Surah Al-Fatihah, yang dikenal sebagai Ummul Kitab (Induk Kitab), adalah fondasi dari setiap rakaat shalat dan merupakan doa paling fundamental yang dipanjatkan seorang Muslim. Tujuh ayatnya merangkum seluruh esensi ajaran Al-Qur'an, mulai dari pujian kepada Allah, pengakuan tauhid, hingga permohonan hidayah. Puncak dari permohonan hidayah ini terletak pada tiga ayat terakhir, di mana umat memohon untuk dibimbing pada jalan yang lurus, seraya menjauhi dua kategori manusia: mereka yang dimurkai dan mereka yang tersesat.
Artikel ini didedikasikan untuk menyelami makna mendalam dari frasa penutup surah tersebut: وَلَا الضَّآلِّينَ (Walâ adh-Dhâllîn), yang berarti "dan bukan pula jalan mereka yang tersesat (atau pergi jauh dari kebenaran)." Frasa ini bukan sekadar penolakan, melainkan sebuah pernyataan teologis dan epistemologis yang kaya, memisahkan secara jelas antara jalan para penerima nikmat, jalan orang-orang yang dimurkai, dan jalan orang-orang yang tersesat. Pemahaman yang komprehensif mengenai kata ini memerlukan analisis linguistik yang cermat, tinjauan tafsir klasik yang beragam, dan implementasi teologis dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami sepenuhnya makna ayat ini, kita harus membedah setiap komponen kata dari perspektif bahasa Arab klasik (Nahwu dan Shorof). Kata Walâ adh-Dhâllîn terdiri dari tiga elemen utama yang masing-masing membawa beban makna yang signifikan:
Wawu (و) dalam konteks ini berfungsi sebagai Wawu Al-'Athf (huruf penghubung/konjungsi). Ia menghubungkan frasa ini dengan frasa sebelumnya, "Maghdhûbi 'Alaihim" (mereka yang dimurkai), yang keduanya merupakan objek penolakan yang diminta untuk dijauhi dari 'Sirâthal Mustaqîm'. Namun, peran Wawu di sini lebih dari sekadar penghubung; ia menegaskan bahwa kelompok adh-Dhâllîn adalah kategori yang berbeda dari kelompok Al-Maghdhûbi 'Alaihim. Doa tersebut meminta perlindungan dari dua jenis penyimpangan, bukan hanya satu.
Para ulama bahasa menekankan bahwa penggunaan Wawu 'Athf di sini menunjukkan inklusivitas penolakan. Seolah-olah umat Islam memohon, "Ya Allah, jauhkan kami dari jalan orang yang dimurkai, *dan juga* jauhkan kami dari jalan orang yang tersesat." Struktur ini memperkuat perlunya menjaga diri dari kedua bentuk kegagalan spiritual tersebut.
Partikel Lâ (لا) adalah Lâ an-Nâfiyah (partikel peniadaan/penolakan). Kehadiran partikel peniadaan ini setelah permohonan hidayah sangatlah vital. Dalam struktur bahasa Arab, ketika 'Lâ' diulang dalam sebuah penolakan (meskipun dalam ayat ini ia hanya muncul sekali, tetapi konteksnya mengikuti penolakan sebelumnya), ia berfungsi untuk memperkuat penegasan. Ia meniadakan kemungkinan mengikuti jalan orang yang tersesat.
Beberapa ahli balaghah (retorika) Al-Qur'an menyoroti keindahan penempatan 'Lâ' di sini. Jika frasa tersebut berbunyi tanpa 'Lâ', maka maknanya akan ambigu. Dengan adanya 'Lâ', penolakan terhadap 'adh-Dhâllîn' menjadi setara dengan penolakan terhadap 'Al-Maghdhûbi 'Alaihim', memastikan bahwa doa tersebut adalah permintaan untuk dibimbing ke jalan lurus yang mutlak bebas dari kedua penyimpangan tersebut.
