Dalam ajaran Islam, konsumsi makanan bukan sekadar urusan perut semata. Ia melibatkan aspek spiritual, moral, dan etika yang mendalam. Al-Qur'an, sebagai kitab suci pedoman umat Muslim, memberikan petunjuk yang jelas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, serta bagaimana seharusnya kita memandang rezeki yang Allah SWT berikan. Dua ayat penting dari Surah Al-Baqarah, yaitu ayat ke-168 dan ke-172, memberikan landasan kuat mengenai pentingnya mengonsumsi makanan yang halal dan tayyib (baik) serta kewajiban untuk bersyukur atas nikmat tersebut.
Ayat 168 dari Surah Al-Baqarah berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Ayat ini adalah seruan universal kepada seluruh umat manusia. Allah SWT memerintahkan kita untuk memakan makanan yang berasal dari bumi, yang memiliki dua kriteria utama: halal dan tayyib. "Halal" merujuk pada segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat Islam untuk dikonsumsi, baik dari segi jenisnya maupun cara memperolehnya. Ini mencakup larangan terhadap babi, bangkai, darah, dan hewan yang disembelih tidak sesuai syariat.
Sementara itu, "tayyib" memiliki makna yang lebih luas. Ia berarti baik, bersih, sehat, bergizi, dan tidak membahayakan tubuh maupun akal. Makanan yang tayyib adalah makanan yang memberikan manfaat, bukan mudharat. Ini bisa mencakup menghindari makanan yang kotor, busuk, atau hasil dari cara-cara yang curang dan merugikan. Jadi, konsep makanan dalam Islam tidak hanya berhenti pada kebolehan syariat, tetapi juga menekankan kualitas dan manfaatnya bagi kemaslahatan hidup manusia.
Pentingnya kedua aspek ini ditegaskan dengan peringatan agar tidak mengikuti langkah-langkah setan. Setan senantiasa berusaha menyesatkan manusia, termasuk dalam urusan makan dan minum. Ia akan membisikkan keraguan, membuai dengan kenikmatan sesaat, atau mendorong untuk mencari rezeki dengan cara yang haram dan tidak baik. Mengabaikan perintah makan halal dan tayyib berarti membuka pintu bagi pengaruh buruk setan yang dapat merusak kehidupan duniawi dan akhirat.
Selanjutnya, Surah Al-Baqarah ayat 172, berbicara tentang respons kita terhadap rezeki yang telah diberikan:
فَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَٱشۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
Ayat ini merupakan kelanjutan logis dari ayat sebelumnya. Setelah diperintahkan untuk memakan yang halal lagi baik, kita diwajibkan untuk bersyukur atas karunia tersebut. Kata "rezeki" yang digunakan dalam ayat ini menegaskan bahwa setiap makanan yang kita nikmati adalah anugerah dari Allah SWT. Tidak ada sebutir nasi atau setetes air yang kita konsumsi kecuali atas izin dan pemberian-Nya.
Bersyukur dalam konteks ini bukan hanya sekadar ucapan "Alhamdulillah" di lidah, namun juga diwujudkan dalam tindakan. Bentuk kesyukuran yang paling mendasar adalah dengan mengonsumsi rezeki tersebut sesuai dengan perintah-Nya, yaitu dengan memilih yang halal dan tayyib. Menggunakan karunia Allah untuk hal-hal yang dilarang atau merugikan diri sendiri dan orang lain adalah bentuk ketidaksetiaan dan kekufuran terhadap nikmat-Nya.
Lebih lanjut, ayat ini menghubungkan rasa syukur dengan keimanan dan ketakwaan. "Jika kamu beriman" menjadi syarat yang menekankan bahwa tindakan bersyukur ini adalah manifestasi dari keyakinan hati kepada Allah SWT. Orang yang benar-benar beriman akan selalu menyadari siapa pemberi rezeki sejati dan akan senantiasa menjaga diri dari hal-hal yang tidak disukai-Nya. Ketakwaan kepada Allah adalah inti dari keimanan, dan salah satu wujudnya adalah ketaatan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam memilih dan mengonsumsi makanan.
Memahami Al-Baqarah ayat 168 dan 172 memiliki implikasi penting dalam kehidupan kita. Pertama, ini mendorong kita untuk lebih selektif dalam memilih makanan. Kita perlu bertanya pada diri sendiri, apakah makanan yang akan kita konsumsi ini halal? Dari mana sumbernya? Bagaimana cara memperolehnya? Apakah makanan ini baik bagi kesehatan dan tidak membahayakan?
Kedua, ayat-ayat ini mengingatkan kita untuk menjauhi segala bentuk rezeki yang haram, seperti hasil korupsi, penipuan, riba, atau pekerjaan yang melanggar syariat. Rezeki yang haram tidak akan membawa keberkahan, bahkan dapat mendatangkan musibah dan kecelakaan.
Ketiga, kita diajarkan untuk selalu merasa cukup dan bersyukur atas rezeki yang Allah berikan, sekecil apapun itu. Nikmat makan adalah karunia besar yang sering kali kita lupakan. Dengan bersyukur, hati menjadi lebih tenang, rezeki menjadi lebih berkah, dan kita terhindar dari sifat serakah dan ketidakpuasan.
Keempat, ayat-ayat ini menjadi pengingat akan keberadaan setan sebagai musuh yang nyata. Dengan berpegang teguh pada perintah Allah untuk makan makanan halal dan tayyib serta senantiasa bersyukur, kita telah membangun benteng pertahanan diri dari godaan dan tipu daya setan.
Dengan merenungi dan mengamalkan petunjuk dari Al-Baqarah ayat 168 dan 172, diharapkan umat Muslim dapat menjadikan makanan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjaga kesehatan fisik dan jiwa, serta meraih keberkahan dalam setiap aspek kehidupan. Pilihlah yang halal, nikmati yang baik, dan senantiasalah bersyukur atas segala karunia-Nya.