Alt Text: Ilustrasi petunjuk cahaya Al-Kahfi
Surah Al Kahfi, Surah ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal luas sebagai benteng spiritual melawan empat jenis fitnah utama: fitnah agama (Ashabul Kahfi), fitnah harta (Kisah pemilik dua kebun), fitnah ilmu (Kisah Musa dan Khidir), dan fitnah kekuasaan (Kisah Dzulqarnain). Namun, puncak dan intisari dari semua kisah ini terangkum dalam sepuluh ayat penutupnya, yaitu Ayat 101 hingga 110. Ayat-ayat ini tidak hanya merangkum prinsip-prinsip Tauhid, tetapi juga memberikan peringatan keras tentang kekeliruan amal dan janji abadi bagi mereka yang beriman. Sepuluh ayat terakhir ini secara khusus berfungsi sebagai pertahanan pamungkas melawan fitnah terbesar yang akan datang, fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.
Untuk memahami kedalaman perlindungan ini, kita wajib menelaah setiap frasa, menguraikan makna linguistiknya, dan menghubungkannya dengan konteks kehidupan kontemporer yang penuh godaan dan kekeliruan. Ayat-ayat ini adalah peta jalan menuju keselamatan, menegaskan kembali bahwa nilai sebuah perbuatan tidak diukur dari kuantitasnya di dunia, melainkan dari keikhlasan dan kesesuaiannya dengan syariat Allah.
Terjemahan maknanya: "(Yaitu) orang-orang yang mata (hati) mereka dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan mereka tidak sanggup mendengar (kebenaran)." (QS. Al Kahfi: 101)
Ayat ini membuka sepuluh ayat penutup dengan menggambarkan kondisi orang-orang yang merugi. Mereka memiliki mata, tetapi mata hati mereka tertutup (*fi ghita’in*). Mereka memiliki telinga, tetapi tidak mampu mendengar kebenaran (*la yastati’una sam’an*). ‘Mendengar’ di sini bukan sekadar mendengar suara, melainkan kemampuan untuk menyerap, memahami, dan tunduk pada seruan ilahi (Wahyu).
Penyakit spiritual ini sangat relevan dengan fitnah Dajjal. Dajjal tidak hanya menipu mata (dengan mukjizat palsu), tetapi juga menutup telinga hati (dengan janji-janji kemewahan duniawi). Orang yang hatinya telah terbiasa lalai dari mengingat Allah (*dzikri*) akan mudah jatuh ke dalam perangkap ilusi. Ayat ini mengajarkan bahwa kebutaan spiritual adalah hasil dari pilihan diri sendiri untuk berpaling dari tanda-tanda Allah, baik yang termuat dalam Al-Qur'an maupun yang terhampar di alam semesta.
Terjemahan maknanya: "Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir." (QS. Al Kahfi: 102)
Ayat ini adalah pukulan telak terhadap konsep syirik (menyekutukan Allah). Ini menanyakan dengan nada celaan, bagaimana mungkin mereka yang ingkar berpikir bahwa mereka dapat mengambil hamba-hamba Allah (seperti nabi, malaikat, atau orang saleh) sebagai pelindung, padahal hanya Allah pelindung sejati? Ini menekankan kembali asas Tauhid: Kekuatan dan perlindungan sejati hanya milik Allah.
Dalam konteks Dajjal, ia akan datang dengan kekuatan yang seolah-olah ilahi (menghidupkan orang mati, menurunkan hujan). Namun, bagi mereka yang memegang teguh Tauhid—bahwa tidak ada penolong selain Allah Yang Maha Esa—semua kekuatan palsu itu akan runtuh. Ayat ini menegaskan bahwa mereka yang mencari perlindungan selain Allah telah memilih Jahannam sebagai tempat tinggal pertama (*nuzulan*), yaitu tempat yang disediakan untuk menyambut tamu, sebuah gambaran yang mengerikan tentang kepastian azab.
Terjemahan maknanya: "Katakanlah (Muhammad), 'Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya?' (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." (QS. Al Kahfi: 103-104)
Dua ayat ini merupakan inti peringatan tentang kekeliruan dalam amal. Ini mendefinisikan *Al-Akhsarin A’mala* (orang yang paling merugi amalannya). Kerugian ini bukan karena mereka tidak berbuat apa-apa, tetapi karena mereka berusaha keras (*dhal-la sa'yuhum*) dalam kesia-siaan, namun pada saat yang sama, mereka yakin 100% bahwa mereka berada di jalur yang benar (*yahsabūna annahum yuḥsinūna ṣun'an*). Ini adalah kerugian paling fatal: usaha tanpa hasil, dilandasi kebodohan yang yakin diri.
