Ilustrasi simbolis bulan Ramadhan dan ketaatan.
Bulan Ramadhan memegang tempat istimewa dalam hati setiap Muslim. Bukan hanya sebagai bulan ibadah puasa, tetapi juga sebagai periode refleksi spiritual mendalam. Allah SWT telah mengabadikan keutamaan dan hikmah di balik syariat puasa dalam Surah Al-Baqarah, khususnya pada ayat 185 hingga 190. Ayat-ayat ini bukan sekadar perintah, melainkan panduan komprehensif yang menjelaskan tujuan, aturan, dan manfaat dari ibadah mulia ini.
Ayat pembuka, Al-Baqarah ayat 185, menegaskan kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Allah SWT berfirman:
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Maka barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..."
Ayat ini secara gamblang menyatakan bahwa Ramadhan adalah bulan penurunan Al-Qur'an, kitab suci yang menjadi pedoman hidup. Hal ini memberikan dimensi spiritual yang lebih dalam pada ibadah puasa. Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga momentum untuk lebih dekat dengan kalamullah, merenungi makna ayat-ayat-Nya, dan menjadikannya sebagai sumber cahaya dalam menjalani kehidupan. Keutamaan Ramadhan sebagai bulan Al-Qur'an menjadikan ibadah puasa sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas iman dan pemahaman agama.
Selanjutnya, ayat 186 dan 187 memberikan rincian mengenai hukum dan keringanan dalam berpuasa. Allah SWT berfirman:
"...dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka (wajiblah ia mengganti) sebanyak hari yang ia berbuka itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang ditunjukkannya kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185 - bagian akhir)
"Dihalalkan bagimu pada malam bulan puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkanmu, maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam (fajar), kemudian sempurnakanlah puasa hingga (datangnya) malam, dan janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat-ayat ini menunjukkan betapa rahmat dan kasih sayang Allah tercurah dalam setiap ketetapan syariat-Nya. Keringanan bagi orang sakit atau musafir adalah bukti bahwa ibadah dalam Islam tidaklah memberatkan. Islam selalu mengedepankan kemudahan dan menghilangkan kesukaran. Ayat 187 kemudian memberikan penjelasan yang sangat detail mengenai batas waktu makan dan minum di malam hari, yaitu hingga terbitnya fajar. Hal ini menekankan pentingnya ketepatan waktu dan disiplin dalam menjalankan ibadah. Larangan bercampur dengan istri saat beri'tikaf juga menunjukkan bagaimana Islam menjaga kesucian ibadah dan fokus spiritual, bahkan dalam aspek kehidupan rumah tangga.
Masih dalam rangkaian ayat-ayat puasa, Al-Baqarah ayat 188 memberikan peringatan penting terkait interaksi muamalah:
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui."
Ayat ini secara tegas melarang segala bentuk kecurangan, penipuan, dan pengambilan harta orang lain secara tidak sah. Dalam konteks Ramadhan, larangan ini memiliki penekanan khusus. Semangat puasa yang seharusnya meningkatkan kesadaran akan keberadaan Allah dan keharusan berbuat baik, seharusnya juga termanifestasi dalam kejujuran dalam segala urusan, termasuk dalam hal harta. Ramadhan adalah momentum untuk membersihkan diri tidak hanya dari hawa nafsu syahwat, tetapi juga dari sifat-sifat tercela seperti keserakahan dan ketidakjujuran.
Ayat 189 dan 190 mengalihkan fokus pada pertanyaan sahabat mengenai awal dan akhir bulan Ramadhan, serta izin berjihad.
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah: 'Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, tetapi kebajikan (ialah) orang yang bertakwa, dan masuklah kamu ke rumah-rumah dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung." (QS. Al-Baqarah: 189)
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangimu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (QS. Al-Baqarah: 190)
Ayat 189 menjelaskan bahwa penampakan hilal (bulan sabit) adalah penanda waktu bagi umat manusia, khususnya untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan serta pelaksanaan ibadah haji. Ini menekankan pentingnya rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan dalam kalender Hijriah. Ayat ini juga mengingatkan agar tidak melakukan praktik-praktik syirik atau keliru dalam memasuki rumah, dan mengarahkan agar senantiasa bertakwa.
Sementara itu, ayat 190 memberikan tuntunan mengenai berperang di jalan Allah. Perang diperbolehkan hanya sebagai respons terhadap serangan musuh, namun ditekankan pentingnya tidak melampaui batas. Prinsip keadilan, tidak membunuh yang tidak bersalah, dan tidak melakukan kerusakan berlebihan adalah nilai-nilai luhur yang diajarkan Islam, bahkan dalam konteks perang. Ini menunjukkan bahwa syariat Islam adalah syariat yang adil dan humanis.
Secara keseluruhan, rangkaian ayat Al-Baqarah 185-190 memberikan pemahaman yang kaya tentang puasa Ramadhan. Mulai dari kewajiban, tujuan spiritualnya sebagai bulan Al-Qur'an, aturan-aturan yang penuh keringanan, larangan dari perbuatan batil, hingga tuntunan mengenai penentuan waktu ibadah dan etika berjihad. Ayat-ayat ini menjadi bekal berharga bagi setiap Muslim untuk menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran, kekhusyukan, dan pemahaman yang mendalam.