Inti dari frasa ini terletak pada kata adh-Dhâllîn (الضَّآلِّينَ). Kata ini merupakan bentuk jamak (plural) dari Dhâll (ضالّ), yang merupakan Isim Faa'il (subjek yang melakukan tindakan) dari akar kata Dh-L-L (ضَلَلَ).
Ilustrasi tiga jalan utama yang dijelaskan dalam Surah Al-Fatihah. Jalan tengah adalah Sirathal Mustaqim, diapit oleh jalan orang yang dimurkai (penyimpangan karena kesombongan/ilmu tanpa amal) dan jalan orang yang tersesat (penyimpangan karena kebodohan/amal tanpa ilmu).
Penafsiran klasik mengenai identitas dua kelompok yang harus dihindari ini sangat konsisten di antara para mufassirin (ahli tafsir). Meskipun konteks umum mencakup semua orang yang menyimpang, identifikasi primernya merujuk pada dua kelompok besar dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagai contoh historis penyimpangan.
Imam At-Thabari (w. 310 H) dan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) mencatat bahwa mayoritas salaf dan khalaf menafsirkan kedua kelompok ini sebagai berikut:
Imam Al-Qurthubi menekankan bahwa identifikasi ini berfungsi sebagai contoh ekstrem, tetapi maknanya universal. Setiap Muslim yang jatuh ke dalam kategori beramal tanpa ilmu yang benar dapat dianggap termasuk dalam sifat-sifat adh-Dhâllîn, sama seperti setiap Muslim yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya memiliki sifat Al-Maghdhûbi 'Alaihim.
Perbedaan antara dua jenis penyimpangan ini adalah perbedaan epistemologis yang sangat penting dalam Islam. Keselamatan terletak pada keseimbangan antara ilmu dan amal.
Orang yang tersesat (Adh-Dhâllîn) adalah orang yang didorong oleh niat, semangat, dan ketaatan yang kuat (amal), tetapi karena tidak memiliki bimbingan (ilmu) yang memadai, mereka melakukan penyimpangan, bid'ah, atau menetapkan sesuatu sebagai ibadah padahal bukan. Kesesatan mereka berasal dari ketidaktahuan atau salah tafsir, bukan dari penolakan yang sombong. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan peta, meskipun mereka memiliki energi untuk berjalan.
Contoh teologis dari kelompok adh-Dhâllîn adalah mereka yang mengkultuskan tokoh spiritual, menetapkan ibadah yang tidak pernah diajarkan, atau menafsirkan nash (teks agama) berdasarkan hawa nafsu dan akal semata tanpa merujuk pada metodologi yang benar. Mereka berjalan, tetapi mereka berjalan ke arah yang salah, seringkali dengan keyakinan kuat bahwa mereka sedang berada di jalan yang benar.
Surah Al-Fatihah, sebagai mahakarya retorika, tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menyusunnya dengan ketepatan bahasa yang luar biasa. Struktur dari ayat 7 ini, صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّينَ, memiliki keindahan balaghah yang mendalam.
Dalam bahasa Arab, setelah frasa ghayril maghdhûbi ‘alaihim (bukan mereka yang dimurkai), secara gramatikal sudah cukup untuk melanjutkan dengan waladh-dhâllîn (dan mereka yang tersesat). Namun, Al-Qur'an secara eksplisit menyisipkan kembali partikel penafian Wala (dan bukan). Mengapa?
Para ahli balaghah menyebut ini sebagai Ittibâ' an-Nafyi (mengikuti penolakan) untuk tujuan penegasan. Fungsi utamanya adalah memastikan bahwa kedua kelompok—yang dimurkai dan yang tersesat—diperlakukan sebagai dua kategori yang sepenuhnya terpisah dan sama-sama harus dijauhi. Tanpa 'Lâ', mungkin akan ada interpretasi bahwa yang tersesat hanyalah sub-kategori dari yang dimurkai. Dengan adanya 'Lâ', Allah menekankan adanya dua jenis ancaman terhadap hidayah: ancaman dari kesombongan berilmu dan ancaman dari kebodohan beramal.