Siapakah mereka ini? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang amalannya tidak memenuhi dua syarat utama diterimanya amal:
Ayat ini memberikan pelajaran mendalam terkait fitnah Dajjal, yang merupakan puncak dari segala kesesatan yang meyakinkan. Banyak orang yang bekerja keras, berjuang, bahkan berkorban atas nama agama atau moralitas, tetapi jika landasannya salah (misalnya, memuja harta, menolak syariat, atau melakukan kezaliman atas nama kebenaran), maka seluruh usahanya sia-sia di mata Allah. Ayat 104 menekankan bahaya besar dari kebodohan yang dibalut dengan rasa percaya diri spiritual yang berlebihan. Ini adalah peringatan untuk senantiasa mengoreksi niat dan cara beribadah.
Terjemahan maknanya: "Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (ingkar terhadap) pertemuan dengan Dia. Maka sia-sialah amal mereka, dan Kami tidak akan mengadakan timbangan untuk (menilai) amal mereka pada hari Kiamat." (QS. Al Kahfi: 105)
Ayat ini menjelaskan akar permasalahan dari kerugian total: ingkar terhadap ayat-ayat Allah (*bi āyāti Rabbihim*) dan ingkar terhadap Hari Pertemuan (*waliqā’ihi*). Ini adalah inti dari kekufuran. Mengingkari ayat Allah berarti menolak kebenaran yang diturunkan, dan mengingkari pertemuan dengan Allah berarti tidak memiliki rasa tanggung jawab atau takut akan Hari Penghisaban.
Konsekuensi dari kekufuran ini sangat mengerikan: *fa ḥabiṭat a‘māluhum* (sia-sialah semua amal mereka). Dan yang lebih tegas lagi, Allah tidak akan menegakkan timbangan bagi mereka (*falā nuqīmu lahum yawmal-qiyāmati waznan*). Ini berarti, meskipun di dunia mereka mungkin melakukan amal kebaikan (seperti memberi sedekah, membangun fasilitas), karena tidak dilandasi keimanan yang benar, amalan tersebut tidak memiliki bobot sedikit pun di hadapan Allah. Timbangan amal (Mizan) hanya ditujukan bagi orang-orang yang memiliki dasar keimanan; tanpa iman, timbangan itu tidak relevan.
Ayat ini mengajarkan bahwa bobot amal saleh terletak pada akidah yang benar. Fitnah Dajjal sangat berbahaya karena ia menawarkan kebahagiaan duniawi tanpa memerlukan iman. Orang yang menolak ayat-ayat Allah di dunia ini, tentu akan lebih mudah menerima janji palsu dari Dajjal.
Terjemahan maknanya: "Demikianlah balasan mereka itu, yaitu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olokan." (QS. Al Kahfi: 106)
Ayat ini menutup bagian peringatan dengan menyebutkan balasan konkret: Jahannam. Hukuman ini diakibatkan oleh dua hal: kekufuran (*bimā kafarū*) dan sikap meremehkan (*huzuwan*) terhadap ayat-ayat Allah dan para Rasul-Nya. Sikap mengolok-olok atau meremehkan ajaran agama menunjukkan puncak keangkuhan intelektual dan spiritual.
Dalam pertarungan melawan fitnah Dajjal, sikap meremehkan kebenaran (ayat-ayat Allah) adalah jalan pintas menuju kehancuran. Dajjal akan menjadikan segala sesuatu yang sakral sebagai bahan olokan dan ilusi. Hanya mereka yang memuliakan Wahyu Allah yang akan memiliki kekebalan spiritual.
Penekanan pada kata *huzuwan* sangat penting. Ini bukan hanya masalah tidak percaya, tetapi juga sikap permusuhan aktif, merendahkan, dan mencemooh perintah dan larangan Allah. Sikap ini berakar pada kesombongan yang diidentifikasi pada Ayat 104, di mana seseorang merasa ilmunya lebih tinggi daripada bimbingan ilahi.
