Pengertian Surat Al-Kafirun: Deklarasi Pemurnian Tauhid dan Batasan Akidah

Batasan Akidah Jalan Akidah Lain Jalan Tauhid (Islam) Qul

Ilustrasi: Pemisahan Jelas Prinsip Akidah (Lakum Dinukum Wa Liya Din).

Surat Al-Kafirun adalah salah satu surat pendek namun memiliki bobot teologis yang sangat fundamental dalam Islam. Terletak pada urutan ke-109 dalam Al-Qur'an, surat yang terdiri dari enam ayat ini diturunkan di Mekkah (Makkiyah) pada fase awal dakwah Rasulullah Muhammad ﷺ. Pengertian surat Al-Kafirun secara esensial adalah deklarasi ketegasan akidah, penegasan batas yang tidak bisa dikompromikan antara Tauhid (mengesakan Allah) dan praktik Syirik (menyekutukan-Nya), sekaligus menjadi landasan utama bagi pemahaman konsep toleransi dalam bingkai Islam.

Surat ini menjadi sebuah monumen yang berdiri kokoh, memisahkan secara definitif jalan orang-orang yang beriman dengan jalan orang-orang yang ingkar. Pembahasan mendalam mengenai surat ini membutuhkan pemahaman yang utuh, tidak hanya dari sisi terjemah literal, tetapi juga dari konteks historis, linguistik, dan implikasi akidahnya yang luas, yang menjadi fokus utama dalam kajian komprehensif ini.

I. Teks, Terjemah, dan Data Dasar Surat Al-Kafirun

Surat Al-Kafirun adalah jawaban langsung dari Allah SWT atas upaya tawar-menawar akidah yang dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy terhadap Rasulullah ﷺ. Dinamakan Al-Kafirun (Orang-orang Kafir) karena seluruh isinya diarahkan kepada mereka, menetapkan batasan yang tidak dapat ditembus.

1. Ayat-ayat Surat Al-Kafirun

  1. قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
    1. Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!
  2. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ
    2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
  3. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
    3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
  4. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ
    4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
  5. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
    5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
  6. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
    6. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

II. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Surat) dan Konteks Historis

Pemahaman yang mendalam mengenai pengertian surat Al-Kafirun tidak terlepas dari konteks saat surat ini diturunkan. Surat ini turun di Mekkah, pada masa dakwah yang penuh tekanan dan permusuhan dari kaum Quraisy, yang merasa terancam dengan ajaran Tauhid yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ.

1. Tawaran Kompromi dari Musyrikin Quraisy

Riwayat-riwayat Asbabun Nuzul yang masyhur menyebutkan bahwa surat ini turun sebagai respons terhadap proposal aneh yang diajukan oleh tokoh-tokoh Quraisy, seperti Walid bin Mughirah, Aswad bin Muththalib, Umayyah bin Khalaf, dan lainnya. Mereka mencoba mencari jalan tengah agar konflik dengan Nabi Muhammad ﷺ mereda.

Inti Tawaran Kompromi: Kaum musyrikin mengusulkan agar Rasulullah ﷺ menyembah berhala-berhala mereka (Latta, Uzza, Manat) selama satu tahun, dan sebagai imbalannya, mereka akan menyembah Allah Tuhan Nabi Muhammad ﷺ selama satu tahun berikutnya. Proposal ini bertujuan untuk mencampurkan kebenaran dengan kebatilan (sinkretisme agama) demi kepentingan politik dan sosial.

Dalam pandangan Quraisy, ini adalah tawaran yang ‘adil’ dan jalan keluar untuk menyatukan masyarakat Mekkah yang terpecah. Namun, dari sudut pandang akidah, tawaran ini adalah proposal yang menghancurkan inti Tauhid, karena menyamakan Pencipta dengan makhluk, dan menyamakan ibadah murni kepada Allah dengan penyembahan berhala.