Ini adalah pengajaran retoris bahwa seorang Muslim harus waspada terhadap kedua ekstremitas penyimpangan. Jalan lurus (Sirathal Mustaqim) adalah titik tengah, yang menjaga keseimbangan sempurna antara Ilmu (pengetahuan) dan 'Amal (tindakan).
Penyebutan Al-Maghdhûbi ‘Alaihim terlebih dahulu, diikuti oleh Adh-Dhâllîn, juga mengandung isyarat teologis. Secara umum, para mufassir berpendapat bahwa kesesatan yang ditimbulkan oleh kebodohan (Dhalâl) memiliki tingkat bahaya yang sedikit lebih ringan daripada kesesatan yang disebabkan oleh kesombongan setelah memperoleh ilmu (Ghadhab/Murka).
Orang yang dimurkai tahu kebenaran tetapi menolaknya; mereka adalah pendusta yang sadar. Orang yang tersesat tidak tahu kebenaran atau salah menafsirkannya; mereka adalah orang yang keliru. Doa ini mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dari penyimpangan yang paling berat (Murka) dan juga penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan (Kesesatan).
Dari segi ilmu tajwid, kata adh-Dhâllîn dibaca dengan Mad Lazim Kilmi Muthaqqal, yaitu mad (pemanjangan vokal) yang harus dibaca panjang enam harakat karena adanya sukun asli setelah huruf mad. Pemanjangan yang wajib ini (sering disebut sebagai mad enam harakat) secara auditori memberikan penekanan dan kekuatan dramatis pada kata tersebut. Ketika seorang qari membaca ayat ini, pemanjangan pada 'Dhâllîn' seolah-olah menggarisbawahi dan memvisualisasikan betapa jauhnya jalan kesesatan itu. Ini adalah bentuk I'jaz Sautî (keajaiban suara) Al-Qur'an.
Doa yang diucapkan setiap rakaat shalat ini bukan hanya sekedar pembacaan, melainkan komitmen spiritual yang harus direfleksikan dalam tindakan. Memahami Waladh-Dhâllîn berarti memahami bahaya melakukan ibadah tanpa fondasi ilmu yang kokoh.
Pelajaran utama dari adh-Dhâllîn adalah bahaya menjadi orang yang rajin tetapi tidak kritis. Islam sangat menekankan pentingnya ilmu (`ilm) sebelum ucapan dan perbuatan (`amal). Seseorang yang bersemangat dalam beribadah namun malas mempelajari dasar-dasar syariat, metodologi tafsir, atau sumber hukum yang shahih, berpotensi besar tergelincir ke dalam kesesatan (dhalâl).
Kesesatan ini bisa bermanifestasi dalam berbagai bentuk, seperti praktik bid’ah, ekstremisme yang didasari interpretasi teks yang dangkal, atau bahkan fatalisme yang keliru. Umat Islam memohon agar Allah melindungi mereka dari kesalahan metodologis dan kekeliruan niat yang dipicu oleh ketidaktahuan.
Keseimbangan antara Ilmu (pengetahuan yang benar) dan Amal (tindakan yang benar) adalah kunci untuk tetap berada di Sirathal Mustaqim dan menghindari dua penyimpangan: Murka (ilmu tanpa amal) dan Kesesatan (amal tanpa ilmu).
Setelah menyelesaikan pembacaan Surah Al-Fatihah, baik dalam shalat berjamaah maupun munfarid, dianjurkan untuk mengucapkan Âmîn (Ya Allah, kabulkanlah). Pengucapan Âmîn adalah puncak dari permohonan yang terkandung dalam Waladh-Dhâllîn.
Ini adalah pengakuan bahwa hidayah tidak dapat dicapai hanya dengan usaha manusia semata, melainkan memerlukan rahmat dan intervensi ilahi. Ketika seorang Muslim mengucapkan Âmîn, ia mengakhiri permohonan yang telah dibuatnya, menegaskan bahwa ia telah meminta perlindungan dari murka dan kesesatan, dan kini menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.
