Indonesia adalah permadani kaya akan warisan budaya yang terwujud dalam berbagai bentuk seni, termasuk aksara. Salah satu aksara daerah yang memiliki keunikan tersendiri dan masih memegang peranan penting dalam pelestarian budaya adalah Aksara Jawa. Di antara ragam aksara dan sandangan yang menghiasi naskah-naskah kuno maupun karya kontemporer, terdapat konsep menarik yang seringkali menjadi perbincangan: "Wit Asem".
Istilah "Wit Asem" dalam konteks Aksara Jawa bukanlah sebuah jenis aksara baru, melainkan sebuah analogi yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana sebuah aksara dasar (disebut juga 'carakan' atau 'génifikasi') dapat berkembang dan dimodifikasi dengan berbagai 'sandangan' atau diakritik. Analogi ini merujuk pada pohon asem, sebuah pohon yang kokoh dengan akar yang kuat, namun memiliki cabang-cabang yang rindang, daun-daun yang tumbuh, dan terkadang buah yang menggantung. Seperti pohon asem yang memberikan banyak manfaat dan bentuk, sebuah aksara dasar pun dapat "tumbuh" dan "bercabang" menjadi berbagai bentuk lain yang memiliki bunyi dan fungsi berbeda.
Setiap Aksara Jawa berawal dari aksara dasar yang fundamental. Misalnya, aksara seperti 'Ha', 'Na', 'Ca', 'Ra', 'Ka' adalah "batang" atau "akar" utama dari sistem penulisan ini. Masing-masing memiliki bentuk visual yang khas dan bunyi fonemik yang spesifik. Aksara dasar ini merupakan fondasi yang menjadi titik tolak bagi semua modifikasi dan pengembangan selanjutnya. Tanpa 'akar' yang kokoh ini, 'cabang-cabang' dan 'daun-daun' tidak akan bisa eksis.
"Cabang" dan "ranting" dari pohon asem diibaratkan sebagai sandangan (tanda baca yang melekat pada aksara untuk mengubah bunyi vokal atau menambahkan konsonan) dan pangkon (tanda mati yang melekatkan dua aksara konsonan). Sandangan seperti suku (u), wulu (i), taling (é, è), pepet (ĕ), dan lain-lain, mengubah bunyi vokal dari aksara dasar. Misalnya, aksara 'Ka' ([kə]) jika diberi sandangan wulu menjadi 'Ki' ([ki]), diberi sandangan suku menjadi 'Ku' ([ku]), dan seterusnya.
Sementara itu, pangkon adalah komponen krusial yang memungkinkan pembentukan gugus konsonan. Tanpa pangkon, kalimat-kalimat kompleks yang mengandung gugus konsonan seperti 'tra', 'nyo', 'mbl' tidak dapat dituliskan secara efisien. Pangkon, secara visual, seperti ranting yang menghubungkan dua aksara agar terbaca sebagai satu kesatuan suku kata konsonan mati. Kemampuan untuk membentuk gugus konsonan ini menjadikan Aksara Jawa sangat fleksibel dalam merepresentasikan bunyi bahasa Jawa yang kaya.
"Daun" dan "buah" bisa dimaknai sebagai variasi bentuk visual dari aksara yang telah dimodifikasi oleh sandangan, atau bahkan sebagai makna tersirat yang dibawa oleh sebuah kata yang ditulis dalam Aksara Jawa. Setiap kombinasi aksara dasar dan sandangan menghasilkan bentuk yang unik, layaknya daun dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi. Keseluruhan sistem ini menciptakan kekayaan visual yang sangat estetis.
Lebih jauh lagi, dalam konteks yang lebih luas, "Wit Asem" juga bisa merujuk pada keluwesan Aksara Jawa dalam mengekspresikan berbagai nuansa bahasa. Sebagaimana pohon asem yang bisa rindang dan menyejukkan, Aksara Jawa mampu merekam dan menyampaikan berbagai cerita, puisi, filosofi, hingga catatan sejarah. Keindahan visual dari tiap aksara dan kombinasinya, ketika dibaca dan dipahami, seperti merasakan kesejukan dan makna yang tersimpan di dalam setiap "daun" dan "buah"-nya.
Memahami konsep "Wit Asem" membantu kita mengapresiasi betapa sistematis dan kompleksnya Aksara Jawa. Ini bukan sekadar kumpulan simbol mati, melainkan sebuah sistem linguistik dan artistik yang hidup dan dinamis. Pelestarian Aksara Jawa, termasuk pemahaman mendalam tentang bagaimana setiap "cabang" dan "daun" tumbuh dari "akar"nya, menjadi tanggung jawab kita bersama.
Melalui upaya edukasi, publikasi naskah-naskah kuno, hingga penggunaan Aksara Jawa dalam karya seni modern, kita dapat menjaga agar "pohon" Aksara Jawa ini terus bersemi dan memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Keindahan visualnya, kekayaan maknanya, dan nilai budayanya patut untuk terus dijaga dan dilestarikan.