Simbol Al-Qur'an sebagai sumber ilmu dan petunjuk.
Surah Al-Baqarah, ayat 121 hingga 140, menyajikan serangkaian ajaran dan kisah yang mendalam, membimbing umat manusia menuju pemahaman yang lebih baik tentang keimanan, ketaatan, dan konsekuensi dari setiap pilihan. Ayat-ayat ini menyoroti pentingnya mengamalkan ilmu yang didapat, bukan sekadar mengetahuinya, serta menolak segala bentuk penyimpangan dan kebatilan.
Dimulai dari ayat 121, Allah SWT berfirman mengenai orang-orang yang menerima kitab (Al-Qur'an) dan membacanya dengan benar, serta mengamalkannya. Keberkahan dan hidayah akan menyertai mereka. Ini adalah poin krusial: iman bukan hanya pengakuan lisan, melainkan terwujud dalam tindakan nyata. Ayat-ayat ini menegaskan bahwa membaca dan memahami kitab suci tanpa mengimplementasikan ajarannya dalam kehidupan sehari-hari adalah sia-sia.
"Orang-orang yang telah Kami beri Al Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa mengingkari(nya), maka mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. Al-Baqarah: 121)
(Terjemahan harfiah dari ayat 121 Al-Baqarah).
Penekanan pada "membacanya sebagaimana mestinya" mengindikasikan bahwa pemahaman mendalam dan pelaksanaan yang sesuai dengan tuntunan Allah adalah kuncinya. Ini mencakup ketaatan pada perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, serta menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan, dari urusan pribadi hingga sosial.
Ayat 122-123 kembali menekankan keutamaan Bani Israil yang Allah pilih di antara umat-umat pada masa itu, namun pilihan tersebut dikaitkan dengan kewajiban mereka untuk bertakwa kepada Allah dan menghadapi Hari Kiamat. Tidak ada pertolongan yang dapat diberikan oleh seorang anak kepada orang tuanya, atau sebaliknya, pada hari itu. Ini adalah pengingat universal tentang tanggung jawab individu di hadapan Sang Pencipta.
Lebih lanjut, ayat 124 menceritakan tentang ujian yang dihadapi Nabi Ibrahim AS. Setelah diberikan berbagai nikmat, Allah mengujinya dengan beberapa kalimat, yang kemudian dipenuhinya oleh Ibrahim. Allah pun berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi sekalian manusia." Ibrahim memohon agar keturunannya juga dijadikan pemimpin, namun Allah menegaskan bahwa janji-Nya tidak akan menimpa orang-orang yang zalim. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dan kedekatan dengan Allah hanya dapat diraih oleh mereka yang senantiasa menjaga ketakwaan dan menjauhi kezaliman.
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menyempurnakannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.' Ibrahim berkata: 'Dan dari sebagian keturunanku?' Allah berfirman: 'Janji-Ku tidak mengenai orang-orang yang zalim.'" (QS. Al-Baqarah: 124)
(Terjemahan harfiah dari ayat 124 Al-Baqarah).
Ayat 125-127 mengisahkan tentang peran Nabi Ibrahim dan Ismail dalam membangun Ka'bah di Mekah. Allah memerintahkan mereka untuk mensucikan rumah-Nya bagi orang-orang yang thawaf, iktikaf, rukuk, dan sujud. Ini adalah pusat spiritual bagi umat Islam, mengingatkan pada asal mula ibadah dan pentingnya memurnikan niat hanya kepada Allah. Kisah ini juga menegaskan bahwa Ibrahim AS dan keluarganya adalah teladan dalam ketauhidan dan penyerahan diri kepada Allah.
Penolakan terhadap segala bentuk syirik menjadi tema yang sangat kuat dalam ayat-ayat ini. Allah SWT mengecam kaum yang menyembah selain Dia, baik itu berhala, hawa nafsu, atau apapun yang mengalihkan dari tuntunan-Nya. Kaum musyrikin menganggap bahwa nenek moyang mereka telah melakukan hal yang benar, namun Allah mengingatkan bahwa nenek moyang mereka juga tidak memiliki akal dan tidak mendapatkan petunjuk. Ini adalah pelajaran berharga agar kita tidak mengikuti tradisi atau ajaran yang bertentangan dengan kebenaran wahyu semata-mata karena warisan leluhur.
Doa Nabi Ibrahim AS dalam ayat 128, "Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu dan (juga) sebagian keturunan kami umat yang tunduk patuh kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang," mencerminkan kerinduan mendalam untuk hidup dalam ketaatan dan ketauhidan, serta memohon agar keturunannya juga berada di jalan yang lurus. Doa ini juga mencakup permohonan untuk kemudahan dalam beribadah dan penerimaan taubat, menunjukkan bahwa manusia selalu membutuhkan rahmat dan ampunan Allah.
Ayat 129 menjadi penegasan lanjutan dari doa Nabi Ibrahim, di mana Allah menyatakan akan mengutus seorang rasul dari kalangan mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kitab (Al-Qur'an) dan hikmah. Rasul ini kelak akan berada dalam kesesatan yang nyata jika berpaling dari ajaran Allah. Ini merupakan isyarat kenabian Muhammad SAW yang diutus untuk menyempurnakan ajaran agama.
Ayat-ayat berikutnya, hingga 140, secara tegas menggambarkan penolakan terhadap kaum Yahudi dan Nasrani yang mengingkari kerasulan Muhammad SAW. Allah SWT menegaskan bahwa kebenaran datang dari Tuhan, dan siapapun yang meragukannya setelah melihat bukti-bukti adalah orang yang paling zalim.
Pesan yang disampaikan sangat jelas: keimanan haruslah dilandasi oleh ketundukan total kepada Allah, mengamalkan wahyu-Nya, dan menjauhi segala bentuk kesesatan. Kisah para nabi, terutama Nabi Ibrahim AS, menjadi contoh teladan dalam ketauhidan, kesabaran, dan doa. Kita diingatkan untuk tidak terjebak dalam kebiasaan nenek moyang yang bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan senantiasa mencari kebenaran yang hakiki dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Dengan memahami dan merenungkan ayat-ayat ini, diharapkan setiap Muslim dapat memperkuat komitmennya untuk menjadi hamba Allah yang taat, mengamalkan ilmunya, serta senantiasa memohon rahmat dan ampunan-Nya agar senantiasa berada di jalan yang diridhai.