Secara teologis, ayat ini adalah penekanan bagi umat Islam untuk menjadi Ummatan Wasathan (umat pertengahan). Jalan yang lurus adalah jalan tengah yang tidak condong pada ekstremitas kaum yang dimurkai (yang terlalu berpegang pada ilmu tetapi meninggalkan aplikasi moral dan spiritual) dan kaum yang tersesat (yang terlalu bersemangat dalam ritual tetapi meninggalkan dasar ilmu dan metodologi yang benar).
Dalam sejarah Islam, penyimpangan sering terjadi ketika umat terlalu menekankan salah satu sisi ini. Kelompok yang fokus pada rasionalisme ekstrem tanpa mengindahkan nash berisiko jatuh ke dalam sifat Maghdhûbi 'Alaihim, sedangkan kelompok yang hanya fokus pada mistisisme dan ritual tanpa ilmu yang memadai berisiko jatuh ke dalam sifat adh-Dhâllîn. Doa ini adalah janji untuk mencari keseimbangan abadi.
Kata ḍalāla (kesesatan) dalam Al-Qur'an memiliki spektrum makna yang luas, mulai dari kekeliruan kecil hingga penyimpangan fatal yang mengeluarkan seseorang dari agama. Pemahaman yang komprehensif mengenai kata adh-Dhâllîn harus mencakup nuansa-nuansa semantik ini.
Ini adalah makna paling parah, merujuk pada kekafiran total atau penyimpangan dari tauhid. Al-Qur'an sering menggunakan makna ini untuk menggambarkan orang-orang yang menolak kenabian dan kebenaran fundamental setelah kejelasan datang kepada mereka. Dalam konteks Al-Fatihah, adh-Dhâllîn dapat mencakup semua orang yang gagal menemukan hidayah Islam, terlepas dari niat mereka, karena mereka berada di luar jalur yang ditetapkan Allah.
Kata ḍalāla juga dapat merujuk pada kekeliruan atau kelupaan yang bersifat manusiawi dan dapat diperbaiki. Misalnya, Nabi Yusuf pernah mengatakan tentang dirinya dalam satu konteks: inna kuntu la mina adh-Dhâllîn (sesungguhnya aku termasuk orang yang keliru). Dalam konteks ini, `dhâllîn` tidak berarti kekafiran, tetapi kesalahan perhitungan, kekeliruan tindakan, atau kesesatan dalam cara pandang sesaat.
Bagi Muslim, permohonan "Waladh-Dhâllîn" mencakup perlindungan dari kedua jenis kesesatan: tidak hanya kesesatan fatal yang membatalkan iman, tetapi juga kesalahan interpretasi, kekeliruan dalam fiqh, atau penyimpangan metodologis yang dapat merusak amal dan memalingkan dari optimalitas ibadah.
Para filosof dan teolog Islam sering membandingkan Ghadhab dan Dhalâl dalam kaitannya dengan `aqli` (akal) dan `nafs` (jiwa). Dhalâl (kesesatan) dianggap sebagai kegagalan aspek intelektual (ilmu), sementara Ghadhab (murka) dianggap sebagai kegagalan aspek kemauan (keinginan). Mereka yang tersesat gagal dalam ranah kognitif untuk memetakan kebenaran; mereka yang dimurkai gagal dalam ranah moral untuk mengikuti apa yang sudah mereka ketahui.
Ini memberikan dimensi psikologis dan spiritual pada doa tersebut: kita memohon kepada Allah agar Dia menyempurnakan akal kita sehingga kita dapat memahami kebenaran (menghindari Dhalâl) dan agar Dia menguatkan kemauan kita sehingga kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut (menghindari Ghadhab).
Meskipun konsensus umum menunjuk Nasrani sebagai contoh historis utama Adh-Dhâllîn, penafsiran mengenai aplikasi modern dan filosofis dari istilah ini terus berkembang di kalangan mufassirin kontemporer. Mereka tidak menafikan relevansi historis, tetapi menekankan sifat universalnya.