Setelah menggambarkan nasib orang yang merugi, Al-Qur'an beralih ke kontras yang indah: nasib orang yang beriman dan beramal saleh. Perbedaan kontras ini adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim dalam menghadapi ujian dunia.
Terjemahan maknanya: "Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, untuk mereka disediakan Surga Firdaus sebagai tempat singgahan." (QS. Al Kahfi: 107)
Ayat ini memberikan harapan setelah serangkaian peringatan. Keselamatan mutlak diikat pada dua pilar: Iman dan Amal Saleh. Kedua pilar ini tidak dapat dipisahkan. Keimanan tanpa amal adalah klaim kosong, dan amal tanpa iman adalah sia-sia (sebagaimana dijelaskan dalam Ayat 105).
Penting untuk dicatat bahwa balasan yang dijanjikan adalah Jannatul Firdaus, yang menurut hadis Nabi Muhammad ﷺ, adalah surga yang paling tinggi dan paling tengah. Ini menunjukkan bahwa janji Allah bagi hamba-hamba-Nya yang sejati adalah kemuliaan tertinggi.
Kata *nuzulan* (tempat singgahan/perjamuan) digunakan lagi, tetapi kali ini dalam konteks yang mulia. Jika bagi orang kafir *nuzulan*-nya adalah Jahannam (Ayat 102), maka bagi orang beriman, *nuzulan*-nya adalah Firdaus. Ini adalah perjamuan abadi yang disiapkan oleh Sang Raja diraja.
Terjemahan maknanya: "Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin pindah dari padanya." (QS. Al Kahfi: 108)
Keindahan surga tidak hanya terletak pada kenikmatannya yang tak terbayangkan, tetapi pada sifatnya yang abadi (*khālidīna fīhā*). Ketakutan terbesar manusia adalah kehilangan apa yang dicintai. Di dunia, semua kebahagiaan bersifat sementara. Di Surga Firdaus, ketenangan ini mutlak dan abadi. Mereka tidak akan mencari tempat lain, bahkan tidak terlintas keinginan untuk pindah (*lā yabghūna ‘anhā ḥiwalā*).
Ini adalah kontras paling tajam dengan kehidupan duniawi dan fitnah Dajjal. Fitnah Dajjal menawarkan kekuasaan dan kenikmatan yang sementara dan palsu. Janji Surga Firdaus adalah kenikmatan yang sejati dan kekal. Bagi seorang mukmin, kesadaran akan keabadian ini adalah kekuatan terbesar untuk menolak godaan duniawi, sekecil apa pun godaan itu, apalagi fitnah raksasa yang dibawa oleh Dajjal.
Ayat ke-109 sering kali disebut sebagai salah satu ayat paling retoris dan agung dalam Al-Qur'an. Ayat ini mengembalikan perspektif manusia pada kelemahan dan keterbatasan ilmu mereka di hadapan Pencipta.
Terjemahan maknanya: "Katakanlah (Muhammad), 'Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, pasti habislah lautan itu sebelum selesai (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'" (QS. Al Kahfi: 109)
Ayat ini menggunakan hiperbola kosmik untuk menjelaskan sifat ilmu dan kekuasaan Allah yang tak terbatas (*Kalimatullah*). Bayangkan lautan di seluruh dunia diubah menjadi tinta. Bayangkan seluruh pohon di dunia diubah menjadi pena. Sekalipun kita terus menuliskan pengetahuan, perintah, kekuasaan, dan rahasia ciptaan Allah, lautan itu akan habis, tinta akan kering, tetapi *Kalimatullah* tidak akan pernah habis.
Poin penting dari ayat ini adalah pengajaran tentang kerendahan hati intelektual.
Ayat ini merupakan benteng vital melawan fitnah ilmu dan kesombongan intelektual. Fitnah Dajjal bukan hanya tentang keajaiban fisik, tetapi juga klaim pengetahuan dan kekuasaan absolut. Di era modern, banyak fitnah muncul dalam bentuk sains yang deifikasikan, teknologi yang diagungkan hingga menuhankan diri sendiri, atau filsafat yang menolak Wahyu. Orang yang lupa akan Ayat 109 akan mudah terperangkap dalam kesombongan, menyangka bahwa ilmu mereka sudah mencukupi untuk menolak keberadaan Allah atau menolak syariat-Nya.