2. Posisi Surat dalam Pematangan Akidah

Surat Al-Kafirun hadir bukan hanya sebagai penolakan, tetapi sebagai sebuah deklarasi permanen bahwa akidah (prinsip keyakinan) tidak mengenal kompromi, negosiasi, atau rotasi. Jika surat Al-Ikhlas menjelaskan siapa Allah (Tauhid rububiyyah dan asma wa sifat), maka Al-Kafirun menjelaskan bagaimana cara ibadah hanya ditujukan kepada-Nya (Tauhid uluhiyyah), dan bagaimana membedakan diri dari orang-orang yang menyekutukan-Nya.

III. Tafsir dan Analisis Linguistik Ayat per Ayat (5000 Kata Konten)

Untuk memahami pengertian surat Al-Kafirun secara mendalam, kita harus membedah setiap frasa dan pengulangan dalam ayat-ayatnya, sebagaimana diulas oleh para mufassir klasik dan kontemporer.

A. Ayat 1: Panggilan yang Tegas (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ)

Perintah "Qul" (Katakanlah) di sini adalah perintah ilahiah langsung kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ini menunjukkan bahwa isi surat ini bukanlah pendapat pribadi Rasulullah, melainkan wahyu yang harus disampaikan tanpa ragu. Panggilan "Ya Ayyuhal Kafirun" (Wahai orang-orang kafir) adalah bentuk panggilan yang umum digunakan untuk menunjuk kelompok yang jelas menolak kebenaran, terlepas dari apakah mereka adalah kerabat atau tetangga beliau.

Analisis 'Qul' dan Implikasinya dalam Dakwah

Perintah 'Qul' muncul berkali-kali dalam Al-Qur'an, menandakan pentingnya poin yang disampaikan. Dalam konteks ini, ‘Qul’ menggarisbawahi urgensi pemutusan tawar-menawar akidah. Muhammad Ibnu Jarir At-Tabari menjelaskan bahwa Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk secara eksplisit menyampaikan pemisahan, memastikan bahwa tidak ada kebingungan sedikit pun mengenai posisi Islam terhadap Syirik.

Sebagian ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir, mencatat bahwa panggilan ini juga mencakup mereka yang secara fisik hadir dan mereka yang akan datang di masa depan, yang memiliki sifat kekafiran yang sama. Ini adalah pernyataan universal, bukan hanya ditujukan kepada individu tertentu di Mekkah pada saat itu.

B. Ayat 2: Penolakan Ibadah Saat Ini (لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ)

Ayat ini adalah penegasan negatif pertama. Kata kerja yang digunakan, "A'budu" (Aku menyembah), menggunakan bentuk *fi'l mudhari'* (kata kerja masa kini/akan datang). Ini berarti: "Saat ini, dan di masa depan, aku tidak akan pernah menyembah sesembahan yang kamu sembah."

C. Ayat 3: Penolakan Status Keimanan Mereka (وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ)

Ayat ini adalah afirmasi kedua, namun diarahkan kepada orang-orang kafir. Frasa ini menggunakan kata sifat aktif (*Ism Fa'il*), "Aabidun" (orang yang beribadah/penyembah), yang sering menunjukkan keadaan yang pasti atau sifat yang melekat.

Perbedaan Gramatikal dan Intensi

Mufassir seperti Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi menyoroti pentingnya perbedaan antara ayat 2 dan 3. Ayat 2 menolak tindakan; Ayat 3 menolak status atau kesiapan spiritual mereka.

Mengapa Allah menyatakan bahwa mereka tidak akan menyembah Tuhan yang disembah Nabi Muhammad? Para ulama tafsir menjelaskan:

  1. Penolakan Ikhlas: Mereka mungkin menyembah Allah, tetapi mereka mencampurkannya dengan syirik (seperti haji sambil bertalbih kepada berhala). Ibadah yang bercampur syirik bukanlah ibadah yang sah di sisi Allah, sehingga mereka tidak dianggap "Aabiduna" (penyembah sejati) bagi Tuhan yang Esa.
  2. Pengetahuan Ilahi: Allah sudah mengetahui bahwa orang-orang kafir yang diajak bicara (terutama para pemimpin yang keras kepala) ini tidak akan pernah beriman sebelum mereka mati (seperti Abu Jahal dan Walid bin Mughirah). Ini adalah pemberitahuan dari Ghaib (kabar gaib) tentang nasib akidah mereka.