Beberapa ulama modern, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, menekankan bahwa kategori Adh-Dhâllîn harus dilihat sebagai prinsip moral-spiritual, bukan sekadar pelabelan historis. Mereka adalah:
Dalam pandangan ini, doa "Waladh-Dhâllîn" adalah permohonan berkelanjutan agar Allah melindungi umat Islam dari penyimpangan internal, yaitu bid’ah dan taklid buta (fanatisme yang tidak didasari ilmu).
Frasa "Waladh-Dhâllîn" juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya menjaga Ijma' (konsensus) dan menghindari perpecahan. Ketika umat Islam menyimpang dari jalan yang disepakati oleh mayoritas ulama yang otoritatif (Ahlus Sunnah wal Jama'ah), mereka berisiko jatuh ke dalam kategori kesesatan metodologis. Kesesatan di sini adalah penyimpangan dari jalan lurus yang sudah ditempuh oleh para nabi, sahabat, dan generasi terbaik umat.
Ibnu Taimiyyah, dalam beberapa karyanya, menyoroti bahwa setiap kelompok dalam umat yang menyimpang dari Sunnah Nabi ﷺ dan pemahaman salafus shalih telah mengambil salah satu dari sifat 'Maghdhûbi 'Alaihim' atau 'Adh-Dhâllîn'. Kelompok yang menyimpang karena terlalu mengandalkan analogi yang cacat (tanpa dasar nash) seringkali lebih dekat ke Dhalâl, sedangkan kelompok yang menolak nash karena hawa nafsu cenderung kepada Ghadhab.
Perbedaan antara Dhalâl dan Ghadhab juga dapat dipandang dari perspektif niat. Walaupun niat yang baik tidak membenarkan perbuatan yang salah, ulama bersepakat bahwa orang yang tersesat (Dhâll) mungkin memiliki niat yang relatif lurus (ingin mendekatkan diri kepada Tuhan), namun amalannya salah. Sebaliknya, orang yang dimurkai (Maghdhûb) mengetahui kebenaran, sehingga niat mereka untuk menolaknya dianggap buruk dan jahat.
Oleh karena itu, ketika kita membaca "Waladh-Dhâllîn," kita memohon agar niat baik kita dibarengi dengan bimbingan Ilahi sehingga amal kita tidak sia-sia karena ketidaktahuan. Ini adalah doa untuk kesempurnaan epistemologi dan moralitas sekaligus.
Seluruh Surah Al-Fatihah adalah manifestasi dari Tauhid. Penutup surah ini, yang mencakup penolakan terhadap dua jalan sesat, merupakan penguatan fundamental terhadap Tauhid Uluhiyyah (pengesaan dalam peribadatan) dan Tauhid Rububiyyah (pengesaan dalam kepemilikan dan pengaturan alam).
Ayat yang mendahului permohonan jalan lurus adalah iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’în (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan). Permohonan untuk dijauhkan dari jalan yang tersesat adalah puncak dari Isti'anah (memohon pertolongan).
Seorang hamba menyadari bahwa dirinya rentan terhadap kesalahan dan kekurangan ilmu. Oleh karena itu, ia membutuhkan pertolongan Allah (Isti'anah) untuk menjaga dirinya dari penyimpangan yang disebabkan oleh kebodohan (Dhalâl) dan penyimpangan yang disebabkan oleh kesombongan (Ghadhab). Tanpa pertolongan Allah, usaha manusia untuk mencari kebenaran pasti akan tersesat.
Memohon perlindungan dari Dhalâl juga merupakan penegasan Tauhid dalam konteks Khauf (takut). Seorang Muslim harus takut menyimpang dari ajaran yang benar. Rasa takut ini mendorongnya untuk belajar dan mencari pemahaman yang mendalam, bukan hanya beramal buta. Jika rasa takut ini tidak dilandasi oleh Tauhid, ia bisa jatuh ke dalam takhayul, khurafat, atau praktik-praktik yang tidak diajarkan oleh syariat, yang kesemuanya merupakan bentuk kesesatan (Dhalâl) dalam beribadah.
