وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Wa lan tarḍā 'ankal-yahūdu wa lan-naṣārā ḥattā tattabi‘a miltahum, qul inna hudallāhi huwal-hudā, wa la'inittaba‘ta aḥwā'ahum ba‘dal-ladzī jā'aka minal-'ilmi mā laka minallāhi miw waliyyiw wa lā naṣīr.
Orang Yahudi dan orang Nasrani tidak akan ridha kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya." Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) datang kepadamu, maka tidak ada pelindung dan penolong bagimu dari Allah.
وَمَن يَرۡغَبُ عَن مِلَّةِ إِبۡرَٰهِيمَ إِلَّا مَن سَفِهَ نَفۡسَهُۥۚ وَلَقَدِ ٱصۡطَفَيۡنَٰهُ فِي ٱلدُّنۡيَاۖ وَإِنَّهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ لَمِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ
Wa mayyarghabu 'an mīllati ibrāhīma illā man sahifa nafsah, wa laqadis-ṭafaynāhu fīḍ-dunyā, wa innahū fīl-ākhirati laminaṣ-ṣāliḥīn.
Dan tidak ada yang membenci agama Ibrahim, melainkan orang yang menipu dirinya sendiri. Dan sungguh, Kami telah memilihnya di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang saleh.
Surah Al Baqarah, ayat 120 dan 130, mengandung pesan yang sangat fundamental bagi umat Islam mengenai keyakinan, prinsip, dan keteguhan iman. Kedua ayat ini, meskipun berbeda fokus, saling melengkapi dalam memberikan panduan tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap dalam menghadapi berbagai pandangan dan ajaran. Ayat 120 secara spesifik menyoroti ketidakmungkinan untuk mendapatkan keridhaan dari kaum Yahudi dan Nasrani, kecuali dengan mengikuti tradisi dan ajaran mereka. Hal ini menegaskan bahwa jalan kebenaran yang sejati adalah petunjuk dari Allah semata.
Ayat 120 dari surah Al Baqarah adalah pengingat yang kuat bahwa upaya untuk menyenangkan semua pihak, terutama ketika hal itu bertentangan dengan prinsip agama, adalah sia-sia dan bahkan berbahaya. Allah SWT menegaskan melalui firman-Nya: "Orang Yahudi dan orang Nasrani tidak akan ridha kepadamu (Muhammad) sampai engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya!'" (QS. Al Baqarah: 120).
Pesan ini memiliki relevansi universal. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan keragaman ideologi dan kepercayaan, umat Islam dituntut untuk memiliki identitas yang jelas dan prinsip yang kokoh. Menjadi seorang Muslim berarti memegang teguh ajaran Islam sebagai sumber kebenaran mutlak. Mencoba mengkompromikan prinsip-prinsip dasar agama demi mendapatkan penerimaan dari kelompok lain adalah sebuah kesesatan yang terlarang. Ayat ini juga mengingatkan bahwa setelah datangnya ilmu dan kebenaran dari Allah, mengikuti hawa nafsu dan keinginan orang lain yang menyimpang akan membuat seseorang kehilangan perlindungan dan pertolongan dari-Nya.
Selanjutnya, ayat 130 dari surah Al Baqarah membawa kita pada sosok Nabi Ibrahim AS, seorang nabi yang sangat dihormati dalam tradisi Islam, Yahudi, dan Kristen. Ayat ini berbunyi: "Dan tidak ada yang membenci agama Ibrahim, melainkan orang yang menipu dirinya sendiri. Dan sungguh, Kami telah memilihnya di dunia, dan sesungguhnya dia di akhirat termasuk orang-orang saleh." (QS. Al Baqarah: 130).
Dalam ayat ini, Allah SWT memuji Nabi Ibrahim dan menegaskan bahwa menolak ajaran atau agama Ibrahim adalah tindakan yang bodoh dan merugikan diri sendiri. Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapak para nabi, seorang yang teguh dalam tauhid, berani menghadapi kaumnya yang menyembah berhala, dan senantiasa mencari kebenaran. Beliau adalah teladan sempurna dalam keikhlasan, ketundukan kepada Allah, dan keberanian membela kebenaran.
Menolak agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim berarti menolak pondasi keimanan yang paling murni, yaitu keesaan Allah (tauhid). Orang yang menolak ajaran murni ini, pada hakikatnya, sedang menipu dirinya sendiri karena menjauhkan diri dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah telah memilih Nabi Ibrahim sebagai sosok yang mulia di dunia dan menjanjikannya kedudukan tinggi di akhirat sebagai orang-orang saleh.
Kedua ayat ini, 120 dan 130, secara bersama-sama mengajarkan kepada umat Islam untuk senantiasa teguh pada ajaran Allah, tidak terpengaruh oleh bujukan atau tekanan dari pihak lain yang memiliki pandangan berbeda, dan menjadikan teladan para nabi, khususnya Nabi Ibrahim, sebagai panutan dalam hidup beragama.
Ayat 120 memberikan peringatan tentang realitas tantangan dalam berdakwah dan mempertahankan keyakinan. Sementara ayat 130 memberikan contoh ideal dan sumber inspirasi, yaitu bagaimana seharusnya seorang mukmin memegang teguh ajaran tauhid yang lurus sebagaimana diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Ini adalah pengingat bahwa jalan kebenaran memang tidak selalu mudah dan seringkali berbenturan dengan pandangan mayoritas atau kelompok yang memiliki kepentingan berbeda. Namun, keteguhan hati, keyakinan pada petunjuk ilahi, dan menjadikan pribadi-pribadi saleh sebagai teladan akan menjadi bekal terpenting dalam menjalani kehidupan ini.
Dalam konteks masa kini, ayat-ayat ini mengajak kita untuk merenungkan kembali fondasi keimanan kita. Apakah kita sudah benar-benar mengikuti petunjuk Allah ataukah ada unsur-unsur yang justru kita ambil dari luar tanpa menyaringnya sesuai dengan ajaran Islam? Apakah kita telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai contoh dalam ketauhidan dan perjuangan kita? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan mengarahkan kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana menjadi seorang Muslim yang sejati, yang senantiasa berada di bawah naungan ridha Allah SWT.