Ikon Kebaikan dan Larangan Sebuah ikon yang menggambarkan pedang (larangan) dan tangan terbuka (kebaikan).

Menelisik Makna Al Baqarah Ayat 173 dan 174: Pedoman Hidup dan Kebaikan

Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, memuat petunjuk, pelajaran, dan larangan yang membentuk kerangka moral dan spiritual bagi kehidupan seorang Muslim. Di antara ayat-ayat yang kaya makna tersebut, Surat Al-Baqarah ayat 173 dan 174 memberikan penekanan kuat pada apa yang diperbolehkan dan dilarang oleh Allah SWT, serta konsekuensi dari keduanya. Memahami kedua ayat ini secara mendalam adalah langkah penting untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan menjalani kehidupan yang sesuai dengan tuntunan-Nya.

Larangan dan Peringatan dalam Al Baqarah Ayat 173

"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa terpaksa memakannya karena kelaparan dan tidak karena keinginan untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 173)

Ayat 173 Surah Al-Baqarah secara eksplisit menyebutkan beberapa jenis makanan yang diharamkan oleh Allah SWT. Pertama adalah bangkai. Ini mencakup hewan yang mati secara alami, tanpa disembelih sesuai syariat. Larangan ini tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik semata, namun juga mengandung hikmah yang lebih dalam mengenai penghormatan terhadap kehidupan dan kematian makhluk.

Kedua adalah darah. Mengonsumsi darah secara langsung dilarang, dan ini mencakup darah yang keluar saat penyembelihan hewan. Larangan ini juga memiliki dasar kesehatan dan kesucian. Darah dianggap sebagai bagian yang paling vital dan suci dari hewan, sehingga tidak pantas dikonsumsi.

Ketiga adalah daging babi. Babi dikenal sebagai hewan yang dalam banyak aspek kurang higienis, dan konsumsi dagingnya telah dilarang dalam berbagai tradisi agama. Dalam Islam, larangan ini bersifat mutlak dan menjadi salah satu ciri pembeda umat Muslim dalam hal makanan.

Keempat adalah hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Ini mencakup hewan yang disembelih untuk berhala, jin, atau untuk tujuan selain mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kriteria ini menekankan pentingnya tauhid (keesaan Allah) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam urusan makanan. Proses penyembelihan haruslah dilakukan dengan niat dan ucapan menyebut nama Allah semata.

Namun, ayat ini juga memberikan sebuah kelonggaran yang sangat penting. Allah SWT menyatakan bahwa bagi mereka yang terpaksa memakan hal-hal yang diharamkan tersebut karena kondisi darurat, seperti kelaparan yang mengancam jiwa, dan bukan karena sengaja melanggar atau berbuat dosa, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kelonggaran ini menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah dan betapa Dia memahami keterbatasan serta kondisi darurat manusia. Prinsip "darurat membolehkan yang terlarang" menjadi kaidah penting dalam fiqih Islam.

Keutamaan Beriman dan Berserah Diri dalam Al Baqarah Ayat 174

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah dari Al-Kitab (Taurat) dan menukarnya dengan harga yang sedikit (duniawi), mereka sebenarnya tidak memakan ke dalam perut mereka, melain-kan api neraka. Dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih." (QS. Al-Baqarah: 174)

Berbeda dengan ayat sebelumnya yang fokus pada larangan konsumsi, ayat 174 Surah Al-Baqarah berbicara tentang konsekuensi dari menyembunyikan kebenaran, khususnya yang berkaitan dengan ajaran-ajaran Allah yang diturunkan dalam kitab-kitab-Nya. Ayat ini secara spesifik ditujukan kepada kaum dari kalangan Ahli Kitab yang menyembunyikan sebagian dari isi kitab suci mereka (seperti Taurat) demi mendapatkan keuntungan duniawi.

Ayat ini memberikan gambaran yang sangat keras mengenai dampak dari tindakan menyembunyikan ilmu atau kebenaran yang berasal dari Allah. Mereka yang melakukannya diibaratkan "memakan api neraka". Ini bukan sekadar metafora, melainkan peringatan keras tentang siksa pedih yang akan mereka terima. Konsekuensinya sangat berat: Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, tidak menyucikan mereka (dari dosa), dan bagi mereka disediakan azab yang sangat menyakitkan.

Makna ayat ini dapat diperluas tidak hanya kepada penyembunyi wahyu, tetapi juga kepada siapa saja yang memiliki pengetahuan, terutama ilmu agama, namun tidak menyampaikannya kepada orang lain karena alasan-alasan duniawi seperti kekuasaan, harta, atau kedudukan. Ini adalah sebuah peringatan agar setiap Muslim yang dikaruniai ilmu senantiasa berusaha menyebarkannya demi kebaikan umat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Kedua ayat ini, meskipun berbicara tentang hal yang berbeda, saling melengkapi dalam memberikan panduan hidup. Ayat 173 memberikan batasan-batasan halal dan haram dalam konsumsi, dengan rahmat dan pengampunan bagi yang terpaksa. Sementara ayat 174 memberikan ancaman bagi mereka yang menyembunyikan kebenaran dan menggunakan ilmu untuk keuntungan pribadi. Keduanya mengajak umat manusia untuk senantiasa berhati-hati dalam setiap tindakan, menjaga kesucian diri, dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam mencari rezeki dan ilmu. Dengan memahami dan mengamalkan pesan-pesan dalam Al Baqarah 173 dan 174, seorang Muslim dapat lebih kokoh dalam keimanan dan lebih bijak dalam menjalani kehidupan di dunia.

🏠 Homepage