Dalam lembaran-lembaran suci Al-Qur'an, terdapat panduan komprehensif bagi umat manusia, mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk hubungan interpersonal yang paling mendasar, yaitu pernikahan. Salah satu ayat yang memberikan pencerahan mendalam mengenai dinamika pernikahan, khususnya terkait pemilihan pasangan, adalah Surah Al-Baqarah ayat 221. Ayat ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah prinsip yang membentuk fondasi rumah tangga yang diberkahi.
Ayat ini secara tegas melarang pernikahan antara pria mukmin dengan wanita musyrik, serta wanita mukmin dengan pria musyrik, kecuali wanita musyrik tersebut telah beriman. Penekanan pada "beriman" menjadi kunci utama. Mengapa demikian? Iman, dalam konteks ini, merujuk pada keyakinan mendalam terhadap Allah SWT, ajaran-Nya, dan Rasul-Nya. Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang dibangun atas dasar kesamaan prinsip, visi, dan tujuan hidup. Membangun rumah tangga tanpa landasan keyakinan yang sama ibarat mendirikan bangunan di atas pasir, rentan runtuh ketika badai kehidupan datang.
Implikasi dan Hikmah di Balik Larangan
Alasan utama pelarangan ini adalah demi terciptanya keharmonisan dan kestabilan dalam rumah tangga. Pernikahan yang didasari iman yang sama akan mempermudah kedua belah pihak dalam mengarungi kehidupan, menghadapi cobaan, mendidik anak-anak, dan meraih tujuan akhir yaitu ridha Allah SWT. Ketika suami dan istri memiliki pandangan hidup yang selaras dalam keyakinan, mereka akan lebih mudah untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, membimbing dalam ketakwaan, dan bersama-sama menuju surga.
Ayat ini juga mengingatkan bahwa "wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu." Pernyataan ini menyoroti superioritas nilai keimanan di atas segala sesuatu, termasuk ketampanan atau daya tarik fisik semata. Seorang hamba sahaya yang beriman memiliki potensi untuk menjadi pendamping hidup yang lebih baik, yang akan membawa kebaikan di dunia dan akhirat, dibandingkan seorang wanita merdeka yang tidak memiliki iman. Hal ini menegaskan bahwa standar pemilihan pasangan dalam Islam tidak didasarkan pada status sosial atau penampilan, melainkan pada ketakwaan dan keimanan.
Demikian pula, larangan menikahkan wanita mukmin dengan pria musyrik menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga kehormatan wanita mukmin dan aset terpenting dari umat Islam, yaitu generasi penerus. Membiarkan wanita mukmin menikah dengan pria yang tidak memiliki dasar keyakinan yang sama akan berisiko besar terhadap akidah anak-anak mereka kelak.
Pesan terakhir dalam ayat ini sungguh menggugah: "Mereka (orang-orang musyrik) mengajak kamu ke neraka, sedang Allah mengajak kamu ke surga dan ampunan dengan izin-Nya." Ini adalah pengingat keras bahwa pilihan pasangan hidup memiliki konsekuensi spiritual yang sangat besar. Pasangan yang tidak memiliki iman yang sama, secara inheren, membawa pengaruh yang dapat menjauhkan dari jalan Allah dan justru mengarahkan pada jurang kesesatan. Sebaliknya, Allah menawarkan jalan kemudahan, ampunan, dan surga bagi mereka yang berpegang teguh pada iman dan mengikuti petunjuk-Nya.
Oleh karena itu, Al-Baqarah ayat 221 bukan sekadar aturan, melainkan sebuah bimbingan ilahi untuk membangun keluarga yang kokoh di atas fondasi keimanan, yang akan membawa kebahagiaan duniawi dan keselamatan ukhrawi. Memilih pasangan yang seiman adalah investasi terbaik untuk masa depan yang diberkahi.