D. Ayat 4 dan 5: Pengulangan untuk Penegasan Mutlak

Dua ayat berikutnya mengulangi penolakan dan afirmasi yang sama, namun dengan sedikit variasi linguistik.

Hikmah Pengulangan (Taqrir wa Taukiid)

Pengulangan dalam bahasa Arab, terutama dalam Al-Qur'an, bukanlah redundansi, melainkan penegasan (Taukiid) dan penolakan yang mutlak (Bara’ah). Para ulama tafsir menawarkan beberapa perspektif mengapa empat penolakan disampaikan:

  1. Penolakan Masa Depan vs. Masa Lalu: Pengulangan ini menolak ibadah mereka, baik yang bersifat sekarang maupun yang di masa depan (Ayat 2 dan 3), dan menolak kemungkinan ibadah timbal balik di masa lalu atau masa mendatang (Ayat 4 dan 5). Dengan kata lain, tidak ada periode waktu (dulu, sekarang, atau masa depan) di mana ibadah kepada Allah dan ibadah kepada selain-Nya bisa dicampur.
  2. Penolakan Zat dan Sifat: Pengulangan pertama (Ayat 2 & 3) menolak ibadah itu sendiri. Pengulangan kedua (Ayat 4 & 5) menolak kemungkinan bahwa Nabi Muhammad ﷺ atau kaum Muslimin akan pernah memiliki sifat ‘penyembah’ tandingan Allah, dan sebaliknya. Ini menegaskan pemisahan identitas teologis.
  3. Menghilangkan Keraguan: Karena tawar-menawar kaum Quraisy sangat kuat dan berulang, jawaban dari Allah pun harus sangat kuat dan berulang, menutup semua celah interpretasi yang bisa digunakan untuk membenarkan sinkretisme.

Imam Ar-Razi, dalam Mafatih al-Ghaib, menegaskan bahwa empat ayat ini secara berturut-turut merobohkan seluruh struktur tawar-menawar kompromi yang diajukan oleh kaum musyrikin.

E. Ayat 6: Puncak Pemisahan dan Batasan Toleransi (لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ)

Ayat terakhir ini adalah kesimpulan dan klimaks dari seluruh surat. Ayat ini menetapkan prinsip fundamental yang sering disalahpahami dalam konteks modern: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

1. Definisi Kata ‘Din’ (Agama)

Kata 'Din' dalam konteks ini tidak hanya berarti ritual atau kepercayaan, tetapi mencakup seluruh jalan hidup (manhaj), sistem keyakinan, hukum, dan praktik yang diikuti oleh seseorang. Oleh karena itu, frasa ini berarti: "Bagi kalian sistem keyakinan dan praktik kalian, dan bagi kami sistem keyakinan dan praktik kami."

2. Batasan Akidah dan Ibadah (Al-Barā’ah)

Ayat ini adalah deklarasi Al-Barā’ah (pemutusan hubungan) dalam hal akidah dan ibadah. Setelah empat kali penolakan, ayat ini secara definitif menyatakan bahwa jalan ibadah Islam telah terpisah sepenuhnya dari praktik syirik. Tidak ada titik temu dalam hal penyembahan dan keyakinan dasar mengenai Tuhan.

Imam As-Sa'di menjelaskan bahwa ayat ini adalah ancaman terselubung dan sekaligus penolakan total. Ini seperti mengatakan, "Ketika aku telah menolak keyakinan kalian, dan kalian telah menolak keyakinanku, maka tidak ada lagi yang tersisa selain pemisahan total. Kalian akan menanggung akibat dari keyakinan kalian, dan aku akan menanggung akibat dari keyakinanku."

