilih sebagai objek sumpah. Buah tin dikenal sebagai buah yang lezat, kaya nutrisi, dan memiliki khasiat penyembuhan. Sementara zaitun, selain menjadi sumber minyak yang bermanfaat, juga dikenal sebagai simbol kemakmuran, keberkahan, dan usia panjang. Keduanya seringkali tumbuh subur di daerah yang diberkahi, seperti di sekitar Syam (Palestina, Suriah, Yordania, Libanon) yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban dan kenabian.
Para ulama tafsir memberikan berbagai perspektif mengenai mengapa kedua buah ini dipilih. Ada yang berpendapat bahwa keduanya adalah buah dari surga, sebagai pengingat akan nikmat Allah di dunia dan akhirat. Ada pula yang melihatnya sebagai representasi dari tanah tempat para nabi banyak diutus, termasuk Nabi Isa AS yang diutus di negeri Syam, di mana kedua buah ini banyak tumbuh. Penggunaan kata "wa" (dan) menunjukkan adanya keterkaitan erat antara sumpah demi tin, demi zaitun, dan ayat-ayat selanjutnya yang akan membahas esensi penciptaan manusia.
Setelah bersumpah dengan buah tin dan zaitun, Allah SWT melanjutkan firman-Nya pada ayat keempat, yang berbunyi:
Ayat ketiga yang kita bahas menjadi jembatan penting menuju ayat keempat ini. Sumpah demi tin dan zaitun secara implisit menegaskan keseriusan dan kebenaran pernyataan mengenai penciptaan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Bentuk "sebaik-baiknya" ini mencakup berbagai aspek. Pertama, adalah bentuk fisik yang proporsional, memiliki akal, hati, indera yang lengkap, serta kemampuan bergerak dan berinteraksi dengan lingkungannya. Bentuk fisik ini adalah anugerah luar biasa yang membedakan manusia dari makhluk lain.
Kedua, aspek batiniah. Penciptaan dalam bentuk terbaik juga merujuk pada potensi akal dan fitrah manusia yang suci, kemampuan untuk berpikir, belajar, berinovasi, serta merasakan cinta, kasih sayang, dan keadilan. Manusia diberikan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk. Potensi ini adalah bekal berharga yang jika dikelola dengan baik, akan membawa manusia menuju kebaikan dan kemuliaan.
Namun, kesempurnaan penciptaan ini bukanlah jaminan mutlak bagi kebahagiaan abadi jika tidak dibarengi dengan kesadaran dan pilihan yang tepat. Surat At Tin kemudian melanjutkan pada ayat kelima, "kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya," jika manusia tidak mensyukuri nikmat penciptaan tersebut dan menyalahgunakannya, misalnya dengan mengingkari Tuhan, berbuat kezaliman, dan menuruti hawa nafsu yang destruktif. Ini menunjukkan adanya dualisme dalam potensi manusia; ia bisa mencapai derajat kemuliaan tertinggi atau jatuh ke dalam kehinaan terendah.
Oleh karena itu, ayat ketiga surat At Tin, bersama dengan ayat-ayat setelahnya, menjadi pengingat yang kuat bagi umat manusia. Sumpah Allah SWT atas buah tin dan zaitun adalah penegasan akan keseriusan-Nya dalam menyampaikan pesan penciptaan manusia yang mulia. Tugas kita sebagai manusia adalah menjaga amanah penciptaan ini dengan sebaik-baiknya, menggunakan akal dan hati untuk beribadah kepada-Nya, berbuat baik kepada sesama, dan berusaha meraih derajat kemuliaan yang telah dianugerahkan kepada kita, agar tidak terjerumus ke dalam jurang kehinaan yang telah diperingatkan.