Setiap sifat yang disebutkan dalam Al-Fatihah, mulai dari Ar-Rahman, Ar-Rahim, hingga Malik Yaumiddin, menguatkan permohonan hidayah. Ketika seorang Muslim memohon agar tidak termasuk adh-Dhâllîn, ia secara implisit bersandar pada nama-nama Allah seperti Al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), yang menetapkan hukum dengan keadilan, dan Al-’Alim (Yang Maha Mengetahui), yang menyediakan ilmu yang benar. Dhalâl terjadi ketika manusia lupa akan kebijaksanaan dan ilmu Allah, dan mencoba menentukan kebenaran dengan akalnya sendiri tanpa bimbingan wahyu.
Frasa Waladh-Dhâllîn adalah penutup yang sempurna bagi surah yang menjadi poros kehidupan spiritual Muslim. Ini adalah penolakan terhadap kesesatan yang ditujukan kepada diri sendiri, janji untuk senantiasa mencari ilmu, dan pengakuan bahwa petunjuk (hidayah) adalah anugerah Ilahi yang mahal.
Doa ini mengajarkan bahwa tantangan terbesar bagi umat Islam bukanlah mencari jalan lurus itu sendiri—karena jalan itu sudah jelas melalui Al-Qur'an dan Sunnah—melainkan menjaga agar kaki tidak tergelincir ke salah satu dari dua jurang penyimpangan yang mengapit jalan lurus tersebut. Kita memohon perlindungan dari:
Setiap kali seorang Muslim mengucapkan frasa ini dalam shalatnya, ia memperbarui komitmennya untuk menjadi hamba yang seimbang, yang mengamalkan apa yang diketahuinya, dan mencari tahu apa yang belum diketahuinya. Dengan pemahaman mendalam ini, makna Waladh-Dhâllîn melampaui sekadar ritual, menjadikannya peta jalan yang konstan menuju keselamatan, keseimbangan, dan kebenaran hakiki di sisi Allah SWT.
Keunikan fonetik huruf ḍad (ض) dalam kata adh-Dhâllîn memegang peranan penting. Huruf ini dikenal sebagai salah satu huruf terberat (atau paling unik) dalam artikulasi Arab (Makhraj). Kebanyakan bahasa tidak memiliki padanan yang tepat, itulah sebabnya bahasa Arab sering disebut sebagai Lughah ad-Dhad (Bahasa Dhad).
Pembacaan yang benar membutuhkan perhatian khusus karena kesalahan dalam pengucapan ḍad dapat mengubah maknanya secara drastis (misalnya, menjadi dzal atau dal). Kewajiban menjaga makhraj ḍad menekankan betapa pentingnya presisi dalam mengikuti petunjuk ilahi. Jika seorang Muslim harus sangat berhati-hati dalam artikulasi sebuah huruf, apalagi dalam masalah akidah dan metodologi hidup. Kesalahan kecil dalam pengucapan dapat merusak shalat, dan analoginya, kesalahan kecil dalam ilmu dan amal dapat membawa pada kesesatan (Dhalâl).
Oleh karena itu, menjaga kualitas bacaan dalam Waladh-Dhâllîn adalah bentuk ibadah tersendiri, yang mencerminkan upaya untuk menjauhi segala bentuk penyimpangan, baik dalam lisan (bacaan) maupun dalam kehidupan (amal). Kesempurnaan dalam detail adalah cerminan dari kesempurnaan dalam mencari hidayah.
Di luar identifikasi historis Yahudi dan Nasrani, frasa ini mengajarkan prinsip universal bagi semua umat manusia. Surah Al-Fatihah adalah doa universal yang dipanjatkan oleh setiap mukmin di mana pun ia berada.