3. Penafsiran yang Benar mengenai Toleransi

Seringkali, ayat "Lakum Dinukum Wa Liya Din" dikutip sebagai dasar universal untuk relativisme agama (semua agama sama). Namun, dalam kerangka tafsir Islam yang benar, ayat ini tidak berarti mengakui kebenaran atau validitas yang sama dari agama lain (karena ayat-ayat sebelumnya telah menolaknya). Sebaliknya, ayat ini adalah dasar bagi:

IV. Implikasi Akidah dan Pilar Tauhid

Surat Al-Kafirun dijuluki sebagai salah satu ‘surat pemurnian’ (bersama Al-Ikhlas). Pengertian surat Al-Kafirun memperkuat fondasi keimanan seorang Muslim, terutama dalam konsep Walaa’ wa Baraa’.

1. Penegasan Tauhid Uluhiyyah

Tauhid Uluhiyyah adalah keyakinan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang berhak disembah dan diibadahi. Surat Al-Kafirun adalah manifesto paling jelas tentang Tauhid Uluhiyyah, karena ia langsung menolak segala bentuk ibadah kepada selain Allah. Surat ini mengajarkan Muslim untuk memiliki kejelasan ibadah yang tidak bercampur dengan keraguan (Syubhat) atau kesyirikan (Syirik).

2. Prinsip Al-Walaa’ wal Barā’ (Loyalitas dan Pemutusan)

Surat ini membentuk dasar dari prinsip akidah Al-Walaa’ (loyalitas dan kecintaan) kepada Allah dan kaum Muslimin, dan Al-Barā’ (pemutusan, penolakan, dan ketidaksetujuan) terhadap Syirik dan pelakunya. Pemutusan yang dimaksud di sini bersifat akidah dan ibadah, bukan pemutusan hubungan sosial atau kemanusiaan secara total. Seorang Muslim dituntut untuk mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dibenci Allah—termasuk praktik kesyirikan.

3. Jihadul Hujjah (Perjuangan dengan Argumen)

Surat ini membuktikan bahwa perjuangan awal Rasulullah ﷺ di Mekkah adalah "Jihadul Hujjah" (perjuangan dengan argumen dan bukti). Surat Al-Kafirun adalah hujjah (argumen) yang tidak terbantahkan, yang secara tegas menolak upaya musuh untuk melemahkan fondasi agama Islam. Ini menunjukkan bahwa pertahanan akidah adalah bentuk jihad yang paling mendasar.

V. Hikmah dan Keutamaan Surat Al-Kafirun dalam Sunnah

Karena bobot akidahnya yang monumental, Rasulullah ﷺ memberikan keutamaan khusus pada pembacaan Surat Al-Kafirun dalam berbagai kesempatan.

1. Surat Penolak Syirik Sebelum Tidur

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan para sahabat membaca surat ini sebelum tidur. Beliau bersabda: "Bacalah 'Qul Ya Ayyuhal Kafirun', kemudian tidurlah setelah selesai, karena ia adalah pembebas (baraa’ah) dari syirik." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Hal ini berfungsi sebagai pengingat akidah terakhir sebelum tidur, memastikan seorang hamba wafat dalam keadaan Tauhid jika ajalnya tiba di malam hari.

2. Pasangan Surat Al-Ikhlas dalam Shalat

Rasulullah ﷺ sering menggandengkan Surat Al-Kafirun dan Surat Al-Ikhlas dalam rakaat shalat sunnah, seperti pada shalat fajar (sebelum Shubuh), shalat Maghrib setelah fardhu, dan shalat Witir.

Makna Pasangan:

  1. Al-Kafirun menjelaskan Tauhid Uluhiyyah (Siapa yang tidak boleh disembah).
  2. Al-Ikhlas menjelaskan Tauhid Rububiyyah dan Asma’ wa Sifat (Siapa Dzat yang disembah).
Kedua surat ini, jika digabungkan, mencakup keseluruhan konsep Tauhid dan penolakan Syirik, memberikan kesempurnaan akidah dalam setiap ibadah.