Menginternalisasi ayat ini berarti menyadari bahwa seluruh data di internet, semua penemuan ilmiah, dan semua teori filsafat hanyalah setetes air dari samudra pengetahuan Allah yang tak bertepi. Kerendahan hati ini adalah perisai dari kesesatan yang ditawarkan oleh musuh-musuh Tauhid.
Ayat terakhir Surah Al Kahfi ini merangkum seluruh pelajaran yang terkandung dalam sepuluh ayat penutup dan seluruh surah, menjadi sebuah formulasi yang jelas dan praktis bagi setiap Muslim.
Terjemahan maknanya: "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.'" (QS. Al Kahfi: 110)
Ayat ini memiliki tiga komponen mendasar yang menjadi kunci keberhasilan di dunia dan akhirat:
A. Menegaskan Kemanusiaan Rasulullah ﷺ (*Innā ana basharun mitslukum*): Rasulullah diperintahkan untuk menegaskan dirinya hanyalah manusia biasa. Ini penting untuk menolak penuhanan terhadap manusia (yang merupakan bentuk syirik), dan untuk menunjukkan bahwa pedoman yang beliau bawa adalah melalui Wahyu (*yūḥā ilayya*). Ini memberikan pemisahan tegas antara kekuasaan Pencipta dan makhluk, sebuah pemahaman yang krusial saat Dajjal datang mengklaim ketuhanan.
B. Pesan Utama: Tauhid (*Ilāhukum Ilāhun Wāḥid*): Inti dari semua Wahyu, dari Nabi Adam hingga Muhammad, adalah keesaan Allah. Tidak ada Tuhan selain Dia. Ini adalah benteng tak tertembus melawan semua fitnah syirik.
C. Dua Syarat Kunci Amal (*Faman kāna yarjū liqā’a Rabbihī*): Bagi mereka yang berharap bertemu dengan Tuhannya (yaitu, mengharapkan Surga dan keridhaan-Nya), ada dua perintah yang harus dipenuhi, yang secara total merangkum syarat diterimanya amal:
Ayat 110 adalah kesimpulan sempurna yang mengikat semua kisah dalam Surah Al Kahfi. Ashabul Kahfi berjuang untuk Tauhid. Kisah kebun mengajarkan bahwa harta harus digunakan dengan Tauhid. Musa belajar dari Khidir bahwa ilmu Allah tak terbatas (Ayat 109). Dzulqarnain menunjukkan kekuasaan yang tunduk pada Tauhid. Akhirnya, kita diperintahkan untuk mengamalkan Tauhid dan amal saleh ini sebagai jalan keluar mutlak.
Secara tradisi, pembacaan Surah Al Kahfi (terutama 10 ayat pertama atau 10 ayat terakhir) adalah perlindungan dari Dajjal. Mengapa 10 ayat terakhir ini sangat efektif?
Dajjal akan mengklaim dirinya sebagai pengendali kekayaan duniawi. Ia akan menawarkan kemakmuran kepada pengikutnya dan kemiskinan kepada penentangnya. Ayat 103-104 adalah penawar racun ini. Ayat ini mengingatkan kita bahwa upaya yang sia-sia, meskipun menghasilkan kekayaan dunia, tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Kekayaan yang diperoleh tanpa keimanan dan keikhlasan hanya akan menambah kerugian di Akhirat. Orang yang terpelihara dari fitnah Dajjal adalah mereka yang sudah mempraktikkan konsep kerugian mutlak ini; mereka tidak silau dengan hasil duniawi semata.
Klaim terbesar Dajjal adalah klaim ketuhanan. Ia akan menampilkan kekuatan yang menyerupai mukjizat ilahi. Ayat 102 (menolak pelindung selain Allah) dan Ayat 110 (menegaskan Allah Maha Esa) secara eksplisit menolak klaim ini. Pengulangan konsep Tauhid di akhir surah adalah penanaman akidah yang kuat, sehingga ketika godaan datang, hati seorang mukmin secara otomatis menolaknya berdasarkan prinsip keesaan yang telah mendarah daging.
Dajjal menantang manusia untuk mendefinisikan Tuhan. Jawaban dari 10 ayat ini sudah jelas: Tuhan adalah yang ilmunya tak terbatas (Ayat 109), yang Maha Esa, dan yang harus disembah tanpa sekutu (Ayat 110). Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan definisi ini, meskipun memancarkan kekuatan, hanyalah ilusi.