Jika kita melihat krisis spiritual dan intelektual kontemporer, kita melihat manifestasi baru dari Ghadhab dan Dhalâl. Kelompok modern yang terlalu mengandalkan sains dan filsafat materialis hingga menolak eksistensi Tuhan atau wahyu, mewakili bentuk modern dari Ghadhab (kesombongan ilmu). Sementara itu, kelompok yang larut dalam ritualisme takhayul, atau gerakan yang bersemangat tetapi dibangun di atas dasar akidah yang rapuh dan tanpa metodologi yang benar, mewakili bentuk kontemporer dari Dhalâl.
Doa "Waladh-Dhâllîn" pada dasarnya adalah permohonan agar Allah melindungi umat Islam dari bahaya sinkretisme agama (mencampur adukkan ajaran tanpa ilmu), kebodohan spiritual (ghoflah), dan aktivisme buta yang tidak didasari oleh bimbingan syariat. Hal ini relevan di setiap era, menegaskan bahwa jalan lurus memerlukan kewaspadaan abadi terhadap penyimpangan di kiri dan kanan.
Aspek fiqh (hukum praktis) dan Usul Fiqh (metodologi hukum) juga mendapat penekanan kuat dari makna Waladh-Dhâllîn. Penyimpangan dalam hukum seringkali berakar pada kesesatan metodologis.
Ijtihad adalah upaya yang sungguh-sungguh dari seorang mujtahid untuk menarik hukum dari sumber-sumber syariat. Namun, jika ijtihad dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat metodologis yang ketat (misalnya, mengabaikan kaidah bahasa Arab, mengabaikan Ijma', atau mengutamakan qiyas yang lemah di atas nash yang jelas), hasilnya bisa jatuh ke dalam Dhalâl Fiqhi (kesesatan hukum).
Permohonan Waladh-Dhâllîn adalah permohonan agar Allah membimbing para ulama dan setiap Muslim yang berijtihad, agar keputusan mereka tidak didasarkan pada asumsi atau keinginan pribadi, tetapi pada metodologi yang benar, sehingga tidak menyesatkan umat.
Dalam mazhab Syafi'i dan lainnya, membaca Al-Fatihah adalah rukun shalat, dan wajib menyertakan setiap hurufnya dengan benar. Kesalahan fatal dalam pengucapan (Lahn Jali) dapat membatalkan shalat, terutama jika perubahan makhraj ḍad pada adh-Dhâllîn mengubah maknanya secara esensial.
Fokus pada ketepatan bacaan ini mencerminkan pentingnya menjaga kemurnian ajaran. Doa tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa jalan yang lurus memerlukan ketelitian, baik dalam ritual sekecil apa pun hingga dalam masalah akidah yang paling besar. Orang yang ceroboh dalam membaca Al-Fatihah berisiko mencerminkan kecerobohan spiritual yang dapat membawanya pada kesesatan (Dhalâl) dalam urusan yang lebih besar.
Dalam Usul Fiqh, penting untuk membedakan antara Khatha' (kekeliruan yang dapat diampuni) dan Dhalâl (kesesatan). Mujtahid yang salah (mukhti') dalam ijtihadnya tetap mendapat pahala, karena kekeliruan itu terjadi setelah usaha yang jujur. Namun, Dhalâl merujuk pada penyimpangan yang terjadi karena kebodohan yang disengaja atau kegagalan total dalam metodologi dasar, yang tidak dapat dimaafkan tanpa taubat.
Waladh-Dhâllîn adalah doa agar kita tidak jatuh ke dalam kategori Dhalâl yang fatal, tetapi jika pun kita berbuat Khatha' (kekeliruan), semoga Allah meluruskannya. Ini adalah doa untuk perlindungan dari kegagalan fundamental dalam menelusuri kebenaran, baik secara niat maupun metodologi.
Demikianlah, analisis mendalam terhadap satu frasa, Walâ adh-Dhâllîn, membuka cakrawala pemahaman yang luas, menegaskan bahwa Surah Al-Fatihah adalah kompas spiritual dan intelektual bagi setiap mukmin, membimbingnya menjauh dari kesombongan berilmu dan kebodohan beramal, menuju keseimbangan yang sempurna di jalan Allah.