3. Surat dalam Tawaf

Surat ini juga disunnahkan dibaca setelah membaca Surat Al-Fatihah dalam dua rakaat Shalat Sunnah Tawaf (di belakang Maqam Ibrahim), sebagai pengingat bahwa thawaf, yang dulunya tercemar syirik di masa Jahiliyah, kini telah dimurnikan untuk Allah semata.

VI. Studi Mendalam: Perbedaan Tafsir Antara Ayat 2/3 dan 4/5

Untuk mencapai kedalaman pemahaman (yang diperlukan untuk kajian panjang ini), perbedaan tata bahasa antara Ayat 2/3 dan 4/5 memerlukan analisis yang sangat rinci dari sudut pandang Balaghah (retorika Al-Qur'an) dan nahwu (gramatika).

1. Analisis Ayat 2 dan 3 (Menggunakan Fi'l Mudhari' dan Ism Fa'il)

Ayat 2: لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (Aku tidak menyembah...) - Menggunakan kata kerja masa kini/masa datang. Menolak tindakan yang sedang terjadi atau akan terjadi.

Ayat 3: وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (Dan kalian bukan penyembah...) - Menggunakan Ism Fa'il (kata sifat pelaku). Menegaskan status. Status "penyembah" Tuhan yang Esa tidak melekat pada mereka karena ibadah mereka tidak murni.

2. Analisis Ayat 4 dan 5 (Menggunakan 'Anā dan Mā 'Abadtum)

Ayat 4: وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ (Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah) - Penggunaan 'Anā' (saya) yang diulang, menekankan subjek. Penggunaan Mā 'Abadtum (apa yang telah kamu sembah) merujuk pada ibadah di masa lalu. Ini menolak historisitas: tidak ada riwayat dalam hidupku aku pernah menyembah apa yang kalian sembah, dan aku tidak akan pernah menjadi seperti itu.

Ayat 5: وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (Dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah) - Menggunakan Mā A'bud (apa yang aku sembah). Ini menegaskan penolakan bahwa mereka pernah atau akan pernah mencapai tingkat ibadah murni kepada Allah.

Kesimpulan Balaghah: Pengulangan dan variasi gramatikal ini berfungsi sebagai penguatan penolakan total dari segala dimensi waktu dan keadaan. Tidak hanya Rasulullah ﷺ menolak mengikuti ibadah mereka, tetapi beliau juga menolak sifat atau identitas sebagai penyembah berhala, baik dahulu, sekarang, maupun di masa mendatang. Ini adalah contoh keindahan retorika Al-Qur'an dalam menghadapi kompromi yang culas.

VII. Menangkis Kesalahpahaman Modern tentang Surat Al-Kafirun

Di era pluralisme dan dialog antar-agama, pengertian surat Al-Kafirun sering disalahpahami, terutama ayat terakhir, "Lakum Dinukum Wa Liya Din."

1. Bukan Relativisme Agama (Equality of Truths)

Kesalahpahaman terbesar adalah bahwa ayat 6 menyiratkan bahwa semua agama adalah sama benarnya. Tafsir yang benar menolak pandangan ini. Jika semua agama sama benarnya, maka seluruh surat ini—yang merupakan deklarasi pemutusan total dari syirik—menjadi tidak relevan. Konteks surat ini adalah pemisahan jalan: Allah menjamin kebebasan individu untuk memilih jalan, tetapi tidak mengakui kebenaran dari jalan selain Tauhid.

Dalam Islam, kebenaran (Al-Haqq) adalah tunggal. Ayat ini memastikan koeksistensi sosial, bukan koeksistensi teologis. Ini adalah perintah untuk mundur dari perdebatan dan tawar-menawar akidah, menegaskan bahwa hasil akhir di hadapan Allah hanya dimiliki oleh satu jalan.