Fitnah terbesar Dajjal adalah kemampuannya menipu mata dan hati. Ia membuat Surga terlihat seperti Neraka, dan Neraka terlihat seperti Surga. Ayat 101 menggambarkan orang-orang yang mata hatinya tertutup dari dzikirullah. Orang yang senantiasa menjaga dzikir (mengingat Allah) akan memiliki hati yang terang, yang mampu membedakan kebenaran dan kebatilan, bahkan saat kebatilan itu dikemas secara menarik.
Pelajaran Praktis: 10 Ayat terakhir ini menuntut Muslim untuk menjalani kehidupan yang senantiasa didasari oleh dua pemeriksaan diri: Pertama, cek niat (ikhlas – untuk siapa saya beramal?). Kedua, cek cara (ittiba’ – apakah amalan ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah?). Tanpa kedua pemeriksaan ini, seseorang berada dalam risiko menjadi "orang yang paling merugi amalannya" (Ayat 103).
Dalam konteks 5000 kata, kita harus mendalami apa sebenarnya yang dimaksud dengan *amal ṣāliḥ* dan larangan *syirik* dalam Ayat 110. Ini adalah jantung dari semua perlindungan spiritual.
Amal saleh bukanlah sekadar ritual ibadah mahdhah (sholat, puasa). Amal saleh mencakup segala bentuk perbuatan yang diridhai Allah. Ayat 110 menekankan universalitas ini. Amal saleh memiliki dua dimensi:
Amal saleh yang konsisten menciptakan kekebalan batin. Seseorang yang terbiasa hidup lurus, jujur, dan berpegang pada standar etika Ilahi akan memiliki kerangka referensi yang kuat untuk menolak kejahatan yang disamarkan oleh Dajjal.
Larangan syirik bukan hanya merujuk pada penyembahan berhala. Dalam konteks Ayat 110, larangan syirik dalam ibadah mencakup *syirik khafi* (syirik tersembunyi), yaitu riya. Riya adalah ketika seorang Muslim melakukan amal kebaikan dengan niat untuk dilihat, dipuji, atau dihormati oleh orang lain, bukan murni karena Allah.
Riya adalah penyakit yang merusak amal dari dalam, menjadikannya tidak berbobot (seperti yang dijelaskan pada Ayat 105). Riya sangat terkait dengan fitnah Dajjal, karena Dajjal mengandalkan pujian, kekaguman, dan pengakuan dari massa. Orang yang hatinya terbiasa mencari pujian manusia akan mudah tunduk pada kekuatan dan kemuliaan palsu yang ditawarkan Dajjal.
Ayat 110 menuntut keikhlasan total. Ibadah kita harus menjadi urusan pribadi antara hamba dan Rabb-nya. Pembersihan niat ini adalah latihan spiritual yang wajib dilakukan setiap hari untuk memastikan bahwa seluruh hidup dan mati kita hanyalah untuk Allah semesta alam.
Sepuluh ayat terakhir Surah Al Kahfi berfungsi sebagai konklusi filosofis yang menyatukan empat kisah utama di awal surah. Memahami bagaimana ayat-ayat ini menyimpulkan kisah-kisah tersebut memperkuat perlindungan kita.
Para pemuda gua memilih Tauhid dan meninggalkan lingkungan yang syirik. Ayat 110 merangkum pilihan mereka: memilih Tauhid dan amal saleh meskipun harus berkorban. Kerugian yang mereka hindari adalah kerugian total yang dijelaskan dalam Ayat 103-104—berusaha hidup di dunia yang syirik namun mengira diri mereka benar.
Pemilik kebun yang sombong (kafir) lupa bahwa kebunnya hanyalah nikmat sementara dari Allah. Kesombongan dan keengganannya untuk bersyukur dan percaya pada Hari Akhir (Ayat 105) membuatnya kehilangan segalanya di dunia dan akhirat. Ayat 107 dan 108 menawarkan kontras: Surga Firdaus yang abadi adalah balasan bagi mereka yang tidak silau oleh kekayaan sementara.
Kisah ini mengajarkan Musa tentang keterbatasan ilmunya dibandingkan ilmu Khidir, yang diberi ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah). Ini adalah pelajaran langsung yang memuncak pada Ayat 109, yang menekankan bahwa ilmu manusia sekecil tinta lautan dibandingkan Kalimatullah. Penyangkalan terhadap ilmu dan hikmah Allah adalah awal dari kesesatan (Ayat 101).
