Ayat Al-Qur'an merupakan pedoman hidup umat Muslim di seluruh dunia. Setiap ayat memiliki kedalaman makna dan hikmah yang tiada tara, mengajarkan tentang tauhid, ibadah, akhlak, dan muamalah. Salah satu ayat yang sering menjadi renungan adalah Surah Al-Baqarah ayat 172. Ayat ini mengandung perintah yang jelas dari Allah SWT kepada orang-orang yang beriman, serta memberikan penekanan pada pentingnya mengonsumsi makanan yang baik dan halal.
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah rezeki yang baik-baik yang telah Kami perjelaskan untukmu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah."
Ayat ini diawali dengan panggilan ilahi yang mulia, "Hai orang-orang yang beriman." Panggilan ini menunjukkan bahwa ayat ini secara khusus ditujukan kepada mereka yang telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT. Ini bukan sekadar panggilan retoris, melainkan penegasan bahwa Allah berbicara langsung kepada hamba-hamba-Nya yang taat, membimbing mereka menuju jalan kebaikan dan keberkahan.
Selanjutnya, ayat ini menyampaikan perintah utama: "makanlah rezeki yang baik-baik yang telah Kami perjelaskan untukmu." Kata "thayyibat" (طيبات) dalam bahasa Arab memiliki makna yang luas, mencakup segala sesuatu yang baik, bersih, suci, halal, dan bermanfaat, baik itu makanan, minuman, maupun rezeki lainnya. Perintah ini tidak hanya sekadar urusan perut, tetapi memiliki dimensi spiritual dan moral yang mendalam. Allah SWT tidak hanya memerintahkan umatnya untuk makan, tetapi untuk mengonsumsi sesuatu yang memang telah ditetapkan baik oleh syariat maupun akal. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan kualitas rezeki yang masuk ke dalam tubuh seorang Muslim.
Frasa "yang telah Kami perjelaskan untukmu" mengindikasikan bahwa Allah telah memberikan batasan dan panduan mengenai apa saja yang termasuk dalam kategori rezeki yang baik. Ini merujuk pada makanan dan minuman yang dihalalkan dalam syariat Islam, serta menghindari yang diharamkan seperti bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Penjelasan ini bersifat inheren dalam ajaran Islam, yang dikomunikasikan melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Bagian kedua dari ayat ini menegaskan, "dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya kepada-Nya menyembah." Perintah bersyukur ini sangat erat kaitannya dengan perintah mengonsumsi rezeki yang baik. Mensyukuri nikmat rezeki yang halal adalah bentuk pengakuan dan penghambaan kepada Allah SWT. Rasa syukur akan menumbuhkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Allah, sehingga hati menjadi lebih tenang, tawadhu', dan terhindar dari kesombongan.
Hubungan antara bersyukur dan ibadah kepada Allah ditegaskan dalam frasa "jika kamu hanya kepada-Nya menyembah." Ini berarti bahwa kesyukuran yang tulus hanya akan terwujud ketika seseorang menjadikan Allah sebagai satu-satunya sumber ibadah dan tidak menyekutukan-Nya. Ketika seorang mukmin mengonsumsi rezeki yang halal dengan niat bersyukur kepada Allah, maka aktivitas makan tersebut pun bisa bernilai ibadah. Ini adalah salah satu keindahan Islam yang mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan duniawi, ke dalam bingkai ibadah.
Oleh karena itu, Al-Baqarah 172 bukan hanya sekadar ayat tentang makanan. Ia adalah pengingat bagi umat Islam untuk senantiasa menjaga kehalalan rezeki, mengonsumsinya dengan kesadaran sebagai nikmat dari Allah, dan menggunakannya untuk kebaikan. Makanan yang halal dan baik tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan fisik, tetapi juga berpotensi memengaruhi jiwa dan kepribadian seseorang. Makanan yang haram atau diperoleh dari cara yang batil dikhawatirkan akan mendatangkan keburukan dan menghalangi terkabulnya doa.
Ayat ini juga mengajarkan tentang pentingnya keseimbangan antara hak Allah dan hak hamba. Allah memberikan rezeki kepada manusia, dan sebagai balasannya, manusia diperintahkan untuk memakannya dari sumber yang baik dan mensyukurinya. Ini adalah prinsip dasar dalam Islam yang menekankan hubungan timbal balik antara pencipta dan ciptaan.
Selain itu, ayat ini secara implisit menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam mencari rezeki. Mengonsumsi "thayyibat" berarti menjauhi segala bentuk penipuan, korupsi, riba, dan cara-cara haram lainnya dalam memperoleh kekayaan. Hal ini membentuk karakter seorang Muslim yang mulia, yang tidak hanya fokus pada hasil, tetapi juga pada proses pencarian rezekinya.
Terakhir, Al-Baqarah 172 menjadi pengingat bahwa ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada ritual formal seperti shalat dan puasa. Setiap aktivitas yang dilakukan dengan niat karena Allah, sesuai syariat, dan menjauhi larangan-Nya, dapat bernilai ibadah. Memilih makanan yang halal dan mensyukurinya adalah salah satu contoh nyata bagaimana kehidupan sehari-hari seorang mukmin dapat dipenuhi dengan nilai-nilai spiritual. Semoga kita senantiasa diberi kemudahan untuk mengamalkan ajaran yang terkandung dalam ayat mulia ini.