2. Perbedaan antara Koeksistensi dan Kompromi

Surat Al-Kafirun mengajarkan dua hal yang seimbang:

  1. Kompromi Akidah Dilarang Keras: Tidak ada pencampuran ibadah.
  2. Koeksistensi Sosial Diperintahkan: Membiarkan mereka dengan agama mereka ('Lakum Dinukum') adalah perintah untuk tidak memaksa mereka beriman, sejalan dengan QS Al-Baqarah [2]: 256, "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama."

Toleransi sejati dalam Islam, sebagaimana digariskan oleh surat ini, adalah menghormati hak mereka untuk menjalankan keyakinannya tanpa paksaan dari Muslim, sambil tetap mempertahankan kemurnian akidah Muslim tanpa partisipasi dalam ritual non-Muslim.

VIII. Surat Al-Kafirun dan Masa Depan Identitas Muslim

Dalam masyarakat global yang semakin homogen, surat Al-Kafirun memiliki relevansi kontemporer yang mendalam dalam menjaga identitas seorang Muslim.

1. Menghadapi Tekanan Asimilasi Kultural

Muslim modern sering dihadapkan pada tekanan kultural untuk mengaburkan batas-batas keyakinan demi ‘integrasi’. Surat Al-Kafirun menjadi benteng psikologis yang mengingatkan bahwa sementara Muslim harus berinteraksi, berdagang, dan hidup damai dengan semua orang (muamalat), identitas ibadah dan keyakinan (din) harus tetap murni dan berbeda.

2. Kejelasan dalam Dialog Antar-Iman

Surat ini memberikan kerangka kerja yang jelas untuk dialog antar-iman. Dialog yang efektif harus dimulai dengan kejujuran mengenai perbedaan mendasar. Muslim harus mampu menyatakan dengan tegas, sesuai perintah 'Qul', bahwa dalam hal Tauhid dan Syirik, tidak ada titik temu. Kejelasan ini justru menghasilkan toleransi yang jujur, karena setiap pihak mengetahui batas yang tidak boleh dilanggar.

3. Kekuatan di Tengah Minoritas

Bagi Muslim yang hidup sebagai minoritas, surat ini memberikan kekuatan spiritual dan psikologis. Ia mengingatkan bahwa meskipun jumlah mereka sedikit (seperti di Mekkah), mereka memegang kebenaran yang paling murni, dan mereka harus memegang teguh garis pemisah ini, menjaga hati dan amal dari syirik.

IX. Kesimpulan: Makna Abadi Surat Al-Kafirun

Pengertian surat Al-Kafirun melampaui enam ayat pendek. Ia adalah pilar akidah yang mengajarkan pemisahan yang jelas dan tegas antara kebenaran (Tauhid) dan kebatilan (Syirik), yang disampaikan pada momen paling krusial dalam sejarah Islam. Surat ini adalah penegasan bahwa identitas seorang Muslim dibangun di atas keikhlasan ibadah kepada Allah Yang Maha Esa, dan akidah tidak dapat ditukar dengan keuntungan duniawi apa pun.

Surat ini adalah deklarasi kemerdekaan akidah. Bagi Rasulullah ﷺ, surat ini adalah penutupan negosiasi yang tidak akan pernah dibuka kembali. Bagi umatnya, ia adalah kompas spiritual yang selalu menunjuk pada kemurnian Tauhid, memastikan bahwa "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku," menjadi dasar bagi perdamaian sosial yang dibangun di atas pondasi keyakinan yang tidak tergoyahkan.

Dengan memahami secara mendalam setiap kata dan konteks turunnya surat Al-Kafirun, seorang Muslim dapat menjalankan kehidupan di tengah masyarakat majemuk dengan integritas akidah yang kuat, tanpa jatuh ke dalam perangkap sinkretisme atau kompromi teologis yang dapat merusak esensi keimanan.

🏠 Homepage