Dzulqarnain adalah penguasa yang saleh, yang menggunakan kekuasaannya untuk menolong dan membangun atas nama Allah. Ia menyadari bahwa kekuatannya adalah karunia sementara dari Tuhannya (Tauhid). Ketika ia berhasil membangun tembok, ia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku." Sikap ini kontras dengan keangkuhan orang kafir yang amalannya sia-sia (Ayat 103-104) dan janji Surga Firdaus (Ayat 107) bagi mereka yang memanfaatkan kekuasaan untuk kebaikan dan Tauhid.
Menghafal sepuluh ayat terakhir Al Kahfi adalah perisai. Namun, perlindungan sejati terletak pada penerapan maknanya dalam setiap aspek kehidupan. Implementasi ini harus bersifat radikal, membersihkan diri dari segala bentuk syirik dan riya yang halus.
Ayat 105 dan 110 melawan relativisme moral dan teologis. Di dunia yang mengklaim "semua jalan menuju Tuhan," Ayat 110 dengan tegas menyatakan: *Ilāhukum Ilāhun Wāḥid* (Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa). Penguatan akidah adalah dengan mempelajari Tauhid Uluhiyah (ketuhanan), Rububiyah (penciptaan), dan Asma wa Sifat (nama dan sifat Allah). Tanpa akidah yang jernih, seorang Muslim akan mudah terombang-ambing oleh ideologi atau keyakinan sinkretis yang berusaha menyamakan kebenaran dan kebatilan.
Ketika seseorang menghadapi kegagalan dalam usaha atau karier, Ayat 103-104 menjadi pengingat yang menenangkan. Yang paling penting bukanlah hasil di dunia, melainkan validitas niat dan kesesuaian cara. Jika usaha kita telah dilandasi keikhlasan dan sesuai syariat, kegagalan duniawi tidak akan menjadikan kita termasuk *Al-Akhsarin A’mala*. Sebaliknya, jika kita sukses besar di mata manusia tetapi melupakan Allah, kita berada dalam bahaya besar.
Ayat 110 memerintahkan untuk tidak menyekutukan Allah dalam ibadah, yang sangat erat kaitannya dengan melawan riya. Dalam era media sosial, riya adalah fitnah besar yang menyebar luas. Setiap ibadah dan kebaikan berisiko dicemari oleh keinginan untuk dipuji (*like*, *share*, *viral*). Melawan riya memerlukan disiplin batin yang ketat, yaitu menjaga kerahasiaan amal sebanyak mungkin dan senantiasa mengingatkan diri bahwa satu-satunya penilai amal adalah Allah.
Ibadah yang murni ikhlas, bahkan sekecil senyum tulus atau menyingkirkan duri dari jalan, memiliki bobot di Mizan (Timbangan), sementara amal yang besar namun dihiasi riya akan tertolak (Ayat 105).
Ayat 109 adalah penawar kesombongan. Kesombongan intelektual membuat seseorang merasa bahwa akalnya sudah cukup untuk memahami alam semesta tanpa perlu Wahyu. Ketika seseorang menolak batasannya sendiri, ia mulai menolak ajaran Nabi dan Wahyu, sebuah sikap yang diancam dengan Jahannam (Ayat 106). Penolakan ini memuluskan jalan bagi Dajjal, yang akan memanfaatkan teknologi dan "ilmu" untuk mengesankan para pengikutnya.
Muslim yang cerdas adalah mereka yang menggunakan akal untuk memahami batasan akalnya, dan kemudian tunduk kepada sumber ilmu yang tak terbatas: Al-Qur'an dan Sunnah.
Kesimpulannya, sepuluh ayat terakhir Surah Al Kahfi adalah fondasi teologis dan spiritual yang lengkap. Ayat-ayat ini memberikan definisi yang jelas tentang kerugian dan keuntungan sejati, membatasi ilmu manusia, menegaskan keagungan Tauhid, dan memberikan dua perintah praktis yang menjadi kunci keselamatan abadi. Pengkajian dan pengamalan ayat-ayat ini bukan hanya tradisi sunnah, melainkan keharusan mutlak bagi setiap individu yang ingin menavigasi kompleksitas fitnah dunia modern hingga fitnah terbesar di akhir zaman.
***
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al Kahfi: 110)